Anda di halaman 1dari 12

TUGAS HUKUM KESEHATAN

Resume Materi Malapraktik

Oleh :

Tjokorda Istri Agung Adintya Devi


1604551209
Reguler Pagi

Dosen Pengampu
A.A Ngurah Wirasila, SH.,MH dan A.A Sri Indrawati, SH.,MH.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
A. Pengertian Malapraktik
Malapraktik berasal dari kata “mala” yang artinya salah atau tidak semestinya,
sedangkan praktik adalah proses penanganan kasus (pasien) dari seorang profesional yang
sesuai dengan prosedur kerja yang telah ditentukan oleh kelompok profesinya.1 Maka dari itu
malapraktik dapat diartikan melakukan tindakan atau praktik yang salah atau yang
menyimpang dari ketentuan atau prosedur yang baku (benar). Dalam bidang kesehatan
malapraktik adalah penyimpangan penanganan kasus atau masalah kesehatan (termasuk
penyakit) oleh penderita atau pasien.
WHO pada tahun 1992 mendefinisikan malapraktik medis sebagai perbuatan dokter
yang meliputi kegagalan memenuhi standar dalam penanganan kondisi pasien atau
kekurangan keterampilan/ketidakompetesian, atau karena kelalaian dalam memberikan
asuhan kedokteran kepada pasien yang merupakan penyebab langsung dari cedera pada
pasien.2
Malapraktik yang sering dilakukan oleh petugas kesehatan (dokter dan dokter gigi)
secara umum diketahui terjadi karena hal-hal, sebagai berikut :
a. Dokter atau dokter gigi kurang menguasai praktik kedokteran yang sudah berlaku
umum dikalangan profesi kedokteran atau kedokteran gigi.
b. Memberikan pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi di bawah standar profesi.
c. Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-
hati.
d. Melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan hukum.
Istilah malapraktik di dalam hukum kedokteran mengandung arti praktik dokter yang
buruk . Dilihat dari sudut tanggungjawab dokter yang berada dalam suatu perikatan dengan
pasien, maka harus menilai kualifikasi yuridis tindakan medis yang dilakukan dokter tersebut.
Secara materiil, suatu tindakan medis tidak bertentangan dengan hukum apabila
dipenuhi ketiga syarat berikut :
1. Empunyai indikasi medis kearah suatu tujuan perawatan yang konkret.
2. Dilakukan menurut ketentuan yang berlaku di dalam ilmu kedokteran.
3. Telah mendapat persetujuan pasien.
Kedua syarat yang pertama disebut sebagai tindakan yang lage artis atau sesuai
dengan standar profesi medis. Syarat ketiga merupakan salah satu hak pasien yang penting
yaitu hak atas informed consent. Perikatan dokter-pasien di mana pasien di satu pihak lain
dokter/tim dokter/rumah sakit yang akan melahirkan suatu pertanggungjawaban secara
hukum, bisa terjadi dalam bentuk perjanjian atau bukan perjanjian.
Pedoman yang harus diperhatikan, jika merinci aspek hukum dari malapraktik yaitu :
1. Penyimpangan dari standar profesi medis.
2. Kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan ataupun kelalaian.

1
Muhamad Sadi Is, S.HI., M.H, 2017, Etika Hukum Kesehatan, PT Balebat Dedikasi Prima, Jakarta, h.55
2
Ibid, h.56
3. Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang menimbulkan kerugian
baik materiil, nonmateriil atau fisik (luka atau kematian)/mental.
Istilah kesalahan yang berasal dari kata schuld secara yuridis dapat dibedakan dalam
dua pengertian, Pertama, pemakaian dalam arti menerangkan keadaan psikis seseorang yang
melakukan perbuatan yang sedemikian rupa sehingga perbuatan itu dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, jadi disini kesalahan dilihat dari sudut etis-sosial. Kedua,
pemakaian dalam arti yuridis, yaitu bentuk-bentuk kesalahan yang terdiri dari kesengajaan
(dolus) dan kealpaan (culpa).
Kesalahan mempunyai unsur-unsur, sebagai berikut :
1. Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan.
2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatan yang berbentuk
kesengajaan atau kealpaan.
3. Tidak adanya alasan pemaaf.
Van Harmel dan Simon mengatakan bahwa, kelalaian atau culpa mengandung dua syarat
yaitu :
1. Tidak mengadakan penduga-duga, sebagaimana diharuskan oleh hukum.
2. Tidak mengadakan penghati-hati, sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Jika kesengajaan atau kelalaian yang keduanya disebut sebagai kesalahan, maka dapat
dikatakan kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kemungkinan, kealpaan yang
disadari dan kealpaan yang tidak disadari.

B. Teori-Teori Malapraktik
Beberapa teori penyebab terjadinya malapraktik yaitu sebagai berikut :
1. Teori Pelanggaran Kontrak
Teori ini menyatakan, bahwa sumber perbuatan malapraktik adalah karena terjadinya
pelanggaran kontrak. Teori ini berprinsip bahwa secara hukum, dokter tidak berkewajiban
untuk merawat seseorang apabila diantara keduanya tidak ada kontrak (perjanjian
terapeutik).3 Jadi hubungan dokter dengan pasien baru terjadi bila sudah ada kontrak. Jika
seorang pasien dalam keadaan tidak sadar dan tidak mampu mengadakan kontrak, maka
keluarga atau pihak ketiga untuk dan atas nama penderita bisa mengadakan kontrak. Kontrak
anatara dokter dengan pasien harus terjadi setelah adanya informed consent, yang artinya si
pasien akan menyetujui untuk dilakukannya suatu tindakan medis setelah mendapatkan
penjelasan dari dokter. Penjelasan umumnya menyangkut hal-hal sebagai berikut :
a. Garis-garis besar seluk-beluk penyakit yang diderita beserta prosedur perawatan dan
pengobatannya.
b. Resiko yang akan di hadapi, jika ada termasuk komplikasinya.

3
H. Zaeni Asyhadie, S.H., M.Hum, 2017, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, Rajawali Pers,
Depok, h.119
c. Bahwa prosedur pengobatan yang akan dilakukan sudah bisa di lakukan atau tidak,
atau merupakan suatu percobaan atau tidak.
d. Prospek keberhasilan dan kegagalan.
e. Bebrapa alternatif pengobatan, jika ada.
f. Hal-hal yang mungkin terjadi jika pasien menolak.
Penjelasan-penjelasan yang demikian dalam kasus-kasus tertentu tidak perlu dilakukan
karena keadaan darurat, seperti :
a. Pasien dalam keadaan tidak sadar, sementara kerabatnya sulit dihubungi, padahal
secara medis perawatan harus segera dilakukan.
b. Pasien masih dibawah umur, belum cakap, sementara kerabatnya tidak diketahui dan
sulit dihubungi.
c. Atas dasar pertimbangan medis (atau psikologis) pasien tidak boleh diberikan
penjelasan-penjelasan mengenai penyakitnya.
d. Pasien terkena sindrom, sehingga tidak mau mendengar segala hal tentang
penyakitnya.

2. Teori Perbuatan yang Disengaja


Teori ini didasarkan atas perbuatan yang disengaja yang dilakukan oleh dokter,
sehingga pasien menderita kerugian. Kesengajaan tersebut tidak harus berupa kesengajaan
yang mengakibatkan hasil buruk bagi pasien, namun yang paling peting lebih mengarah
kepada pelanggaran atau perbuatan yang disengaja.4
Kasus malapraktik menurut teori perbuatan yang disengaja ini menurut para sarjana
sangat jarang terjadi karena ini dapat digolongkan sebagai tindakan kriminal/pidana.
Beberapa ketentuan dalam KUHP yang dapat dikategorikan perbuatan yang disengaja
seperti :
a. Menipu penderita atau pasien (pasal 378 KUHP)
b. Melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan kematian atau luka-luka (pasal 359
sampai pasal 361 KUHP).
c. Melakukan pengguguran tanpa indikasi medis (pasal 299, 349 dan 350 KUHP).
d. Kesengajaan membiarkan penderita atau pasien tidak tertolong, atau tidak
memberikan pertolongan kepada seseorang (pasal 351 KUHP).

3. Teori Kelalaian
Teori kelalaian ini umumnya disebabkan oleh keterlambatan dokter dalam melayani
pasein. Kelalaian menurut Nusye KI Jayanti dapat terjadi dalam tiga bentuk yaitu: 5
a. Malfeasance
Melakukan tindakan melanggar hukum atau tidak tepat atau tidak layak (unlawfull
improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan
tindakan medis tersebut sudah improper.

b. Misfeasance
4
Ibid, h.120
5
Ibid, h.121
Melakukan pilihan tindakan medis yang tepat namun dilaksanakan dengan tidak tepat
(improper performa), misalnya melakukan tindak medis dengan menyalahi prosedur.

c. Nonfeasance
Tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban dan seharusnya
dilakukan.
Sedangkan M. Hatta menulis bahwa untuk menentukan adanya kelalaian dikenal 5
(lima) kategori Medical Negligence, yaitu:6
a. Malfeasance, yaitu apabila dokter melakukan suatu tindakan yang bertentangan
dengan hukum/tidak patut (execution of an unlawful or improper act).
b. Misfeasance, tindakan yang tidak benar (the improper performance of an act)
c. Nonfeasance, tidak melakukan tindakan yang sebenarnya ada kewajiban untuk
melakukan itu (the failure to act when there is a duty to act).
d. Maltreatment, cara penanganan yang tidak profesional dan tidak sesuai dengan
standar profesi medis karena ketidaktahuan, kelalaian atau tidak ada kehendak
untuk bekerja lebih baik (ignorance, neglect willfulness).
e. Criminal Negligence, yaitu sifat tak acuh atau tidak peduli terhadap keselamatan
orang lain walaupun ia mengetahui bahwa tindakannya itu akan mengakibatkan
kerugian pada orang lain.
Kelalaian menurut Nusye Ku Jayanti bukanlah merupak perbuatan yang dapat
dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (kompeten) berdasarkan sifat
profesi bertindak hati-hati dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.
Jadi dengan demikian kelalaian di sini harus memiliki empat unsur, yaitu:
a. adanya kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
b. adanya pelanggaran atau kegagalan memenuhi kewajiban tersebut.
c. adanya kerugian atau cedera pada pasien.
d. adanya hubungan kausalitas antara pelanggaran dan kegagalan memenuhi
kewajiban tersebut dengan cedera atau kerugian.
Ada beberapa ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan apakah seorang dokter
telah melakukan kelalaian atau tidak. Ukuran tersebut umumnya sering dipergunakan oleh si
pasien atau ahli warisnya sebagai alasan dalam melakukan tuntutan atau gugatan kepada
seorang dokter. Ukuran atau kriteria yang dapat dipergunakan tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Adanya kewajiban
Kewajiban yang dimaksudkan di sini adalah bahwa secara hukum seorang dokter
telah mempunyai hubungan hukum dengan si pasien sehingga memberikan
kewajiban kepada si dokter untuk melakukan suatu tindakan medis sesuai dengan
norma norma atau standar profesi yang berlaku bagi si dokter.
b. Melalaikan kewajiban
Kewajiban itu harus dilakukan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan standar
profesinya. Jika seorang dokter melakukan atau tidak melakukan tindakan yang

6
Moh. Hatta, 2003, Hukum Kesehatan dan Sengketa Medik, Lyberty, Yogyakarta, h.173
seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan menurut standar prosfesinya, maka
dokter dapat dianggap telah melalaikan kewajibannya.
c. Menimbulkan kerugian
Dari tindakan dokter yang telah melakukan kelalaian dalam menjalankan
kewajibannya haruslah menimbulkan kerugian bagi pasien. Kerugian ini bisa
dilihat secara materi misalnya dengan kelalaian dokter dapat menimbulkan cacat
bagi si pasien sehingga si pasien tidak dapat lagi mencari penghasilan. Dan juga
dapat dilihat secara immateriil yang mana karena kelalaiannya dokter
menimbulkan penderitaan emosional bagi si pasien.
d. Adanya kausa atau sebab
Antara kelalaian dokter dalam menjalankan kewajiban dan kerugian yang
ditimbulkan harus ada hubungan timbal-balik, yang artinya bahwa kerugian yang
diderita oleh si pasien atau ahli warisnya disebabkan oleh kelalaian dokter tersebut
dalam menjalankan kewajibannya. Inilah yang di dalam ilmu hukum sering
disebut “sebab yang sesuai hukum”.
Danny Wiradharma dengan mengutip pendapat van Hamel dan Simon, menyatakan
bahwa suatu kelalaian harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Tidak mengadakan penduga-duga, sebagaimana yang diharuskan menurut hukum,
dalam hal ini ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu :
1) Pelaku berpikir bahwa akibat yang dilarang tidak akan terjadi karena
perbuatannya;
2) Pelaku sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang
mungkin dapat terjadi karena perbuatannya.
b. Tidak mengadakan penghati-hati, sebagaimana diharuskan oleh hukum. Hal ini
berarti tidak mengadakan pemeriksaan terhadap kemungkinan yang terjadi
Dengan demikian, ini berarti bahwa seorang dokter tidak akan dianggap melakukan
malapraktik, jika melakukan kewajibannya dengan hati-hati tanpa memikirkan bahwa
kerugian yang mungkin akan timbul bukan diakibatkan oleh perbuatannya.

C. Pembuktian Malapraktik di Bidang Pelayanan Kesehatan.


Apabila seorang tenaga kesehatan didakwa telah melakukan crimnal malpractice,
maka harus dibuktikan apakah perbuatannya tersebut telah memenuhi unsur-unsur tindak
pidana yakni : 7
1. Apakah perbuatan (positive act atau negative act) merupakan perbuatan yang
tercela.
2. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah
(sengaja, ceroboh, atau adanya kealpaan)
Selanjutnya, apabila tenaga kesehatan tersebut telah melakukan kealpaan sehingga
mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan yaitu
adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau
kuarang hati-hati ataupun kurang praduga.
7
Muhamad Sadi Is, S.HI., M.H, op.cit, h.61.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktiannya dapat dilakukan
dengan dua cara yakni :8
1. Cara langsung
Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4D, yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan
haruslah bertindak berdasarkan adanya indikasi medis, bertindak secara hati-hati
dan teliti, bekerja sesuai standar profesi dan sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban).
Jika seseorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang
dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan
menurut standar profesinya, maka tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (Kerugian).
Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara
penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada
peristiw atau tindakan sela di antaranya, dalam hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil
(outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan. Sebagai adagium
dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktian adanya kesalahan dibebankan/harus
diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung.
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni
dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan
perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan
apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria fakta tidak mungkin ada/terjadi
apabila tenaga perawatan tidak lalai :
a. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan.
b. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence.

D. Jenis Malapraktik.

1. Malapraktik Etik.
Dokter yang melakukan tindakan yang bertentagan dengan etika kedokteran yang
dituangkan dalam kodeki yang merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau
norma yang berlaku untuk dokter. Kodeki dapat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi
kedokteran dan dapat memberikan dampak negatif antara lain : kontak/komunikasi antar
dokter dan pasiennya semakin berkurang, etika kedokteran terkontaminasi dengan
kepentingan bisnis, dan harga pelayanan medis semakin tinggi. Adapun contoh konkret
malapraktik etik, antara lain di bidang diagnostik dan di bidang terapi.9
8
Muhamad Sadi Is, S.HI., M.H, op.cit, h.63
9
Muhamad Sadi Is, S.HI., M.H, op.cit, h.65
2. Malapraktik Yuridis
Malapraktik yuridis terdiri dari :
a. Malapraktik perdata (Civil Malpractice)
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi
perjanjian (wanprestasi) di dalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga
kesehatan lain, atau terjadinya perubahan melanggar hukum sehingga
menimbulkan kerugian pada pasien. Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian
selain wanprestasi tersebut juga melakukan apa yang menerut kesepakatan wajib
dilakukan tetapi terlambat melaksanakan.
b. Malapraktik pidana (Criminal Malpractice)
Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau
teaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atau kurang cermat dalam melakukan
upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
Jenis malapratik pidana :
1. Malapraktik pidana karena kesengajaan
2. Malapraktik karena kecerobohan
3. Malapraktik pidana karena kealpaan
c. Malapraktik administratif (administrative malpractice)
Terjadi apabila dokter dan/atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran
terhadap hukum administrasi negara yang berlaku.

E. Tanggung jawab Hukum dalam Malapraktik


Secara hukum siapa pun juga yang menimbulkan atau mendatangkan kerugian pada
orang lain diharuskan untuk mempertanggungjawabkan segala kerugian tersebut. Demikian
juga dengan dokter, sebagai tenaga kesehatan yang telah memberikan pelayanan kesehatan
(tindakan medis) kepada pasien, dalam hal si dokter mendatangkan kerugian dengan
pelayanannya tersebut, wajib untuk memberikan pertanggungjawaban. Tanggung jawab
dokter yang melakukan malapraktik dapat ditinjau dari 3 (tiga) segi, yaitu sebagai berikut : 10
1. Tanggung Jawab Keperdataan
Dari segi keperdataan tanggung jawab seorang dokter jika melakukan kesalahan
dalam menjalankan profesinya (malapraktik) terbatas pada tanggung jawab yang timbul
sebagai akibat adanya kontrak/perjanjian yang terjadi antara kedua belah pihak (dokter dan
pasien). Dalam hal yang demikian, maka dokter yang tidak menjalankan profesinya, secara
keperdataan dapat dituntut bahwa yang bersangkutan telah melakukan wanprestasi (Pasal
1239 KUHPerdata), melakukan perbuatan melanggar hukum (Pasal 1365 KUHPerdata), dan
melakukan kelalaian yang mengakibatkan kerugian (Pasal 1366 KUHPerdata).
a. Melakukan wanprestasi Menurut teori Hukum Perdata, seorang dapat dianggap
telah melakukan wanprestasi, apabila:
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi-diperjanjikan.
2) Melakukan apa yang diperjanjikan, tapi terlambat.
3) Melaksanakan apa yang diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana diperjanjikan.
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

10
H. Zaeni Asyhadie, S.H., M.Hum, op.cit, h.125
Sesuai dengan uraian di atas umumnya seorang dokter dikatakan wanprestasi apabila
sesuai dengan yang tercantum dalam poin (b), melaksanakan apa yang diperjanjikan tetapi
tidak sebagaimana diperjanjikan. Dalam hal ini, dokter dapat diminta
pertanggungjawabannya dengan Pasal 1371 ayat (1) KUHPerdata: "Penyebab luka atau cacat
sesuatu anggota badan dengan sengaja atau kurang hati-hati memberi hak kepada si korban
untuk selain penggantian biaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian yang
disebabkan oleh luka atau cacat tersebut". Dengan demikian, jika dokter tidak melaksanakan
kewajiban-kewajiban kontraktualnya dengan melakukan kesalahan profesional, dia
melakukan wanprestasi dan dapat dipertanggungjawabkan untuk membayar ganti rugi.
b. Melakukan perbuatan melanggar hukum
Dalam tatanan hukum di Indonesia, suatu perbuatan dikatakan atau tergolong suatu
perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaat) apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Perbuatan itu melanggar hak subjektif orang lain atau yang bertentangan dengan
kewajiban hukum dari mereka yang melakukan perbuatan tersebut.
2) Perbuatan tersebut harus didasari adanya unsur kesalahan baik ditinjau secara
objektif maupun subjektif. Secara objektif maksudnya bahwa dalam keadaan yang
sama setiap orang pasti akan menduga akan timbul kerugian akibat kesalahan
yang dilakukan tersebut. Sedangkan secara subjektif maksudnya orang yang
melakukan perbuatan tersebut sudah tahu bahwa yang dia perbuat akan
menimbulkan kerugian.
3) Harus ada kerugian yang ditimbulkan, baik itu menyangkut kerugian materiil,
kerugian yang nyata diderita, dan keuntungan yang seharusnya diperoleh, maupun
kerugian idiil seperti ketakutan, sakit, dan kehilangan hidup (kematian).
4) Adanya hubungan antara perbuatan dengan kerugian yang ditimbulkan.
Apabila unsur-unsur itu tersepenuhi maka pihak yang dirugikan, atau dalam
malapraktik yaitu pasien atau ahli warisnya, dapat mengajukan tuntutan berdasarkan Pasal
1365 KUHPerdata: "Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kesalahan itu, mengganti
kerugian tersebut."
Di samping itu, dari segi keperdataan dokter atau tenaga kesehatan lainnya dapat
digugat karena:
1) Melakukan wanprestasi (Pasal 1259 KUHPerdata).
2) Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (Pasal 1366
KUHPerdata).
3) Melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab (Pasal 136 ayat 3 KUHPerdata)

2. Tangung jawab Kepidanaan


Tanggung jawab kepidanaan dalam hubungan dokter dan pasien dapat muncul dalam
tindakan medis yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya. Dalam melakukan suatu
tindakan seorang dokter sering kali berhadapan dengan masalah-masalah :
a. Tindakan atas dasar indikasi medis hanya dapat dilakukan setelah adanya persetujuan
pasien.
b. Tindakan atas dasar indikasi medis tanpa adanya persetujuan pasien. Seorang dokter
yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan seorang bisa dituntut telah
melakukan kekerasan sesuai ketentuan Pasal 89 KUHP membuat seseorang pingsan
atau tidak berdaya".
c. Tindakan tanpa dasar tindakan medis dengan persetujuan pasien. Contoh: operasi
plastik.
d. Tindakan tanpa dasar tindakan medis tanpa persetujuan pasien.
Tanggungjawab pidana yang perlu dibuktikan dengan adanya kesalahan profesional,
yaitu biasanya dihubungkan dengan masalah kelalaian, dan persetujuan dari pasien yang
bersangkutan. Apabila kelalaian itu ada dan tidak ada persetujuan dari pasien, maka dokter
dapat diduga telah melakukan tindak pidana.
3. Tanggung Jawab Administrasi
Tanggung jawab malapraktik dalam bidang Hukum Administrasi, antara lain karena :
a. Berpraktik tanpa izin.
b. Melanggar kewajiban menyimpan kondisi kesehatan pasien.
Tuntutan malapraktik dengan tanggung jawab kepidanaan khususnya yang berkaitan
dengan kelalaian dokter tentunya harus dibuktikan. Untuk membuktikan apakah benar telah
melakukan kelalaian (culpa) merupakan kesulitan bagi aparat penegak hukum. Kesulitan ini
dapat disebabkan karena:
1. Kurangnya pengetahuan, keahlian dan pengalaman di bidang medik/kedokteran.
2. Kesulitan mendapatkan saksi dari teman sejawat dokter karena biasanya seorang
dokter akan segan untuk memberikan kesaksian yang memberatkan rekan
sejawatnya.
Dalam praktik biasanya ada beberapa kriteria untuk dapat menilai apakah seorang
dokter yang telah melakukan malapraktik atau tidak. Kriteria tersebut adalah:
1. Apakah perawatan yang dilakukan oleh dokter cukup layak.
Dalam hal ini standar perawatan yang telah diberikan oleh dokter apakah sesuai
dengan keahliannya. Seorang dokter spesialis tentunya lebih tinggi tingkat
perawatan jika dibandingkan dengan dokter umum. Untuk kriteria ini umumnya
bisa dibuktikan oleh pasien.
2. Apakah telah terjadi pelanggaran kewajiban atau tidak.
Untuk membuktikan apakah telah terjadi pelanggaran atau tidak terhadap tindakan
medis yang dilakukan seorang dokter kepada pasiennya, tentunya diperlukan saksi
ahli yang berkaitan dengan ilmu medis. Untuk mendapatkan saksi ini diperlukan
kesaksian kolega teman sejawatnya. Seperti yang tadi dikemukakan untuk
mendapatkan kesaksian dari teman sejawat seorang dokter merupakan salah satu
kesulitan.
3. Apakah kelalaian itu benar-benar merupakan penyebab cedera.
Untuk hal ini tidak semua kasus dugaan malapraktik bisa dibuktikan dengan
melihat apakah kelalaian yang dilakukan oleh seorang dokter benar-benar
merupakan penyebab cedera, sebab ini pun harus dibuktikan oleh seorang saksi
ahli.
Jadi dengan demikian, kadang kala sulit untuk membuktikan apakah seorang dokter
telah melakukan malapraktik atau tidak. Untuk itu diperlukan adanya kerja sama dengan
badan-badar atau majelis yang terkait dengan kedokteran, antaran lain Konsil Kedokteran
Indonesia; (2) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia; dan (3) Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran.
Pasal 1 angka 14 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, menentukan
bahwa: Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang
untuk menentukan kesalahan yang dilakukan dokter atau dokter gigi dalam penerapan
disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.
Di samping itu dengan adanya Surat Edaran Kejaksaan Agung dan Putusan
Mahkamah Institusi yang menentukan:
a. Surat Edaran Kejaksaan Agung No. B.006/R-3/1/1982 tanggal 19 Oktober 1982
yang menentukan bahwa tidak diperkenankan untuk meneruskan perkara
malapraktik sebelum berkonsultasi dengan pejabat Dinas Kesehatan setempat.
b. Putusan Mahkamah Institusi No. 4/PVV-V/2007 yang menentukan bahwa
sengketa medis harus diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan profesi.

F. Teori Pembelaan Malapraktik


Selain dikenal adanya beberapa teori tentang sumber malapraktik, yang apabila
ditinjau dari kegunaan teori-teori tersebut tentu saja akan berguna bagi pasien untuk
mempergunakannya sebagai dasar gugatan, dan bagi para penegak hukum dapat digunakan
sebagai dasar untuk menuntut. Namun demikian di pihak dokter juga di jumpai adanya
beberapa teori yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan pembelaan terhadap gugatan dan
tuntutan tersebut.
Teori pembelaan diri terhadap gugatan dan tuntutan dalam malapraktik adalah sebagai
berikut :
1. Teori kesediaan pasien untuk menerima risiko
Artinya setelah dijelaskan tentang seluk-beluk penyakitnya, dan tindakan medis
yang akan dilakukan untuk mengurangi penderitaannya (informat consent) si
pasien bersedia menandatangani perjanjian. Ini berarti si pasien mau menerima
segala tindakan medis yang dilakukan dokter dan mau menerima segala risiko
yang akan dihadapinya. Atas dasar ini dokter atau tenaga para medis dapat
membela diri.
2. Juga ada teori yang menyatakan bahwa si pasien ikut serta dalam melakukan
kelalaian. Dalam hal ini dokter atau tenaga para medis dapat saja melakukan
pembelaan dengan menyatakan bahwa si pasien tidak menaati segala nasihat
dokter atau tenaga para medis tentang hal-hal yang harus atau yang tidak
dilakukan si pasien setelah tindakan medis. Misalnya setelah operasi pasien
dilarang untuk melakukan gerakan yang dapat menimbulkan efek samping.
3. Adanya perjanjian untuk membebaskan diri dari kesalahan misalnya dalam kontak
operasi ditentukan pasien tidak akan mengambil tind hukum apabila terjadi
kegagalan operasi.
4. Adanya aturan Good Samaritan, di mana seorang dokter memberikan pertolongan
gawat darurat demi kemanusiaan dengan tujuan yang murni. Di sini dokter juga
dapat melakukan pembelaan diri, bahwa tindakan medis tersebut harus segera
dilakukan, sebab jika terlambat dilakukan si pasien bisa saja mengalami kefatalan.
Untuk alasan itu dokter atau tenaga para medis bisa melakukan pembelaan diri,
kecuali apabila terjadi kesalahan atau kelalaian yang fatal dan mencolok.
5. Pembebasan atas tuntutan, di mana dalam kontrak ditentukan kedua belah pihak
akan menyelesaikan permasalahan dengan perdamaian.
Perdamaian hanya bisa dilakukan secara keperdataan, dan ini berarti perdamaian
hanya bisa dilakukan apabila si pasien mengadakan gugatan terhadap tanggung jawab
keperdataan, misalnya atas dasar wanprestasi atau perbuatan melawan hukum
(onterchtmatigedaad).
Tetapi apabila kesalahan dokter tersebut berkaitan dengan tindakan kepidanaan,
misalnya terjadi kelalaian berat yang mengakibatkan si pasien meninggal dunia, pembebasan
diri atas tuntutan ini tidak bisa bisa dipergunakan. Hal ini disebabkan karena masalah
kepidanaan adalah masalah (hukum) publik yang menyangkut kepentingan masyarakat
banyak. Dalam hal demikian, jika dokter atau tenaga para medis yang karena tindakan
medisnya mengakibatkan pasien meninggal dunia maka ketentuan hukum pidana harus
ditegakkan supaya dokter selalu berhati-hati dalam melaksanakan kewajibannya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa dokter atau tenaga para medis adalah manusia
biasa, yang dalam hal-hal tertentu bisa saja melakukan kelalaian yang dapat merugikan
pasien. Dalam hal ini beradaan rekam medis diperlukan untuk me-review tindakan dokter
atau tenaga para medis. Dalam rekam medis bisa dilihat apakah dokter atau tenaga para
medis telah melakukan tindakan yang sesuai dengan standar profesi atau tidak. Namun
demikian si pasien atau keluarganya atau masyarakat harus memahami bahwa obat atau
pengobatan dapat saja mengandung risiko yang tidak terduga, misalnya terjadinya kontradiksi
terhadap suatu tertentu yang dapat saja berlaku pada semua orang yang karena genetik tidak
bisa menerima reaksi sesuatu obat.

Literatur :
Buku :
1. Sadi, Muhamad, 2017, Etika Hukum Kesehatan, PT Balebat Dedikasi Prima, Jakarta.
2. Asyhadie, H. Zaeni, 2017, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia, Rajawali
Pers, Depok.
3. Hatta, M, 2003, Hukum Kesehatan dan Sengketa Medik, Lyberty, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai