BAB I
PENDAHULUAN
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus
malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan
diagnosis bidan yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Media massa marak
memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada
bidan, dokter dan tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat
konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian
medis.
1.2 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis.
Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti
“pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang
salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk
menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau
bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan
merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut
ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los
Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi kesehatan. Di dalam setiap profesi
termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila
timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut
pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice
dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat
dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada
kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada
perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka
ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical
malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice
merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti
merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang
hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative
malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan
tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional),
kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan
kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice
antara lain:
dilakukan.
dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula
dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah
sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya
(tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas
kewajibannya.
3. Administrative malpractice
Tenaga bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga bidan
tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police
power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang
kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga bidan untuk menjalankan profesinya (Surat
Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga bidan. Apabila aturan
tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar
hukum administrasi.
Dari definisi malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat
pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos,
California, 1956).
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian
tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah
lazim dipergunakan diwilayah tersebut.
Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang
melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam
transaksi teraputik antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya
upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis).
Sebagai contoh adanya komplain terhadap tenaga bidan dari pasien yang menderita radang uretra
setelah pemasangan kateter. Apakah hal ini dapat dimintakan tanggung jawab hukum kepada
tenaga bidan? Yang perlu dipahami semua pihak adalah apakah ureteritis bukan merupakan
resiko yang melekat terhadap pemasangan kateter? Apakah tenaga bidan dalam memasang
kateter telah sesuai dengan prosedur profesional ?.
Hal-hal inilah yang menjadi pegangan untuk menentukan ada dan tidaknya
malpraktek.
Apabila tenaga bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan
hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada
dan tidaknya kesalahan.
Dalam hal tenaga bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah
perbuatan tenaga bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja,
ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila tenaga bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan
pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur
perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati
ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua
cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga bidan dengan pasien, tenaga bidan haruslah bertindak
berdasarkan
Jika seorang tenaga bidan melakukan asuhan kebidanan menyimpang dari apa yang seharusnya
atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga
bidan tersebut dapat dipersalahkan.
d. Damage (kerugian)
Tenaga bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara
penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa
atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome)
negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga bidan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan
dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan bidan (doktrin res ipsa
loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga bidan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence.
Misalnya ada kasus saat tenaga bidan akan mengganti/memperbaiki kedudukan jarum infus
pasien bayi, saat menggunting perban ikut terpotong jari pasien tersebut .
Dalam hal ini jari yang putus dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat
membuktikan kesalahan tenaga bidan, karena:
a. Jari bayi tidak akan terpotong apabila tidak ada kelalaian tenaga bidan.
Malpraktek dalam asuhan kebidanan adalah suatu kelalaian dari seseorang bidan untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat
pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama.
Jika dilihat dari pengertian tersebut dan dihubungkan dengan kasus Bidan Handayani, maka bisa
dikatakan Bidan Handayani telah melakukan malpraktek. Bisa dikatakan demikian karena
berdasarkan informasi yang telah kami dapat. Tapi mengenai bukti kebenarannya secara pasti,
dibutuhkan data – data lengkap mengenai riwayat kehamilan Ibu Nunuk sampai mengenai
prosedur persalinan yang digunakan Bidan Handayani pada Ibu Nunuk. Tidak bisa kita
simpulkan hanya berdasarkan informasi sederhana yang kami dapat. Harus ditelaah lebih dalam
bukan hanya saat kejadian. Tapi juga saat proses kehamilan. Apakah Ibu Nunuk rutin
memeriksakan kehamilannya? Apakah Ibu Nunuk selalu memeriksakan kehamilan pada Bidan
Handayani atau bidan lain? Apakah Bidan Handayani telah memperoleh informasi lengkap
mengenai kondisi kehamilan Ibu Nunuk? Apakah Bidan Handayani telah melakukan proses
persalinan dengan prosedur professional sesuai dengan keadaan kehamilan? Pertanyaan –
pertanyaan itulah yang perlu dijawab untuk membuktikan apakah Bidan Handayani melakukan
malpraktek atau tidak.
Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan
kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini
tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut
merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang
harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian tenaga bidan.
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan
kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan
adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga
kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak
sesuai standar profesi/standar pelayanan.
1. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang
dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah
sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai
karyawannya.
1. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban
hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang
berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam
pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena adanya mal
praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat
verbintenis).
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan
menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau
keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat
melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan
yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan
mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk
of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea)
sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada
doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur
pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung
jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum,
sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti
rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam
peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan
lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat
(bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya
fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya
tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara
menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus
membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan
tenaga kebidanan.
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada
peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak
dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan
dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent
secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya
persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh
informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau
sikap diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak
diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa
informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat
memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada
keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah
penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik
diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat
pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).
Solusi
Keluarga yang akan melakukan tuntutan terhadap tenaga bidan sebagai terdakwa yang telah
melakukan ciminal malpractice, harusnya dapat membuktikan apakah perbuatan tenaga bidan
tersebut telah memenuhi unsur tidak pidana yakni :
1. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
Berdasarkan kasus di atas, bidan Linda Handayani hanya berniat untuk menolong, namun pada
pertolongan kasus ini bukanlah kewenangan bidan, melainkan kewenangan dokter obgyn.
1. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja,
ceroboh atau adanya kealpaan).
Berdasarkan kasus di atas masih kurang jelas apakah pada kasus tersebut ada unsur sengaja atau
tidak sengaja. Jadi bidan Linda Handayani hendaknya menjelaskan pada proses keadilan tentang
hal sebenarnya.
Dalam kasus atau gugatan adanya criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai)
pembuktianya dapat dilakukan dengan:
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolak ukur adanya 4D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian bidan Linda Handayani dengan pasien Nunuk Rahayu, bidan Linda
Handayani haruslah bertindak berdasarkan:
Berdasarkan point – point di atas penggugat harus mengkaji lebih lanjut untuk didapatkan bukti
yang jelas apakah bidan Linda Handayani telah memenuhi tindakan yang seharusnya dilakukan
oleh seorang bidan atau tidak.
Jika seorang tenaga bidan melakukan asuhan kebidanan menyimpang dari apa yang seharusnya
atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga
bidan tersebut dapat dipersalahkan. Dalam kasus diatas bidan Handayani telah memenuhi point
ini, menolong persalinan sungsang bukanlah kewenangan dari bidan sehingga melalui point ini
bidan Handayani dapat dipersalahkan/digunakan sebagai berkas tuntutan dari keluarga ke bidan
Handayani.
d. Damage (kerugian)
Tenaga bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara
penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa
atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome)
negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga bidan. Berdasarkan teori ini yang
dihubungkan dengan kasus maka, hasil negative dari kasus ini yang berupa putusnya leher bayi
dan meninggalnya bayi tidak dapat digunakan langsung sebagai dasar menyalahkan bidan
Handayani, perlu dilakukan pengkajian oleh penggugat mengenai hubungan langsung antara
penyebab dan kerugian yang diderita oleh penggugat (keluarga ibu Nunuk) untuk didapatkan
bukti yang jelas untuk pengajuan tuntutan.
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan bidan (doktrin res ipsa
loquitur). Dalam kasus ini hasil layanan bidan adalah putusnya leher bayi dari ibu Nunuk.
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga bidan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga bidan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence.
1. Apa yang seharusnya dilakukan seorang bidan dalam menghadapi kasus ini?
Dalam kasus diatas tuduhan kepada bidan yang merupakan criminal malpractice, maka tenaga
bidan dapat melakukan :
Dalam informal defence ini hendaknya bidan Handayani menjelaskan apa yang terjadi
sebenarnya, apakah itu merupakan kesengajaan, atau resiko medik atau hal-hal yang lain.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada
doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur
pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung
jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Dalam informal defence ini hendaknya bidan Handayani menjelaskan, apakah hal ini merupakan
pengaruh paksaan sehingga bidan Handayani dapay membebaskan diri atau tidak dalam
pengaruh paksaan sehingga bidan Handayani harus memperjelas apa yang terjadi sebenarnya
sehingga layak untuk mendapat hukuman atau tidak.
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis.
Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti
“pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang
salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk
menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau
bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan
merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut
ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los
Angelos, California, 1956).
Berdasarkan kasus Bidan Linda Handayani yang telah kami pelajari, dapat disimpulkan bahwa
masih kurang jelas apakah pada kasus tersebut ada unsur sengaja atau tidak sengaja. Masih
banyak hal yang harus dibuktikan dalam kasus ini. Jadi bidan Linda Handayani hendaknya
menjelaskan pada proses keadilan tentang hal sebenarnya.
Selanjutnya apabila keluarga menuduh bidan Linda Handayani telah melakukan kealpaan
sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, maka yang harus dibuktikan adalah adanya
unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-
hati ataupun kurang praduga.
1.2 Saran
Bidan Handayani sebagai seorang bidan senior hendaknya dapat menunjukkan profesionalisme
sebagai seorang tenaga kesehatan. Dalam arti beliau harus bisa menjelaskan dengan sejelas-
jelasnya tentang kronologis peristiwa yang terjadi, agar tidak menimbulkan prasangka publik
yang akhirnya akan menimbulkan fitnah dan isu-isu yang tidak benar. Dan pada akhirnya juga
akan merugikan nama baik sebagai seorang bidan serta hilangnya kepercayaan masyarakat.
Sesuai dengan kode etik profesi dan sumpah jabatan sebagai seorang tenaga kesehatan harus
dapat mempertanggungjawabkan kejadian yang telah terjadi. Karena bidan adalah sebagai pelaku
utama dalam kasus ini, bidan harus bisa menjelaskan dengan sebenar- benarnya sebab terjadinya
peristiwa saat membantu persalinan bayi sungsang lahir dengan leher putus. Badan bayi keluar
duluan, sedangkan kepalanya tertinggal di dalam rahim, kejadian tersebut sangat ironi.
Menurut standar kewenangan profesi kebidanan seharusnya seorang bidan tidak mempunyai
kewenangan untuk membantu persalinan dalam kondisisi sungsang. Bidan harus bisa menyadari
hal tersebut dan seharusnya bidan melakukan rujukan. Hal tersebut merupakan keadaan
abnormal dan persalinan tidak dapat ditolong pervaginam melainkan harus ditangani oleh yang
ahli yaitu obgin.
Daftar pustaka
4. Dahlan, S., 2002, Hukum Kesehatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
5. Guwandi, J., 1993, Malpraktek Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.