Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH MASALAH DELIK

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


“HUKUM PIDANA”
Dosen Pengampu : Fahmi Ridlol Uyun, M.H.

Disusun Oleh :
Kelompok 3 :
1. Vivi Kiromah : 221102020001
2. Nurul Aulia Salsabilla : 221102020008
3. Leo Chandra Susanto :221102020033

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH. ACHMAD SIDDIQ JEMBER
2023

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan pada
penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas Rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Pengertian dan Misi Islam tepat waktu. Shalawat serta
salam semoga tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW yang telah menuntun umatnya dari mana
kegelapan hingga menuju masa yang terang benderang dengan banyak keilmuan seperti ini.
Kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Fahmi Ridlol Uyun, M.H. selaku dosen pada mata
kuliah Hukum Pidana, serta teman teman yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan
makalah ini. Dan juga terimakasih kepada teman teman kelompok 3 yang sudah bekerja sama
dalam pembuatan makalah ini yang berjudul dan menjelaskan tentang "Masalah Delik "
Makalah Masalah Delik disusun guna memenuhi tugas dosen mata kuliah Hukum Pidana
di Universitas Islam Negeri Kyai Hasyim Ahmad Syidiq Jember. Selain itu penulis juga berharap
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang Masalah Delik. Penulis menyadari
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Penyusun

2
DAFTAR ISI

COVER................................................................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................................................................... 3
BAB I ..................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang............................................................................................................................. 4
C. Tujuan ......................................................................................................................................... 4
BAB II .................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 5
A. Pengertian dan unsur-unsur delik ................................................................................................. 5
B. Jenis-jenis delik ........................................................................................................................... 8
C. Teori hubungan kausalitas ............................................................................................................ 9
D. Sifat melawan hukum................................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................ 13

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap negara tentunya mempunyai hukum masing-masing untuk menangani kasus-
kasus kejahatan yang terjadi di negaranya. Setiap kasus kejahatan tentuny berbeda-beda
hukum yang akan berlaku, contohnya di Indonesia tindak kejahatan terbagi-bagi ada
kejahatan yang dipandang ringan seperti mencuri dan ada kejahatan yang dipandang berat
seperti mutilasi atau pembunuhan. Oleh sebab itu, untuk mengetahui hukum yang berlaku
bagi setiap Tindakan kejahatan itu, harus mempelajari tentnag hukum pidana yang
membahas mengenai tindak pidana atau sering disebut dengan delik.
Dalam delik akan berlaku hukuman yang telah dinialinya, dalam hal ini, KUHP
yang terdiri dari pasal perpasal, dalam pasal-pasal tersebut terdapat hukuman yang berlaku
bagi siapapun yang melanggarnya atau bertentangan dengan aturan itu. Jika perbuatan yang
dilakukan tidak diatur atau tidak terdapat dalam kuhp dan undang-undang maka perbuatan
itu dinilai bukan merupakan tindak pidana
Untuk mempelajari mengenai delik, kiranya akan lebih mudah memperoleh
kejelasannya apabila telebih dahulu dipelajari hukum oidana yang membahas tentang delik
secara luas mauapun khusus. Tentunya sebagai warga negara Indonesia kita diharapkan
untuk mengetahui bagaimana hukum di Indonesia sehingga dapat membangun hukum yang
ada di negara ini.
B. Rumusan masalah
1. Cara mengetahui pengertian dan unsur-unsur delik?
2. Cara mengetahui apa saja jenis-jenis delik?
3. Cara mengetahui teori hubungan kausalitas?
4. Cara mengetahui sifat melawan hukum?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dan unsur-unsur delik
2. Mengetahui jenis-jenis delik
3. Mengetahui teori hubungan kausalitas
4. Mengetahui sifat melawan hukum

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan unsur-unsur delik
Kata “delik” berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam bahasa Jerman
disebut delict, dalam bahasa Prancis disebut delik, dan dalam bahasa Belanda
disebut delict. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Perbuatan yang dapat dikenakan
hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana.
Sedangkan menurut istilah ini juga disebut dengan perbuatan pidana, peristiwa pidana
ataupun tindak pidana, dalam bahasa belanda hal ini disebut juga dengan strafbaar feit.
Berikut pengertian delik menurut para ahli hukum,
Moeljatno, (Rusli Effendy, 1980: 47) merumuskan delik adalah “perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.
Selanjutnya Rusli Effendy, (1980: 55) merumuskan peristiwa pidana adalah “suatu
peristiwa yang dapat dikenakan pidana atau hukum pidana, sebabnya saya memakai hukum
pidana ialah karena ada hukum pidana tertulis dan ada hukum pidana tidak tertulis”.
Tresna (Rusli Effendy, 1980: 53) merumuskan peristiwa pidana sebagai
berikut:Perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-
Undang atau peraturan perundand-undangan atau peraturan perundang-undangan lainnya
terhadap perbuatan diadakan tindakan pemidanaan.
Dari beberapa rumusan tentang delik yang dikemukakan oleh beberapa sarjana di
atas dapat disimpulakan bahwa delik adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh Undang-
Undang karena merupakan perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan pelakunya
dapat dikenakan pidana
- Unsur-unsur delik
Apa itu unsur delik pidana? Menurut S. R. Sianturi, secara ringkas unsur-unsur delik adalah
sebagai berikut :
1. adanya subjek;
2. adanya unsur kesalahan;
3. perbuatan bersifat melawan hukum;

5
4. suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundang-
undangan dan terhadap yang melanggarnya diancam pidana;dalam suatu waktu,
tempat, dan keadaan tertentu.
Merujuk pada unsur-unsur tindak pidana di atas, S. R. Sianturi merumuskan
pengertian dari tindak pidana sebagai suatu tindakan pada tempat, waktu, dan keadaan
tertentu, yang dilarang (atau melanggar keharusan) dan diancam dengan pidana oleh
undang-undang serta bersifat melawan hukum serta mengandung unsur kesalahan yang
dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab .
Dari lima unsur di atas, dapat disederhanakan menjadi unsur subjektif dan unsur
objektif. Apa itu unsur objektif dan subjektif tindak pidana? Unsur subjektif meliputi
subjek dan adanya unsur kesalahan. Sedangkan yang termasuk unsur objektif adalah
perbuatannya bersifat melawan hukum, tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh
undang-undang/perundang-undangan dan terhadap pelanggarnya diancam pidana,
serta dilakukan dalam waktu, tempat dan keadaan tertentu.
P. A. F. Lamintang dalam buku Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia juga
berpendapat bahwa setiap tindak pidana yang terdapat dalam KUHP pada umumnya
dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua
macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif .
Yang dimaksud dengan unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada
diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya,
yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya .
Sedangkan yang dimaksud unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana
tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
Unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah kesengajaan (dolus) atau
ketidaksengajaan (culpa):
1. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang
dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP atau Pasal 17 ayat (1) UU
1/2023.

6
2. macam-macam maksud atau oogmerk, seperti yang terdapat di dalam
kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-
lain.
3. merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad, seperti yang
terdapat di dalam kejahatan pembunuhan berencana dalam Pasal 340
KUHP atau Pasal 459 UU 1/2023.
4. perasaan takut atau vrees, seperti terdapat di dalam rumusan tindak pidana
menurut Pasal 308 KUHP atau Pasal 430 UU 1/2023.
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah :
1. sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkbeid;
2. kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai
negeri” di dalam kejahatan jabatan atau “keadaan sebagai pengurus atau
komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan
menurut Pasal 398 KUHP atau Pasal 516 UU 1/2023.
3. kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Unsur wederrechttelijk atau sifat melanggar hukum selalu harus dianggap
sebagai disyaratkan di dalam setiap rumusan delik, walaupun unsur tersebut oleh
pembentuk undang-undang tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur
dari delik yang bersangkutan .
P. A. F. Lamintang kemudian menerangkan apabila
unsur wederrecttelijk dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari delik, maka tidak
terbuktinya unsur tersebut di dalam peradilan akan menyebabkan hakim harus
memutus sesuatu vrijkpraak atau pembebasan .
Apabila unsur wederrecttelijk tidak dinyatakan secara tegas sebagai unsur
dari delik, maka tidak terbuktinya unsur tersebut di dalam peradilan akan
menyebabkan hakim harus memutuskan suatu ontslag van alle
rechtsvervolging atau suatu “pembebasan dari segala tuntutan hukum” .
Maka, untuk mengetahui apakah suatu perbuatan adalah tindak pidana atau
bukan, perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur delik atau tindak pidana
yang dimaksud itu.

7
B. Jenis-jenis delik
Menurut KUHP sebelum 1918 tentu ada 3 jenis tindak pidana berupa kejahatan, perbuatan
buruk, dan pelanggaran. Namun seiring berjalannya waktu, kini dibedakan kembali menjadi
beberapa kategori.
1. Delik Formil
Pertama, terdapat tindak pidana formil yang mana diatur lengkap pada pasal 160
KUHP tentang penghasutan. Selain itu terdapat pasal 209 KUHP mengenai kasus
suap, kemudian sumpah palsu pada 242 KUHP.
2. Materiil
Seperti namanya, tindak pidana materiil memberikan kerugian materi terhadap
korban bersangkutan. Dapat dilihat contohnya mulai dari pembakaran diatur 187
KUHP, pembunuhan 338 KUHP, dan juga penipuan tertentu 378 KUHP.
3. Umum
Hampir mirip terhadap materiil, tentunya delik umum memiliki contoh
pembunuhan dan kejahatan secara umum. Intinya semua kerugian korban dari
pelaku yang menyalahi aturan secara umum dapat dimasukkan pada jenis ini.
4. Kejahatan
Delik kejahatan juga tercantum pada peraturan perundang-undangan untuk
memproses serangkaian proses hukum pidana. Gambaran dari kejahatan ada
banyak, seperti pelaku mencuri, melakukan teror, dan hal-hal dengan memiliki
unsur membahayakan korban.
5. Pidana
Berikutnya terdapat contoh delik pidana yang bersifat merugikan dalam jumlah
besar sekaligus baik bagi korban individu maupun kelompok. Biasanya terjadi
tindak hukum pidana sering ditemui adalah korupsi. Di Indonesia tidak asing
lagi dengan istilah korupsi karena sudah mengakar dan merajalela dari
semua kalangan. Padahal korupsi yang dilakukan merugikan banyak pihak
serta tidak bisa membuat negara maju.
6. Kesengajaan
Contoh jenis jenis delik kesengajaan adalah perbuatan yang telah dilakukan secara
sengaja serta direncanakan. Apapun pelanggaran aturan dengan unsur kesengajaan
bisa diproses sesuai hukum pidana berlaku di Tanah Air.
7. Khusus

8
Kasus pelanggaran tindak pidana khusus terdapat contoh lengkap yang paling
sering terjadi di kehidupan sehari-hari. Antara lain terdapat kesalahan narkotika,
cuci uang, perdagangan orang, pemilu, kejahatan siber, dan banyak lagi.
8. Aduan
Contoh delik aduan dapat dilihat secara mudah melalui pasal-pasal KUHP yang
berlaku sampai sekarang. Perzinahan masuk pada tindak pengaduan sesuai pasal
284, penghinaan, pencemaran nama baik, serta penggelapan dalam keluarga.
Aduan dapat dilakukan maksimal tiga bulan setelah diajukan, serta pengajuan boleh
dicabut bila sudah berdamai. Proses pengaduan yang telah dicabut tidak bisa kembali diajukan,
mengingat kedua pihak telah damai.
Tentunya semua contoh di atas akan diproses sesuai hukum pidana karena telah melakukan
pelanggaran terhadap aturan. Tentunya ada unsur pada tindak pidana yang wajib diketahui berikut.
Ada subjek merupakan syarat terjadinya delik, yaitu ditemukannya pelaku dan korban yang
saling berhubungan. Kemudian terdapat unsur kesalahan dari pihak pelaku membuat pelanggaran
dapat dimasukkan pada kategori tindak pidana.
Kasus perbuatan yang melawan hukum juga diproses sesuai aturan berlaku, unsur lain
sudah ada perundang-undangan pidana. Terakhir unsur pada delik dapat terjadi bila kejadian dalam
tempat, keadaan, dan waktu tertentu. Contoh lengkap kejadian delik di kehidupan sehari-hari
dalam negara Indonesia kini sudah dipahami dengan mudah. Melihat banyaknya jenis jenis delik
berlaku, patuhilah aturan dengan baik agar tidak melakukan tindak pidana.

C. Teori hubungan kausalitas


Ajaran kausalitas adalah ajaran tentang sebab akibat. Untuk delik materil
permasalahan sebab akibat menjadi sangat penting. Kausalitas berlaku ketika suatu
peraturan pidana tidak berbicara tentang perbuatan atau tindak pidananya (yang dilakukan
dengan sengaja), namun menekankan pada hubungan antara kesalahan atau
ketidaksengajaan (culpa) dengan akibat.
Dengan demikian, sebelum mengulas unsur kesalahan, hakim pertama-tama
menetapkan ada tidaknya hubungan kausal antara suatu tindakan dan akibat yang
muncul. Jadi ajaran kausalitas menentukan pertanggungjawaban untuk delik yang
dirumuskan secara materil, mengingat akibat yang ditimbulkan merupakan unsur dari delik
itu sendiri.

9
Seperti tindak pidana pembunuhan, di mana tidak ada perbuatan pidana
pembunuhan jika tidak ada akibat kematian dari perbuatan tersebut. Sebagai contoh, Pasal
338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi: Barang siapa dengan
sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
Dalam kasus ini, diduga terdapat tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya
nyawa orang lain karena tersambar petir.

Mengenai teori kausalitas, berikut penjelasannya masing-masing:

1. Teori Conditio Sine Qua Non dari von Buri


Menurut teori ini, suatu tindakan dapat dikatakan menimbulkan akibat tertentu,
sepanjang akibat tersebut tidak dapat dilepaskan dari tindakan pertama
tersebut. Karena itu suatu tindakan harus merupakan conditio sine qua non (syarat
mutlak) bagi keberadaan sifat tertentu. Semua syarat (sebab) harus dipandang
setara. Konsekuensi teori ini, kita dapat merunut tiada henti sebab suatu peristiwa
hingga ke masa lalu (regressus ad infinitum).
Dalam kasus ini, maka majikan yang menyuruh pembantunya membeli sesuatu ke
warung agar disambar petir, atau orang yang tidak memasang penangkal petir di sekitar
jalan yang dilalui pembantu, atau orang lain yang memberi ide kepada majikan tentang
adanya cara untuk membuat orang mati karena disambar petir tanpa tahu adanya masalah
antara majikan dan pembantunya, pun dapat dianggap sebagai penyebab kematian
pembantu tersebut. Beberapa ahli menyatakan teori ini tidak mungkin digunakan dalam
menentukan pertanggungjawaban pidana karena terlalu luas.

2. Teori Generalisasi dari Treger


Teori ini hanya mencari satu saja dari sekian banyak sebab yang menimbulkan
akibat yang dilarang.
Termasuk dalam teori ini adalah teori adequat dari Von Kries, yakni musabab
dari suatu kejadian adalah tindakan yang dalam keadaan normal dapat menimbulkan
akibat atau kejadian yang dilarang.

10
Keadaan yang normal dimaksud adalah bila pelaku mengetahui atau seharusnya
mengetahui keadaan saat itu, yang memungkinkan timbulnya suatu akibat.
Dalam hal ini, menurut hemat kami, maka harus diselidiki lebih dahulu
apakah: majikan memiliki pengetahuan bahwa jika keadaan hujan dan terdapat petir,
maka besar kemungkinan orang berjalan di bawah hujan dapat tersambar
petir. Keadaan saat itu memang hujan lebat dengan petir menyambar, namun ia tetap
meminta pembantu keluar membeli barang. Jika iya, maka majikan dapat dinyatakan
menjadi musabab objektif dari meninggalnya pembantu akibat tersambar petir, karena
tidak adanya sebab lain. memang kelalaian pembantu yang melewati jalan di bawah
guyuran hujan dengan menggunakan seluler yang kemudian memancing sambaran
petir. Kelalaian pembantu sendiri yang menjadi musabab dirinya tersambar petir.
adanya kelalaian orang di sekitar jalan yang seharusnya memasang penangkal petir di
bangunannya, namun tidak dilakukan. Hal ini merupakan penyebab utama kematian
pembantu tersambar petir ketika melewati bangunannya. Dalam teori ini terdapat tiga
musabab. Harus dicari perbuatan mana yang paling dekat dengan akibat tersambar
petirnya pembantu tersebut.

3. Teori Individualisasi/Pengujian Causa Proxima


Dalam ajaran causa proxima, sebab adalah syarat yang paling dekat dan tidak
dapat dilepaskan dari akibat. Peristiwa pidana dilihat secara in concreto atau post
factum. Di sini hal yang khusus diatur menurut pandangan individual, yaitu hanya
ada satu syarat sebagai musabab timbulnya akibat.
Dalam tataran praktik harus dilihat pembuktiannya, apakah dalam pembuktian
forensik terbukti kematian memang akibat dari tersambar petir, dan petir terpercik
karena apa. Akhirnya ditemukan sebab yang paling dekat dan tidak dapat
dilepaskan dari adanya sambaran petir tersebut.Mengenai pertanggungjawaban
pidana, maka harus dilihat terpenuhi tidaknya unsur pidana serta unsur kesalahan
dari tindak pidana yang dikenakan terhadap terdakwa.
D. Sifat melawan hukum
Kiranya perlu ditegaskan di sini bahwa di mana peraturan-peraturan hukum pidana
kita sebagian besar telah di muat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan lain-

11
laian. Maka pandangan tentang hukum dan sifat melawan hukum materiil di atas, hanya
mempunyai arti dalam memperkecualikan perbuatan yang meskipun masuk dalam
perumusan undang-undang itu toh tidak merupakan perbuatan pidana. Biasanya ini
dinamakan fungsi yang negatip dari sifat melawan hukum yang material. Adapun fungsi
yang positif, yaitu perbuatan itu tidak dilarang oleh undang-undang, tapi oleh masyarakat
perbutan itu dianggap keliru, behubungan dengan azas legalitas, (ps 1 ayat 1 KUHP) dalam
hukim pidana lalu tidak mungkin. Lain halnya dalam hukum perdata, yang berhubungan
dengan adanya pasal 1365 BW. (barabgsiapa dengan perbuatan melawan hukum
menimbulkan kerugian pada orang lain harus mengganti kerugian tersebut apabila diminta
oleh yang menderita kerugian tadi) fungsi yang positif itu penting juga. Di sini
bagaimanapun maanya perbuatan tidak ditentukan, sehingga tiap-tiap perbuatan melawan
hukum termasuk di situ.
Kalau kita mengikuti pandangan yang material maka perbedaan dengan pandangan
yang formal adalah:
1. Menagakui adanya pengecualian / penghapusan dari sifat melawan hukumnya
perbuatan menurut hukum yang tertulis dan tidak tertulis ; sedangkan pandangan yang
formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja.
Misalnya pasal 49. Pembelaan terpaksa (Noodweer)
2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan-perbuatan pidana,
juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut ; sedang bagi
pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan
pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah
menjadi unsur delik.
Dengan mengakui bahwa sifat melwan hukum selalu menjadi unsur perbuatan
pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut
oleh penuntut umum. Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tegantung dari
rumusan delik yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut tidak dinyatakan, maka juga
tidak perlu dibuktikan. Pada umumnya dalam perundang-undangan kita, lebih banyak delik
yang tidak memutar unsur melaewan hukum di dalam rumusannya.

12
DAFTAR PUSTAKA

https://www.hukumonline.com/klinik/a/mengenal-unsur-tindak-pidana-dan-syarat-
pemenuhannya-
http://mh.uma.ac.id/apa-itu-delik/
https://blog.justika.com/pidana-dan-laporan-polisi/jenis-jenis-delik/
https://kantorpengacara-ram.com/teori-kausalitas-dalam-hukum-pidana/

13

Anda mungkin juga menyukai