3. Asas Nasionalitet
Ialah asas dalam hukum pidana yang menegaskan bahwa
hukum pidana dari suatu negara disamping berlakunya dalam
wilayah negara tersebut dapat pula berlaku diluar wilayah negara
yang bersangkutan, baik terhadap warga negara tersebut maupun
terhadap orang asing lainnya yang melakukan tindak pidana.
Asas nasionalitet dapat dibagi 2 macam yaitu :
℘ Asas nasionalitet aktif atau asas personalitet ialah asas
yang mengatakan bahwa hukum pidana suatu negara dapat
dikenakan atas warganegaranya meskipun orang tersebut
melakukan tindak pidana di luar negeri.
Asas nasionalitet aktif atau asas personalitet yang aktif tidak
mungkin digunakan sepenuhnya terhadap warga Negara yang
sedang berada dalam wilayah Negara lain yang kedudukannya
sama-sama berdaulat. Apabila ada warga Negara asing yang
berada dalam suatu wilayah Negara telah melakukan tindak
pidana dan tindak pidana dan tidak diadili menurut hukum
Negara tersebut maka berarti bertentangan dengan kedaulatan
Negara tersebut. Pasal 5 KUHP hukum Pidana Indonesia berlaku
bagi warga Negara Indonesia di luar Indonesia yang melakukan
perbuatan pidana tertentu Kejahatan terhadap keamanan
Negara, martabat kepala Negara, penghasutan dan lain-lain.
Pasal 5 KUHP menyatakan :
“(1). Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di luar
Indonesia melakukan : salah satu kejahatan yang tersebut
dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160,
161, 240, 279, 450 dan 451. Salah satu perbuatan yang oleh
suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan
menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu
dilakukan diancam dengan pidana.
(2). Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam
butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga
Negara sesudah melakukan perbuatan”.
Sekalipun rumusan pasal 5 ini memuat perkataan “diterapkan
bagi warga Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia”’,
sehingga seolah-olah mengandung asas personal, akan tetapi
sesungguhnya pasal 5 KUHP memuat asas melindungi
kepentingan nasional (asas nasional pasif) karena :
Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi warga Negara diluar
wilayah territorial wilyah Indonesia tersebut hanya pasal-pasal
tertentu saja, yang dianggap penting sebagai perlindungan
terhadap kepentingan nasional. Sedangkan untuk asas
personal, harus diberlakukan seluruh perundang-undangan
hukum pidana bagi warga Negara yang melakukan kejahatan di
luar territorial wilayah Negara.
Ketentuan pasal 5 ayat (2) adalah untuk mencegah agar
supaya warga Negara asing yang berbuat kejahatan di Negara
asing tersebut, dengan jalan menjadi warga Negara Indonesia
(naturalisasi).
Bagi Jaksa maupun hakim Tindak Pidana yang dilakukan di
negara asing tersebut, apakah menurut undang-undang disana
merupakan kejahatan atau pelanggaran, tidak menjadi
permasalahan, karena mungkin pembagian tindak pidananya
berbeda dengan di Indonesia, yang penting adalah bahwa
tindak pidana tersebut di Negara asing tempat perbuatan
dilakukan diancam dengan pidana, sedangkan menurut KUHP
Indonesia merupakan kejahatan, bukan pelanggaran.
Ketentuan pasal 6 KUHP :
“ Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian rupa
sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut
perundang-undangan Negara dimana perbuatan dilakukan
terhadapnya tidak diancamkan pidana mati”.
Latar belakang ketentuan pasal 6 ayat (1) butir 2 KUHP adalah
untuk melindungi kepentingan nasional timbal balik (mutual
legal assistance). Oleh karena itu menurut Moeljatno, sudah
sewajarnya pula diadakan imbangan pulu terhadap maksimum
pidana yang mungkin dijatuhkan menurut KUHP Negara asing
tadi.
℘ Asas nasionalitet pasif ialah asas yang menegaskan bahwa
hukum pidana suatu negara berlaku juga terhadap siapa saja
yang melakukan tindak pidana meskipun di luar wilayah negara
tersebut (baik pelaku yang wagranegara sendiri maupun orang
asing) bila tindak pidana tersebut mengganggu kepentingan
hukum dari negara yang bersangkutan.
Sekalipun asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi
ada asas lain yang memungkinkan diberlakukannya hukum
pidana nasional terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar
wilayah Negara.
Pasal 4 KUHP (seteleh diubah dan ditambah berdasarkan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976) :
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia :
1. Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal
104, 106, 107, 108 dan 131;
2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang
kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau bank,
ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan
merek yang digunakan oleh Pemerintah
Indonesia;
3. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang
atas tanggungan suatu daerah atau bagian
daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan
talon, tanda deviden atau tanda bunga yang
mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda
yang dikeluarkan sebagai pengganti surat
tersebut atau menggunakan surat-surat tersebut
di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah
asli dan tidak palsu;
4. Salah satu kejahatan yang disebut dalam Pasal-
pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang
pembajakan laut dan pasal 447 tentang
penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan
bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang
penguasaan pesawat udara secara melawan
hukum, pasal 479 l, m, n dan o tentang kejahatan
yang mengancam keselamatan penerbangan
sipil.
Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas melindungi
kepentingan yaitu melindungi kepentingan nasional dan
melindungi kepentingan internasional (universal). Pasal ini
menentukan berlakunya hukum pidana nasional bagi setiap
orang (baik warga Negara Indonesia maupun warga negara
asing) yang di luar Indonesia melakukan kejahatan yang
disebutkan dalam pasal tersebut.
Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena pasal 4
KUHP ini memberlakukan perundang-undangan pidana
Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara
Indonesia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan
kepentingan nasional, yaitu :
1) Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan
terhadap martabat/kehormatan Presiden Republik Indonesia
dan Wakil Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1)
2) Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas
Indonesia atau segel / materai dan merek yang digunakan
oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2);
3) Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau
sertifkat-sertifikat hutang yang dikeluarkan oleh Negara
Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3);
4) Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan
pembajakan pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-4).
4. Asas Universal
Ialah suatu asas yang menegaskan bahwa hukum pidana
suatu negara dapat berlaku terhadap siapa saja, dimana saja dan
terhadap tindak pidana apa saja yang dapat mengganggu
ketertiban dan kepentingan hukum dunia internasional.
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-
pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi
kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi
pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan
tata hukum sedunia (hukum internasional).
Dikatakan melindungi kepentingan internasional (kepentingan
universal) karena rumusan pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai kejahatan
pemalsuan mata uang atau uang kertas) dan pasal 4 ke-4 KUHP
(mengenai pembajakan kapal laut dan pembajakan pesawat udara)
tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas Negara mana yang
dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang negara mana yan
dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud
dalam pasal 4 ke-2 KUHP menyangkut mata uang atau uang kertas
Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin menyangkut mata
uang atau uang kertas Negara asing. Pembajakan kapal laut atau
pesawat terbang yang dimaksud dalam pasal 4 ke-4 KUHP dapat
menyangkut kapal laut Indonesia atau pesawat terbang Indonesia,
dan mungkin juga menyangkut kapal laut atau pesawat terbang
Negara asing.
Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal,
laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Indonesia,
maka asas yang berlaku diterapkan adalah asas melindungi
kepentingan nasional (asas nasional pasif). Jika pemalsuan mata
uang atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat
terbang adalah mengenai kepemilikan Negara asing, maka asas
yang berlaku adalah asas melindungi kepentingan internasional
(asas universal).
Pasal 7 KUHP
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku
bagi setiap pejabat yang di luar Indonsia melakukan salah satu
tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku
Kedua”.
Pasal ini mengenai kejahatan jabatan yang sebagian besar
sudah diserap menjadi tindak pidana korupsi. Akan tetapi pasal-
pasal tersebut (pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419,
420, 423, 425, 435) telah dirubah oleh Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan
rumusan tersendiri sekalipun masih menyebut unsur-unsur yang
terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu. Dalam hal
demikian apakah pasal 7 KUHP masih dapat diterapkan ? untuk
masalah tersebut harap diperhatikan pasal 16 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang berbunyi : “setiap orang di luar wilayah Negara
republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana
atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana
dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai
dengan pasal 14”
Pasal 8 KUHP
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku
nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia,
sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana
sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab
IX buku ketiga, begitu pula yang tersebut dalam peraturan
mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun dalam
ordonansi perkapalan”.
Dengan telah diundangkannya tindak pidana tentang
kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana
penerbangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976
yang dimasukkan dalam KUHP pada Buku Kedua Bab XXIX A.
pertimbangan lain untuk memasukkan Bab XXIX A Buku Kedua ke
dalam pasal 8 KUHP adalah juga menjadi kenyataan bahwa
kejahatan penerbangan sudah digunakan sebagai bagian dari
kegiatan terorisme yang dilakukan oleh kelompok terorganisir
pasal 9 KUHP.
Diterapkannya pasal-pasal 2-5-7 dan 8 dibatasi oleh
pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum-hukum
internasional.
Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui
meliputi :
a. Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana
mereka mempunyai hak eksteritorial. Hukum nasional suatu
Negara tidak berlaku bagi mereka
b. Duta besar Negara asing beserta keluarganya meeka juga
mempunyai hak eksteritorial.
c. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara,
sekalipun ada di luar kapal. Menurut hukum internasional kapal
peran adalah teritoir Negara yang mempunyainya
d. Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan
persetujuan Negara itu.
Oleh :
KELOMPOK I
1. IDRUS FIRDAUS
2. SAEFULLOH
3. ROMMY PURWANTO GUNTUR
4. JUNAIDI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA
2010