Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

Malpraktik Dalam Kebidanan

Disusun Oleh
Kelompok 5

1. Heru Repormika Sari


2. Trikasih
3. Viene Agustine
4. Triana Iwana Sari
5. Novita Apriyanti
6. Ranti Noviarti
7. Herma Niken
8. Irnita Dianti

PROGRAM STUDI KEBIDANAN JENJANG D III


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
TRI MANDIRI SAKTI
KOTA BENGKULU
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas anugerah Tuhan Semesta Alam, berkat
rahmat dan nikmat dari Tuhanlah, baik itu nikmat kesehatan, nikmat waktu,
dan nikmat kesempatan. Sehingga, penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul” Malpraktik Dalam Kebidanan” dengan tepat waktu.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen pembimbing
bunda Pitri Subani, SST.,M.Kes, yang telah sudi meluangkan waktunya untuk
memberikan pengarahan tata cara pembuatan makalah yang benar, dan penulis
tidak lupa juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang telah
membantu penulis dengan ikhlas membantu dengan berbagai cara, baik itu
berupa saran, arahan, petunjuk, dan akal pikiran. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu yang telah ditentukan. Penulis
juga meminta masukan, baik berupa saran yang membangun atau tambahan
sedikit berupa kritikan, apabila ada kelemahan dalam penulisan makalah ini.
Sehingga, penulis dapat terus memperbaiki kesalahan yang ada.
Semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai informasi ter-aktual
mengenai keterampilan dalam berbahasa.

Bengkulu, Desember 2019

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................
B. Perumusan Masalah ................................................................
C. Manfaat ...................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A.Pengertian Malpraktik dan Kelalaian .....................................
B. .................................................................................................
C. .................................................................................................
D. ...............................................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan. ............................................................................
B. Saran. ......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai calon bidan yang ahli dan professional dalam melayani klien,
sudah menjadi suatu kewajiban kita untuk mengetahui lebih dahulu apa saja
wewenang yang boleh kita lakukan dan wewenang yang seharusnya ditangani
oleh seorang dokter SpOG sehingga kita harus meninjau agar tindakan kita
tidak menyalahi PERMENKES yang berlaku.
Akhir-akhir ini sering kita menemukan dalam pemberitaan media massa
adanya peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di
Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis bidan yang
berdampak buruk terhadap pasiennya. Media massa marak memberitahukan
tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada
bidan, dokter dan tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang
diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan
malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis.
Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-
kasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human
error) dari sang bidan/dokter. Perlu diketahui dengan sangat, sejauh ini di
negara kita belum ada ketentuan hukum tentang standar profesi kebidanan
yang bisa mengatur kesalahan profesi.
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di
media masa.Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas
penyelesaiannya.Putusan pengadilan apakah ada kelalaian atau tidak atau
tindakan tersebut merupakan risiko yang melekat pun belum pernah diambil.
Masyarakat hanya melihat dampak dan akibat yang timbul dari tindakan
malpraktik tersebut. Semua bergantung kepada si penafsir masing-masing
(keluarga, media massa, pengacara), dan tidak ada proses hukumnya yang
tuntas. Karena itu sangat perlu bagi kita terutama tenaga medis untuk
mengetahui sejauh mana malpraktek ditinjau dari segi etika dan hokum.
Sorotan masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh
tenaga kesehatan, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus yang
menyebabkan ketidakpuasan masyarakat memunculkan isu adanya dugaan
malpraktek medis yang secara tidak langsung dikaji dari aspek hukum dalam
pelayanan kesehatan, karena penyebab dugaan malpraktek belum tentu
disebabkan oleh adanya kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan, khususnya dokter.
Bentuk dan prosedur perlindungan terhadap kasus malpraktek yang
ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsunmen No.8 tahun 1999.
peraturan tersebut mengatur tentang pembinaan dan pengawasan yang
dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga yang dibentuk oleh
pemerintah yang membidangi perlindungan konsumen, selain peran serta
pemerintah, peran serta masyarakat sangat perlu dibutuhkan dalam
perlindungan konsumen dalam kasus malpraktek serta penerapan hukum
terhadap kasus malpraktek yang meliputi tanggung jawab hukum dan
sanksinya menurut Hukum Perdata, pidana dan administrasi.
Melihat fenomena di atas, maka kami melalui makalah ini akan membahas
tentang salah satu kasus malpraktik di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian malpraktek dan kelalaian ?
2. Apa jenis-jenis malpraktek hokum di bidang pelayanan kesehatan ?
3. Apa unsur-unsur malpraktek ?
4. Bagaimana sangsi hukum malpraktek ?
5. Bagaimana cara pembuktian malpraktek ?
6. Bagaimana tanggung jawab hukum malpraktek ?
7. Bagaimana upaya pencegahan malpraktek dan mengetahui cara
menghadapi tuntutan hukum ?
8. Contoh ilustrasi kasus !
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian malpraktek dan kelalaian.
2. Mengatahui jenis dan unsur malpraktek.
3. Mengetahui sanksi dan tanggung jawab hukum malpraktek.
4. Mengetahui cara pembuktian malpraktek.
5. Mengetahui upaya pencegahan malpraktek dan cara menghadapi tuntutan
hukum.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MALPRAKTEK DAN KELALAIAN


1. Pengertian Malpraktek
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan
tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti
“salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau
“tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang
salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah
tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah
dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian
dari seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat
kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien,
yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut
ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Societyde Bienfaisance
Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi
kesehatan. Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku
norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan
adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari
sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika
disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum
disebut yuridical malpractice.
Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan
berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan
praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan
hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi,
otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk
menentukan adanya ethicalmalpractice atau yuridical malpractice dengan
sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical
malpractice merupakan yuridicalmalpractice akan tetapi semua
bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord
Chief Justice, 1893).
2. Pengertian kelalaian
Istilah kelalaian Medis adalah sebagai terjemahan dari 'Negligence"
(Belanda :Nalatigheid) dalam arti umum bukanlah suatu pelanggaran
hukum atau kejahatan. Seseorang dikatakan lalai apabila ia bertindak
acuh dan tak peduli. Juga tidak memperhatikan kepentingan orang lain
sebagaimana lazimnya didalam tata pergaulan hidup masyarakat.
Selama akibat dari kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau
cedera dan menyangkut hal yang sepele, maka kelalaian itu tidak
berakibat hukum. Prinsip ini berdasarkan "De minimis not curat lex,
The law does not concern itself with trifles". Yaitu hukum tidak
mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.
Apabila kelalaian yang dilakukan sudah mencapai tingkat tidak
memperdulikan keselamatan orang lain, maka kelalaian yang
dilakukan akan berubah menjadi tindakan kriminal. Jika akibat dari
kelalaian yang dilakukan menyebabkan celaka, cedera, bahkan sampai
merenggut nyawa maka kelalaian tersebut termasuk tindak pidana dan
pelanggaran hukum.

B. JENIS-JENIS MALPRAKTEK
Berpijak pada hakekat malpraktek adalan praktik yang buruk atau tidak
sesuai dengan standar profesi yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-
macam malpraktek yang dapat dipiah dengan mendasarkan pada ketentuan
hukum yang dilanggar, walaupun kadang kala sebutan malpraktek secara
langsung bisa mencakup dua atau lebih jenis malpraktek.Secara garis besar
malprakltek dibagi dalam dua golongan besar yaitu mal praktik medik
(medical malpractice) yang biasanya juga meliputi malpraktik etik (etichal
malpractice) dan malpraktek yuridik (yuridical malpractice).Sedangkan
malpraktik yurudik dibagi menjadi tiga yaitu malpraktik perdata (civil
malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktek
administrasi Negara (administrative malpractice).
1. Malpraktik Medik (medical malpractice)
John.D.Blum merumuskan: Medical malpractice is a form of
professional negligence in whice miserable injury occurs to a plaintiff
patient as the direct result of an act or omission by defendant practitioner.
(malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian professional yang
menyebabkan terjadinya luka berat pada pasien / penggugat sebagai akibat
langsung dari perbuatan ataupun pembiaran oleh dokter/terguguat).
Sedangkan rumusan yang berlaku di dunia kedokteran adalah
Professional misconduct or lack of ordinary skill in the performance of
professional act, a practitioner is liable for demage or injuries caused by
malpractice. (Malpraktek adalah perbuatan yang tidak benar dari suatu
profesi atau kurangnya kemampuan dasar dalam melaksanakan pekerjaan.
Seorang dokter bertanggung jawab atas terjadinya kerugian atau luka yang
disebabkan karena malpraktik), sedangkan junus hanafiah merumuskan
malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan
tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan
dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut lingkungan yang
sama.
2. Malpraktik Etik (ethical malpractice)
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan
tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan etika
kedokteran yang dituangkan da dalam KODEKI merupakan seperangkat
standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.
Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan
dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran.Kemajuan teknologi
kedokteran yang sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan
kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk mempermudah
menentukan diagnosa dengan lebih cepat, lebbih tepat dan lebih akurat
sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek
samping yang tidak diinginkan.
Efek samping ataupun dampak negative dari kemajuan teknologi
kedokteran tersebut antara lain:
a. Kontak atau komunikasi antara dokter dengan pasien semakin
berkurang
b. Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis.
c. Harga pelayanan medis semakin tinggi, dsb.
Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran
yang merupakan malpraktek etik ini antara lain :
a. Dibidang diagnostic
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien
kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara
lebih teliti.Namun karena laboratorium memberikan janji untuk
memberikan “hadiah” kepada dokter yang mengirimkan pasiennya,
maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah
tersebut.
b. Dibidang terapi
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter
dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau
menggunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi
pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien.
Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat yang sesungguhnya
tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga merupakan
malpraktek etik.
3. Malpraktek Yuridik
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridik ini menjadi :
a. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak
dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik
oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan
melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan
kerugian pada pasien. Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian
tersebut dapat berupa
1) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
2) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi terlambat melaksanakannya.
3) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
4) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan.
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar
hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti:
1) Harus ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat)
2) Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak
tertulis)
3) Ada kerugian
4) Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang
melanggar hukum dengan kerugian yang diderita.
5) Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti
rugi) karena kelalaian dokter, maka pasien harus dapat membuktikan
adanya empat unsure berikut :
1) Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.
2) Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim.
3) Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat
dimintakan ganti ruginya
4) Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah
standar.
Namun ada kalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan
adanya kelalaian dokter.Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res
ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena
kelalaian dokter terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang
pasien tersebut akibat tertinggalnya kain kasa tersebut timbul
komplikasi paksa bedah sehingga pasien harus dilakukan operasi
kembali. Dalam hal demikian, dokterlah yang harus membuktikan
tidak adanya kelalaian pada dirinya.
b. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)
Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat
akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atua
kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien
yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
1) Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional)
Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi
medis, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak
melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa
tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat
keterangan dokter yang tidak benar.
2) Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)
Misalnya melakukan tindakan yang tidak legeartis atau tidak
sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakn tanpa
disertai persetujuan tindakan medis.

3) Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)


Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai
akibat tindakan dokter yang kurang hati-hati atau alpa dengan
tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien.
c. Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)
Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan
pelanggaran terhadap hukum Administrasi Negara yang berlaku,
misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau izinnya,
manjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa dan
menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.

C. UNSUR-UNSUR MALPRAKTEK
Dokter atau petugas kesehatan dikatakan melakukan malpraktek jika
1. Kurang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan yang
sudahberlaku umum dikalangan profesi kesehatan.
2. Melakukan pelayanan kesehatan dibawah standar profesi.
3. Melakukan kelalaian berat atau memberikan pelayanan
dengan ketidakhati-hatian.
4. Melakukan tindakan medic yang bertentangan dengan hokum.
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan
etik kedokteran, maka ia hanya telah melakukan malpraktek etik. Untuk
dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian, maka penggugat
harus dapat membuktikan adanya 4 unsur berikut :
1. Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien.
2. Dokter telah melanggar standar pelayanan medic yang
lazim digunakan.
3. Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan
ganti ruginya.
4. Secara factual kerugian disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Kerugian ini kadang kala tidak memerlukan pembuktian dari pasien
dengan diberlakukannya doktrin les ipsa liquitur, yang berarti faktanya
telah berbicara.Misalnya terdapatnya kain kassa yang tertinggal dirongga
perut pasien, sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah.
Dalam hal ini maka dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya
kelalaian dalam dirinya. Namun tetap saja ada elemen yuridis yang harus
dipenuhi untuk menyatakan telah terjadi malpraktek yaitu :
1. Adanya tindakan dalam arti berbuat atau tidak berbuat. Tidak berbuat
disini
adalah mengabaikan pasien dengan alasn tertentu seperti tidak ada
biaya atau tidak ada penjaminannya
2. Tindakan berupa tindakan medis, diagnosis, terapeutik dan manajemen
kesehatan.
3. Dilakukan terhadap pasie
4. Dilakukan secara melanggar hokum, kepatuhan, kesusilaan atau
prinsip profesi lainnya.
5. Dilakukan dengan sengaja atau ketidak hati-hatian (lalai, ceroboh).
6. Mengakibatkan, salah tndak, ras sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh,
kematian dan kerugian lainnya.

D. SANKSI HUKUM MALPRAKTEK


Dalam etika profesi yang disahkan oleh setiap lembaga mempunyai fungsi
pengawasan yang kuat dan nyata terhadap pelaku dan benar-benar harus
dipatuhi sebagai seorang dokter. Jejak rekam medik yang akurat merupakan
keinginan setiap pasien untuk mengetahui apa penyakit yang dideritanya.
Ketidakpastian jejak rekam medik tersebut tentu saja menambah kontroversi
kasus dugaan malpraktik, karena dapat dikategorikan sebagai euthanasia
(tindakan medik untuk mengakhiri hidup orang).Euthanasia di Indonesia
merupakan tindakan yang melanggar hukum karena identik dengan upaya
pembunuhan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat
terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana. Dalam Kitab-Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau
bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan,
“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu
tahun”. Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan
jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (1) ‘Barang
siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling
lama satu tahun’. (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang
lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan
paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah. Pemberatan
sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan
malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan
sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian
dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti
merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa
dan atau hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan
pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan. Berdasarkan Pasal 361
Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan aturan kode etik profesi
praktik dokter. Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan
perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus)
telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan
pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang
dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal
1366 yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.” Kepastian Hukum Melihat
berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas dapat
dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan. Tetapi,
juga para dokter akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena telah
melakukan malpraktik dan bahkan juga tidak tertutup kemungkinan hilangnya
profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik. Apalagi, azas kepastian
hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan sama di depan
hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah
(presumptions of innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat
terlaksana dengan baik dengan tanpa memihak-mihak siapa pun.
Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan seorang
dokter telah melakukan malpraktik, apabila
1. Bahwa dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter telah melanggar
standar pelayanan medik yang lazim dipakai.
2. Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan
pelanggaran terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia
3. Melanggar UU No36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Seorang dokter yang melakukan penyimpangan saat melakukan
pengobatan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan tindakannya. Sanksi
hukum terbagi 3 yaitu sanksi perdata, sanksi pidana dan sanksi
administrative
1. Sanki Perdata
Tenaga kesehatan yang merugikan pasien dapat dikenakan sanksi
berdasarkan pasal 1365, 1367, 1370 atau pasal 1371 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata.Gugatan yang ditujukan secara pribadi apabila dokter
melakukan kesalahan ditempat praktek pribadi atau disebuah rumah sakit
dimana statusnya adalah dokter tamu.
2. Sanksi pidana
Tindakan dokter yang menorehkan benda tajam, menusukkan
jarum atau membius pasien tanpa persetujuannya, dapat disamakan dengan
melakukan penganiayan, yang dapat dijerat dengan Pasal 351 KUHP.
3. Sanksi administrative
Sanksi administratif diatur dalam Pasal 13 PERMENKES tentang
persetujuan tindakan medik yang isinya adalah: Terhadap dokter yang
melakukan tindakan medik tanpa persetujuan pasien atau keluarganya,
dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin praktek.

E. CARA PEMBUKTIAN MALPRAKTEK


Apabila tenaga tenaga kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan
profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang
tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya
kesalahan.
Dalam hal tenaga kesehatan didakwa telah melakukan criminal
malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga kesehatan tersebut
telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
1. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang
tercela
2. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang
salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh telah melakukan
kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita
luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela
(salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-
hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya
dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur
adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien,
tenaga perawatan haruslah bertindak berdasarkan
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan
menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang
seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga
perawatan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada
hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian
(damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau
tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan
jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan
tenaga perawatan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka
pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si
penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi
pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya
sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur)
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang
ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga
perawatan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain
tidak adacontributory negligence gugatan pasien .
F. TANGGUNG JAWAB HUKUM
Untuk memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan
perbuatan yang dilarang dikenal pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada
pidana tanpa kesalahan).Azas ini merupakan hukum yang tidak tertulis tetapi
berlaku dimasyarakat dan juga berlaku dalam KUHP, misalnya pasal 48 tidak
memberlakukan ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan
pidana karena adanya daya paksa. Oleh karena itu untuk dapat dipidananya
suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban dalam
hukum pidana haruslah memenuhi 3 unsur, sebagai berikut :
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya keadaan
jiwa petindak harus normal.
2. Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat
berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
3. Tidak adanya alas an penghapus kesalahan atau pemaaf.

Perbedaaan kesengajaan dan kealpaan.


Mengenai kesengajaan, KUHP tidak menjelaskan apa arti kesengajaan
tersebut. Dalam Memorie van Toelichting (MvT), kesengajaan diartikan yaitu
melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui.
Dalam tindakannya, seorang dokter terkadang harus dengan sengaja
menyakiti atau menimbulkan luka pada tubuh pasien, misalnya : seorang ahli
dokter kandungan yang melakukan pembedahan Sectio Caesaria untuk
menyelamatkan ibu dan janin. Ilmu pengetahuan (doktrin) mengartikan
tindakan dokter tersebut sebagai penganiayaan karena arti dan penganiayaan
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan
rasa sakit atau luka pada orang lain.
Didalam semua jenis pembedahan sebagaimana sectio caesare tersebut,
dokter operator selalu menyakiti penderita dengan menimbulkan luka pada
pasien yang jika tidak karena perintah Undang-Undang “si pembuat luka”
dapat dikenakan sanksi pidana penganiayaan. Oleh karena itu, didalam setiap
pembedahan, dokter operator haruslah berhati-hati agar luka yang
diakibatkannya tersebut tidak menimbulkan masalah kelak di kemudian
hari.Misalnya terjadi infeksi nosokomial (infeksi yang terjadi akibat
dilakukannya pembedahan) sehingga luka operasi tidak bisa menutup.Bila ini
terjadi dokter dianggap melakukan kelalaian atau kealpaan.
Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan,
akan tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan
sikap batin seseorang menghendaki melakukan perbuatan akan tetapi sama
sekali tidak menghendaki ada niatan jahat dari petindak. Walaupun demikian,
kealpaan yang membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain tetap
harus dipidanakan.
Moeljatno menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang
secara sadar dilakukan dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan
adalah kekurang perhatian pelaku terhadap obyek dengan tidak disadari
bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang
berbentuk kealpaan pada hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya
berbeda gradasi saja.
Penanganan Malpraktek di Indonesia
Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah
hukum substantive, diantaranya hukum pidana, hukum perdata dan hukum
administrasi tidak mengenal bangunan hukum “malpraktek”.
Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan
hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi mereka dalam menjalankan
profesinya dan sedapat mungkin untuk menghindari pelanggaran etika
kedokteran.
Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter,
merupakan bibidang hukum baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini
belum diatur secara khusus.Padahal hukum pidana atau hukum perdata
yang merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini tidak
seluruhnya tepat bila diterapkan pada dokter yang melakukan
pelanggaran.Bidang hukum baru inilah yang berkembang di Indonesia
dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas
dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan.
Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan
dari Health Law yang digunakan oleh World Health
Organization.Kemudian Health Law diterjemahkan dengan hukum
kesehatan, sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan
sebagai bagian dari hukum kesehatan yang semula disebut hukum medik
sebagai terjemahan dari medic law.
Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum
kesehatan berkembang pesat di Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter
dan sarjana hukum pada tanggal 1 Nopember 1982 dibentuk Kelompok
Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan tujuan mempelajari
kemungkinan dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun
sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul dalam bentuk
modifikasi tersendiri.Setiap ada persoalan yang menyangkut medical law
penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang
berupa Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata.Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia,
malpraktek merupakan sesuatu yang asing karena batasan pengertian
malpraktek yang diketahui dan dikenal oleh kalangan medis (kedokteran)
dan hukum berasal dari alam pemikiran barat.Untuk itu masih perlu ada
pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan pengertian dan
batasan istilah malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang
diperlukan sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh piker bangsa Indonesia
dengan berlandaskan budaya bangsa yang kemudian dapat diterima
sebagai budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan system
kesehatan nasional.
Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa
permasalahan malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur,
yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi (diluar peradilan).
Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau
kealpaan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya dan cara
penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam pembuktian
kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan masalah
kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya
sebagai anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab hak dan
kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena
menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan
yang digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah
dengan cara pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum. Untuk
itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia
(SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut
dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses
melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di
dalam struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK
ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika
ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No.
23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau
tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan
Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden
No. 56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang
bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter
dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat
otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur
Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi
dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila
dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK
dapat diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri
dari para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga
cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya yang
seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK
dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan
kepentingan pasien.
G. Upaya Pencegahan Dan Menghadapi Tuntutan Malpraktek
1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat
tenaga bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam
menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya,
karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan
perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau
dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan
segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan
masyarakat sekitarnya.
2. Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak
memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga
bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang
aktif membuktikan kelalaian bidan
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice,
maka tenaga bidan dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/
menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau
tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan
mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi
merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan
alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men
rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang
dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan
mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni
dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur
pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk
membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan
bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan
menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis
pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam
tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti
rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-
dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang
mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan
lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai
dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas
derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah
mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara
sendiri (res ipsaloquitur), apalagi untuk membuktikan adanya
tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan
adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban
dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang
harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan
dan hal inilah yang menguntungkan tenaga kebidanan.

H. KAJIAN KASUS MALPARAKTEK


Radar Malang, Kamis 10 Agustus 2006
SUNGSANG, LAHIR KEPALA PUTUS

Dunia kedokteran di Malang Raya gempar. Seorang bidan bernama


Linda Handayani, warga Jl. Pattimura Gg I Kota Batu, melakukan
malpraktik saat menangani proses persalinan. Akibatnya, pasien bernama
Nunuk Rahayu (39) tersebut terpaksa melahirkan anak ketiganya dengan
hasil mengerikan.Bayi sungsang itu lahir dengan leher putus.Badan bayi
keluar duluan sedangkan kepalanya tertinggal di dalam rahim.
Kejadian ini membuat suami Nunuk, Wiji Muhaimin (40) kalut bukan
kepalang. Bayi yang diidam-idamkan selama 9 bulan 10 hari itu ternyata
lahir dengan cara yang sangat memprihatinkan. “Saya sedih sekali, tak
tega melihat anak saya,” ujar Muhaimin.
Terkait kronologi kejadian ini, pria berkumis tebal tersebut
menjelaskan, istrinya Selasa sore lalu mengalami kontraksi.Melihat
istrinya ada tanda-tanda melahirkan, Muhaimin membawa istrinya ke
bidan Linda Handayani, yang tak terlalu jauh dari tempat
tinggalnya.Begitu memasuki waktu shalat Magrib, dia pulang untuk shalat.
Muhaimin mengaku tidak punya firasat apa-apa sebelum peristiwa
tersebut terjadi. Selama ini dia yakin kalau istrinya akan melahirkan
normal. “Nggak ada firasat apa-apa.Ya normal-normal saja,” katanya.
Kemarin, istrinya masih belum bisa diwawancarai.Pasalnya, Nunuk masih
terbaring lemah di BKIA.Ia tampaknya masih tidur dengan pulas.
Kemungkinan, pulasnya tidur Nunuk tersebut akibat pengaruh obat bius
malam harinya.
Menurut Muhaimin, dia sangat sedih ketika melihat bayinya tanpa
kepala dengan ceceran darah di leher. Dia merasa antara percaya dan tidak
melihat kondisi itu.Namun, dia sedikit lega bisa melihat anaknya ketika
badan dan kepalanya disatukan.Menurut dia, bayi itu sangat mungil dan
cantik, kulitnya masih merah, dan rambutnya ikal.“Saya ciumi dan usap
wajahnya, sambil menangis,” kata Muhaimin dengan mata berkaca-kaca.
Meski kejadian ini dirasakan sangat berat, Muhaimin akhirnya bisa juga
menerima dan menganggap ini takdir Tuhan.Tetapi untuk kasus
hukumnya, dia tetap menyerahkan ke yang berwenang.Dia berharap kasus
ini bisa ditindaklanjuti dengan seadil-adilnya.
Dari penuturan beberapa warga sekitar, sebenarnya bidan
Handayani adalah sosok bidan yang berpengalaman dan senior.Dia sudah
praktik puluhan tahun.Dengan demikian, masyarakat juga merasa kaget
mendengar kabar mengerikan itu datang dari bidan Handayani.
Kabar ini juga menyentak kalangan DPRD kota Batu. Menurut ketua
Fraksi Gabungan Sugeng Minto Basuki, bidan Handayani memang sangat
terkenal di Batu.Kata dia, umurnya sudah 60 tahun lebih. Namun, atas
kasus ini dia meminta dinas kesehatan melakukan recovery lagi terhadap
para bidan yang ada di Batu. Dengan demikian kasus mengerikan
semacam ini tidak akan terulang lagi. “Saya juga meminta polisi segera
mengusut kasus ini.Kalau perlu izin praktiknya dicabut,” katanya.
(www.opensubscriber.com)
Analisa kasus

Faktor yang sangat berpengaruh saat kita mau melahirkan adalah


faktor kepercayaan dan kenyamanan pada siapa dan dimana kita akan
melahirkan. Artinya pada seorang bidanpun kalau memang kondisi ibu
dan bayinya tidak bermasalah dan sang ibu merasa percaya dan nyaman
insya allah akan baik-baik saja. Hanya yang perlu diperhatikan adalah
seorang bidan mempunyai keterbatasan dalam melakukan tindakan,
walaupun dia mampu secara ilmu pengetahuan dan pengalamannya.
Ada beberapa tindakan yang hanya boleh dilakukan oleh seorang
dokter saat menolong persalinan. Jika sang bidan tetap melakukan
tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan, itu sudah termasuk
malpraktek kecuali bidan yang praktek ditempat yang terpencil dan tidak
ada dokter atau tempat rujukan sangatlah jauh dari tempat praktek bidan
dan persalinan sudah harus segera dilakukan (permenkes pasal14) . Tapi
jika memungkinkan maka segera lakukan tindakan rujukan karena kadang
bidan apalagi yang sudah senior merasa yakin dan bisa melakukan
tindakan yang dilarang dan terjadi sesuatu hal, maka itu akan jadi masalah
besar. Misalnya seperti kasus bayi sungsang yang kepala
putus,penolongnya adalah bidan senior yang berusia 60th dan terkenal
dimasyarakat.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan
“praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga
malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti
harfiahnya demikian teta pi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk
menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu
profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari
seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan
ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Societyde Bienfaisance Mutuelle de
Los Angelos, California, 1956).
Berdasarkan kasus yang telah disebutkan dantelah kami pelajari, dapat
disimpulkan bahwa masih kurang jelas apakah pada kasus tersebut ada unsur
sengaja atau tidak sengaja.Masih banyak hal yang harus dibuktikan dalam
kasus ini. Jadi bidan tersebut hendaknya menjelaskan pada proses keadilan
tentang hal sebenarnya. Selanjutnya apabila keluarga menuduh bidan tersebut
telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia,
maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah)
yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun
kurang praduga.
Ada banyak penyebab mengapa persoalan malpraktik medik mencuat
akhir-akhir ini dimasyarakat diantaranya pergeseran hubungan antara tenaga
medis dan pasien yang tadinya bersifat paternalistic tidak seimbangdan
berdasarkan kepercayaan (trust, fiduciary relationship) bergantidengan
pandangan masyarakat yang makin kritis serta kesadaranhukum yang makin
tinggi. Selain itu jumlah dokter di Indonesia dianggap belum seimbang dengan
jumlah pasien sehingga seorang tenaga medis menangani banyak pasien
(berpraktek di berbagai tempat) yang berakibat diagnosa menjadi tidak teliti.
Apresiasi masyarakat pada nilai kesehatan makin tinggi sehingga dalam
melakukan hubungan dengan dokter, pasien sangat berharap agar dokter dapat
memaksimalkan pelayanan medisnya untuk harapan hidup dan kesembuhan
penyakitnya. Selama ini masyarakat menilai banyak sekali kasus dugaan
malpraktik medik yang dilaporkan media massa atau korban tapi sangat
sedikit jumlahnya yang diselesaikan lewat jalur hukum.
Dari sudut penegakan hukum sulitnya membawa kasus ini ke jalur
pengadilan diantaranya karena belum ada keseragaman paham diantara para
penegak hukum sendiri soal malpraktik medik ini.
Masih ada masyarakat (pasien) yang belum memahami hak-haknya untuk
dapat meloprkan dugaan malpraktik yang terjadi kepadanya baik kepada
penegak hukum atau melalui MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia). Oleh karenanya lembaga MKDKI sebagai suatu
peradilan profesi dapat ditingkatkan peranannya sehingga mendapat
kepercayaan dari masyarakat sebagai lembaga yang otonom, independent dan
memperhatikan juga nasib korban. Bahkan berkaitan dengan MKDKI ini
SEMA RI tahun 1982 menyarankan agar untuk kasus dugaan malpraktik
medik sebaiknya diselesaikan dulu lewat peradilan profesi ini.
Dari sudut hukum acara (pembuktian) terkadang penegak hukum kesulitan
mencari keterangan ahli yang masih diliputi esprit de corps. Mungkin sudah
saatnya diperlukan juga saksi yang memahami ilmu hukum sekaligus ilmu
kesehatan. Bahaya malpraktek memang luar biasa. Tidak hanya
mengakibatkan kelumpuhan atau gangguan fatal organ tubuh, tetapi juga
menyebabkan kematian. Masalah yang ditimbulkan pun bisa sampai pada
masalah nama baik, baik pribadi bahkan negara, seperti yang dipaparkan
waktu penjelasan fenomena malpraktek pada era globalisasi tadi. Benar-benar
kompleks sekali permasalahan yang timbul akibat malpraktek ini. Sehingga
benar bahwa malpraktek dikatakan sebagai sebuah malapetaka bagi dunia
kesehatan di Indonesia.

B. SARAN
Seorang Bidan atau Dokter atau hendaknya dapat menunjukkan
profesionalisme sebagai seorang tenaga kesehatan. Dalam arti harus bisa
menjelaskan dengan sejelas-jelasnya tentang kronologis peristiwa yang terjadi,
agar tidak menimbulkan prasangka publik yang akhirnya akan menimbulkan
fitnah dan isu-isu yang tidak benar. Dan pada akhirnya juga akan merugikan
nama baik sebagai seorang bidan serta hilangnya kepercayaan masyarakat.
Sesuai dengan kode etik profesi dan sumpah jabatan sebagai seorang
tenaga kesehatan harus dapat mempertanggungjawabkan kejadian yang telah
terjadi.Karena bidsan adalah sebagai pelaku utama dalam kasus ini, bidan
harus bisa menjelaskan dengan sebenar- benarnya sebab terjadinya peristiwa.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomer


1464/menkes/per/X/2010
PP IBI 2007,50 Tahun Ikatan Bidan Indonesia , Jakarta,cetakan ke 4
Wahyuningsih H, 2008, Etika Profesi Kebidanan, Yogyakarta, Fitrayama
http://www.scribd.com/doc/20520862/Issue-Etik-Pelayanan-Kebidanan

Anda mungkin juga menyukai