Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan
yang mendesak, kebutuhan pemuas diri dan bahkan kadang-kadang karena keinginan atau
desakan untuk mempertahankan status diri. Secara umum kebutuhan setiap manusia itu
akan dapat dipenuhi, walaupun tidak seluruhnya, dalam keadaan yang tidak memerlukan
desakan dari dalam atau orang lain. Terhadap kebutuhan yang mendesak  pemenuhanya
dan harus dipenuhi dengan segera biasanya sering dilaksanakan tanpa  pemikiran matang
yang dapat merugikan lingkungan atau manusia lain. Hal seperti itu akan menimbulkan
suatu akibat negatif yang tidak seimbang dengan suasana dari kehidupan yang bernilai
baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan kehidupan yang  bernilai baik itu di
perlukan suatu pertanggung jawaban dari pelaku yang berbuat sampai ada
ketidakseimbangan dan pertanggung jawaban yang wajib dilaksanakan oleh  pelakunya
berupa pelimpahan ketidak enakan masyarakat supaya dapat dirasakan juga  penderitaan
atau kerugian yang dialami. Pemberi pelimpahan dilakukan oleh individu atau sekelompok
orang yang berwenang untuk itu sebagai tugas yang diberikan masyarakat kepadanya.
Sedangkan penerima limpahan dalam mempertanggung jawabkan  perbuatanya
pelimpahan itu berupa hukuman yang disebut “dipidanakan”.

Jadi bagi seseorang yang dipidanakan berarti dirinya menjalankan suatu hukuman
untuk mempertanggung jawabkan perbuatanya yang dinilai kurang baik dan
membahayakan kepentingan umum. Pernyataan ini dikehendaki berlakunya oleh
kehidupan sosial dan agama. Kalau ada orang yang melanggar pernyataan ini baik dengan
ucapan maupun dengan kegiatan anggota fisiknya, maka ia akan dikenakan sanksi. Hanya
saja yang dapat dirasakan berat adalah sanksi hukum pidana, karena merupakan
pelaksanaan pertanggung  jawaban dari kegiatan yang kerjakan dan wujud dari sanksi
pidana itu sebagai sesuatu yang dirasa adil oleh masyarakat.

B. Rumusan Masalah

1. apakah yang dimaksud dengan Azas nullmum delictum?


2. Apakah yang dimaksud dengan locus delicti?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Azas Nullum Delictum
Pasal 1 KUHP berbunyi : (1) “tiada suatu perbuatan boleh dipidana, melainkan atas
kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada lebih dahulu dari pada
perbuatan itu. (2) jika undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka
kepada terdakwa dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya”.
Dalam pasal 1 ayat (1) itu tercantum suatu azas perundang-undangan hukum pidana
modern yang penting, yang menuntut, bahwa ketentuan-ketentuan pidana harus
ditetapkan dalam undang-undang yang syah, yang berarti bahwa larangan-larangan hanya
menuntut adat saja, tidak berlaku untuk menghukum orang; selanjutnya ketentuan itu
menuntut pula, bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang tidak dapat dikenakan
kepada perbuatan yang telah dilakukan sebelum ketentuan pidana tentang perbuatan itu
diadakan terlebih dahulu dalam undang-undang yang syah. Oleh karena itu pada
umumnya undang-undang tidak dapat berlaku surut. Dalam bahasa asing azas itu biasa
dikatakan : “Nullum delictum nulla poena sine preaevia lege poenali”, artinya : “Peristiwa
pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih
dahulu”.
Menurut pasal 1 ayat (1) itu maka supaya seseorang dapat dipidana harus dipenuhi
syarat-syarat :
a. Harus ada norma hukum pidanayang tertentu seperti telah kita ketahui dimuka,
suatu norma hukum pidana yang disebut juga tindak pidana atau peristiwa
pidana, adalah suatu aturan yang mengandung ancaman pidana terhadap
pelanggarnya;
b. Norma hukum pidana itu harus berdasarkan suatu undang-undang, artinya suatu
peraturan undang-undang yang dikeluarkan oleh suatu instansi yang berwenang
untuk itu, suatu instansi yang berwenang untuk membentuk suatu undang-
undang dalam arti yang luas (badan legislatif, baik pusat maupun daerah). Oleh
karena undang-undang pidana itu harus berbentuk suatu undang-undang, maka
seorang pun tidak dapat dipidana untuk suatu perbuatan tertentu karena suatu
peraturan yang bersumber pada hukum adat pun tidak diperbolehkan untuk
menghukum suatu perbuatan tertentu dengan jalan tafsiran analogis tentang
suatu undang-undang hukum pidana tertentu, sebab dengan cara demikian orang

2
akan dihukum untuk suatu perbuatan yang tidak dinyatakan dengan tegas,
bahwa dapat dihukum;
c. Norma hukum pidana itu harus telah berlaku sebelum perbuatan itu terjadi.
Seperti telah dikatakan diatas dalam hal ini terkandung suatu azas yang penting.
Undang-undang itu hanya berlaku untuk masa akan datang dan tidak berlaku
surut.

Azas nullim delictum itu timbulnya sesudah jaman revolusi Perancis 1789 yaitu
usaha melindungi individu terhadap perlakuan sewenang-wenang dari pihak peradilan
arbiter yang menghukum orang tidak dengan peraturan pidana terlebih dahulu. Yang
melakukan tantangan sehebat-hebatnya terhadap peradilan itu adalah Montesquieu,
dituntutnya, bahwa hakim tidak boleh menghukum sebelumnya ada ketentuan pidana
terlebih dahulu. Jika azas ketata-negaraan “trias politika” dari Montesquieu itu tujuannya
melindungi kemerdekaan dan pribadi individu terhadap tindakan sewenang-wenang dari
pihak pemerintah negara, maka azas nullum delictum itu bertujuan yang sesuai, yaitu
melindungi individu dalam bidang pengadilan terhadap tindakan sewenang-wenang dari
pihak peradilan.

Oleh Mr. Drs. E. Utrecht dalam bukunya “Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana”
halaman 194 dikemukakan beberapa keberatan terhadap azas nullum delictum ini
“pertama-tama bahwa nullum delictum ini kurang melindungi kepentingan-kepentingan
kolektip. Akibat azas nullum delictum itu hal hanyalah dapat dihukum mereka yang
melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum disebut secara tegas sebagai suatu
pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu
perbuatan yang pada hakekatnya merupakan kejahatan, tetapi tidak disebut oleh hukum
sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, tinggal tidak dihukum. Azas nullum delictum
itu menjadi suatu halangan bagi hukum pidana menghukum seorang yang melakukan
suatu perbuatan yang biarpun tidak “strafbaar” masih juga”strafwaardig”. Sekarang sudah
menjadi kenyataan terang, bahwa terutama dalam lapangan ekonomi dan perniagaan
jumlah penjahat yang tidak dapat dihukum makin lama, makin besar. Hal itu oleh karena
hukum belum meliputi lapangan ekonomi dan perniagaan tersebut. Bukankah pada waktu
sekarang di Indonesia terdapat suatu masyarakat yang sedang bergolak secara cepat?
Bukankah, diketahui pula hal sering pembuat undang-undang terbelakang pada
perkembangan masyarakat? Apalagi di Indonesia yang mempunyai suatu masyarakat yang
bergolak secara revolusioner? Sudah tentulah, sebabnya ada orang jahat tidak dituntut dan

3
dihukum, maka perdamaian dalam masyarakat itu menjadi terancam. Oleh sebab itu maka
kolektivitas akan ditempatkan dibawah ancaman mendapat kerugian!

Penghargaan kita terhadap azas nullum delictum itu ditentukan menurut


pertimbangan antara dua hal, yang menjadi latar belakang “De strijd om het strafrecht”:

a. Kemerdekaan dari pribadi individu


b. Kepentingan kolektivitas (masyarakat)

Dari apa yang diuraikan diatas kita tahu, bahwa azas nullum delictum itu dilahirkan
pada suatu zaman yang mengenal puncak perkembangan anggapan individualistis terhadap
hukum dan hukuman, yaitu dilahirkan pada zaman “Aufklarung”. Azas nullum delictum
itu memberi jaminan penuh bagi kemerdekaan diri pribadi individu, dan sudah tentu
mereka yang masih tetap mempunyai pandangan individualistis terhadap hukum pidana
dan hukuman dapat menerima azaz nulum delictumsepenuh-penuhnya.
Terang sekalilah, bagi siapa yang mengutamakan kepentingan kolektivitas sangat
sukarlah untuk mempertahankan azas nulum delictum. Pemerintah Indonesia sekarang ini
mempertahankan prinsip “Nullum Delictum”. Sekarang apakah maksud ketentuan yang
tersebut dalam ayat (2) dari pasal 1 K.U.H.P. itu?
Maksudnya ialah apabila peristiwa pidana dilakukan sebelum ketentuan pidana
mengenai peristiwa itu diubah dan diadili sesudah perubahanitu diadakan, sehingga
peristiwa pidana itu dapat dikenakan oleh dua macam ketentuan pidana, ialah yang lama
(sebelum diubah) dan yang baru (sesudah diubah), maka hakim harus menyelidiki terlebih
dahulu ketentuan pidana manakah yang lebih menentukan pada terdakwa, yang lama
ataukah yang baru. Bila yang lama lebih menguntungkan, maka yang lama itulah yang
dipakai, sebaliknya apabila yang barulah yang menguntungkan, maka yang barulah yang
dipakai. Lebih menguntungkan itu artinya lebih menguntungkan sesudah ditinjau dari
semua sudut hukum, misalnya baik mengenai berat ringannya hukuman, maupun
mengenai salah tidak salahnya terdakwa dan sebagainya. Jika ada kejahatan seorang telah
berbuat suatu yang melanggar undang-undang pidana, sedangkan pada kemudian hari
sebelum peristiwa pidana itu diputus oleh hakim, undang-undang itu diubah demikian rupa
sehingga perbuatan yang semacam itu tidak dilarang lagi, maka orang itu, berdasar atas
ketentuan ayat (2) dari pasal 1 K.U.H.P tadi, tidak dapat dipidana.
Bukankah disini undang-undang yang baru itu lebih menguntungkan terdakwa,
sehingga undang-undang itulah yang dipakai. Oleh karena itu disini nampak pula, bahwa

4
undang-undang yang baru itu dapat berkaku surut, dan hal ini sebenarnya adalah suatu
kecualian terhadap prinsip yang diletakkan dalam ayai (1).
Apah yang dimaksud dengan “perubahan dalam undang-undang” yang tersebut dalam
ayat (2) dari pasal 1 K.U.H.P itu?
1. Teori formil, yang mengatakan bahwa “perubahan dalam undang-undang barulah
ada, jika ada perubahan dalam undang-undang pidana. Perubahan dalam undang-
undang hukum perdata misalnya tidak masuk dalam pengertian ini. Teori ini
dianut oleh Prof. Simons, tetapi ditolak oleh Hoge Raad di Negeri Belanda.
2. Teori materiil, yang mengatakan bahwa “perubahan dalam undang-undang itu
ada, jika ada perubahan-perubahan yang sesuai dengan perubahan perasaan
hukum, jadi tidak hanya perubahan dalam undang-undang pidana saja, tetapi juga
perubahan-perubahan dalam undang-undan perdata.

Sebagaimana telah diterangkan diatas, maka dengan adanya azas nullum delictum
dalam hukum pidana, orang tidak dapat dihukum karena melanggar larangan adat saja,
akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa hakim tidak diperkenankan sama sekali dalam
memutus perkara pidana, memakai hukum adat, oleh karena yang tidak diperkenankan itu
adalah hukum perdata adat diperbolehkan, bahkan didalam hukum pidana pun, apabila ia
menyelidiki soal melawan hak atau tidak, acap kali harus mempergunakan hukum adat.

Pasal 2 K.U.H.P menerangkan, bahwa ketentuan pidana dalam UUD Indonesia


berlaku bagi tiap orang yang dalam Indonesia melakukan suatu perbuatan yang dapat
dihukum.

B. Locus Delicti
Pembahasan mengenai locus delicti diperlukan karena hal ini berhubungan
dengan Pasal 2-9 KUHP yaitu menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku
terhadap tindak pidana atau tidak. Selain itu, locus delicti juga akan menentukan
pengadilan mana yang memiliki wewenang terhadap kasus tersebut dan hal tersebut
berhubungan dengan kompetensi relatif. Ada beberapa teori mengenai locus delicti, untuk
menentukan di mana tempat terjadinya perbuatan pidana. Teori-teori tersebut menyangkut
tempat di mana perbuatan dilakukan secara personal, teori tentang instrument dan teori
tentang akibat.
a) Teori tentang di mana perbuatan dilakukan secara personal

5
Tempat terjadinya perbuatan yang dimaksud dalam teori ini adalah tempat di
mana perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman, dilakukan. Menurut
teori ini, jika seorang pelaku menikam korbannya di Jakarta, setelah terjadi penikaman
tersebut si korban pulang ke Bogor dan di sana ia mati, maka meskipun akibatnya
(matinya korban) terjadi di Bogor, yang dianggap sebagai tempat dilakukannya
perbuatan adalah Jakarta.
b) Teori tentang alat atau instrument yang digunakan
Tempat kejahatan dilakukan yang dimaksud dalam teori ini, adalah tempat di
mana alat atau instrument yang digunakan untuk melakukan kejahatan menimbulkan
akibat. Jika seorang pelaku mengirimkan makanan beracun dari Jakarta ke Bandung
untuk seseorang, kemudian orang tersebut (korban) memakan makanan beracun
tersebut dan ia mati maka, yang dianggap sebagai tempat terjadinya kejahatan adalah
Bandung. Hal ini karena alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan (makanan
beracun) menimbulkan akibat, yaitu matinya korban.
c) Teori tentang akibat
Menurut teori ini yang dianggap sebagai tempat dilakukannya tindak pidana
adalah tempat di mana suatu kejahatan menimbulkan akibat perbuatan. Dengan
demikian, yang dianggap sebagai tempat terjadinya perbuatan dalam contoh pada point
(a) adalah Bogor dikarenakan di tempat tersebut akibat dari perbuatan (penikaman)
terjadi, yaitu matinya korban. Kekuasaan berlakunya undang-undang pidana dapat
dilihat dari dua sisi, yang bersifat negatif dan yang bersifat positif. Untuk yang bersifat
negatif berlakunya undang-undang, dilihat menurut waktu sesuai yang tercantum
dalam Pasal 1 KUHP.21 Sedangkan dari segi positif, berlakunya undang-undang
dilihat dari segi tempat seperti diatur dalam Pasal 2 sampai 9 KUHP yang memuat
empat asas yaitu, asas teritorial, asas nasional aktif, asas nasional pasif dan asas
universal.

“tiap orang” berarti siapa juga, baik warga negara sendiri, maupun orang asing,
dengan tidak membedakan kelamin atau agama, kedudukan atau pangkat yang berbuat
tindak pidana didalam wilayah republik Indonesia. Dalam hal ini sesuai dengan bunyi
pasal 9 K.U.H.P, dikecualikan orang-orang bangsa asing yang menurut hukum
internasioanal diberi hak “exterrito rialiteit” tidak boleh diganggun gugat, sehingga
ketentuan pidana Indonesia tidak berlaku padanya dan mereka ini hanya tunduk kepada
UU pidana negaranya sendiri. Mereka itu ialah:

6
a. Para kepala negara asing yang berkunjung di Indonesia dengan setahu pemerintah
kita;
b. Para korps diplomatik negara-negara asing seperti Ambas Sador duta istimewa, duta
dan charge d’Affaires;
c. Para konsul seperti konsul jenderal, wakil konsul dan agen konsul apabila memang
ada perjanjian anatara pemerintah ndonesia dengan negara asing yang saling
mengakui adanya hak tidak boleh diganggu gugat (immunitas diplomatik) untuk para
konsul negaranya masing-masing;
d. Pasukan tentara asing dan para anak buah kapal-kapal perang asing yang ada dibawah
pimpinan langsung dari komandannya, yang datang di Indonesia atau melalui wilayah
Indonesia dengan setahu pemerintaah kita;
e. Para wakil dari badan-badan international seperti para utusan perserikatan bangsa-
bangsa, palang merah international dan lain-lain.

Selain dari pada itu diakui, bahwa hak “exterritorialiteil” itu meliputi pula kepada
para anggota keluarga yang mengikuti mereka itu, para anggota kedutaan seperti attase,
attase kehormatan, attase militer dan lain-lain beserta anggota keluarganya dan para
pegawai kedutaan seperti sekretaris, kanselir, juru bahasa, kurir, tukang tik, sopir,
pegawai dan sebagainya.
Suatu kejahatan dilakukan diluar laut territorial, ditengah-tengah “lautan bebas” tidak
dapat dihukum, sehingga oleh karena itu orang yang akan membunuh musuhnya hanya
tinggal pergi saja dengan musuhnya kelautan bebas tersebut, asal tidak memakai kapal
(perahu) di Indonesia. Indonesia yang menurut pasal 3 K.U.H.P dipandang sebagai
wilayah Indonesia.
Didalam praktenya kadang-kadang tidak mudah untuk menentukan tempat yang
manakah yang harus dipandang sebagai tempat peristiwa pidana itu dilakukan, yang biasa
disebut “locus dilicti”.
Tentang hal ini Mr. E Utrecht dalam bukunya “Rangkaian sari kuliah Hukum pidana
1” memberikan uaraian yang pokoknya antara lain dapat diutarakan sebagai berikut:
Locus delicti itu menjadi satu persoalan apabila pembuat dan penyelesaian delik
tidakberada ditempat yang sama. Misalnya seorang mengirimkan suatu bom waktu
kepada lawannya dikota lain. Bom waktu itu meletus ditempat lawan tersebut. Timbul
pertanyaan dimanakah yang menjadi locus delicti? Tempat kediaman pembuat atau
tempat kediaman korban?

7
Jawaban atas pertanyaan dimanakah suatu delik dilakukan itulah penting untuk dua
hal:
1. Menentuksn berlakunya Undang-Undang pidana nasional dalam hal konkrit, dan
2. Menyelesaikan tentang kompetensi relatip hakim yang akan mengadilinya.

Agar supaya dapat menyelesaikan persoalan tentang locus delicti itu maka oleh ilmu
hukum pidana bersama-sama dengan yurisprudensi hukum pidana telah dibahas dan
dibuat tiga macam teori, ialah:

a. Teori perbuatan materil (leer van de lichamelijke daad), Menurut teori ini yang
menjadi locus delicti ialah tempat dimana pembuat melakukan segala yang
kemudian dapat mengakibatkan delik yang bersangkutaan.Pendapat ini dianut oleh
Hoge Raat di Negeri Belanda dalam keputusannya 16 Oktober 1899 No.7347.
Tetapi kemudian ternyata, bahwa teoti ini tidak dapat membawa penyelesaian
dalam hal sebagai berikut: pada waktu perang dunia ke satu (1914-1918) oleh
negeri Belanda dilarang untuk memasukan kuda kedalam wilayah negara Jerman.
Tetapi seorang penyelundup tahu akal ia menyeberangi perbatasan antara negeri
Belanda dan Jerman, sedangkan kuda yang hendak dimasukkannya ditinggalkan
dinegeri Belanda sangat dekat diperbatasan tersebut. Dengan suatu tali ia menarik
kuda itu kedalam wilayah negeri jerman. Dimuka hakim dikatakan oleh
penyelundup, bahwa ia tidak dapat dihukum oleh karena pada waktu ia menarik
kuda itu, ia berada diwilayah negeri Jerman. Hoge raat tidak dapat membenarkan
pendapat itu dan mengatakan, bahwa dapat pula terjadi dengan memakai alat-alat
orang dapat berbuat sesuatu ditempat lain dari pada tempat ia berada.

Dengan demikian maka penyelundup itu dengan surat keputusan Hoge Raat 6 April
1915 diputuskan salah. Ini berarti bahwa Hoge Raat menambah pendapatnya yang
terdahulu dengan teori baru yang dinamakan :

b. Teori alat yang dipergunakan (leer van het instrument) yang mengatakan, bahwa
delik dilakukan ditempat mana alat yang dipergunakan itu menyelesaikannya,
dengan lain perkataan yang menjadi locus delicti ialah tempat dimana ada
“uitwerking” alat yang dipergunakan.
c. Teori akibat (leer van her gevolg) kadang-kadang juga teori alat yang
dipergunakannya, tidak dapat memberi penyelesaian yang dikehendaki, karena
tidak semua peristiwa pidana dilakukan dengan mempergunakan alat. Maka dari itu

8
oleh ilmu hukum pidana dibuat lagi suatu tambahan. Tambahan ini adalah teori
akibat. Menurut teori ini maka yang menjadi locus delicti ialah tempat akibat dari
perbuatan itu terjadi. Teoriakibat ini membawa keuntungan misalnya dalam hal
penipuan.

Prinsip yang termasuk dalam ketentuan pasal 2 K.U.H.P ini adalah yang biasa
dinamakan prinsip territorial. Prinsip ini diperluas dengan pasal 3 K.U.H.P yang
menentukan, bahwa ketentuan pidana Indonesia juga berlaku diluar wilayah Indonesia,
asal dilakukan dalam kapal Indonesia. Yang diartikan perahu atau kapal Indonesia
menurut pasal 95 K.U.H.P yaitu perahu atau kapal yang menurut undang-undang umum
tentang pemberian surat laut atau pas kapal harus mempunyai surat laut atau pas kapal
di Indonesia.

Bila telah tiba waktunya berhubung dengan tambah ramainya lalu-lintas udara di
Indonesia tentu nanti akan menentukan bahwa udara Indonesia juga sebagai wilayah
Indonesia.

Pasal 4 K.U.H.P menentukan, bahwa undang-undang pidana Indonesia berlaku


juga bagi setiap orang, yang diluar Indonesia melakukan salah satu dari pada kejahatan-
kejahatan dalam pasal-pasal 104-108, 110,111 bis dsb, yang tersebut dalam pasal itu.

Pasal ini meninggalkan prinsip territorial dan menerima prinsip oportunitas atau
prinsip nasional pasip yang melindungi kepentingan keselamatan negara dan keuangan
negara Indonesia juga diluar negeri, sedangkan yang tersebut dalam pasal 4 sub 4
K.U.H.P yang menghukum pembajakan dilaut juga diluar wilayah Indonesia itu
didasarkan atas prinsip unirersalitas yang melindungi kepentingan internasional.

Pasal 5 K.U.H.P menetukan, bahwa undang-undang pidana Indonesia berlaku pada


warga negara Indonesia yang diluar Indonesia melakukan pertama pasal-pasal yang
tersebut dalam ayat 1 sub 1, sedangkan kedua yang melakukan suatu perbuatan yang
dipandang sebagai kejahatan menurut ketentuan pidana dalam undang-undang
Indonesia dan boleh dihukum menurut undang-undang dari negara dimana perbuatan
itu dilakukan. Pasal ini berdasarkan prinsip nasionalitaas aktip atau prinsip personalitas.

Pasal 7 K.U.H.P menentukan, bahwa pegawai negeri yang melakukan kejahatan-


kejahatan dalam jabatan tersebut bab XXVII buku ke-II, walaupun diluar negeri dapat
dikenakan undang-undang pidana Indonesia, sedangkan pasal 8 K.U.H.P menentukan,

9
bahwa nahkoda dan penumpang perahu atau kapal Indonesia yang melakukan kejahatan
dan pelanggaran pelayaran sebagai mana tersebut dalam Bab XXIX buku ke-II dan Bab
IX buku ke- III, dapat dikenakan undang-undang pidana Indonesia walaupun diluar
negeri.

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Pasal 1 ayaat (1) KUHP : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas
kekuatan aturan pidanadalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan
dilakukan”. Dalam hukum pidana dikenal azas nullum delictum, yakni azaz yang
menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika
tidak ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang.

Locus delicti berarti lokasi atau tempat, secara istilah yaitu berlakunya hukum
pidana yang dilihat dari segi lokasi terjadinya perbuatan pidana. Agar supaya dapat
menyelesaikan persoalan tentang locus delicti itu maka oleh ilmu hukum pidana bersama-
sama dengan yurisprudensi hukum pidana telah dibahas dan dibuat tiga macam teori,
ialah: Teori perbuatan materil (leer van de lichamelijke daad), Teori alat yang
dipergunakan (leer van het instrument), Teori akibat (leer van her gevolg).

B.Saran

Dengan selesainya penulisan makalah ini, penulis mengharapkan kepada pembaca


agar dapat memilih manfaat yang tersirat didalamnya dan dapat dijadikan sebagai motivasi
agar tidak terjerumus oleh hal-hal yang merugikan orang lain serta dapat menambah
wawasan dan pemikiran yang intelektual hususnya pada mata kuliah “Hukum Pidana”.

11
DAFTAR PUSTAKA

https://butew.com

legalstudies71.blogspot.com

https://masalahukum.wordpress.com

https://www.referensimakalah.com

12

Anda mungkin juga menyukai