Anda di halaman 1dari 15

Tolong direvisi, klu udah kirim kembali, ok. Thanks.

ASAS HUKUM PIDANA

Asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana adalah :


1. Asas Nullum Delictum Nullapoenasine Praevia Lege
Poenali atau Asas Legisme-Legalitas
Ialah suatu asas yang menyatakan bahwa suatu perbuatan
(pidana) hanya dapat dihukum bila sebelum perbuatan tersebut
dilakukan telah ada undang-undang/peraturan yang melarangnya
dengan ancaman hukum pidana pula.
Azas ini terdapat dalam KUHP pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “
tiada suatu perbuatan yang dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang – undangan yang telah ada, sebelum
perbuatan dilakukan.
Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von
Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang
(paksaan psikologis)” dimana adagium : nullum delictum nulla
poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip
dasar :
℘ Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
℘ Nulla poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
℘ Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa
undang-undang pidana yang terlebih dulu ada)
Adagium ini menganjurkan supaya :
1) Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di
dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang
harus dirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana
yang diancamkan;
2) Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan
perbuatanyang dilarang itu telah mengetahui terlebih dahulu
pidana apa yangakan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul-
betul melakukan perbuatan;
Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan
untuk tidak berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga
perbuatan yang dilarang, maka dinpandang dia menyetujui pidana
yang akan dijatuhkan kepadanya.
Asas yang menekankan bahwa hukum pidana sebagai undang-
undang haruslah secara tertulis. Suatu perbuatan dapat dikatakan
sebagai tindak pidana hanya jika sebelumnya telah diatur oleh
Undang-undang.
Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD 1945 dalam
Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan berhak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar
1945 yang berbunyi : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Karenanya asas ini
dapat pula dinyatakan sebagai asas konstitusional.
Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud
dalam asas legalitas yaitu:
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu
aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat
(1) KUHP.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh
digunakan analogi, akan tetapi diperbolehkan penggunaan
penafsiran ekstensif.
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Schaffmeister dan Heijder merinci asas ini dalam pokok-
pokok pikiran sebagai berikut:
a. Tidak dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana berdasar
peraturan perundang-undangan (formil).
b. Tidak diperkenankan Analogi (pengenaan suatu undang-undang
terhadap perbuatan yang tidak diatur oleh undang-undang
tersebut).
c. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan (Hukum
tidak tertulis).
d. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (lex Certa).
e. Tidak boleh Retroaktif (berlaku surut)
f. Tidak boleh ada ketentuan pidana diluar Undang-undang.
Penuntutan hanya dilakukan berdasarkan atau dengan cara yang
ditentukan undang-undang.
Kedua asas tersebut di atas terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHP) kita yaitu pasal 1 ayat (1) : Tiada suatu
perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan ketentuan
pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada
perbuatan itu.

2. Asas Wilayah ( Asas Teritorial )


Ialah asas yang menegaskan bahwa hukum pidana suatu
negara mutlak berlaku di wilayah negara yang bersangkutan
terhadap semua orang, baik terhadap warga negara sendiri
maupun terhadap warga negara asing yang melakukan tindak
pidana di wilayah negara tersebut.
Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan
pidana yang terjadi diwilayah Negara, baik dilakukan oleh warga
negaranya sendiri maupun oleh orang lain asas wilayah (asas
teritorial)
Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yaitu dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan :
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana
di Indonesia”.
Pasal ini dengan tegas menyatakan asas territorial, dan
ketentuan ini sudah sewajarnya berlaku bagi Negara yang
berdaulat. Asas teritorial lebih menitik beratkan pada terjadinya
perbuatan pidana di dalam wilayah Negara tidak
mempermasalahkan siapa pelakunya, warga Negara atau orang
asing. Sedang dalam asas kedua (asas personal atau asas nasional
yang aktif) menitik beratkan pada orang yang melakukan
perbuatan pidana, tidak mempermasalahkan tempat terjadinya
perbuatan pidana. Asas territorial yang pada saat ini banyak diikuti
oleh Negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini adalah
wajar karena tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu
Negara harus tunduk dan patuh kepada peraturan-peraturan
hukum Negara dimana yang bersangkutan berada.
Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP
yang menyatakan : “Ketentuan pidana perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia
melakukan tindak pidana didalan kendaraan air atau pesawat
udara Indonesia”.
Ketentuan ini memperluas berlakunya pasal 2 KUHP, tetapi
tidak berarti bahwa perahu (kendaraan air) dan pesawat terbang
lalu dianggap bagian wilayah Indonesia. Tujuan dari pasal ini
adalah supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau
pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada di
wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah territorial suatu
Negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu
perbuatan pidana.
Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana diatas alat
pelayaran Indonesia diluar wilayah Indonesia. Alat pelayaran
pengertian lebih luas dari kapal. Kapal merupakan bentuk khusus
dari alat pelayaran. Di luar Indonesia atau di laut bebas dan laut
wilayah Negara lain.
Asas-asas Extra Teritorial / kekebalan dan hak-hak Istimewa
(Immunity and Previlege).
℘ Kepala Negara asing dan anggota keluarganya.
℘ Pejabat-pejabat perwakilan asing dan keluarganya.
℘ Pejabat-pejabat pemerintahan Negara asing yang berstatus
diplomatik yang dalam perjalanan melalui Negara-negara lain
atau menuju Negara lain.
℘ Suatu angkatan bersenjata yang terpimpin.
℘ Pejabat-pejabat badan Internasional.
℘ Kapal-kapal perang dan pesawat udara militer / ABK diatas kapal
maupun di luar kapal.

3. Asas Nasionalitet
Ialah asas dalam hukum pidana yang menegaskan bahwa
hukum pidana dari suatu negara disamping berlakunya dalam
wilayah negara tersebut dapat pula berlaku diluar wilayah negara
yang bersangkutan, baik terhadap warga negara tersebut maupun
terhadap orang asing lainnya yang melakukan tindak pidana.
Asas nasionalitet dapat dibagi 2 macam yaitu :
℘ Asas nasionalitet aktif atau asas personalitet ialah asas
yang mengatakan bahwa hukum pidana suatu negara dapat
dikenakan atas warganegaranya meskipun orang tersebut
melakukan tindak pidana di luar negeri.
Asas nasionalitet aktif atau asas personalitet yang aktif tidak
mungkin digunakan sepenuhnya terhadap warga Negara yang
sedang berada dalam wilayah Negara lain yang kedudukannya
sama-sama berdaulat. Apabila ada warga Negara asing yang
berada dalam suatu wilayah Negara telah melakukan tindak
pidana dan tindak pidana dan tidak diadili menurut hukum
Negara tersebut maka berarti bertentangan dengan kedaulatan
Negara tersebut. Pasal 5 KUHP hukum Pidana Indonesia berlaku
bagi warga Negara Indonesia di luar Indonesia yang melakukan
perbuatan pidana tertentu Kejahatan terhadap keamanan
Negara, martabat kepala Negara, penghasutan dan lain-lain.
Pasal 5 KUHP menyatakan :
“(1). Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di luar
Indonesia melakukan : salah satu kejahatan yang tersebut
dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160,
161, 240, 279, 450 dan 451. Salah satu perbuatan yang oleh
suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan
menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu
dilakukan diancam dengan pidana.
(2). Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam
butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga
Negara sesudah melakukan perbuatan”.
Sekalipun rumusan pasal 5 ini memuat perkataan “diterapkan
bagi warga Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia”’,
sehingga seolah-olah mengandung asas personal, akan tetapi
sesungguhnya pasal 5 KUHP memuat asas melindungi
kepentingan nasional (asas nasional pasif) karena :
Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi warga Negara diluar
wilayah territorial wilyah Indonesia tersebut hanya pasal-pasal
tertentu saja, yang dianggap penting sebagai perlindungan
terhadap kepentingan nasional. Sedangkan untuk asas
personal, harus diberlakukan seluruh perundang-undangan
hukum pidana bagi warga Negara yang melakukan kejahatan di
luar territorial wilayah Negara.
Ketentuan pasal 5 ayat (2) adalah untuk mencegah agar
supaya warga Negara asing yang berbuat kejahatan di Negara
asing tersebut, dengan jalan menjadi warga Negara Indonesia
(naturalisasi).
Bagi Jaksa maupun hakim Tindak Pidana yang dilakukan di
negara asing tersebut, apakah menurut undang-undang disana
merupakan kejahatan atau pelanggaran, tidak menjadi
permasalahan, karena mungkin pembagian tindak pidananya
berbeda dengan di Indonesia, yang penting adalah bahwa
tindak pidana tersebut di Negara asing tempat perbuatan
dilakukan diancam dengan pidana, sedangkan menurut KUHP
Indonesia merupakan kejahatan, bukan pelanggaran.
Ketentuan pasal 6 KUHP :
“ Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian rupa
sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut
perundang-undangan Negara dimana perbuatan dilakukan
terhadapnya tidak diancamkan pidana mati”.
Latar belakang ketentuan pasal 6 ayat (1) butir 2 KUHP adalah
untuk melindungi kepentingan nasional timbal balik (mutual
legal assistance). Oleh karena itu menurut Moeljatno, sudah
sewajarnya pula diadakan imbangan pulu terhadap maksimum
pidana yang mungkin dijatuhkan menurut KUHP Negara asing
tadi.
℘ Asas nasionalitet pasif ialah asas yang menegaskan bahwa
hukum pidana suatu negara berlaku juga terhadap siapa saja
yang melakukan tindak pidana meskipun di luar wilayah negara
tersebut (baik pelaku yang wagranegara sendiri maupun orang
asing) bila tindak pidana tersebut mengganggu kepentingan
hukum dari negara yang bersangkutan.
Sekalipun asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi
ada asas lain yang memungkinkan diberlakukannya hukum
pidana nasional terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar
wilayah Negara.
Pasal 4 KUHP (seteleh diubah dan ditambah berdasarkan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976) :
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia :
1. Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal
104, 106, 107, 108 dan 131;
2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang
kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau bank,
ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan
merek yang digunakan oleh Pemerintah
Indonesia;
3. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang
atas tanggungan suatu daerah atau bagian
daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan
talon, tanda deviden atau tanda bunga yang
mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda
yang dikeluarkan sebagai pengganti surat
tersebut atau menggunakan surat-surat tersebut
di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah
asli dan tidak palsu;
4. Salah satu kejahatan yang disebut dalam Pasal-
pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang
pembajakan laut dan pasal 447 tentang
penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan
bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang
penguasaan pesawat udara secara melawan
hukum, pasal 479 l, m, n dan o tentang kejahatan
yang mengancam keselamatan penerbangan
sipil.
Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas melindungi
kepentingan yaitu melindungi kepentingan nasional dan
melindungi kepentingan internasional (universal). Pasal ini
menentukan berlakunya hukum pidana nasional bagi setiap
orang (baik warga Negara Indonesia maupun warga negara
asing) yang di luar Indonesia melakukan kejahatan yang
disebutkan dalam pasal tersebut.
Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena pasal 4
KUHP ini memberlakukan perundang-undangan pidana
Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara
Indonesia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan
kepentingan nasional, yaitu :
1) Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan
terhadap martabat/kehormatan Presiden Republik Indonesia
dan Wakil Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1)
2) Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas
Indonesia atau segel / materai dan merek yang digunakan
oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2);
3) Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau
sertifkat-sertifikat hutang yang dikeluarkan oleh Negara
Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3);
4) Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan
pembajakan pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-4).
4. Asas Universal
Ialah suatu asas yang menegaskan bahwa hukum pidana
suatu negara dapat berlaku terhadap siapa saja, dimana saja dan
terhadap tindak pidana apa saja yang dapat mengganggu
ketertiban dan kepentingan hukum dunia internasional.
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-
pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi
kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi
pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan
tata hukum sedunia (hukum internasional).
Dikatakan melindungi kepentingan internasional (kepentingan
universal) karena rumusan pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai kejahatan
pemalsuan mata uang atau uang kertas) dan pasal 4 ke-4 KUHP
(mengenai pembajakan kapal laut dan pembajakan pesawat udara)
tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas Negara mana yang
dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang negara mana yan
dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud
dalam pasal 4 ke-2 KUHP menyangkut mata uang atau uang kertas
Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin menyangkut mata
uang atau uang kertas Negara asing. Pembajakan kapal laut atau
pesawat terbang yang dimaksud dalam pasal 4 ke-4 KUHP dapat
menyangkut kapal laut Indonesia atau pesawat terbang Indonesia,
dan mungkin juga menyangkut kapal laut atau pesawat terbang
Negara asing.
Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal,
laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Indonesia,
maka asas yang berlaku diterapkan adalah asas melindungi
kepentingan nasional (asas nasional pasif). Jika pemalsuan mata
uang atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat
terbang adalah mengenai kepemilikan Negara asing, maka asas
yang berlaku adalah asas melindungi kepentingan internasional
(asas universal).
Pasal 7 KUHP
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku
bagi setiap pejabat yang di luar Indonsia melakukan salah satu
tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku
Kedua”.
Pasal ini mengenai kejahatan jabatan yang sebagian besar
sudah diserap menjadi tindak pidana korupsi. Akan tetapi pasal-
pasal tersebut (pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419,
420, 423, 425, 435) telah dirubah oleh Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan
rumusan tersendiri sekalipun masih menyebut unsur-unsur yang
terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu. Dalam hal
demikian apakah pasal 7 KUHP masih dapat diterapkan ? untuk
masalah tersebut harap diperhatikan pasal 16 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang berbunyi : “setiap orang di luar wilayah Negara
republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana
atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana
dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai
dengan pasal 14”
Pasal 8 KUHP
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku
nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia,
sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana
sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab
IX buku ketiga, begitu pula yang tersebut dalam peraturan
mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun dalam
ordonansi perkapalan”.
Dengan telah diundangkannya tindak pidana tentang
kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana
penerbangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976
yang dimasukkan dalam KUHP pada Buku Kedua Bab XXIX A.
pertimbangan lain untuk memasukkan Bab XXIX A Buku Kedua ke
dalam pasal 8 KUHP adalah juga menjadi kenyataan bahwa
kejahatan penerbangan sudah digunakan sebagai bagian dari
kegiatan terorisme yang dilakukan oleh kelompok terorganisir
pasal 9 KUHP.
Diterapkannya pasal-pasal 2-5-7 dan 8 dibatasi oleh
pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum-hukum
internasional.
Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui
meliputi :
a. Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana
mereka mempunyai hak eksteritorial. Hukum nasional suatu
Negara tidak berlaku bagi mereka
b. Duta besar Negara asing beserta keluarganya meeka juga
mempunyai hak eksteritorial.
c. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara,
sekalipun ada di luar kapal. Menurut hukum internasional kapal
peran adalah teritoir Negara yang mempunyainya
d. Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan
persetujuan Negara itu.

5. Asas Geen Straf Zonder Schuld (Asas Tiada Hukuman


Tanpa Kesalahan)
Artinya tak seorangpun dapat dijatuhi pidana jika tidak ada
kesalahan yang ia perbuat. Terdapat dalam pasal 44 jo pasal 45
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
6. Asas Apabila ada perubahan dalam undang-undang
setelah peristiwa itu terjadi maka dipakailah ketentuan
yang paling menguntungkan bagi si tersangka
Artinya bahwa jika pada saat perbuatan dilakukan kemudian
terjadi perubahan ketentuan Undang-Undang maka Undang-
Undang yang memberikan ancaman hukum yang paling ringan
yang akan diberlakukan oleh si tersangka.
Misalnya: seseorang disangka melakukan perbuatan korupsi pada
tahun 1998 dan diancam hukuman oleh Undang-Undang Nomor 3
tahun 1971 dengan ancaman hukuman 10 tahun, maka pada saat
proses persidangan (tahun 1999) tiba-tiba Pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang baru tentang Korupsi yaitu Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang mengancam perbuatan
tersebut dengan ancaman hukuman 20 tahun. Maka sesuai dengan
asasnya dipakailah kententuan yang paling ringan bagi terdakwa
yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. terdapat pada pasal 1
ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

7. Asas Hukum Pidana Khusus mengesampingkan Hukum


Pidana Umum (Lex Specialis derogart legi Generalis)
Artinya bahwa karena sumber hukum pidana ada dua jenis
yaitu yang terkodifikasi dan yang tidak, dimana Undang-Undang
yang tidak terkodifikasi tersebar, maka jika ada seseorang yang
melakukan perbuatan pidana seperti korupsi maka yang
diberlakukan adalah Undang-Undang Korupsi (lex spesialis), atau
orang yang melakukan jual beli narkoba maka yang diberlakukan
adalah Undang-Undang Narkoba (lex spesialis bukan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana). Terdapat pada pasal 103 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.
TUGAS MATA KULIAH HUKUM PIDANA

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA

Oleh :
KELOMPOK I
1. IDRUS FIRDAUS
2. SAEFULLOH
3. ROMMY PURWANTO GUNTUR
4. JUNAIDI

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA
2010

Anda mungkin juga menyukai