Disusun Oleh :
1. M. Agus Syaiful Umam (221102020011)
2. Iflahatul Fikria (221102020029)
3. Syah Atikah (221102020032)
I
KATA PENGANTAR
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap tatanan hukum pasti memiliki asas hukum yang menjadi norma dasar
dan menjadi petunjuk arah dalam pembentukan suatu aturan hukum. Untuk itu, sebagai
warga Negara yang baik, minimal kita harus memahami tentang asas hukum ini.
Terutama asas hukum yang ada di Negara kita (Indonesia).
Asas hukum merupakan dasar-dasar (bersifat umum) yang terkandung dalam
peraturan hukum. Dasar-dasar ini mengandung nilai-nilai etis yang diakui oleh suatu
masyarakat. Dari asas hukum ini kemudian dibuat peraturan-peraturan hukum secara
konkrit. Jika asas hukum ini sudah dibuat dalam peraturan hukum hukum yang nyata,
maka baru bias digunakan untuk mengatur suatu peristiwa. Namun jika belum dibuat
dalam sebuah bentuk peraturan hukum yang nyata, maka belum bisa digunakan atau
diterapkan dalam sebuah peristiwa.
Maka berikut ini akan kita bahas mengenai asas-asas hukum pidana, agar kita
bias mengetahui prinsip-prinsip dalam hukum pidana itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Asas Legalitas?
2. Apa yang dimaksud Asas Teritorial?
3. Apa yang dimaksud Asas Nasional Aktif?
4. Apa yang dimaksud Asas Universal?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu Asas Legalitas
2. Mengetahui apa itu Asas Teritorial
3. Mengetahui apa itu Asas Nasional Aktif
4. Mengetahui apa itu Asas Universal
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asas Legalitas
1. Arti dan Makna Asas Legalitas
Asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “tiada
suatu perbuatan yang boleh dihukum,melainkan atas kekuatan ketentuan pidana
dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari perbuatan itu. Asas legalitas
(the principle of legality) yaitu asas yang menentukan bahwa tiap-tiap peristiwa
pidana (delik/tindak pidana) harus diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan undang-
undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada atau berlaku
sebelum orang itu melakukan perbuatan. Setiap orang yang melakukan delik
diancam dengan pidana dan harus mempertanggungjawabkan secara hukum
perbuatannya tersebut. 1
Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan memberikan sifat perlindungan
pada undang-undang pidana yang melindungi rakyat terhadap pelaksanaan
kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Ini dinamakan fungsi melindungi,
undang-undang pidana. Undang-undang hukum pidana juga memiliki fungsi
minstrumental, yaitu di dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang,
pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah secara tegas diperbolehkan.
Anselm Von Feuerbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman,
sehubungan dengan kedua fungsi itu, merumuskan asas legalitas secara mantab
dalam bahasa latin:
➢ Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut
undang-undang.
➢ Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana
➢ Nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana
menurut undang-undang.2
Rumusan tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat, yaitu nullum delictum,
nulla poena sine praevia lege poenali.Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak
6
penguasa.
2. Berhubungan dengan teori paksaan psikis dan aselmen Von Feuerbach,
bahwa si calon pelaku tindak pidana akan terpengaruhi jiwanya, motif
untuk berbuat tindak pidana akan direkan, apabila ia mengetahui bahwa
perbuatannya akan mengakibatkan pemindanaan terhadanya.
7
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka Hlm.278
8
5. sekretaris jenderal PBB
6. Anggota delegasi negara asing yang sedang dalam perjalanan menuju sidang
PBB, dan singgah di Indonesia
hak eksteritorial diakui dalam pasal 9 KUHP
b. Hak Immuniteil-Parlementair (Hak Kekebalan)
Para anggota MPR dan DPR pusat dan DPR daerah serta para menteri juga
tidak dikenakan hukuman (Pidana) untuk segala apa yang dikatakannya (dan
tulisan-tulisan mereka) di dalam gedung Parlemen. mereka ini mempunyai hak
Imuniteit-Parlementair.
Hak ini tak diatur dalam kuhp tetapi diatur dalam hukuman tata negara
(Ketetapan MPR No.1/MPR/1983 dan Undang-Undang No.13 Tahun 1970).8
Jika rumusan ini dihubungkan dengan uraian diatas, maka akan diperoleh unsur
sebagai berikut:
1. Undang-undang (ketentuan pidana) Indonesia berlaku di wilayah Indonesia
2. Orang/pelaku berada di Indonesia
3. Suatu tindak pidana terjadi di wilayah Indonesia. 9
Persamaan dari tiga unsur diatas adalah, semuanya di wilayah Indonesia. jelas
bahwa yang diutamakan adalah wilayah yang berarti mengutamakan asas terotorial.
Jadi apabila pencurian dilarang di wilayah Indonesia, dan semisal si X yang berada di
Indonesia melakukan pencurian di wilayah Indonesia, maka telah terpenuhi ketentuan
Pasal 2 KUHP.
8 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka Hlm.278
9 Ibid,Hlm 69
9
berlaku bagi warganegara Indonesia yang melakukan kejahatan (tertentu) di luar
Indonesia.
Untuk dapat menuntut warga negara kita di luar negeri maka diperlukan dulu
penyerahannya oleh negara asing yang bersangkutan kepada kita mengenai penyerahan
akan dibicarakan kemudian. 10
Asas Nasional aktif asas ini merupakan penegasan dari pada asas teritorialitas.
Dengan demikian yang dimaksud dengan asas nasional aktif ialah asas yang
memberlakukan KUHP terhadap orang-orang Indonesia yang melakukan pidana diluar
wilayah Republik Indonesia. Hal ini bertujuan untuk melindungi kepentingan umum
(nasional) bagi warga negara indonesia yang berada di luar negeri.
Asas Nasional Aktif ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik.
Hukum pidana Indonesia mengikuti warganegaranya kemanapun ia berada. Inti asas
ini tercantum di dalam Pasal 5 KUHP.
Ketentuan Pasal 5 KUHP berbunyi sebagai berikut:
1). Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Republik Indonesia berlaku
bagi warganegara Indonesia yang melakukan di luar Indonesia:
a. salah satu kejahatanyang tersebut dalam Bab 1 dan II Buku Kedua dan
dalam pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451.
b. salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-
undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut
perundang-undangan Negara dimana perbuatan dilakukan diancam
dengan pidana.
2). Penutupan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan
jika tertuduh menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan. 11
Jika diartikan, dengan asas personalitas atau nasional aktif, peraturan
perundang-undangan pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan
warga negara di mana pun warga tersebut berada, sekalipun di luar negeri.
Kehadiran asas nasional aktif dalam peraturan perundang-undangan dapat ditemukan
dalam Pasal 8 UU 1/2023 yang berbunyi:
10 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka Hlm.279
11 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta,Reneka Cipta Kerja,2008,Hlm 71
10
1. Ketentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi setiap warga negara
Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2. Ketentuan pidana tersebut berlaku jika perbuatan tersebut juga merupakan tindak
pidana di negara tempat tindak pidana dilakukan.
3. Ketentuan tersebut tidak berlaku untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana
denda paling banyak kategori III.
4. Penuntutan terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dilakukan walaupun
tersangka menjadi warga negara Indonesia, setelah tindak pidana tersebut
dilakukan sepanjang perbuatan tersebut merupakan tindak pidana di negara tempat
tindak pidana dilakukan.
5. Warga negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud tidak dapat dijatuhi pidana
mati jika tindak pidana tersebut menurut hukum negara tempat tindak pidana
tersebut dilakukan tidak diancam dengan pidana mati.
D. Asas Universal
12 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka Hlm.279
13 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka Hlm.279
11
Jenis perbuatan (pidana) yang sedemikian rupa sifatnya sehingga setiap Negara
berkewajiban untuk menerapkan hukum pidana, tanpa memandang siapa yang berbuat
delik, di mana, dan terhadap kepentingan siapa pelaku delik melakukannya.
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian
dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas
universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut
melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).
Dikatakan melindungi kepentingan internasional (kepentingan universal)
karena rumusan pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau
kertas) dan pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai pembajakan kapal laut dan pembajakan
pesawat udara), tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas Negara mana yang
dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang Negara mana yang dibajak. Pemalsuan
mat auang atau uang kertas yang dimaksud dalam pasal 4 sub 2 KUHP menyangkut
mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin menyangkut
mata uang atau uang kertas Negara asing. Pembajakan kapal laut atau pesawat terbang
yang dimaksud dalam pasal 4 sub 4 KUHP dapat menyangkut kapal laut Indonesia
atau pesawat terbang Indonesia, dan memungkinkan juga menyangkut kapal laut atau
pesawat terbang Negara asing.
Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal, atau pesawat
terbang adalah mengenai kepemilikan Indonesia, maka asas yang berlaku diterapkan
adalah asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif). Jika pemalsuan
mata uang atau uang kertas. Pembajakan kapal laut atau pesawat terbang adalah
mengenai kepemilikan Negara asing, maka asas yang berlaku adalah asas melindungi
kepentingan internasional (asas universal) pPasal 7 KUHP “ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di luar Indonesia
melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXVIII
Buku Kedua”.
Pasal ini mengenai kejahatan jabatan yang sebagian besar sudah diserap
menjadi tindak pidana korupsi. Akan tetapi pasal-pasal tersebut (pasal 209, 210, 387,
388, 415-420, 423, 425, 435) telah dirubah oleh undang-undang No. 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi dengan rumusan tersendiri sekalipun masih menyebut unsur-unsur yang
terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu.
12
Pasal 8 KUHP “ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku
nahkoda dan penumpang Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu,
melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku
Kedua dan Bab IX buku ketiga, begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai
surat laut pas kapal di Indonesia, maupun dalam ordonasi perkapalan”.
Dengan telah diundangkannnya tindak pidana tentang kejahatan penerbangan dan
kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan berdasarkan UU No. 4 Tahun 1976
yang dimasukkan dalam KUHP pada Buku Kedua Bab XXIX A. pertimbangan lain
untuk memasukkan Bab XXIX A Buku kedua ke dalam pasal 8 KUHP menjadi
kenyataan bahwa kejahatan penerbangan sudah digunakan sebagai bagian dari kegiatan
terorisme yang dilakukan oleh kelompok terorganisir pasal 9 KUHP.
Diterapkannnya pasal-pasal 2-3-5 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang
diakui dalam hukum-hukum internasional.
Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi:
1. Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai
hak eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka.
2. Duta besar Negara asing beserta keluarganya juga mempunyai hak eksteritorial.
3. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekaliu ada di
luar kapal. Menurut hukum internasional kapal perang adalah teritoir Negara yang
mempunyainya.
4. Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan
Negara itu.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan asas hukum pidana adalah bahwa hukum pidana adalah sistem
hukum yang mengatur perilaku yang dianggap merugikan masyarakat secara umum,
dan memberikan sanksi pidana sebagai bentuk hukuman bagi pelaku
kejahatan.Beberapa asas hukum pidana yang mendasari sistem hukum pidana adalah
sebagai berikut:
1. Asas Legalitas: Tidak ada tindakan pidana tanpa dasar hukum yang jelas dan pasti.
Ini berarti bahwa hukuman hanya dapat diterapkan jika pelanggaran tersebut
didefinisikan dengan jelas dan tegas dalam undang-undang.
2. Asas Kesalahan: Hukuman pidana hanya dapat diterapkan pada seseorang yang
telah melakukan tindakan pidana secara sengaja atau karena kelalaian yang
disengaja. Artinya, seseorang tidak dapat dihukum hanya karena memiliki niat
atau niat jahat.
3. Asas Proporsionalitas: Hukuman pidana harus sesuai dengan tingkat kejahatan
yang dilakukan. Ini berarti bahwa semakin serius tindakan pidana, semakin berat
hukumannya
4. Asas Kemanusiaan: Hukuman pidana tidak boleh melanggar hak asasi manusia
atau martabat manusia.
5. Asas Kesetaraan: Hukuman pidana harus diterapkan secara adil dan setara pada
semua orang tanpa diskriminasi apapun, termasuk berdasarkan jenis kelamin, ras,
agama, atau status sosial.
Dalam kesimpulannya, hukum pidana harus adil, proporsional, dan dijalankan
dengan penuh rasa kemanusiaan. Sistem hukum pidana harus memastikan bahwa
pelanggaran hukum pidana dihukum dengan cara yang proporsional, serta
menghormati hak asasi manusia dan martabat manusia
14
DAFTAR PUSTAKA
15