A. Ajaran kausalitas dalam ilmu pengetahuan hukum pidana digunakan untuk menentukan
tindakan yang mana dari serangkaian tindakan yang dipandang sebagai sebab dari
munculnya akibat yang dilarang. Jan Remmelink, mengemukakan bahwa yang menjadi
fokus perhatian para yuris hukum pidana adalah apa makna yang dapat dilekatkan pada
pengertian kausalitas agar mereka dapat menjawab persoalan siapa yang dapat dimintai
pertanggungjawaban .atas suatu akibat tertentu
B. Pembagian / Macam Ajaran Kausalitas dibagi dalam Teori – teori serta Kitab Undang –
undang Hukum Pidana (KUHP)
Teori dari Von Buri (ahli hukum Jerman), teori ini tidak membedakan mana faktor syarat
yang mana faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan dalam suatu peristiwa
sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk menjadi penyebabnya. Oleh karena itu,
menurut teori ini, keensam faktor yang menjadi contoh, tidak ada yang merupakan menjadi
syarat semuanya menjadi penyebab.. semua faktor dinilai sama pengaruhnya. Tanpa salah
satu faktor tersebut, tidak akan terjadi akibat menurut waktu, dan tempat keadaan senyatanya
dalam peristiwa itu.
Dengan ajaran ini maka menjadi diperluasnya pertanggungan jawab dalam hukum pidana,
hal ini karena orang yang perbuatannya dari sudut objektif hanya sekedar syarat saja dari
timbulnya suatu akibat, misalnya pada contoh case diatas. Si pengemudi dinilai
bertanggungjawab.
Kelemahan ajaran ini ialah tidak membedakan antara faktor syarat dan faktor penyebab,
yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Pada contoh diatas si pengemudi mobil
dipertanggungjawabkan atas kematian bapak tadi, dipandang tidak adil, karena pada dirinya
tidak ada kesalahan (kesengajaan maupun kealpaan) dalam hal terjadinya peristiwa tadi, dan
artinya bertentangan dengan asas hukum pidana tiada pidana tanpa kesalahan.
Untuk mengatasi kelemahan teori ini maka Van Hammel melakukan penyempurnaan
dengan menambahkan ajaran tentang kesalahan. Bahwa tidak semua orang yang
perbuatannya menjadi salah satu faktor di antara rangkaian sekian faktor dalam suatu
peristiwa yang melahirkan akibat terlarang harus bertanggungjawab atas timbulnya akibat
itu, melainkan apabila pada diri si pembuat dalam mewujudkan tingkah lakunya itu terdapa
unsur kesalahan baik kesengajaan maupun keaalpaan.
Teori yang dalam usahanya mencari faktor penyebab dari tiombulnya suatu akibat dengan
hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapa setelah perbuatan dilakukan, dengan kata
lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya benar benar terjadi secara konkret. Menurut teori
ini setelah peristiwa terjadi maka di anatara sekian faktor yang terkait dalam peristiwa itu,
tidak semuanya merupaka faktor penyebab. Faktor penyebab itu adalah hanya beruipa faktor
yang paling berperan atau paling dominan atau mempunya andil yang paling kuat terhadap
timbulnya suatu akibat, sedangkan faktor lain dianggap sebagai faktor syarat saja dan bukan
faktor penyebab.
Menurut Birkmeyer tidak semua faktor yang tidak bisa dihilangkan dapat dinilai sebagai
faktor penyebab, melainkan hanya terhadap faktor yang menurut kenyataannya setelah
peristiwa itu terjadi secara konkret adalah merupakan faktor yang paling dominan atau paling
kuat pengaruhnya terhadap timbulnya akibat. Menurut pendapat ini pada contoh diatas,
faktor “serangan penyakit” jantunglah yang paling dominan peranannya terhadap kematian
itu.
Walaupun teori ini lebih baik dari teori sebelumnya, namun terdapat juga kelemahannya
berhubung ada dua kesulitan yaitu :
1. Dalam hal kriteria untuk menentukan faktor mana yang mempunyai pengaruh yang
paling kuat
2. Dalam hal apabila faktor yang dinilai paling kuat itu lebih dari satu dan sama kuat
pengaruhnya terhadap akibat yang timbul.
Dipelopori oleh Von Kries yang menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor yang
menurut kejadian normal adalah adequat (sebanding) atau layak dengan akibat yang timbul,
yang faktor mana diketahui atau disadari oleh si pembuat sebagai adequat untuk
menimbulkan akibat. Jadi dalam teori ini faktor subjektif dan sikap batin sebelum si pembuat
berbuat adalah amat penting dalam menentukan adanya hubungan kausal.
Pada contoh diatas, maka pengendara mobil tidaklah dapat dipersalahkan atas kematian
bapak tadi, karena faktor menginjak rem yang menimbulkan suara slip tidak dapat
dibayangkan pada umumnya adequat untuk menimbulkan kematian.
Teori ini dipelopori oleh Rumelin, pada ajaran ini tidak memperlihatkan bagaimana sikap
batin si pembuat sebelum berbuat, akan tetapi pada faktor-faktor yang ada setelah peristiwa
beserta akibatnya terjadi, yang dapat dipikirkan secara akal (objektif) faktor-faktor itu dapat
menimbulkan akibat. Tentang bagaimana alam pikiran/sikap batin si pembuat sebelum ia
berbuat tidaklah penting, melainkan bagaimana kenyataan objektif setelah peristiwa terjadi
setelah akibatnya, apakah faktor tersebut menurut akal dapat dipikirkan untuk menimbulkan
akibat.
Perbedaan antara teori adequat subjektif dan objektif yang dikemukakan oleh Prof
Moeljatno, contohnya :
Seorang juru rawat telah dilarang oleh dokter untuk memberikan obat tertentu pada seorang
pasien, diberikan juga olehnya. Sebelum obat itu diberikan pada si pasien, ada orang lain
yang bermaksud membunuh si pasien dengan memasukkan racun pada obat itu yang tidak
diketahui oleh juru rawat. Karena meminum obat yang telah dimasukkan racun, maka racu
itu menimbulkan akibat matinya pasien.
Menurut ajaran adequat subjektif karena juru rawat tidak dapat membayangkan atau tidak
mengetahui perihal diamsukkannya racun, maka perbuatan meminumkan obat pada pasien
bukanlah penyebab kematian pasien. Perbuatan meminumkan obat dengan kematian, tidak
ada hubungan kausal.
Dipandang dari ajaran adequat objektif , karena perbuatan orang lain memasukkan racun ke
dalam obat tadi menjadi pertimbangan dalam upaya mencari penyebab matinya, walaupun
tidak diketahui oleh juru rawat, perbuatan juru rawat yang meminumkan obat yang
mengandung racun adalah adequat terhadap matinya, karenanya itu ada hubungan kausal
dengan akibat kematian pasien.
C.