Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

ETIKA PROFESI DAN HUKUM KESEHATAN

MAL PRAKTEK

Disusun Oleh:

1. Ariesty Marcheli P. Lopa (02.10.00)


2. JumiKoen (02.10.00)
3. Fransiska Buka Geka (02.10.00)
4. Nurlaila Ahmad (02.10.00)
5. Tytin Boimau (02.10.00)
6. Theresia D.N Amol (02.10.00)
7. Winarti Kusnadi (02.10.00)
8.

Sekolah Tinggi Ilmu KesehatanCitra Husada Mandiri Kupang

Program Studi D-III Kebidanan

2012
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
berkat dan rahmatNYA sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik sebagai
bukti tugas dalam perkuliahan di prodi D III Kebidanan di STIKes Citra Husada Mandiri
Kupang.

Dalam menyelesaikan makalah ini kami banyak di bantu secara teori maupun materi
dan dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terimah kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang turut membantu menyelesaikan masalah ini

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyelesaian makalah ini maka
untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk menyempurnakan
makalah ini, Kami juga mengharapkan semoga makalah ini dapat berguna bagi semua orang
kalangan khususnya mahasiswi

Kupang,Desember 2012

penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ..................................................................................................

DAFTAR ISI.................................................................................................................

BAB 1. PENDAHULUAN ...........................................................................................

A. Latar Belakang ................................................................................................

B. Tujuan penulisan .............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................................

1. Pengertian Malpraktek ......................................................................................

2. Malpraktek dibidang hukum .............................................................................

3. Pembuktian Malpraktek dalam bidang kesehatan .............................................

4. Tanggung jawab hukum ....................................................................................

5. Upaya pencegahan dan menghadapi tuntunan malprakek .................................

BAB III. TINJAUAN KASUS.....................................................................................

BAB IV PENUTUP ......................................................................................................

3.1 Kesimpulan ....................................................................................................

3.2 Saran.................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sehat merupakan suatu keadaan yang didambakan oleh setiap orang. Hingga
batas-batas tertentu, tiap orang kecuali anak-anak, mampu menjaga kesehatannya
sendiri. Mereka akan hidup dengan teratur, mengkonsumsi makanan bergizi, berolah
raga secukupnya, dan sebagainya. Persoalan akan menjadi lain ketika orang jatuh
sakit yang memerlukan pertolongan pihak lain. Bagaimanapun, kesehatan merupakan
kebutuhan pokok dalam kehidupan, sedangkan pengetahuan dan ketrampilan pasien
terbatas.
Dengan demikian, pasien maupun keluarganya akan mencari pertolongan kepada
petugas kesehatan.
Berdasarkan gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa pelayanan kesehatan
mempunyai ciri khas yang berbeda dengan pelayanan jasa / produk lainnya, yaitu
consumer ignorance / ketidaktahuan konsumen, supply induced demand / pengaruh
penyedia jasa kesehatan terhadap konsumen (konsumen tidak memiliki daya tawar
dan daya pilih), produk pelayanan kesehatan bukan konsep homogen, pembatasan
terhadap kompetisi, ketidakpastian tentang sakit, serta sehat sebagai hak asasi
Dalam hal ini, pasien sebenarnya merupkan faktor liveware. Pasien harus
dipandang sebagai subyek yang memiliki pengaruh besar atas hasil akhir layanan
bukan sekedar obyek. Hak-hak pasien harus dipenuhi mengingat kepuasan pasien
menjadi salah satu barometer mutu layanan sedangkan ketidak puasan pasien dapat
menjadi pangkal tuntutan hukum.
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan
dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan
dengan kesalahan diagnosis bidan yang berdampak buruk terhadap pasiennya.
Media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum
(perdata dan/ atau pidana) kepada bidan, dokter dan tenaga medis lain, dan/ atau
manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang
menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis.
Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus
itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang
bidan/dokter. Untuk diketahui, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum
tentang standar profesi kebidanan yang bisa mengatur kesalahan profesi.
Melihat fenomena di atas, maka kami melalui makalah ini akan membahas
tentang salah satu kasus malpraktik di Indonesia.

B. TUJUAN
a) Menjelaskan pengertian malpraktek
b) Menjelaskan jenis-jenis malpraktek di bidang pelayanan kesehatan
c) Menjelaskan cara-cara pembuktian malpraktek
d) Menjelaskan tentang tanggung jawab hukum
e) Memahami upaya pencegahan malpraktek dan mengetahui cara menghadapi
tuntutan hukum.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MALPRATEK
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah mal mempunyai arti salah sedangkan praktek
mempunyai arti pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktek berarti
pelaksanaan atau tindakan yang salah. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi
kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah
dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah kelalaian dari
seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu
pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap
pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La
Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi kesehatan. Di
dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma
hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah
seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan
dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum
disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga
bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek
perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-
perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka
ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau
yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical
malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical
malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
B. MALPRATEK DI BIDANG HUKUM
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori
sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan
Administrative malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice
manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan
tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan
(intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan
euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP),
membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa
indikasi medis pasal 299 KUHP).
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan
tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
1. Pasal 347 KUHP menyatakan:
Ayat (l)
Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
Ayat (2)
Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
2. Pasal 349 KUHP menyatakan:
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan
salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka
pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga
dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana
kejahatan
dilakukan.
Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati
mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien.
1. Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP,
pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat.
Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati :
Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun.
2. Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
Ayat (1)
Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-
luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun.
Ayat (2)
Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan
pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga
ratus rupiah.
3. Pasal 361 KUHP,
karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya:
dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan
peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka
berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.

Pasal 361 KUHP menyatakan:


jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan
pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan
pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusnya di-umumkan.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah
bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada
orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional:
1. Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan,
yang berbunyi:
Ayat (1)
Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya
karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang
dahuluj diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau
denda paling banyak enam ratu rupiah.
Ayat (2)
Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu
hanya dapat dituntut ata pengaduan
orang itu.
2. Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP,
tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan:
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
3. Pasal 348 KUHP menyatakan:
Ayat (1)
Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan
Ayat (2)
Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
4. Pasal 349 KUHP menyatakan:
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan
salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka
pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga
dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana
kejahatan dilakukan.
5. Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi:
Ayat (1)
Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Ayat (2)
Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan
pidana penjara paling lama lima tahun.
Ayat (3)
Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
Ayat (4)
Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Ayat (5)
Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah


bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada
orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

2.Civil malpractice

Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila


tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana
yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara
lain:
Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
terlambat melakukannya.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
tidak sempurna.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi
dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.
Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat
atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga
kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

3. Administrative malpractice
Tenaga bidan dikatakan telah melakukan administrative
malpractice manakala tenaga bidan tersebut telah melanggar hukum
administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power,
pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang
kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga bidan untuk menjalankan
profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta
kewajiban tenaga bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga
kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum
administrasi.
Kasus di atas adalah termasuk malpraktik jenis Criminal malpractice yang
bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat
atau meninggalnya
pasien.

C. PEMBUKTIAN MALPRATEK DALAM BIDANG KESEHATAN


Dari definisi malpraktek adalah kelalaian dari seseorang dokter atau bidan
untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan
merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran dilingkungan yang sama. (Valentin v. La Society de Bienfaisance
Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah
terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata
akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang
melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan
dalam transaksi teraputik antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah
perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan
perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis). Hal-hal inilah yang menjadi
pegangan untuk menentukan ada dan tidaknya malpraktek.
Apabila tenaga bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini
bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi
kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.
Dalam hal tenaga bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus
dibuktikan apakah perbuatan tenaga bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya
yakni :
Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah
(sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila tenaga bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga
mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan
adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa
alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan
dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D
yakni :
a) Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga bidan dengan pasien, tenaga bidan
haruslah bertindak berdasarkan
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b) Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang tenaga bidan melakukan asuhan kebidanan menyimpang dari
apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan
menurut standard profesinya, maka tenaga bidan tersebut dapat
dipersalahkan.
c) Direct Causation (penyebab langsung)
d) Damage (kerugian)
Tenaga bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal
(langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita
oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan
hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat
sebagai dasar menyalahkan tenaga bidan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya
adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

2. Cara tidak langsung


Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi
pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil
layanan bidan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada
memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga bidan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga bidan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain
tidak ada contributory negligence.
Misalnya ada kasus saat tenaga bidan akan mengganti/memperbaiki kedudukan
jarum infus pasien bayi, saat menggunting perban ikut terpotong jari pasien
tersebut. Dalam hal ini jari yang putus dapat dijadikan fakta yang secara tidak
langsung dapat membuktikan kesalahan tenaga bidan, karena:
a) Jari bayi tidak akan terpotong apabila tidak ada kelalaian tenaga bidan.
b) Membetulkan jarum infus adalah merupakan/berada pada tanggung jawab
bidan.
c) Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.
Malpraktek dalam asuhan kebidanan adalah suatu kelalaian dari seseorang bidan
untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau
orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.

D. TANGGUNG JAWAB HUKUM


Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu
dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian.
Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali.
Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan
bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung
gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian tenaga bidan.
Di dalam transaksi terabutik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
a. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari
hubungan kontraktual yang sudah disepakati.
Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya
maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan
maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang
tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
b. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas
kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya
(sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian
pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.
c. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan
yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun
terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan
kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam
pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari
1919).

E. UPAYA PENCEGAHAN DAN MENGHADAPI TUNTUTAN MALPRATEK


1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena
adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu
bertindak hati-hati, yakni:
a) Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan
berhasil (resultaat verbintenis).
b) Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c) Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d) Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e) Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan
memperhatikan segala kebutuhannya.
f) Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat
sekitarnya.
2. Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga
bidan menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga bidan seharusnyalah bersifat pasif
dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan
dapat melakukan :
1) Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal
bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-
doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan
disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau
mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea)
sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
2) Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau
menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan
dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan
pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan
mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa. Berbicara
mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum,
sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara
perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti
rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat,
karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di
pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan
dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas
derita (damage) yang dialami penggugat. Untuk membuktikan adanya civil
malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat
berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya
tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan
langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan
(damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam
dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga kebidanan.

Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara


lain pada peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang
hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis
yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien
sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed
consent secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya
persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang
bersangkutan serta resikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan
lisan atau sikap diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta
maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila
dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan
kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga
terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan
pasien, kehadiran seorang bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan,
baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara
lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).

Tinjauan dari segi hukum


1) Solusi
Apa yang seharusnya dilakukan keluarga untuk menghadapi kasus ini?
Keluarga yang akan melakukan tuntutan terhadap tenaga bidan sebagai
terdakwa yang telah melakukan ciminal malpractice, harusnya dapat
membuktikan apakah perbuatan tenaga bidan tersebut telah memenuhi
unsur tidak pidana yakni :
Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang
tercela
Berdasarkan kasus di atas, bidan Linda Handayani hanya berniat untuk
menolong, namun pada pertolongan kasus ini bukanlah kewenangan
bidan, melainkan kewenangan dokter obgyn.
Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang
salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Berdasarkan kasus di atas masih kurang jelas apakah pada kasus tersebut
ada unsur sengaja atau tidak sengaja. Jadi bidan Linda Handayani
hendaknya menjelaskan pada proses keadilan tentang hal sebenarnya.
BAB III

TINJAUAN KASUS

Salah satu contoh dugaan kasus mall praktek yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
adalah kasus malpraktek dalam bidang OrthopedyGas Medik yang tertukar. Seorang pasien
menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana layaknya, sebelum
pembedahan dilakukan anastesi terlebih dahulu . pembiusan dilakukanoleh Dokter anastesi,
sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang . operasi berjalan lancer. Namun,
tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas, bahkan setelah operasi selesai dilakukan,
pasien tetap menglami gangguan pernapasan hingga tak sadarkan diri. Akibatnya ia harus
dirawat terus-menerus di perawatan intensif dengan bantuan mesin pernapasan. Tentu
kejadan ini sangat mengherankan. Pasalnya, sebelum dilakukan operasi, pasien dalam
keadaan baik, kecuali masalah tulangnya. Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada
kekeliruan dalam pemasangan gas anastesi yang dipasang pada mesin anastesi. Harusnya gas
N2O, ternyata yang diberikan adalah gas CO2. Pemberian CO2 pada pasien tentu
mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasimenjadi
sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal.
PEMBAHASAN KASUS

Berdasarkan kasus diatas tindakan tersebut merupakan kasus mlpraktek. Dari sudut
pandang hokum, jika perbuatan malpraktek dilakukan Dokter dan terbukti dilakukan dengan
unsure kesengajaan dan ataupun kelalaian seperti dalam kasus malpraktek dalam bidang
orthopedy yang kami ambil , maka ada hal-hal yang sangat pantasjika dokter yang
bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengn unsure kesengajaan atau kelalaian telah
melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Perbuatan
tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang mulia.
Tuduhan malpraktek bukan hanya ditujukan terhadap tindakan kesengajaan atau kelalaian
dalam menggunakan keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian, kecelakaan atau bahkan
hilangnya nyawa orang lain. Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan
tindakan medic yang tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-Undang
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan
malpraktek dengan sanksi pidana.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai