Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Bidan merupakan suatu profesi dinamis yang harus mengikuti
perkembangan era ini. Oleh karena itu bidan harus berpartisipasi mengembangkan
diri mengikuti permainan global. Partisipasi ini dalam bentuk peran aktif bidan
dalam meningkatkan kualitas pelayanan, pendidikan dan organisasi profesi.3
Defenisi bidan menurut Internasional Confederation Of Midwives (ICM) ke 27,
bulan Juli 2005, yang diakui oleh Who dan Federation of Internasional
Gynecologist obstetrition (FIGO), “ Bidan adalah seseorang yang telah mengikuti
program pendidikan bidan yang diakui di negaranya, telah lulus dari pendidikan
tersebut, serta memenuhi kualifikasi untuk didaftar (register) dan atau memiliki
izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik bidan.

Bidan diakui sebagai tenaga profesional yang bertanggung jawab dan


akuntabel, yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan ,
asuhan dan nasehat selama masa hamil, masa persalinan dan masa nifas,
memimpin persalinan atas tanggung jawab sendiri dan memberikan asuhan
kepada bayi baru lahir dan bayi. Asuhan ini mencakup upaya pencegahan,
promosi persalinan normal, deteksi komplikasi kepada ibu dan anak , dan akses
pelayan kesehatan ibu dan anak.

Mengingat besarnya tanggung jawab dan beban kerja bidan dalam melayani
masyarakat, pemerintah bersama dengan IBI telah mengupayakan pendidikan bagi
bidan agar dapat menghasilkan lulusan yang mampu memberikan pelayanan yang
berkualitas dan dapat berperan sebagai tenaga kesehatan professional.
Permasalahan yang dihadapi saat ini ialah semakin banyaknya bidan memiliki izin
untuk melakukan kegiatan medis dengan begitu mudahnya, sehingga
memungkinkannya muncul bidan-bidan yang tidak berkompeten dan dalam
makalah ini dibahas mengenai malpraktik yang terjadi akibat dari bidan.
1.2. Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup pembahasan yang akan dibahas yaitu mengenai refleksi
kasus dalam malpraktek tentang bayi baru lahir.

1.3. Tujuan penulisan


1. Mahasiswa mampu mengetahui tentang refleksi kasus dalam malpraktek
tentang bayi baru lahir
2. Mahasiswa mampu mempelajari tentang hukum dan aturan dari tugas
bidan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Malpraktek

1. Pengertian Malpraktek

Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan
“praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek
berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya
demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan
adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.

Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari


seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu
pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan
terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama”
(Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California,
1956).

Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi kesehatan. Di


dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma
hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah
seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut.
Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut
pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat
dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga
apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena
antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut
substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk
menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan
sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan
yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti
merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

2. Malpraktek Dibidang Hukum

Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3


kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil
malpractice dan Administrative malpractice.

1. Criminal malpractice

Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal


malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :

a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan


perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa
kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan
(negligence).

 Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya


melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia
jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal
263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299
KUHP).
 Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness)
misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien
informed consent.
 Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya
kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya
pasien.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah
bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang
lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

2. Civil malpractice

Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice


apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya
sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).

Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara


lain:

a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.


b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi


dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.
Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat
atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga
kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

3. Administrative malpractice

Tenaga bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice


manakala tenaga bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu
diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai
kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya
tentang persyaratan bagi tenaga bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin
Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga bidan.
Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat
dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

3. Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan  Kesehatan

Dari definisi malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau


bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau
orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La
Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).

Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar


telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut.

Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan


merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of
treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenaga kesehatan
dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning
verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis).

Sebagai contoh adanya komplain terhadap tenaga bidan dari pasien yang
menderita radang uretra setelah pemasangan kateter. Apakah hal ini dapat
dimintakan tanggung jawab hukum kepada tenaga bidan? Yang perlu dipahami
semua pihak adalah apakah ureteritis bukan merupakan resiko yang melekat
terhadap pemasangan kateter? Apakah tenaga bidan dalam memasang kateter
telah sesuai dengan prosedur profesional ?.

Hal-hal inilah yang menjadi pegangan untuk menentukan ada dan tidaknya

malpraktek.
Apabila tenaga bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini
bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami
profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.

Dalam hal tenaga bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice,


harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga bidan tersebut telah memenuhi unsur
tidak pidanya yakni :

a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan


perbuatan yang tercela
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens
rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).

Selanjutnya apabila tenaga bidan dituduh telah melakukan kealpaan


sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang
harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan
dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.

Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat


dilakukan dengan dua cara yakni :

1. Cara langsung

Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D


yakni :

a. Duty (kewajiban)

Dalam hubungan perjanjian tenaga bidan dengan pasien, tenaga bidan


haruslah bertindak berdasarkan

1. Adanya indikasi medis


2. Bertindak secara hati-hati dan teliti
3. Bekerja sesuai standar profesi
4. Sudah ada informed consent.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Jika seorang tenaga bidan melakukan asuhan kebidanan menyimpang dari


apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan
menurut standard profesinya, maka tenaga bidan tersebut dapat dipersalahkan.

c. Direct Causation (penyebab langsung)

d. Damage (kerugian)

Tenaga bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal


(langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh
karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini
haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai
dasar menyalahkan tenaga bidan.

Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya


adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

2. Cara tidak langsung

Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien,
yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan
bidan (doktrin res ipsa loquitur).

Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada
memenuhi kriteria:

a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga bidan tidak lalai


b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga bidan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain
tidak ada contributory negligence.
Misalnya ada kasus saat tenaga bidan akan mengganti/memperbaiki
kedudukan jarum infus pasien bayi, saat menggunting perban ikut terpotong jari
pasien tersebut .

Dalam hal ini jari yang putus dapat dijadikan fakta yang secara tidak
langsung dapat membuktikan kesalahan tenaga bidan, karena:

a. Jari bayi tidak akan terpotong apabila tidak ada kelalaian tenaga bidan.
b. Membetulkan jarum infus adalah merupakan/berada pada tanggung jawab
bidan.
c. Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.

Malpraktek dalam asuhan kebidanan adalah suatu kelalaian dari seseorang


bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau
orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.

4. Tanggung Jawab Hukum

Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu


dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan
kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang
perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau
merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat
apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian tenaga bidan.

Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara


lain:

1. Contractual liability

Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban


dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan,
kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan
keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah
sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar
profesi/standar pelayanan.

2. Vicarius liability

Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang


timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung
jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas
kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.

3. Liability in tort

Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum


(onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan
yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun
terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan
atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup
terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).

2. Upaya Pencegahan Dan Menghadapi Tuntutan Malpraktek

1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan

Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan


karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya
selalu bertindak hati-hati, yakni:

a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya,


karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan
perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala
kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat
sekitarnya.

2.   Upaya menghadapi tuntutan hukum

Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan


sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga bidan seharusnyalah
bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian
bidan

Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka


tenaga bidan dapat melakukan :

a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/


menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak
menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan
bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko
medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak
mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam
perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan
atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal
tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau
melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban,
dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya
paksa.

Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa


penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan
kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan
digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan
dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan
harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau
pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat
(bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.

Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak


diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi
untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of
duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan
adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah
orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga
kebidanan.

Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada
peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:

1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan


apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak
melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien,
walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif)
memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar,
mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien,
setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang
perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan
persetujuan lisan atau sikap diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik
diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak
boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat
merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat
memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam
memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran
seorang bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang
direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi
biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan
dengan informed consent).

2.2 Pelayanan Kesehatan Pada Bayi Baru Lahir


a. Pengertian Standar Pelayanan Kesehatan
Standar layanan merupakan bagian penting dari layanan kesehatan itu

sendiri dan memainkan peranan penting dalam masalah mutu layanan kesehatan.

Jika suatu organisasi layanan kesehatan ingin meyelenggarakan layanan kesehatan

yang bermutu secara konsisten, keinginan tersebut harus dijabarkan menjadi suatu

standar layanan kesehatan atau standar prosedur operasional.  

Secara luas, pengertian standar layanan kesehatan adalah suatu pernyataan


tentang mutu yang diharapkan, yaitu akan menyangkut masukan, proses dan
keluaran (outcome) sistem layanan kesehatan.

b. Standar Pelayanan Bayi Baru Lahir

STANDAR 13 : Perawatan Bayi Baru Lahir


Bidan memeriksa dan menilai bayi baru lahir untuk memastikan
pernafasan spontan, mencegah asfiksia, menemukan kelainan , dan melakukan
tindakan atau merujuk sesuai kebutuhan. Bidan juga harus mencegah atau
menangani hipotermi dan mencegah hipoglikemia dan infeksi.
Tujuan nya adalah menilai kondisi bayi baru lahir dan membantu
dimulainya pernafasan serta mencegah hipotermi, hipoglikemi dan infeksi.
Dan hasil yang diharapkan adalah bayi baru lahir menemukan perawatan
dengan segera dan tepat. Bayi baru lahir mendapatkan perawatan yang tepat untuk
dapat memulai pernafasan dengan baik.

STANDAR 15 : Pelayanan Bagi Ibu dan Bayi Pada Masa Nifas


Bidan memberikan pelayanan selama masa nifas di puskesmas dan rumah
sakit atau melakukan kunjungan ke rumah paa hari ke-tiga, minggu ke dua dan
minggu ke enam setelah persalinan, untuk membantu proses penatalaksanaan tali
pusat yang benar, penemuan dini, penatalaksanaan atau rujukan komplikasi yang
mungkin terjadi pada masa nifas, serta memberikan penjelasan tentang kesehatan
secara umum, kebersihan perorangan, makanan bergizi, asuhan bayi baru lahir ,
pemberian ASI , imunisasi dan KB.
Tujuan nya adalah memberikan pelayanan kepada ibu dan bayi sampai 42
hari setelah persalinan dan memberikan penyuluhan ASI eksklusif.

c. Jenis Pelayanan Kesehatan Pada Bayi Baru Lahir

Pelaksanaan asuhan bayi baru lahir mengacu pada pedoman Asuhan Persalinan
Normal yang tersedia di puskesmas, pemberi layanan asuhan bayi baru lahir dapat
dilaksanakan oleh dokter, bidan atau perawat. Pelaksanaan asuhan bayi baru lahir
dilaksanakan dalam ruangan yang sama dengan ibunya atau rawat gabung (ibu
dan bayi dirawat dalam satu kamar, bayi berada dalam jangkauan ibu selama 24
jam).
Asuhan bayi baru lahir meliputi:
a. Pencegahan infeksi (PI)
b. Penilaian awal untuk memutuskan resusitasi pada bayi
c. Pemotongan dan perawatan tali pusat
d. Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
e. Pencegahan kehilangan panas melalui tunda mandi selama 6 jam, kontak
kulit bayi dan ibu serta menyelimuti kepala dan tubuh bayi.
f. Pencegahan perdarahan melalui penyuntikan vitamin K1 dosis tunggal di
paha kiri
g. Pemberian imunisasi Hepatitis B (HB 0) dosis tunggal di paha kanan
h. Pencegahan infeksi mata melalui pemberian salep mata antibiotika dosis
tunggal
i. Pemeriksaan bayi baru lahir
j. Pemberian ASI eksklusif

Pelayanan kesehatan pada bayi adalah:


a. Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
IMD adalah memberikan pelayanan kesehatan pada anak dengan
mendekapkan bayi diantara kedua payudara ibunya segera setelah lahir.
Memberikan kesempatan bayi menyusui sendiri segera setelah lahir dengan
meletakkan bayi di dada atau perut dan kulit bayi melekat pada kulit ibu (skin to
skin contact) setidaknyaselama 1-2 jam sampai bayi menyusui sendiri.
Hal ini dapat menghindari kematian bayi dan penyakit yang menyerang
bayi, karena kandungan antibodi yang ada pada colostrom dan ASI. Setelah bayi
lahir dan tali pusat dipotong, segera letakkan bayi tengkurap di dada ibu, kulit
bayi kontak dengan kulit ibu untuk melaksanakan proses IMD.

Langkah IMD pada persalinan normal (partus spontan):


1. Suami atau keluarga dianjurkan mendampingi ibu di kamar bersalin
2. Bayi lahir segera dikeringkan kecuali tangannya, tanpa menghilangkan
vernix, kemudian tali pusat diikat.
3. Bila bayi tidak memerlukan resusitasi, bayi ditengkurapkan di dada ibu
dengan kulit bayi melekat pada kulit ibu dan mata bayi setinggi puting
susu ibu. Keduanya diselimuti dan bayi diberi topi.
4. Ibu dianjurkan merangsang bayi dengan sentuhan, dan biarkan bayi
sendiri mencari puting susu ibu.
5. Ibu didukung dan dibantu tenaga kesehatan mengenali perilaku bayi
sebelum menyusu.
6. Biarkan kulit bayi bersentuhan dengan kulit ibu minimal selama satu jam,
bila menyusu awal terjadi sebelum 1 jam, biarkan bayi tetap di dada ibu
sampai 1 jam
7. Jika bayi belum mendapatkan putting susu ibu dalam 1 jam posisikan
bayi lebih dekat dengan puting susu ibu, dan biarkan kontak kulit bayi
dengan kulit ibu selama 30 menit.
Setelah selesai proses IMD bayi ditimbang, diukur, dicap/diberi
tanda identitas, diberi salep mata dan penyuntikan vitamin K1 pada paha
kiri. Satu jam kemudian diberikan imunisasi Hepatitis B (HB 0) pada
paha kanan.
1. Pelaksanaan penimbangan, penyuntikan vitamin K1, salep mata dan
imunisasi Hepatitis B (HB 0).
2. Pemberian layanan kesehatan tersebut dilaksanakan pada periode setelah
IMD sampai 2-3 jam setelah lahir, dan dilaksanakan di kamar bersalin
oleh dokter, bidan atau perawat.
3. Semua BBL harus diberi penyuntikan vitamin K1 (Phytomenadione) 1
mg intramuskuler di paha kiri, untuk mencegah perdarahan BBL akibat
defisiensi vitamin K yang dapat dialami oleh sebagian BBL.
4. Salep atau tetes mata diberikan untuk pencegahan infeksi mata
(Oxytetrasiklin 1%).
5. Imunisasi Hepatitis B diberikan 1-2 jam di paha kanan setelah
penyuntikan Vitamin K1 yang bertujuan untuk mencegah penularan
Hepatitis B melalui jalur ibu ke bayi yang dapat menimbulkan kerusakan
hati.

d. Pemeriksaan Bayi Baru Lahir


Pemeriksaan BBL bertujuan untuk mengetahui sedini mungkin kelainan
pada bayi. Risiko terbesar kematian BBL terjadi pada 24 jam pertama kehidupan,
sehingga jika bayi lahir di fasilitas kesehatan sangat dianjurkan untuk tetap tinggal
di fasilitas kesehatan selama 24 jam pertama.
Pemeriksaan bayi baru lahir dilaksanakan di ruangan yang sama dengan
ibunya, oleh dokter/ bidan/ perawat. Jika pemeriksaan dilakukan di rumah, ibu
atau keluarga dapat mendampingi tenaga kesehatan yang memeriksa.

e. Pencegahan infeksi
 Pemotongan tali pusat pada BBL normal dilakukan sekitar 2 menit setelah
bayi baru lahir atau setelah penyuntikan oksitosin 10 IU intramuskular
kepada ibu.
 Jangan membungkus punting tali pusat atau perut bayi atau mengoleskan
cairan atau bahan apapun kepuntung tali pusat
 Mengoleskan alcohol atau betadin (terutama jika pemotong tali pusat tidak
terjamin DTT atau steril) masih diperkenankan tetapi tidak dikompreskan
karena akan menyebabkan tali pusat basah atau lembab
 Berikan nasehat pada ibu dan keluarga sebelum meninggakan bayi
 Lipat popok di bawah punting tali pusat
 Jika punting tali pusat kotor, bersihkan hati-hati dengan air DTT dan
sabun dan segera keringkan secara seksama dengan menggunakan kain
bersih
 Jelaskan pada ibu bahwa ia harus mencari bantuan jika pusat menjadi
merah, bernanah, berdarah atau berbau
 Jika pangkal tali pusat menjadi merah, mengeluarkan nanah atau darah
segera rujuk bayi ke fasilitas yang dilengkapi perawatan untuk BBL

f. Pencegahan Hilangnya Panas Tubuh Bayi


Pastikan bayi selalu dalam keadaan hangat dan hindari bayi terpapar
langsung dengan suhu lingkungan.
 Tunda memandikan bayi sekurang-kurangnya 6 jam setelah lahir
 Bungkus kepala bayi dengan kain kering, ganti kain atau pakaian bayi
yang basah, selimuti bagian kepala bayi
 Bayi jangan ditidurkan ditempat yang dingin atau banyak angin
 Jika berat lahir kurang dari 2500 gram, dekap bayi agar kulit bayi
menempel kepada ibu (metode kangguru)

g. Beri Rangsangan Perkembangan


 Peluk dan timbang bayi dengan penuh kasih saying sesering mungkin
 Gantung benda bergerak warna cerah agar bayi dapat melihat benda
tersebut
 Ajak bayi tersenyum, bicara serta dengarkan music

h. Kunjungan Neonatal
Pelayanan kesehatan kepada neonatus sedikitnya 3 kali yaitu:
1. Kunjungan neonatal I (KN1) pada 6 jam sampai dengan 48 jam setelah
lahir
2. Kunjungan neonatal II (KN2) pada hari ke 3 s/d 7 hari
3. Kunjungan neonatal III (KN3) pada hari ke 8 – 28 hari

2.3 Undang – Undang yang terkait Pada Bayi Baru Lahir


1. Undang – undang no. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan :
Pasal 128
(1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu ekslusif sejak
dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis
(2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat harus mendukung bayi secara penuh
dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus
(3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diadakan ditempat kerja dan sarana umum
Pasal 129
(1) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan dalam
rangka menjamin hak bayi untuk mendapakan air susu ibu secara ekslusif
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 200
Setiap orang dengan sengaja menghalangi program pemberian ASI
Ekslusif sebagaimana dimaksud dalam pasal 128 ayat (2) dipidana penjara
paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,-
2. PP No 33 Tahun 2012 tentang pemberian air susu ibu ekslusif
3. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
4. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, menegaskan
bahwa seorang anak berhak untuk hidup, tumbuh dan berkembang secara
optimal, terhindar dari kekerasan dan diskriminasi.
5. Pasal 76F
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan,
dan/atau perdagangan Anak.
KASUS
Praktik penjualan bayi oleh seorang bidan terungkap di Bandung. Bidan T
(50), tertangkap tangan saat akan menjual bayi laki-laki berumur 8 jam di rumah
sekaligus tempat praktiknya di Jalan Desa Cipadung Kecamatan Cibiru, Bandung.
Penangkapan Bidan T dilakukan pada Jumat pekan lalu (13/9/2013). Polisi
berpura-pura menjadi pembeli dan menghubungi sang bidan.

"Kami mendapat laporan dari masyarakat, setelah itu kami melakukan


undercover dan membeli seorang bayi. Saat itu kita langsung tangkap," ujar Kabid
Humas Polda Jabar Kombes Pol Martinus Sitompul di Mapolda Jabar, Kamis
(19/9/2013).

Menurut pengakuan sang bidan, kata Martinus, ia sudah menjalankan


praktik bidan sejak 1998. Namun praktik menjual bayi baru pada 2011.
"Tersangka ini PNS di Kabupaten Bandung, ia bidan resmi," ujar Martinus. Bidan
T sehari-hari merupakan bidan di sebuah puskesmas di Kabupaten Bandung.

Selama tiga tahun terakhir, Bidan T berhasil menjual tujuh bayi. "Penyidik
masih mendalami praktik penjualan bayi ini," ungkapnya.
Menurut Martinus, penyidik juga menyelidiki kemungkinan sang bidan menerima
jasa aborsi. Kecurigaan tersebut, kata Martinus, bukan tanpa alasan. Penyidik
menerima informasi lima bulan lalu ada yang melakukan aborsi di bidan tersebut.
Namun janinnya tidak dibawa pulang kembali.

Sehingga beberapa hari setelah penangkapan bidan, polisi kembali ke rumah


bidan dan mencangkul halaman. "Tapi kami tidak menemukan jejak janin yang
dikubur di sana," kata Martinus.

NORMA PIDANA BIDANG PERLINDUNGAN ANAK

Melanggar pasal 76F

melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau


perdagangan Anak.
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau
perdagangan Anak.

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp60.000.000,(enam
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan
“praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek
berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya
demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan
adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.

Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari


seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu
pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan
terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama”
(Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California,
1956).

3.2. Saran
Penulis sangat mengharapkan agar makalah ini dapat menjadi acuan dalam
mempelajari tentang pelayanan kesehatan pada bayi dan balita.
Dan harapan penulis makalah ini tidak hanya berguna bagi penulis tetapi
juga berguna bagi semua pembaca. Terakhir dari penulis walaupun makalah ini
kurang sempurna penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan di
kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.opensubscriber.com/message/dokter@itb.ac.id/4645648.html Diakses
pada tanggal 05 Januari 2016 pukul 20.19 WIB
2. http://bidankita.com/?p=210 Diakses pada tanggal 29 Mei 2010 pukul 15.30 WIB

3. Ameln,F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.


4. Dahlan, S., 2002, Hukum Kesehatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.
5. Guwandi, J., 1993, Malpraktek Medik, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai