Anda di halaman 1dari 8

Pada dasarnya ada dua hal yeng menyangkut berlakunya hukum

pidana, yaitu berdasarkan Waktu dan Tempat Berlakunya Hukum


Pidana.
1. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu
1.1. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Pruevia Lege
Punali
Mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan,yaitu
mengenai criminal act terdapat dasar yang pokok, yaitu asas
legalitas (principle of legality ) asas yang menentukan bahwa
tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang undangan.
Asas ini dikenal dengan bahasa latin “ Nullum Delictum Nulla
Poena Sine Lege Punali “ yang artinya “ tidak ada delik, tidak ada
pidana tanpa undang undang hukum pidana terlebih dahulu.
Ucapan ini berasal dari Anselm von Feuerbach, seorang sarjana
hokum pidana jerman (1775 – 1833) dalam bukunya yang
berjudul “ Lehrbuch des Peinlichen Rech “ (1801). Perumusan asa
legalitas ini dalam bahasa latin dikemukakan sehubungan dengan
teorinya “ Von Psycologischen Zwang “ (paksaan psikologis).
Teori ini menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-
perbuatan yang dilarang dalam peraturan bukan saja tentang
perbuatan yamg harus ditulis oengan jelas tetapi juga tentang
macamnya pidana yung diancamkan.
1.2. Asas Retroaktif
Peraturan undang-unndang itu harus sudah ada sebelum tindak
pidana itu terjadi, artinya peraturan pidana tidak boleh berlaku
surut ( retroaktif ). Dasar pemikirannya adalah untuk menjamin
kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa
dan peradilan, selain itu juga dengan adanya pendirian yang
berhubungan dengan pendapat bahwa pidana itu merupakan
paksaan psikis (psycologische dwang). Aturan tentang tidak
berlaku surutnya suatu peraturan pidana ini dapat diterobos oleh
pembentuk undang-undang, sebab aturan itu cuma tercantum
dalam undang-undang biasa, jadi apabila pembentik undang-
undang menyatakan suatu undang-undang berlaku surut,
merupakan sepenuhnya wewenang dari pembentuk undang-
undang dalam hal ini berlaku asas “ Lex posterior derogat legi
piori “, artinya dalam hal tingkatan peraturan itu sama, maka
peraturan yang ditetapkan kemudian mendesak peraturan
terdahulu. ( Sudarto.1990 ; 25 ).
Asas lex tempores delicti yang menimbulkan larangan berlaku
retro aktif bagi peraturan pidana ini ada pengecualiannya seperti
tertera pada pasal 1 ayat 2 yang menyatakan bahwa jika sesudah
perbuatan dilakukan ada perubahan di dalam perundang-
undangan dipakai peraturan yang paling ringan bagi
terdakwa.Jadi menurut pasal ini dimungkinkan suatu peraturan
pidana berlaku surut.Pengecualian terhadap asas ini terdapat
pula dalam rancangan KUHP pasal 2 yang berbunyai “ Jika
terdapat perubahan peraturan undang-undang setelah perbuatan
terjadi,maka diterapkan peraturan tang paling menguntungkan “.
Apakah arti perubahan dalam perundang-undangan ? Ada
beberapa pandangan:
a. Ajaran Formil
Menurut Simons ada perubahan apabila ada perubahan dalam
teks undang-undang pidana sendiri.Perubahan dalam undang-
undang lain bukanlah perubahan seperti yang dimaksud seperti
dalam pasal 1 ayat 2 KUHP.
b. Ajaran Materil Terbatas
Tiap perubahan dalam perundang-undangan digunakan untuk
keuntungan terdakwa. Kapankah suatu peraturan itu disebut
meringankan atau menguntungkan terdakwa? Pengertian paling
ringan atau paling menguntungkan itu harus diartikan seluas-
luasnya, dan tidak hanya mengenai pidananya saja, melainkan
mengenai segala sesuatu dari peraturan itu yang mempunyai
pengaruh terhadap penilaian suatu tindak pidana. Penentuan
harus dilakukan in concreto dan tidak in abstracto. Misalnya
terdapat suatu delik, pidananya diperberat, akan tetapi delik itu
dijadikan delik aduan. Manakah yang menguntungkan terdakwa?
Ini tergantung pada keadaan yang kongkrit apakah ada
pengaduan atau tidak. Kalau tidak ada pengaduan aturan baru
yang berlaku berarti bahwa terdakwa dituntut, sebaliknya kalau
ada pengaduan maka peraturan lama yang diterapkan karena
pidananya lebih ringan ( Sudarto 1990; 26-29 ).
2. Ruang Lingkup Berlakunya Ketentuan Pidana Menurut
Tempat
Pembentukan undang-undang dapat berlakunya  undang-undang
yang dibuatnya.pembentuk undang-undang pusat dapat
menetapkan berlakunya undang-undang pidana terhadap tindak
pidana atau di luar wilaytah Negara, sedangkan pembentukan
undang-undang daerah hanya terbatas pada daerahnya masing-
masing.
Dari sejarah hukum pidana dapat diketahui bahwa sudah sejak
lama orang mengenal apa yang oleh Mayer disebut elementen
princip, atau yang oleh Van Hamel disebut grondbeginsel, yang
kedua-duanya dapat diterjemahkan dengan “asas dasar yang
menentukan” pada waktu mengadili seseorang yang dituduh
telah melakukan tindak pidana. Hakim tidak dibenarkan
memberlakukan undang-undang pidana lain kecuali yang berlaku
di negaranya sendiri. Tetapi sekarang orang harus mengakui
kenyataan bahwa sulit untuk memberlakukan asas dasar tadi
tanpa penyimpangan sedikitpun. Bagaimana caranya agar
pelakuntindak pidana itu dapat diadili oleh hakim seperti yang
dimaksud dalam asas dasar terdebut (memberlakukan undang-
undang negaranya sendiri?) untuk memecahkan persoalan
tersebut di dalam doktrin dikenal beberapa asas yang bias
disebut sebagai: “Asas-asas tentang berlakunya undang –undang
pidana menurut tempat”. Asas-asas tersebut adalah:
2.1.  Asas Territorial
Tercantum dalam Pasal 2 yang menyatakan: “ketentuan pidana
dalam Undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang
di alam wilayah Indonesia melakukan tindak pidana”.
Berdasarkan ketentuan pasal ini maka bagi setiap orang (baik
WNI maupun orang asing) yang melakukan tindak pidana di
wilayah Republik Indonesia, maka baginya dikenakan aturan
pidana yang dicantumkan dalam undang-undang Indonesia.
2.2. Asas Kebangsaan atau Asas Nasional Aktif atau Asas
Personal
Asas ini dapat pula disebut asas kepentingan nasional atau asas
personalitas. Asas ini tercantum pada Pasal 5 KUHP. Berdasarkan
pasal ini maka, bagi warga Negara Indonesia yang melakukan
tindak pidana di luar wilayah Indonesia yang menyangkut tentang
keamanan Negara, kedudukan Kepala Negara, penghasutan
untuk melakukan tindak pidana, tidak memenuhi kewajiban
militer, perkawinan melebihi jumlah yang ditentukan, dan
pembajakan, maka pelakunya dapat dituntut menurut aturan
pidana Indonesia oleh Pengadilan Indonesia. Kepentingan
nasional yang dipertahankan di sini adalah agar pelaku tindak
pidana yang warga negara Indonesia itu, walaupun peristiwanya
terjadi di luar Indonesia tidak diadili dan dikenakan hukum dari
Negara yempat terjadinya peristiwa itu.
2.3. Asas Perlindungan atau Asas Nasional Pasif
Asas ini juga disebut asas perlindungan (bescherming-beginsel).
Asas ini bertujuan melindungi wibawa dan martabat Negara
Indonesia dari tindakan orang jahat yang dilakukan oleh warga
Negara Indonesia maupun orang asing yang mengancam
kepentingan nasional Indonesia. Asas nasionalitas pasif in tidak
melihat kewarganegaraan dari pelaku, melainkan melihat pada
tindak pidana yang terjadi itu telah mengancam kepentingan
nasional (Indonesia).
2.4. Asas Persamaan atau Asas Universalitas
Asas ini melindungi kepentingan antar Negara tanpa melihat
kewarganegaraan pelakunya. Yang diperhatikan adalah
kepentingan Negara lain sebagai tempat dilakukannya suatu
tindak pidana tertentu.

A. Ajaran kausalitas dalam ilmu pengetahuan hukum pidana digunakan untuk menentukan
tindakan yang mana dari serangkaian tindakan yang dipandang sebagai sebab dari
munculnya akibat yang dilarang. Jan Remmelink, mengemukakan bahwa yang menjadi
fokus perhatian para yuris hukum pidana adalah apa makna yang dapat dilekatkan pada
pengertian kausalitas agar mereka dapat menjawab persoalan siapa yang dapat dimintai
pertanggungjawaban .atas suatu akibat tertentu
B. Pembagian / Macam Ajaran Kausalitas dibagi dalam Teori – teori serta Kitab Undang –
undang Hukum Pidana (KUHP)

1. Teori Conditio Sine Qua Non

Teori dari Von Buri (ahli hukum Jerman), teori ini tidak membedakan mana faktor syarat
yang mana faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan dalam suatu peristiwa
sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk menjadi penyebabnya. Oleh karena itu,
menurut teori ini, keensam faktor yang menjadi contoh, tidak ada yang merupakan menjadi
syarat semuanya menjadi penyebab.. semua faktor dinilai sama pengaruhnya. Tanpa salah
satu faktor tersebut, tidak akan terjadi akibat menurut waktu, dan tempat keadaan senyatanya
dalam peristiwa itu.

Dengan ajaran ini maka menjadi diperluasnya pertanggungan jawab dalam hukum pidana,
hal ini karena orang yang perbuatannya dari sudut objektif hanya sekedar syarat saja dari
timbulnya suatu akibat, misalnya pada contoh case diatas. Si pengemudi dinilai
bertanggungjawab.

Kelemahan ajaran ini ialah tidak membedakan antara faktor syarat dan faktor penyebab,
yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Pada contoh diatas si pengemudi mobil
dipertanggungjawabkan atas kematian bapak tadi, dipandang tidak adil, karena pada dirinya
tidak ada kesalahan (kesengajaan maupun kealpaan) dalam hal terjadinya peristiwa tadi, dan
artinya bertentangan dengan asas hukum pidana tiada pidana tanpa kesalahan.

Untuk mengatasi kelemahan teori ini maka Van Hammel melakukan penyempurnaan
dengan menambahkan ajaran tentang kesalahan. Bahwa tidak semua orang yang
perbuatannya menjadi salah satu faktor di antara rangkaian sekian faktor dalam suatu
peristiwa yang melahirkan akibat terlarang harus bertanggungjawab atas timbulnya akibat
itu, melainkan apabila pada diri si pembuat dalam mewujudkan tingkah lakunya itu terdapa
unsur kesalahan baik kesengajaan maupun keaalpaan.

2. Teori yang Mengindivualisir

Teori yang dalam usahanya mencari faktor penyebab dari tiombulnya suatu akibat dengan
hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapa setelah perbuatan dilakukan, dengan kata
lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya benar benar terjadi secara konkret. Menurut teori
ini setelah peristiwa terjadi maka di anatara sekian faktor yang terkait dalam peristiwa itu,
tidak semuanya merupaka faktor penyebab. Faktor penyebab itu adalah hanya beruipa faktor
yang paling berperan atau paling dominan atau mempunya andil yang paling kuat terhadap
timbulnya suatu akibat, sedangkan faktor lain dianggap sebagai faktor syarat saja dan bukan
faktor penyebab.

Menurut Birkmeyer tidak semua faktor yang tidak bisa dihilangkan dapat dinilai sebagai
faktor penyebab, melainkan hanya terhadap faktor yang menurut kenyataannya setelah
peristiwa itu terjadi secara konkret adalah merupakan faktor yang paling dominan atau paling
kuat pengaruhnya terhadap timbulnya akibat. Menurut pendapat ini pada contoh diatas,
faktor “serangan penyakit” jantunglah yang paling dominan peranannya terhadap kematian
itu.

Walaupun teori ini lebih baik dari teori sebelumnya, namun terdapat juga kelemahannya
berhubung ada dua kesulitan yaitu :

1. Dalam hal kriteria untuk menentukan faktor mana yang mempunyai pengaruh yang
paling kuat
2. Dalam hal apabila faktor yang dinilai paling kuat itu lebih dari satu dan sama kuat
pengaruhnya terhadap akibat yang timbul.

3. Teori yang Menggenaralisir


Teori yang dalam mencari sebab dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan
dengan timbulnya akibat adalah dengan melihat dan menilai pada faktor mana yang secara
wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya menimbulkan suatu akibat. Jadi
mencari penyebab dan menilainya tidak berdasarkan pada faktor setelah peristiwa terjadi
beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman pada umumya menurut akal dan kewajaran
manusia.

a. Teori Adequat Subjektif

Dipelopori oleh Von Kries yang menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor yang
menurut kejadian normal adalah adequat (sebanding) atau layak dengan akibat yang timbul,
yang faktor mana diketahui atau disadari oleh si pembuat sebagai adequat untuk
menimbulkan akibat. Jadi dalam teori ini faktor subjektif dan sikap batin sebelum si pembuat
berbuat adalah amat penting dalam menentukan adanya hubungan kausal.

Pada contoh diatas, maka pengendara mobil tidaklah dapat dipersalahkan atas kematian
bapak tadi, karena faktor menginjak rem yang menimbulkan suara slip tidak dapat
dibayangkan pada umumnya adequat untuk menimbulkan kematian.

b. Teori Adequat Objektif

Teori ini dipelopori oleh Rumelin, pada ajaran ini tidak memperlihatkan bagaimana sikap
batin si pembuat sebelum berbuat, akan tetapi pada faktor-faktor yang ada setelah peristiwa
beserta akibatnya terjadi, yang dapat dipikirkan secara akal (objektif) faktor-faktor itu dapat
menimbulkan akibat. Tentang bagaimana alam pikiran/sikap batin si pembuat sebelum ia
berbuat tidaklah penting, melainkan bagaimana kenyataan objektif setelah peristiwa terjadi
setelah akibatnya, apakah faktor tersebut menurut akal dapat dipikirkan untuk menimbulkan
akibat.

Perbedaan antara teori adequat subjektif dan objektif yang dikemukakan oleh Prof
Moeljatno, contohnya :
Seorang juru rawat telah dilarang oleh dokter untuk memberikan obat tertentu pada seorang
pasien, diberikan juga olehnya. Sebelum obat itu diberikan pada si pasien, ada orang lain
yang bermaksud membunuh si pasien dengan memasukkan racun pada obat itu yang tidak
diketahui oleh juru rawat. Karena meminum obat yang telah dimasukkan racun, maka racu
itu menimbulkan akibat matinya pasien.

Menurut ajaran adequat subjektif karena juru rawat tidak dapat membayangkan atau tidak
mengetahui perihal diamsukkannya racun, maka perbuatan meminumkan obat pada pasien
bukanlah penyebab kematian pasien. Perbuatan meminumkan obat dengan kematian, tidak
ada hubungan kausal.

Dipandang dari ajaran adequat objektif , karena perbuatan orang lain memasukkan racun ke
dalam obat tadi menjadi pertimbangan dalam upaya mencari penyebab matinya, walaupun
tidak diketahui oleh juru rawat, perbuatan juru rawat yang meminumkan obat yang
mengandung racun adalah adequat terhadap matinya, karenanya itu ada hubungan kausal
dengan akibat kematian pasien.

C.

Anda mungkin juga menyukai