Disusun untuk memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Hukum Pidana yang diampu oleh
Ibu Dr. St Fatmawati L SH.,MH
OLEH
202230143
FAKULTAS HUKUM
2023
i
DAFTAR ISI
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur praktikan panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah
hukum pidana ini yang berjudul Perbandingan Antara KUHP Lama Dengan RUU
Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu selama proses penulisan makalah ini selesai. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, maka dari itu
dapat menjadi lebih baik. Akhir kata penulis mengharapkan makalah hukum pidana
Penulis
ii
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
Merujuk pada Pasal 10 KUHP, pidana terdiri atas dua jenis, yakni:
1. Pidana Pokok
Jenis-jenis pidana dalam KUHP yang menentukan bahwa perbuatan
pidana atau hukuman dapat dipahami sebagai suatu penderitaan atau nestapa
yang dengan sengaja ditimpakan oleh negara kepada setiap orang yang
terbukti telah melanggar aturan-aturan pidana yang terdapat dalam undang-
undang. Penderitaan berupa pidana yang dapat ditimpakan itu haruslah
sesuatu yang secara eksplisit ditentukan dalam undang-undang. Artinya,
orang tidak dapat dikenakan sanksi berupa pidana di luar dari apa yang telah
ditentukan atau diatur di dalam undang-undang (Lesma & Tasya, 2022).
Oleh karena itu, dalam hal penjatuhan pidana hakim tidak terikat
pada jenis-jenis sanksi pidana yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Pidana pokok menurut Pasal 10 KUHP terbagi atas:
a. Pidana mati
Roeslan Salah dalam Stelsel Pidana Indonesia (1987) menjelaskan,
pidana mati atau hukuman mati adalah jenis pidana terberat menurut
hukum positif Indonesia. Bagi mereka yang pro, hukuman mati
dianggap sebagai pemberi efek jera lantaran kualitas dan kuantitas
kejahatan dari waktu ke waktu semakin meningkat.
b. Pidana penjara
Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu sesuai
dengan Pasal 12 ayat (1) KUHP dan pidana penjara selama waktu
tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun
berturut-turut berdasarkan Pasal 12 ayat (2) KUHP.
3
c. Pidana kurungan
Pidana kurungan menurut KUHP lama dapat diberikan paling singkat
selama satu hari dan paling lama selama satu tahun. Jika ada pemberatan
pidana, pidana kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat
bulan. Jumlah maksimal pidana kurungan pun tidak boleh lebih dari satu
tahun empat bulan.
d. Pidana denda
Pidana denda ditujukan kepada harta benda orang. Pidana denda ini
biasa diancamkan/dijatuhkan terhadap tindak pidana ringan, yakni
berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Pada KUHP telah ditentukan
terkait besaran pidana denda itu sekurang-kurangnya adalah tiga rupiah
dan tujuh puluh lima sen, tetapi tidak ditemukan berapa besaran pidana
denda yang sebesar-besarnya dan jika pidana denda tidak dibayar ia
diganti dengan pidana kurungan ini diatur didalam Pasal 30 KUHP.
Pidana denda berdasar pada KUHP diancamkan baik sebagai satu-
satunya pidana pokok, maupun secara alternatif, baik dengan pidana
penjara atau pidana kurungan ataupun secara alternatif dengan kedua
jenis pidana-pidana pokok tersebut secara bersama-sama (Lutfiana,
2023).
2. Pidana Tambahan.
Pidana tambahan merupakan jenis pidana yang bersifat fakultatif
yang dapat dijatuhkan oleh hakim namun tidak wajib.
1. Pencabutan beberapa hak tertentu,
2. Perampasan barang yang tertentu,
3. Pengumuman putusan hakim.
1. Pidana pokok
• Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a terdiri
atas:
4
a. Pidana penjara;
Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau waktu tertentu.
Pidana seumur hidup artinya terpidana akan dipenjara sampai
meninggal dunia. Sementara penjara waktu tertentu, dijatuhkan
paling lama 15 tahun dan paling singkat satu hari. Pidana penjara
selama waku tertentu sekali-kali juga tidak boleh melebihi 20 tahun.
b. Pidana tutupan;
Pidana tutupan ditujukan untuk politisi yang melakukan kejahatan
karena ideologi yang dianutnya. Namun, dalam praktik peradilan
saat ini, pidana tersebut tidak pernah diterapkan. Pidana tutupan juga
masih ada dalam KUHP baru, tepatnya pada Pasal 74. Jenis
hukuman ini dapat dijatuhkan apabila terdakwa melakukan tindak
pidana karena terdorong maksud yang patut dihormati.
c. Pidana pengawasan;
Merupakan pidana pokok dalam KUHP baru, pengawasan dapat
dijatuhkan pada terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan
ancaman penjara maksimal lima tahun.
d. Pidana denda; dan
Pasal 79 KUHP baru membagi denda ke dalam delapan kategori,
yaitu: Kategori I, Rp 1 juta Kategori II, Rp 10 juta Kategori III, Rp
50. juta Kategori IV, Rp 200 juta Kategori V, Rp 500 juta Kategori
VI, Rp 2 miliar Kategori VII, Rp 5 miliar Kategori VIII, Rp 50
miliar.
e. Pidana kerja sosial.
Merujuk Pasal 85 KUHP baru, pidana kerja sosial dapat dijatuhkan
kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan ancaman
hukuman penjara kurang dari lima tahun dan hakim menjatuhkan
penjara paling lama enam bulan atau denda paling banyak kategori
II.
5
• Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat
atau ringannya pidana.
2. Pidana tambahan
• Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf b terdiri
atas:
a. pencabutan hak tertentu;
b. perampasan barang tertentu dan/ atau tagihan;
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti rugi;
e. pencabutan izin tertentu; dan
f. pemenuhan kewajiban adat setempat.
• Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan
dalam hal penjatuhan pidana pokok saja tidak cukup untuk mencapai
tujuan pemidanaan.
• Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhkan
1 jenis atau lebih.
• Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan sama dengan pidana
tambahan untuk tindak pidananya.
• Pidana tambahan bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana
dalam perkara koneksitas dikenakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan bagi TNI.
• Pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang
ditentukan dalam undang-undang.
6
2.2. Asas Legalitas
Menurut Moeljatno asas legalitas adalah asas yang menentukan bahwa tidak
ada peraturan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan
terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan. Asas ini dikenal dengan
nullum delictum nulla poena sine praevia lege yang berarti tidak ada delik, tidak
ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu
Dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan,
asas legalitas dalam hukum pidana diatur di dalam Pasal 1 yang berbunyi:
1) Tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali didasarkan pada
ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu.
2) Jika terjadi perubahan di dalam perundang-undangan setelah perbuatan itu
dilakukan, maka dikenakanlah terhadap si tersangka ketentuan yang paling
menguntungkan baginya.
Dalam KUHP yang lama, tidak ada penjelasan terkait Pasal 1 ayat (1)
KUHP. Mengutip H.R. 12 Nop.1900, W.7525; 21 Jan.1929 N.J 1929 709.
W.11963, menyatakan bahwa penafsiran terhadap ketentuan yang telah
dinyatakan dengan tegas, tidaklah boleh menyimpang dari maksud pembentuk
undang-undang.
Rumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP berkaitan dengan
asas lex temporis delicti yaitu undang-undang yang berlaku adalah undang-
undang yang ada pada saat delik terjadi.[4] Asas ini juga disebut asas non
retroaktif yang artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana
secara surut.
Pasal 1 ayat (1) KUHP ini juga memuat larangan menggunakan
penafsiran secara analogis di dalam lapangan hukum pidana untuk menjamin
kepastian hukum.
7
2.2.2. Asas Legalitas UU No. 1 Tahun 2023
Asas legalitas dalam hukum pidana menurut KUHP baru yaitu UU No.1
Tahun 2023 yang mulai berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu tahun
2026, dapat ditemukan di dalam Pasal 1 yang berbunyi:
(1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana
dan/atau tindakan kecuali atas perbuatan pidana dalam peraturan
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi.
Dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU 1/2023 diterangkan bahwa suatu
perbuatan merupakan tindak pidana jika ditentukan oleh atau didasarkan pada
peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan dalam
ketentuan ini adalah undang-undang dan peraturan daerah. Asas legalitas
merupakan asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan
perundang-undangan yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada
sebelum tindak pidana. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak boleh
berlaku surut.
Adapun terkait dengan Pasal 1 ayat (2) UU 1/2023 yang dimaksud
dengan "analogi' adalah penafsiran dengan cara memberlakukan suatu
ketentuan pidana terhadap kejadian atau peristiwa yang tidak diatur atau tidak
disebutkan secara eksplisit dalam undang-undang dan peraturan daerah dengan
cara menyamakan atau mengumpamakan kejadian atau peristiwa tersebut
dengan kejadian atau peristiwa lain yang telah diatur dalam undang-undang dan
peraturan daerah.
Tafsir Pasal 1 UU 1/2023 tersebut merupakan asas penting dalam hukum
pidana yaitu nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, asas non
rektroaktif (tidak berlaku surut), dan larangan penggunaan penafsiran analogi.
Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya
tindak pidana merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas.
Penafsiran analogi berarti suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak
merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana
yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang
8
sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain.
Dengan ditegaskannya larangan penggunaan analogi, maka perbedaan pendapat
yang timbul dalam praktik selama ini dapat dihilangkan (Theodora, 2023).
a. Mengakomodir hukum yang hidup di masyarakat
Berbeda dari KUHP yang lama, dalam UU 1/2023 atau KUHP baru
mengatur mengenai ketentuan hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini
didasarkan pada kenyataan bahwa di beberapa daerah tertentu di Indonesia
masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dalam
masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut.
9
Penjelasan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 2023 menerangkan bahwa
“hukum yang hidup dalam masyarakat” adalah hukum adat yang
menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut
dipidana. Hukum yang hidup di dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan
dengan hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat di Indonesia. Untuk memperkuat keberlakuan
hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, peraturan daerah mengatur
mengenai tindak pidana adat tersebut.
10
BAB III
KESIMPULAN
11
DAFTAR PUSTAKA
12