Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH MALPRAKTIK YANG TERJADI DALAM ASUHAN

KEBIDANAN

Disusun Oleh :

Nama : Sundusiah
Nim : PO.71.24.3.19.050
Tingkat : 2B
Mata kuliah : Etikolegal Dalam Praktik Kebidanan
Dosen Pengampuh : Rosdiana,Spd

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


PRODI DIII KEBIDANAN MUARA ENIM
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus
malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan
diagnosis bidan yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Media massa marak
memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada
bidan, dokter dan tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan
masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik
(malpractice) atau kelalaian medis.
Seperti yang terjadi di Batu, -Linda Handayani- sosok bidan yang berpengalaman dan senior.
Dia sudah praktik puluhan tahun umurnya sudah 60 tahun lebih yang tersebut melakukan
malpraktik atas kelahiran istri dari Wiji Muhaimin. Bayi sungsang yang ditolong lahir dengan
leher putus. Badan bayi keluar duluan, sedangkan kepalanya tertinggal di dalam rahim. Kasus
ini sampai mendapat perhatian serius dari pemerintah setempat. Menurut ketua Fraksi
Gabungan Sugeng Minto Basuki atas kasus ini dia meminta dinas kesehatan melakukan
recovery lagi terhadap para bidan yang ada di Batu.
Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori
malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang bidan/dokter. Untuk
diketahui, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum tentang standar profesi
kebidanan yang bisa mengatur kesalahan profesi.
Melihat fenomena di atas, maka kami melalui makalah ini akan membahas tentang salah satu
kasus malpraktik di Indonesia.

Tujuan
Menjelaskan pengertian malpraktek
Menjelaskan jenis-jenis malpraktek di bidang pelayanan kesehatan
Menjelaskan cara-cara pembuktian malpraktek
Menjelaskan tentang tanggung jawab hukum
Memahami upaya pencegahan malpraktek dan mengetahui cara menghadapi tuntutan hukum.

Kasus
Radar Malang, Kamis 10 Agustus 2006
SUNGSANG, LAHIR KEPALA PUTUS
Batu- Dunia kedokteran di Malang Raya gempar. Seorang bidan bernama Linda
Handayani, warga Jl. Pattimura Gg I Kota Batu, melakukan malpraktik saat menangani
proses persalinan. Akibatnya, pasien bernama Nunuk Rahayu, 39, tersebut terpaksa
melahirkan anak ketiganya dengan hasil mengerikan. Bayi sungsang itu lahir dengan leher
putus. Badan bayi keluar duluan, sedangkan kepalanya tertinggal di dalam rahim.
Kejadian ini membuat suami Nunuk, Wiji Muhaimin, 40, kalut bukan kepalang.Bayi
yang diidam idamkan selama 9 bulan 10 hari itu ternyata lahir dengan cara yang sangat
memprihatinkan. “Saya sedih sekali, tak tega melihat anak saya,” ujar Muhaimin.Terkait
kronologi kejadian ini, pria berkumis tebal tersebut menjelaskan, istrinya Selasa sore lalu
mengalami kontraksi. Melihat istrinya ada tanda-tanda melahirkan, Muhaimin membawa
istrinya ke bidan Linda Handayani, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Begitu
memasuki waktu shalat Magrib, dia pulang untuk shalat.
Muhaimin mengaku tidak punya firasat apa-apa sebelum peristiwa tersebut terjadi.
Selama ini dia yakin kalau istrinya akan melahirkan normal. “Nggak ada firasat apa-apa. Ya
normal-normal saja,” katanya.Kemarin, istrinya masih belum bisa diwawancarai. Pasalnya,
Nunuk masih terbaring lemah di BKIA. Ia tampaknya masih tidur dengan pulas.
Kemungkinan, pulasnya tidur Nunuk tersebut akibat pengaruh obat bius malam harinya.
Menurut Muhaimin, dia sangat sedih ketika melihat bayinya tanpa kepala dengan
ceceran darah di leher. Dia merasa antara percaya dan tidak melihat kondisi itu. Namun, dia
sedikit lega bisa melihat anaknya ketika badan dan kepalanya disatukan. Menurut dia, bayi
itu sangat mungil dan cantik, kulitnya masih merah, dan rambutnya ikal. “Saya ciumi dan
usap wajahnya, sambil menangis,” kata Muhaimin dengan mata berkaca-kaca.Meski kejadian
ini dirasakan sangat berat, Muhaimin akhirnya bisa juga menerima dan menganggap ini
takdir Tuhan. Tetapi untuk kasus hukumnya, dia tetap menyerahkan ke yang berwenang. Dia
berharap kasus ini bisa ditindaklanjuti dengan seadil-adilnya.
Dari penuturan beberapa warga sekitar, sebenarnya bidan Handayani adalah sosok
bidan yang berpengalaman dan senior. Dia sudah praktik puluhan tahun. Dengan demikian,
masyarakat juga merasa kaget mendengar kabar mengerikan itu datang dari bidan Handayani.
Kabar ini juga menyentak kalangan DPRD kota Batu. Menurut ketua Fraksi
Gabungan Sugeng Minto Basuki, bidan Handayani memang sangat terkenal di Batu. Kata
dia, umurnya sudah 60 tahun lebih. Namun, atas kasus ini dia meminta dinas kesehatan
melakukan recovery lagi terhadap para bidan yang ada di Batu. Dengan demikian kasus
mengerikan semacam ini tidak akan terulang lagi. “Saya juga meminta polisi segera
mengusut kasus ini. Kalau perlu izin praktiknya dicabut,” katanya.
(www.opensubscriber.com)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Malpraktek
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek”
mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan
atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah
tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka
pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang
dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang
terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance
Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi kesehatan. Di dalam setiap
profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu
apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari
sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical
malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu
difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum,
sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena
antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi,
otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan
adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang
jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua
bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

2.2 Malpraktek Dibidang Hukum


Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang
hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative
malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa
kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia
(pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan
palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan
medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati
mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada
rumah sakit/sarana kesehatan.

2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak
melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah
disepakati (ingkar janji).
Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpracticeantara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajibdilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukantetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak
seharusnyadilakukan.Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual
atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius
liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung
gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga
kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

3. Administrative malpractice
Tenaga bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga
bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam
melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan
berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga bidan
untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta
kewajiban tenaga bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang
bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
Kasus di atas adalah termasuk malpraktik jenis Criminal malpractice yang
bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau
meninggalnya pasien.bedasarkan data dari kasus berikut :
Seorang bidan bernama Linda Handayani, warga Jl. Pattimura Gg I Kota Batu,
melakukan malpraktik saat menangani proses persalinan. Bayi sungsang yang ditolongnya
lahir dengan leher putus. Badan bayi keluar duluan, sedangkan kepalanya tertinggal di dalam
rahim.

2.3 Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan  Kesehatan


Dari definisi malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat
pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los
Angelos, California, 1956).
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi
kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut.Andaikata akibat yang tidak
diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu
tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara
tenaga kesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning
verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis).
Sebagai contoh adanya komplain terhadap tenaga bidan dari pasien yang menderita
radang uretra setelah pemasangan kateter. Apakah hal ini dapat dimintakan tanggung jawab
hukum kepada tenaga bidan? Yang perlu dipahami semua pihak adalah apakah ureteritis
bukan merupakan resiko yang melekat terhadap pemasangan kateter? Apakah tenaga bidan
dalam memasang kateter telah sesuai dengan prosedur profesional ?.
Hal-hal inilah yang menjadi pegangan untuk menentukan ada dan
tidaknyamalpraktek.Apabila tenaga bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini
bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan
dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan.Dalam hal tenaga bidan didakwa telah
melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga bidan tersebut
telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah
(sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).Selanjutnya apabila tenaga bidan dituduh
telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia,
menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela
(salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun
kurang praduga.

Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan


dua cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga bidan dengan pasien, tenaga bidan haruslah bertindak
berdasarkan
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang tenaga bidan melakukan asuhan kebidanan menyimpang dari apa yang
seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard
profesinya, maka tenaga bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Tenaga bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung)
antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada
peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas.
Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga bidan.Sebagai
adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan
dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).

2. Cara tidak langsung


Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan bidan (doktrin res ipsa
loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga bidan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga bidan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain  tidak
ada contributory negligence.
Misalnya ada kasus saat tenaga bidan akan mengganti/memperbaiki kedudukan jarum
infus pasien bayi, saat menggunting perban ikut terpotong jari pasien tersebut .
Dalam hal ini jari yang putus dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat
membuktikan kesalahan tenaga bidan, karena:
a. Jari bayi tidak akan terpotong apabila tidak ada kelalaian tenaga bidan.
b. Membetulkan jarum infus adalah merupakan/berada pada tanggung jawab bidan.
c. Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.
Malpraktek dalam asuhan kebidanan adalah suatu kelalaian dari seseorang bidan untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan
merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran dilingkungan yang sama.

Jika dilihat dari pengertian tersebut dan dihubungkan dengan kasus Bidan Handayani,
maka bisa dikatakan Bidan Handayani telah melakukan malpraktek. Bisa dikatakan demikian
karena berdasarkan informasi yang telah kami dapat. Tapi mengenai bukti kebenarannya
secara pasti, dibutuhkan data – data lengkap mengenai riwayat kehamilan Ibu Nunuk sampai
mengenai prosedur persalinan yang digunakan Bidan Handayani pada Ibu Nunuk. Tidak bisa
kita simpulkan hanya berdasarkan informasi sederhana yang kami dapat. Harus ditelaah lebih
dalam bukan hanya saat kejadian. Tapi juga saat proses kehamilan. Apakah Ibu Nunuk rutin
memeriksakan kehamilannya? Apakah Ibu Nunuk selalu memeriksakan kehamilan pada
Bidan Handayani atau bidan lain? Apakah Bidan Handayani telah memperoleh informasi
lengkap mengenai kondisi kehamilan Ibu Nunuk? Apakah Bidan Handayani telah melakukan
proses persalinan dengan prosedur professional sesuai dengan keadaan kehamilan?
Pertanyaan – pertanyaan itulah yang perlu dijawab untuk membuktikan apakah Bidan
Handayani melakukan malpraktek atau tidak.

2.4 Tanggung Jawab Hukum


Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan
kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini
tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut
merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa
yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian tenaga
bidan.
Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan
kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus
dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care
provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas
pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas
kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub
ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang
diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum,
kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi
termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian
yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang
lain (Hogeraad 31 Januari 1919).

2.5 Upaya Pencegahan Dan Menghadapi Tuntutan Malpraktek


Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena adanya
mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati,
yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat
verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

2.   Upaya menghadapi tuntutan hukum


Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan
menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau
keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat
melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa
tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang
ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi
merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak
mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang
dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk
pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak
unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri
dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah
pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat
hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat
membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil
penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di
pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai
dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami
penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak
diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk
membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya
hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya
kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang
kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga kebidanan.
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada
peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang
hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis
yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed
consent secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya
persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh
informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta
resikonya.
4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan
atau sikap diam.
5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun
tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan
menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam
hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam
memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang
bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan,
baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan,
tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).

Tinjauan dari segi hukum


 Solusi
Apa yang seharusnya dilakukan keluarga untuk menghadapi kasus ini?
Keluarga yang akan melakukan tuntutan terhadap tenaga bidan sebagai terdakwa yang telah
melakukan ciminal malpractice, harusnya dapat membuktikan apakah perbuatan tenaga bidan
tersebut telah memenuhi unsur tidak pidana yakni :
Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
Berdasarkan  kasus di atas, bidan Linda Handayani hanya berniat untuk menolong,
namun pada pertolongan kasus ini bukanlah kewenangan bidan, melainkan kewenangan
dokter obgyn.
Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah
(sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Berdasarkan  kasus di atas masih kurang jelas apakah pada kasus tersebut ada unsur
sengaja atau tidak sengaja. Jadi bidan Linda Handayani hendaknya menjelaskan pada proses
keadilan tentang hal sebenarnya.
Selanjutnya apabila keluarga  menuduh bidan LindaHandayani telah melakukan
kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, maka yang harus dibuktikan
adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa
atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya criminal malpractice yang
bersifat negligence (lalai) pembuktianya dapat dilakukan dengan:
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolak ukur adanya 4D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian bidan Linda Handayani dengan pasien Nunuk Rahayu, bidan
Linda Handayani haruslah bertindak berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
Berdasarkan point – point  di atas penggugat harus mengkaji lebih lanjut untuk didapatkan
bukti yang  jelas  apakah bidan Linda Handayani telah memenuhi tindakan yang seharusnya
dilakukan oleh seorang bidan atau tidak.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang tenaga bidan melakukan asuhan kebidanan menyimpang dari apa yang
seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard
profesinya, maka tenaga bidan tersebut dapat dipersalahkan. Dalam kasus diatas bidan
Handayani telah memenuhi point ini, menolong persalinan sungsang bukanlah kewenangan
dari bidan sehingga melalui point ini bidan Handayani dapat dipersalahkan/digunakan
sebagai berkas tuntutan dari keluarga ke bidan Handayani.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Tenaga bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara
penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada
peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas.
Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga bidan. Berdasarkan
teori ini yang dihubungkan dengan kasus maka, hasil negative dari kasus ini yang berupa
putusnya leher bayi dan meninggalnya bayi tidak dapat digunakan langsung sebagai dasar
menyalahkan bidan Handayani, perlu dilakukan pengkajian oleh penggugat mengenai
hubungan langsung antara penyebab dan kerugian yang diderita oleh penggugat (keluarga ibu
Nunuk) untuk didapatkan bukti yang jelas untuk pengajuan tuntutan.

Cara tidak langsung


Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni
dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan bidan (doktrin
res ipsa loquitur). Dalam kasus ini hasil layanan bidan adalah putusnya leher bayi dari ibu
Nunuk.
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga bidan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga bidan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak
ada contributory negligence.
Apa yang seharusnya dilakukan seorang bidan dalam menghadapi kasus ini?
Dalam kasus diatas tuduhan kepada bidan yang merupakan criminal malpractice, maka
tenaga bidan dapat melakukan :
Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan
yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya
bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko
medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap
batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
Dalam informal defence ini hendaknya bidan Handayani  menjelaskan apa yang terjadi
sebenarnya, apakah itu merupakan kesengajaan, atau resiko medik atau hal-hal yang lain.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk
pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-
unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari
pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh
daya paksa.
Dalam informal defence ini hendaknya bidan Handayani menjelaskan, apakah hal ini
merupakan pengaruh paksaan sehingga bidan Handayani dapay membebaskan diri atau tidak
dalam pengaruh paksaan sehingga bidan Handayani harus memperjelas apa yang terjadi
sebenarnya sehingga layak untuk mendapat hukuman atau tidak.

BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek”
mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan
atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah
tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka
pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang
dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang
terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance
Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berdasarkan kasus Bidan Linda Handayani yang telah kami pelajari, dapat
disimpulkan bahwa masih kurang jelas apakah pada kasus tersebut ada unsur sengaja atau
tidak sengaja. Masih banyak hal yang harus dibuktikan dalam kasus ini. Jadi bidan Linda
Handayani hendaknya menjelaskan pada proses keadilan tentang hal sebenarnya.
Selanjutnya apabila keluarga  menuduh bidan Linda Handayani telah melakukan
kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, maka yang harus dibuktikan
adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa
atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.

DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.opensubscriber.com/message/dokter@itb.ac.id/4645648.html Diakses pada
tanggal 31 Juni 2010 pukul 20.19 WIB
2. http://bidankita.com/?p=210 Diakses pada tanggal 29 Mei 2010 pukul 15.30 WIB
3. Ameln,F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
4. Dahlan, S., 2002, Hukum Kesehatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
5. Guwandi, J., 1993, Malpraktek Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai