Oleh :
Dosen Pengampu
A.A Ngurah Wirasila, SH.,MH dan A.A Sri Indrawati, SH.,MH.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
A. Pengertian Malapraktik
Malapraktik berasal dari kata “mala” yang artinya salah atau tidak semestinya,
sedangkan praktik adalah proses penanganan kasus (pasien) dari seorang profesional yang
sesuai dengan prosedur kerja yang telah ditentukan oleh kelompok profesinya.1 Maka dari itu
malapraktik dapat diartikan melakukan tindakan atau praktik yang salah atau yang
menyimpang dari ketentuan atau prosedur yang baku (benar). Dalam bidang kesehatan
malapraktik adalah penyimpangan penanganan kasus atau masalah kesehatan (termasuk
penyakit) oleh penderita atau pasien.
WHO pada tahun 1992 mendefinisikan malapraktik medis sebagai perbuatan dokter
yang meliputi kegagalan memenuhi standar dalam penanganan kondisi pasien atau
kekurangan keterampilan/ketidakompetesian, atau karena kelalaian dalam memberikan
asuhan kedokteran kepada pasien yang merupakan penyebab langsung dari cedera pada
pasien.2
Malapraktik yang sering dilakukan oleh petugas kesehatan (dokter dan dokter gigi)
secara umum diketahui terjadi karena hal-hal, sebagai berikut :
a. Dokter atau dokter gigi kurang menguasai praktik kedokteran yang sudah berlaku
umum dikalangan profesi kedokteran atau kedokteran gigi.
b. Memberikan pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi di bawah standar profesi.
c. Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-
hati.
d. Melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan hukum.
Istilah malapraktik di dalam hukum kedokteran mengandung arti praktik dokter yang
buruk . Dilihat dari sudut tanggungjawab dokter yang berada dalam suatu perikatan dengan
pasien, maka harus menilai kualifikasi yuridis tindakan medis yang dilakukan dokter tersebut.
Secara materiil, suatu tindakan medis tidak bertentangan dengan hukum apabila
dipenuhi ketiga syarat berikut :
1. Empunyai indikasi medis kearah suatu tujuan perawatan yang konkret.
2. Dilakukan menurut ketentuan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran.
3. Telah mendapat persetujuan pasien.
Kedua syarat yang pertama disebut sebagai tindakan yang lage artis atau sesuai
dengan standar profesi medis. Syarat ketiga merupakan salah satu hak pasien yang penting
yaitu hak atas informed consent. Perikatan dokter-pasien di mana pasien di satu pihak lain
dokter/tim dokter/rumah sakit yang akan melahirkan suatu pertanggungjawaban secara
hukum, bisa terjadi dalam bentuk perjanjian atau bukan perjanjian.
Pedoman yang harus diperhatikan, jika merinci aspek hukum dari malapraktik yaitu :
1. Penyimpangan dari standar profesi medis.
2. Kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan ataupun kelalaian.
1
Muhamad Sadi Is, S.HI., M.H, 2017, Etika Hukum Kesehatan, PT Balebat Dedikasi Prima, Jakarta, h.55
2
Ibid, h.56
3. Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang menimbulkan kerugian
baik materiil, nonmateriil atau fisik (luka atau kematian)/mental.
Istilah kesalahan yang berasal dari kata schuld secara yuridis dapat dibedakan dalam
dua pengertian, Pertama, pemakaian dalam arti menerangkan keadaan psikis seseorang yang
melakukan perbuatan yang sedemikian rupa sehingga perbuatan itu dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, jadi disini kesalahan dilihat dari sudut etis-sosial. Kedua,
pemakaian dalam arti yuridis, yaitu bentuk-bentuk kesalahan yang terdiri dari kesengajaan
(dolus) dan kealpaan (culpa).
Kesalahan mempunyai unsur-unsur, sebagai berikut :
1. Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan.
2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatan yang berbentuk
kesengajaan atau kealpaan.
3. Tidak adanya alasan pemaaf.
Van Harmel dan Simon mengatakan bahwa, kelalaian atau culpa mengandung dua syarat
yaitu :
1. Tidak mengadakan penduga-duga, sebagaimana diharuskan oleh hukum.
2. Tidak mengadakan penghati-hati, sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Jika kesengajaan atau kelalaian yang keduanya disebut sebagai kesalahan, maka dapat
dikatakan kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kemungkinan, kealpaan yang
disadari dan kealpaan yang tidak disadari.
B. Teori-Teori Malapraktik
Beberapa teori penyebab terjadinya malapraktik yaitu sebagai berikut :
1. Teori Pelanggaran Kontrak
Teori ini menyatakan, bahwa sumber perbuatan malapraktik adalah karena terjadinya
pelanggaran kontrak. Teori ini berprinsip bahwa secara hukum, dokter tidak berkewajiban
untuk merawat seseorang apabila diantara keduanya tidak ada kontrak (perjanjian
terapeutik).3 Jadi hubungan dokter dengan pasien baru terjadi bila sudah ada kontrak. Jika
seorang pasien dalam keadaan tidak sadar dan tidak mampu mengadakan kontrak, maka
keluarga atau pihak ketiga untuk dan atas nama penderita bisa mengadakan kontrak. Kontrak
anatara dokter dengan pasien harus terjadi setelah adanya informed consent, yang artinya si
pasien akan menyetujui untuk dilakukannya suatu tindakan medis setelah mendapatkan
penjelasan dari dokter. Penjelasan umumnya menyangkut hal-hal sebagai berikut :
a. Garis-garis besar seluk-beluk penyakit yang diderita beserta prosedur perawatan dan
pengobatannya.
b. Resiko yang akan di hadapi, jika ada termasuk komplikasinya.
3
H. Zaeni Asyhadie, S.H., M.Hum, 2017, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, Rajawali Pers,
Depok, h.119
c. Bahwa prosedur pengobatan yang akan dilakukan sudah bisa di lakukan atau tidak,
atau merupakan suatu percobaan atau tidak.
d. Prospek keberhasilan dan kegagalan.
e. Bebrapa alternatif pengobatan, jika ada.
f. Hal-hal yang mungkin terjadi jika pasien menolak.
Penjelasan-penjelasan yang demikian dalam kasus-kasus tertentu tidak perlu dilakukan
karena keadaan darurat, seperti :
a. Pasien dalam keadaan tidak sadar, sementara kerabatnya sulit dihubungi, padahal
secara medis perawatan harus segera dilakukan.
b. Pasien masih dibawah umur, belum cakap, sementara kerabatnya tidak diketahui dan
sulit dihubungi.
c. Atas dasar pertimbangan medis (atau psikologis) pasien tidak boleh diberikan
penjelasan-penjelasan mengenai penyakitnya.
d. Pasien terkena sindrom, sehingga tidak mau mendengar segala hal tentang
penyakitnya.
3. Teori Kelalaian
Teori kelalaian ini umumnya disebabkan oleh keterlambatan dokter dalam melayani
pasein. Kelalaian menurut Nusye KI Jayanti dapat terjadi dalam tiga bentuk yaitu: 5
a. Malfeasance
Melakukan tindakan melanggar hukum atau tidak tepat atau tidak layak (unlawfull
improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan
tindakan medis tersebut sudah improper.
b. Misfeasance
4
Ibid, h.120
5
Ibid, h.121
Melakukan pilihan tindakan medis yang tepat namun dilaksanakan dengan tidak tepat
(improper performa), misalnya melakukan tindak medis dengan menyalahi prosedur.
c. Nonfeasance
Tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban dan seharusnya
dilakukan.
Sedangkan M. Hatta menulis bahwa untuk menentukan adanya kelalaian dikenal 5
(lima) kategori Medical Negligence, yaitu:6
a. Malfeasance, yaitu apabila dokter melakukan suatu tindakan yang bertentangan
dengan hukum/tidak patut (execution of an unlawful or improper act).
b. Misfeasance, tindakan yang tidak benar (the improper performance of an act)
c. Nonfeasance, tidak melakukan tindakan yang sebenarnya ada kewajiban untuk
melakukan itu (the failure to act when there is a duty to act).
d. Maltreatment, cara penanganan yang tidak profesional dan tidak sesuai dengan
standar profesi medis karena ketidaktahuan, kelalaian atau tidak ada kehendak
untuk bekerja lebih baik (ignorance, neglect willfulness).
e. Criminal Negligence, yaitu sifat tak acuh atau tidak peduli terhadap keselamatan
orang lain walaupun ia mengetahui bahwa tindakannya itu akan mengakibatkan
kerugian pada orang lain.
Kelalaian menurut Nusye Ku Jayanti bukanlah merupak perbuatan yang dapat
dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (kompeten) berdasarkan sifat
profesi bertindak hati-hati dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.
Jadi dengan demikian kelalaian di sini harus memiliki empat unsur, yaitu:
a. adanya kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
b. adanya pelanggaran atau kegagalan memenuhi kewajiban tersebut.
c. adanya kerugian atau cedera pada pasien.
d. adanya hubungan kausalitas antara pelanggaran dan kegagalan memenuhi
kewajiban tersebut dengan cedera atau kerugian.
Ada beberapa ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan apakah seorang dokter
telah melakukan kelalaian atau tidak. Ukuran tersebut umumnya sering dipergunakan oleh si
pasien atau ahli warisnya sebagai alasan dalam melakukan tuntutan atau gugatan kepada
seorang dokter. Ukuran atau kriteria yang dapat dipergunakan tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Adanya kewajiban
Kewajiban yang dimaksudkan di sini adalah bahwa secara hukum seorang dokter
telah mempunyai hubungan hukum dengan si pasien sehingga memberikan
kewajiban kepada si dokter untuk melakukan suatu tindakan medis sesuai dengan
norma norma atau standar profesi yang berlaku bagi si dokter.
b. Melalaikan kewajiban
Kewajiban itu harus dilakukan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan standar
profesinya. Jika seorang dokter melakukan atau tidak melakukan tindakan yang
6
Moh. Hatta, 2003, Hukum Kesehatan dan Sengketa Medik, Lyberty, Yogyakarta, h.173
seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan menurut standar prosfesinya, maka
dokter dapat dianggap telah melalaikan kewajibannya.
c. Menimbulkan kerugian
Dari tindakan dokter yang telah melakukan kelalaian dalam menjalankan
kewajibannya haruslah menimbulkan kerugian bagi pasien. Kerugian ini bisa
dilihat secara materi misalnya dengan kelalaian dokter dapat menimbulkan cacat
bagi si pasien sehingga si pasien tidak dapat lagi mencari penghasilan. Dan juga
dapat dilihat secara immateriil yang mana karena kelalaiannya dokter
menimbulkan penderitaan emosional bagi si pasien.
d. Adanya kausa atau sebab
Antara kelalaian dokter dalam menjalankan kewajiban dan kerugian yang
ditimbulkan harus ada hubungan timbal-balik, yang artinya bahwa kerugian yang
diderita oleh si pasien atau ahli warisnya disebabkan oleh kelalaian dokter tersebut
dalam menjalankan kewajibannya. Inilah yang di dalam ilmu hukum sering
disebut “sebab yang sesuai hukum”.
Danny Wiradharma dengan mengutip pendapat van Hamel dan Simon, menyatakan
bahwa suatu kelalaian harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Tidak mengadakan penduga-duga, sebagaimana yang diharuskan menurut hukum,
dalam hal ini ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu :
1) Pelaku berpikir bahwa akibat yang dilarang tidak akan terjadi karena
perbuatannya;
2) Pelaku sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang
mungkin dapat terjadi karena perbuatannya.
b. Tidak mengadakan penghati-hati, sebagaimana diharuskan oleh hukum. Hal ini
berarti tidak mengadakan pemeriksaan terhadap kemungkinan yang terjadi
Dengan demikian, ini berarti bahwa seorang dokter tidak akan dianggap melakukan
malapraktik, jika melakukan kewajibannya dengan hati-hati tanpa memikirkan bahwa
kerugian yang mungkin akan timbul bukan diakibatkan oleh perbuatannya.
D. Jenis Malapraktik.
1. Malapraktik Etik.
Dokter yang melakukan tindakan yang bertentagan dengan etika kedokteran yang
dituangkan dalam kodeki yang merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau
norma yang berlaku untuk dokter. Kodeki dapat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi
kedokteran dan dapat memberikan dampak negatif antara lain : kontak/komunikasi antar
dokter dan pasiennya semakin berkurang, etika kedokteran terkontaminasi dengan
kepentingan bisnis, dan harga pelayanan medis semakin tinggi. Adapun contoh konkret
malapraktik etik, antara lain di bidang diagnostik dan di bidang terapi.9
8
Muhamad Sadi Is, S.HI., M.H, op.cit, h.63
9
Muhamad Sadi Is, S.HI., M.H, op.cit, h.65
2. Malapraktik Yuridis
Malapraktik yuridis terdiri dari :
a. Malapraktik perdata (Civil Malpractice)
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi
perjanjian (wanprestasi) di dalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga
kesehatan lain, atau terjadinya perubahan melanggar hukum sehingga
menimbulkan kerugian pada pasien. Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian
selain wanprestasi tersebut juga melakukan apa yang menerut kesepakatan wajib
dilakukan tetapi terlambat melaksanakan.
b. Malapraktik pidana (Criminal Malpractice)
Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau
teaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atau kurang cermat dalam melakukan
upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
Jenis malapratik pidana :
1. Malapraktik pidana karena kesengajaan
2. Malapraktik karena kecerobohan
3. Malapraktik pidana karena kealpaan
c. Malapraktik administratif (administrative malpractice)
Terjadi apabila dokter dan/atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran
terhadap hukum administrasi negara yang berlaku.
10
H. Zaeni Asyhadie, S.H., M.Hum, op.cit, h.125
Sesuai dengan uraian di atas umumnya seorang dokter dikatakan wanprestasi apabila
sesuai dengan yang tercantum dalam poin (b), melaksanakan apa yang diperjanjikan tetapi
tidak sebagaimana diperjanjikan. Dalam hal ini, dokter dapat diminta
pertanggungjawabannya dengan Pasal 1371 ayat (1) KUHPerdata: "Penyebab luka atau cacat
sesuatu anggota badan dengan sengaja atau kurang hati-hati memberi hak kepada si korban
untuk selain penggantian biaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian yang
disebabkan oleh luka atau cacat tersebut". Dengan demikian, jika dokter tidak melaksanakan
kewajiban-kewajiban kontraktualnya dengan melakukan kesalahan profesional, dia
melakukan wanprestasi dan dapat dipertanggungjawabkan untuk membayar ganti rugi.
b. Melakukan perbuatan melanggar hukum
Dalam tatanan hukum di Indonesia, suatu perbuatan dikatakan atau tergolong suatu
perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaat) apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Perbuatan itu melanggar hak subjektif orang lain atau yang bertentangan dengan
kewajiban hukum dari mereka yang melakukan perbuatan tersebut.
2) Perbuatan tersebut harus didasari adanya unsur kesalahan baik ditinjau secara
objektif maupun subjektif. Secara objektif maksudnya bahwa dalam keadaan yang
sama setiap orang pasti akan menduga akan timbul kerugian akibat kesalahan
yang dilakukan tersebut. Sedangkan secara subjektif maksudnya orang yang
melakukan perbuatan tersebut sudah tahu bahwa yang dia perbuat akan
menimbulkan kerugian.
3) Harus ada kerugian yang ditimbulkan, baik itu menyangkut kerugian materiil,
kerugian yang nyata diderita, dan keuntungan yang seharusnya diperoleh, maupun
kerugian idiil seperti ketakutan, sakit, dan kehilangan hidup (kematian).
4) Adanya hubungan antara perbuatan dengan kerugian yang ditimbulkan.
Apabila unsur-unsur itu tersepenuhi maka pihak yang dirugikan, atau dalam
malapraktik yaitu pasien atau ahli warisnya, dapat mengajukan tuntutan berdasarkan Pasal
1365 KUHPerdata: "Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kesalahan itu, mengganti
kerugian tersebut."
Di samping itu, dari segi keperdataan dokter atau tenaga kesehatan lainnya dapat
digugat karena:
1) Melakukan wanprestasi (Pasal 1259 KUHPerdata).
2) Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (Pasal 1366
KUHPerdata).
3) Melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab (Pasal 136 ayat 3 KUHPerdata)
Literatur :
Buku :
1. Sadi, Muhamad, 2017, Etika Hukum Kesehatan, PT Balebat Dedikasi Prima, Jakarta.
2. Asyhadie, H. Zaeni, 2017, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, Rajawali
Pers, Depok.
3. Hatta, M, 2003, Hukum Kesehatan dan Sengketa Medik, Lyberty, Yogyakarta.