Anda di halaman 1dari 7

Nama Kelompok : 10

Anggota Kelompok : - Mustika Ayu

- Nashwa Difa Putri Aprilia

- Luna Aulia Hanani

- Eka Rizqia

Mata Kuliah : Hukum Pidana

Dosen Pengampu : Dr.Ivan Zairani

PERBANDINGAN ASAS-ASAS DALAM NASIONAL PASIF DAN WETBOEK VAN STRAFRECHT

A. Asas legalitas
Asas legalitas dalam hukum pidana diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) atau Wetboek van strafrecht Pasal 1 yang berbunyi:
(1) Tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut
undang-undang yang telah diadakan lebih dulu.
(2) Jika terjadi perubahan di dalam perundang-undangan setelah perbuatan itu dilakukan, maka
dikenakanlah terhadap si tersangka ketentuan yang paling menguntungkan baginya.
Rumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP berkaitan dengan asas lex temporis delicti
yaitu undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada pada saat delik terjadi. Asas ini
juga disebut asas non retroaktif yang artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana
secara surut. Pasal 1 ayat (1) KUHP ini juga memuat larangan menggunakan penafsiran secara analogis
di dalam lapangan hukum pidana untuk menjamin kepastian hukum.
Perbedaan signifinikan antara KUHP dengan KUHPN adalah KUHP hanya mengatur asas
legalitas formal, sedangkan dalam UU No. 1 thn 2023 terkandung 2 asas legalitas yaitu asas legalitas
formal dan asas legalitas materiil. Pada asas legalitas formal, dasar patut dipidananya suatu perbuatan
adalah undang-undang (hukum tertulis) yang sudah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan.
Sedangkan pada asas legalitas materiil menentukan dasar patut dipidana suatu perbuatan adalah hukum
yang hidup dalam masyarakat (hukum tidak tertulis).
Undang-Undang 1 tahun 2023 menegaskan (mengatur secara eksplisit) larangan penggunaan
penafsiran analogi dalam menetapkan tindak pidana. Penafsiran analogi berarti suatu perbuatan yang
pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan
pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena
kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain Dengan ditegaskannya larangan
penggunaan analogi, maka perbedaan pendapat yang timbul dalam praktik selama ini dapat
dihilangkan.
Dalam Undang-Undang 1 tahun 2023, diakuinya hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang
sebelumnya dikenal sebagai hukum pidana adat. Pasal 2 Undang-Undang 1 tahun 2023 menerangkan
bahwa “hukum yang hidup dalam masyarakat” adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang
yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Hukum yang hidup di dalam masyarakat dalam
pasal ini berkaitan dengan hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia. Untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat
tersebut, peraturan daerah mengatur mengenai tindak pidana adat tersebut.
Penjelasan atas maksud dari “berlaku dalam tempat itu hidup” dalam Pasal 2 ayat (2) UU 1/2023
adalah berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana adat di daerah tersebut. Ayat ini
mengandung pedoman dalam menetapkan hukum pidana adat yang keberlakuannya diakui oleh UU
1/2023. Senada dengan Pasal 1 ayat (2) KUHP, ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU 1/2023 memungkinkan
pemberlakuan hukum pidana secara surut (retroaktif) sepanjang peraturan tersebut menguntungkan
pelaku ditambah dengan perluasan penetapan tentang kapan hukum pidana dapat berlaku surut.
Adapun bunyi pasalnya sebagai berikut.

Dalam hal terdapat perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi,


diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru, kecuali ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lama menguntungkan bagi pelaku dan pembantu tindak pidana.

Dalam Pasal 3 UU 1/2023 menetapkan bahwa hukum pidana dapat berlaku surut apabila:

• Ada perubahan peraturan perundang-undangan setelah perbuatan terjadi dan perubahan


tersebut menguntungkan pelaku tindak pidana;

• Perbuatan yang terjadi tidak lagi merupakan tindak pidana menurut peraturan perundang-
undangan yang baru;

• Jika setelah putusan pemidanaan berkekuatan hukum tetap dan perbuatan diancam dengan
pidana yang lebih ringan menurut peraturan perundang-undangan yang baru, pelaksanaan
putusan disesuaikan dengan batas pidana menurut peraturan peruundang-undangan yang baru.

B. Asas Teritorial
Salah satu asas hukum pidana adalah asas teritorial atau asas wilayah. Berdasarkan asas ini,
perundang-undangan pidana suatu negara berlaku untuk setiap subjek hukum yang melakukan tindak
pidana di wilayah negara yang bersangkutan. Menurut Profesor van Hattum, setiap negara
berkewajiban menjamin keamanan dan ketertiban di dalam wilayah negaranya masing-masing. Oleh
karena itu, negara dapat mengadili setiap orang yang melanggar peraturan pidana yang berlaku di
negara tersebut. Di Indonesia, asas teritorial diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang berbunyi:
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang
melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.”

Selain dalam Pasal 2 KUHP, asas teritorial juga ditemukan dalam Pasal 3 KUHP, yang telah
diubah melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976. Pasal 3 tersebut berbunyi:

“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar
wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”
Rumusan pasal 2 KUHP menyebutkan kata “di Indonesia”, namun tidak melakukan perincian
secara lebih spesifik. Adapun mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 43
Tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang menyebutkan bahwa wilayah Indonesia adalah mencakup
daratan, perairan, dan juga ruang udara yang berada di atasnya. Hal ini berarti segala pelanggaran
terhadap hukum pidana Indonesia, baik yang terjadi di daratan, di perairan, maupun di udara, dapat
ditegakkan oleh penegak hukum Indonesia.
Dalam pasal 3 KUHP mengindikasikan bahwa selain di wilayah Indonesia yang mencakup
daratan, perairan, dan udara, perundang-undangan pidana di Indonesia dapat diberlakukan juga pada
pelanggaran hukum pidana yang terjadi di kendaraan air atau pesawat udara Indonesia. Penggunaan
kata “di luar wilayah Indonesia” menunjukan bahwa pembentuk undang-undang menganggap bahwa
kendaraan air atau pesawat udara tersebut juga merupakan bagian dari wilayah negara Indonesia.
Apabila ketentuan tesebut tidak ada dan terjadi suatu pelanggaran pidana di atas kendaraan air atau
pesawat udara Indonesia, maka pelaku pelanggaran tersebut akan terlepas dari penuntutan dan
penghukuman menurut perundang-undangan Indonesia.
Dalam UU No. 1 tahun 2023 pasal 4 ketentuan pidana dalam undang-undang berlaku bagi setiap orang
yang melakukan:
1. Tindak Pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Tindak Pidana di Kapal Indonesia atau di Pesawat Udara Indonesia; atau
3. Tindak Pidana di bidang teknologi informasi atau Tindak Pidana lainnya yang akibatnya
dialami atau terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di Kapal Indonesia
dan di Pesawat Udara Indonesia.
Secara umum isi dari asas teritorial hanya mengalami perluasan ketentuan dimana dalam pasal 4
uu No. 1 thn 2023 dimasukkan pula tindak pidana di bidang teknologi dan tidak pidana lainnya. Yang
dimaksud dengan "tindak pidana lainnya" misalnya, tindak pidana terhadap keamanan negara atau
tindak pidana yang dirumuskan dalam perjanjian internasional yang telah disahkan oleh Indonesia.

C. Perbandingan antara asas nasional aktif dalam Wetboek van Strafrecht (Belanda) dan asas
nasional pasif dalam KUHP nasional baru (Indonesia) adalah sebagai berikut:
1. Wetboek van Strafrecht (Belanda):
- Tidak ada rujukan langsung atau pembahasan yang spesifik mengenai asas nasional pasif dalam
Wetboek van Strafrecht.
- Wetboek van Strafrecht Belanda lebih fokus pada pengaturan mengenai kejahatan, pelanggaran,
dan sanksi pidana.
2. KUHP Nasional Baru (Indonesia):
- Asas Nasional Pasif: Dalam KUHP nasional baru, asas nasional pasif diatur dalam Pasal 5 UU
No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Asas ini mengacu pada prinsip bahwa hukum pidana Indonesia
berlaku untuk setiap orang yang melakukan tindak pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), tanpa memandang kewarganegaraan
- Berlaku sejak: KUHP nasional baru berlaku 3 tahun setelah diundangkan, yaitu pada tahun
2026
Perlu dicatat bahwa asas nasional pasif dalam KUHP nasional baru adalah pengaturan yang
spesifik bagi hukum pidana Indonesia, sementara Wetboek van Strafrecht (Belanda) tidak memiliki
rujukan langsung mengenai asas nasional pasif. Setiap sistem hukum memiliki perbedaan dalam
pengaturan dan prinsip-prinsip hukum pidana yang berlaku.

D. Asas Perlindungan
Berlakunya perundang-undangan pidana didasarkan pada kepentingan hukum suatu negara yang
dilanggar oleh seseorang di luar negeri dengan tidak disoalkan kewarganegaraannya, apakah pelaku
tersebut adalah warga negara Indonesia atau orang asing. Asas ini sendiri lebih menitikberatka
perlindungan dari unusur nasional dibandingkan dengan terhadap siapapun dan dimanapun.
Dalam KUHP Nasional, asas ini terdapat pada ketentuan Pasal 5 UU 1/ 2023 bahwa, ketentuan
pidana dalam undang-undang berlaku bagi setiap orang di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang melakukan tindak pidana terhadap kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1. Keamanan negara atau proses kehidupan ketatanegaraan
2. Martabat Presiden, Wakil Presiden, dan/ atau Pejabat Indonesia di luar negeri.
3. Mata uang, segel, cap negara, meterai, atau Surat berharga yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Indonesia, atau kartu kredit yang dikeluarkan oleh perbankan Indonesia.
4. Perekonomian, perdagangan, dan perbankan Indonesia.
5. Keselamatan atau keamanan pelayaran dan penerbangan.
6. Keselamatan atau keamanan bangunan, peralatan, dan aset nasional atau negara
Indonesia.
7. Keselamatan atau keamanan sistem komunikasi elektronik.

Sedangkan asas perlindungan dalam KUHP Wetboek van Strafrecht (WvS) asas ini berada pada
Pasal 4 ayat (1), (2), dan (3)
1. Salah satu kejahatan berdasarkan Pasal-Pasal 104, 106, 107, 108, dan 131;
2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau
bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh
Pemerintah Indonesia;
3. Pemalsuan surat hutang atau setifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan
suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, teermasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen,
tanda bunga, yang mengikuti surat atau seertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai
pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut diatas, yang palsu atau
dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak di palsu

Perbandingan asas perlindungan pada KUHP Nasional dan Wetboek van Strafrecht (WvS). KUHP
Nasional memberikan perhatian yang lebih besar serta secara rinci dapat memberikan perlindungan
hak-hak yang lebih kuat. Di sisi lain, hukuman yang diberikan kepada pelaku kejahatan juga
disesuaikan dengan tingkat kejahatan yang dilakukan, sehingga diharapkan dapat memberikan efek
jera bagi pelaku kejahatan.

Sedangkan persamaan KUHP Nasional dengan Wetboek van Strafrecht (WvS) adalah tindak
pidana yang terdapat dalam Bab II KUHP sekarang masih dipertahankan dalam RUU KUHP. Hal ini
dianggap sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang bersifat kekeluargaan, apabila kepala negara atau
negaranya diserang atau dihina tidak dapat menerimanya atau mencelanya. Pencelaan itu diwujudkan
dalam pengancaman dengan pidana perbuatan-perbuatan tersebut. Kepala negara dan wakilnya dapat
dipandang sebagai personifikasi dari negara itu sendiri karena adanya kepentingan/benda hukum atau
nilai dasar yang ingin dilindungi oleh delik penghinaan, selain itu bendera/lagu kebangsaan, lambang
kenegaraan yang merupakan representatif dari negara juga berhak untuk dilindungi kesuciannya dari
penghinaan-penghinaan yang dilakukan oleh masyarakat luas.

E. Asas Universal
Asas universal lebih menitikberatkan kepada kepentingan hukum secara luas atau secara
Internasional. Yang artinya hukum pidana sendiri tidak dibatasi oleh tempat, wilayah, atau untuk
sebagian kalangan saja, melainkan berlaku untuk siapapun orangnya dan dimanapun keberadaannya.
Dibuatnya asas ini adalah agar tidak ada pelaku kejahatan tingkat internasional yang dapat lolos dari
jeratan hukum, sehingga seluruh negara dapat untuk menangkap, mengadili, dan menghukum pelaku
kejahatan tersebut demi kepentingan bersama, tanpa melihat siapa yang melakukannya dan dimana
tindak pidana tersebut dilakukan. Namun, jika pelaku tetsebut telah diadili oleh suatu negara, maka
negara lain tidak dapat mengadili pelaku kejahatan tersebut.
Hal ini dapat dilihat pada KUHP Nasional dalam Pasal 6 UU 1/2023 dan Pasal 7 UU 1/2023
yaitu:
- Pasal 6 UU 1/2023 yang menerangkan bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang
berlaku bagi setiap orang yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang melakukan tindak pidana menurut hukum internasional yang telah
ditetapkan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang.
- Pasal 7 UU 1/2023 yang menerangkan bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang
berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang penuntutannya diambil alih oleh Pemerintah
Indonesia atas dasar suatu perjanjian internasional yang memberikan kewenangan
kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan penuntutan pidana.

Serta dapa juga dilihat dalam KUHP Wetboek van Strafrecht (WvS) Pasal 4 ayat (2) dan (4)
yaitu:

2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau
bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh
Pemerintah Indonesia;
4. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-Pasal 438, 444, sampai dengan 446, tentang
pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air terhadap kekuasaan bajak
laut dan Pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, Pasal
479 huruf i,m,n dan tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.

Pengaturan mengenai asas universal tidak memiliki perubahan makna yang berarti dari KUHP
lama atau KUHP Wetboek van Strafrecht (WvS). Ketentuan asas universal dalam Pasal 6 tersebut
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan hukum Indonesia dan/atau kepentingan hukum negara
lain. Adapaun landasan pengaturan asas ini terdapat dalam konvensi internasional yang telah disahkan
oleh Indonesia, misalnya:

1. Konvensi internasional mengenai uang palsu;


2. Konvensi internasional mengenai laut bebas dan hukum laut yang di dalamnya mengatur tindak pidana
pembajakan laut;
3. Konvensi internasional mengenai kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana atau prasarana
penerbangan; atau
4. Konvensi internasional mengenai pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika

Anda mungkin juga menyukai