Anda di halaman 1dari 23

Membeiri Asuhan Pada Bayi Dengan Resiko Tinggi Dan

Penatalaksaannya “IKTERUS”.

DISUSUN OLEH : Sundusiah

NIM : PO. 71.24.3.19.065

TINGKAT : 2B

MATA KULIAH : Asuhan Kebidanan Neonatus Bayi Dan Balita

DOSEN PEMBIMBING : Umi Daimah,S,SIT,M.Kes

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG

PRODI DIII KEBIDANAN MUARA ENIM

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan
baik yang berjudul “Makalah Membei Asuhan Pada Bayi Dengan Resiko Tinggi Dan
Penatalaksaannya “IKTERUS”.
“ makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dan diajukan untuk memenuhi
standar proses pembelajaran pada mata kuliah pada Poltekkes Kemenkes Palembang prodi DIII
Kebidanan Muara Enim.
Meskipun telah berusaha segenap kemampuan, namun penulis menyadari bahwa makalah
ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari
semua pihak demi perbaikan di hari kemudian.
Akhir kata, penyusun berharap makalah semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam
proses pembelajaran di Poltekkes Kemenkes Palembang prodi DIII Kebidanan Muara Enim.

Muara Enim,Selasa 15 September 2020

penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.    Latar belakang........................................................................................................ 1
B.    Rumusan Masalah................................................................................................... 2
C.    Tujuan..................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3
A.    Definis ikterus......................................................................................................... 3
B.     penyebab dan faktor resiko dari ikterik.................................................................. 4
C.    tanda dan gejala ikterik............................................................................................ 5
D.    penanganan ikterik......................................................................................... ..........6
E.     Komplikasi.............................................................................................................. 9
F.      Penatalaksanaan.................................................................................................... 11
G.     Konsep Asuhan Kebidanan Pada Bayi Ikterus..................................................... 13

BAB III PENUTUP............................................................................................. 20


A.    Simpulan..................................................................................................... ..........20

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi
dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi
bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi
karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada
BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah). Banyak sekali penyebab bayi kuning ini. Yang sering terjadi
adalah karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit ( sel darah merah).
Pada bayi usia sel darah merah kira-kira 90 hari. Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses
oleh hati bayi. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan
eritrosit disebut bilirubin, bilirubin ini yang menyebabkan kuning pada bayi. Kejadian ikterus
pada bayi baru lahir (BBL) sekitar 50% pada bayi cukup bulan dan 75% pada bayi kurang bulan
(BBLR). Kejadian ini berbeda-beda untuk beberapa negara tertentu dan beberapa klinik tertentu
di waktu tertentu.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam pengelolaan BBL yang pada akhir-akhir ini
mengalami banyak kemajuan. BBLR menjadi ikterus disebabkan karena sistem enzim hatinya
tidak matur dan bilirubin tak terkonjugasi tidak dikonjugasikan secara efisien 4-5 hari berlalu.
Ikterus dapat diperberat oleh polisitemia, memar,infeksi. BBLR ini merupakan faktor utama
dalam peningkatan mortalitas, morbiditas, dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta
memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupan di masa depan.

B.     Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan ikterus ?
2. Apakah yang menjadi penyebab terjadinya ikterus ?
3. Bagaimana komplikasi yang terjadi pada penyakit ikterus?
4. Apa saja pemeriksaan pada penyakit ikterus?
5. Bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan pada penyakit ikterus?
6. Bagaimana proses asuhan kebidanan pada penyakit ikterus?

C.    Tujuan
1. Untuk mengetahui deskripsi tentang definisi ikterus.
2. Untuk mengetahui deskripsi tentang penyebab terjadinya ikterus .
3. Untuk mengetahui gambaran tentang komplikasi yang terjadi pada penyakit  ikterus.
4. Untuk mengetahui deskripsi tentang pemeriksaan pada penyakit ikterus.
5. Untuk mengetahui gambaran tentang penatalaksanaan penyakit ikterus.
6. Untuk mengetahui gambaran tentang proses asuhan kebidanan pada bayi
dengan  penyakit  ikterus.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi
Ikterus atau Hiperbilirubinemia pada BBL adalah meningginya kadar bilirubin didalam
jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna
kuning.Ikterus pada bayi baru lahir terdapat pada 25-50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi
lagi pada neonatus kurang bulan.
 Ikterus pada bayi baru lahir merupakan suatu gejala fisiologis atau dapat merupakan hal
patologis. Ikterus atau warna kuning pada bayi baru lahir dalam batas normal pada hari ke 2-3
dan menghilang pada hari ke-10.

Ikterik neonatorum dikelompokkan menjadi dua yaitu :

1.       Ikterus Fisiologis

Umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu
pertama > 2mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula kadar bilirubin akan
mencapai puncaknya sekitar 6 – 8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun
cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 – 2
minggu.
Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar
yang lebih tinggi ( 7 – 14 mg/dL ) dan penurunan terjadi lebih lambat. Bisa terjadi dalam waktu
2 – 4 minggu bahkan dapat mencapai waktu 6 minggu.

2.  Ikterus Patologis

Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam. Peningkatan kadar bilirubin total serum 0,5
mg/dL/jam. Ikterus diikuti dengan adanya tanda – tanda penyakit yang mendasari pada setiap
bayi ( muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea atau
suhu yang tidak stabil ). Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14
hari pada bayi kurang bulan.

B.       Penyebab dan faktor resiko

Kuning pada bayi timbul karena adanya timbunan bilirubin (zat/ komponen yang berasal
dari pemecahan hemoglobin dalam sel darah merah) di bawah kulit. Pada saat masih dalam
kandungan, janin membutuhkan sel darah merah yang banyak karena paru-parunya belum
berfungsi.
Sel darah merah mengangkut oksigen dan nutrisi dari ibu ke bayi melalui plasenta.
Sesudah bayi lahir, paru-parunya sudah berfungsi, sehingga darah merah ini tidak dibutuhkan
lagi dan dihancurkan. Salah satu hasil pemecahan itu adalah bilirubin.

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ikterus, yaitu sebagai berikut:

1.        Prahepatik (ikterus hemolitik)

Ikterus ini disebabkan karena produksi bilirubin yang meningkat pada proses hemolisis sel darah
merah (ikterus hemolitik). Peningkatan bilirubin dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah infeksi, kelainan sel darah merah, dan toksin dari luar tubuh, serta dari tubuh
itu sendiri.

2.        Pascahepatik (obstruktif)

Adanya obstruksi pada saluran empedu yang mengakibatkan bilirubin konjungasi akan kembali
lagi ke dalam sel hati dan masuk ke dalam aliran darah, kemudian sebagian masuk dalam ginjal
dan diekskresikan dalam urine. Sementara itu, sebagian lagi tertimbun dalam tubuh sehingga
kulit dan sklera berwarna kuning kehijauan serta gatal. Sebagai akibat dari obstruksi saluran
empedu menyebabkan ekresi bilirubin ke dalam saluran pencernaan berkurang, sehingga fases
akan berwarna putih keabu-abuan, liat, dan seperti dempul.

3.        Hepatoseluler (ikterus hepatik)

Konjugasi bilirubin terjadi pada sel hati, apabila sel hati mengalami kerusakan maka secara
otomatis akan mengganggu proses konjugasi bilirubin sehingga bilirubin direct meningkat dalam
aliran darah. Bilirubin direct mudah dieksresikan oleh ginjal karena sifatnya mudah larut dalam
air, namun sebagian masih tertimbun dalam aliran darah.

Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum :

 Faktor Maternal :
   Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
   Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
   Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
   ASI
 Faktor Perinatal :
   Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
   Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
 Faktor Neonatus :
 rematuritas
 Faktor genetik :
   Polisitemia
   Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
   Rendahnya asupan ASI
   Hipoglikemia
   Hipoalbuminemia

C.      Tanda dan gejala

 Fisiologis :

Ikterus fisiologis adalah ikterus normal yang dialami oleh bayi baru lahir, tidak mempunyai
dasar patologis sehingga tidak berpotensi menjadi kern ikterus. Ikterus fisiologis ini memiliki
tanda-tanda berikut:

a) Timbul pada hari kedua dan ketiga setelah bayi lahir.


b) Kadar bilirubin inderect tidak lebih dari 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg
% pada neonatus kurang bulan.
c) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak lebih dari 5 mg% per hari.
d) Kadar bilirubin direct tidak lebih dari 1 mg%
e) Ikterus menghilang pada 10 hari pertama
f) Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis

 Patologis :

Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis dengan kadar bilirubin
mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Ikterus patologis memiliki tanda dan
gejala sebagai berikut:

1. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama


2. Kadar bilirubin inderect melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5
mg% pada neonatus cukup bulan.
3. Peningkatan bilirubin melebihi 5 mg% per hari.
4. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama
5. Kadar bilirubin direct lebih dari 1 mg%
6. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik
Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin (mg%)

1 Kepala dan leher 5

2 Daerah 1 + badan bagian atas 9

3 Daerah 1,2 + badan bagian bawah dan tungkai 11

4 Daerah 1, 2, 3 + lengan dan kaki d 12


bawah tungkai

5 Daerah 1, 2, 3, 4 + tangan dan kaki 16

D.      Penanganan

1.      Ikterus fisiologis

a.        Lakukan perawatan seperti bayi baru lahir normal lainnya

b.       Lakukan perawatan bayi sehari-hari, seperti:

   Memandikan
   Melakukan perawatan tali pusat
   Membersihkan jalan nafas
   Menjemur bayi di bawah sinar matahari pagi, kurang lebih 30 menit

c.        Jelaskan pentingnya hal-hal seperti :

  Memberikan ASI sedini dan sesering mungkin


   Menjemur bayi di bawah sinar matahari dengan kondisi telanjang selama 30 menit,15
menit dalam posisi terlentang, dan 15 menit sisanya dalam posisi tengkurap
   Memberikan asupan makanan bergizi tinggi bagi ibu,
   Menganjurkan ibu untuk tidak minum jamu

d.       Apabila ada tanda ikterus yang lebih parah (misalnya feses berwarna putih keabu-abuan
dan liat seperti dempul), anjurkan ibu untuk segera membawa bayinya ke puskesmas. Anjurkan
ibu untuk kontrol setelah 2 hari.

2.      Hiperbilirubinemia sedang

a. Berikan ASI secara adekuat


b. Lakukan pencegahan hipotermi
c. Letakkan bayi di tempat yang cukup sinar matahari ± 30 menit, selama 3-4 hari
d. Lakukan pemeriksaan ulang 2 hari kemudian
e. Anjurkan ibu dan keluarga untuk segera merujuk bayinya jika keadaan bayi bertambah
parah serta mengeluarkan feses bewarna putih keabu-abuan dan liat seperti dempul

3.      Hiperbilirubenemia berat

a. Berikan informer consent pada keluarga untuk segera merujuk bayinya


b. Selama persiapan merujuk, berikan ASI secara adekuat
c. Lakukan pencegahan hipotermi
d. Bila mungkin, ambil contoh darah ibu sebanyak 2,5 ml.

 Bentuk terapi bermacam-macam, disesuaikan dengan kadar kelebihan yang ada, yaitu

1.      Terapi sinar (fototerapi)

Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah
kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi dapat
dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah dulu  oleh organ hati. Terapi
sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tidak terus meningkat sehingga menimbulkan
resiko yang lebih fatal.
Sinar yang digunakan pada fototerapi berasal dari sejenis lampu neon dengan panjang
gelombang tertentu. Lampu yang digunakan sekitar 12 buah dan disusun secara paralel. Di
bagian bawah lampu ada sebuah kaca yang disebut flaxy glass yang berfungsi meningkatkan
energi sinar sehingga intensitasnya lebih efektif.
Sinar yang muncul dari lampu tersebut kemudian diarahkan pada tubuh bayi. Seluruh
pakaiannya dilepas, kecuali mata dan alat kelamin harus ditutup dengan menggunakan kain kasa.
Tujuannya untuk mencegah efek cahaya yang berlebihan dari lampu-lampu
tersbut. Seperti diketahui, pertumbuhan mata bayi belum sempurna sehingga dikhawatirkan akan
merusak bagian retinanya. Begitu pula alat kelaminnya, agar kelak tak terjadi resiko terhadap
organ reproduksi itu, seperti kemandulan.
Pada saat dilakukan fototerapi, posisi tubuh bayi akan diubah-ubah, terlentang lalu
telungkup agar penyinaran berlangsung merata. Jika sudah turun dan berada di bawah ambang
batas bahaya, maka terapi bisa dihentikan. Rata-rata dalam jangka waktu dua hari sibayi sudah
boleh dibawa pulang.

Meski relatif efektif, tetaplah waspada terhadap dampak fototerapi. Ada kecenderungan bayi
yang menjalani proses terapi sinar mengalami dehidrasi karena malas minum. Sementara, proses
pemecahan bilirubin justru akan meningkatkan pengeluaran cairan empedu ke organ usus.
Alhasil, gerakan peristaltik usus meningkat dan menyebabkan diare. Memang tak semua bayi
akan mengalaminya, hanya pada kasus  tertentu saja. Yang pasti, untuk menghindari terjadinya
dehidrasi dan diare, orang tua mesti tetap memberikan ASI pada bayi.

 Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan terapi sinar ialah :

a.  Lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 500 jam, untuk menghindarkan
turunnya energi yang dihasilkan oleh lampu yang digunakan.

b.  Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin terkena sinar.

c. Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk     mencegah
kerusakan retina. Penutup mata dilepas saat pemberian minum dan kunjungan orang tua untuk
memberikan rangsang visual pada neonatus. Pemantau iritasi mata dilakukan tiap 6 jam
dengan membuka penutup mata.

d. Daerah kemaluan ditutup, dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya  untuk


melindungi daerah kemaluan dari cahaya fototerapi.

e.  Posisi lampu diatur dengan jarak 20-30 cm di atas tubuh bayi, untuk mendapatkan energi
yang optimal

f.  Posisi bayi diubah tiap 8 jam, agar tubuh mendapat penyinaran seluas mungkin

g.  Suhu tubuh diukur 4-6 jam sekali atau sewaktu-waktu bila perlu

h.  Pemasukan cairan dan minuman dan pengeluaran urine, feses dan muntah diukur, dicatat
dan dilakukan pemantauan tanda dehidrasi

i.  Hidrasi bayi diperhatikan, bila perlu konsumsi cairan ditingkatkan

j.  Lamanya terapi sinar dicatat

Apabila dalam evaluasi kadar bilirubin berada dalam ambang batas normal, terapi sinar
dihentikan. Jika kadar bilirubin masih tetap atau tidak banyak berubah, perlu dipikirkan adanya
beberapa kemungkinan, antara lain lampu yang tidak efektif atau bayi yang menderita dehidrasi,
hipoksia, infeksi, gangguan metabolisme dan lain-lain. Keadaan demikian memerlukan tindakan
kolaboratif dengan tim medis.
Pemberian terapi sinar dapat menimbulkan efek samping. Namun, efek samping tersebut
bersifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan memperhatikan tata cara
penggunaan terapi sinar dan diikuti dengan pemantauan keadaan bayi secara berkelanjutan.

 Kelainan yang mungkin timbul pada neonatus yang mendapat terapi sinar adalah :

a. Peningkatan kehilangan cairan yang tidak teratur (insensible water loss)


Energi fototerapi dapat meningkatkan suhu lingkungan dan menyebabkan peningkatan
penguapan melalui kulit, terutama bayi premature atau berat lahir sangat rendah. Keadaan ini
dapat diantisipasi dengan pemberian cairan tambahan.

b. Frekuensi defekasi meningkat

Meningkatnya bilirubin indirek pada usus akan meningkatkan pembentukan enzim


laktase yang dapat meningkatkan peristaltic usus. Pemberian susu dengan kadar laktosa
rendah akan mengurangi timbulnya diare.

c. Timbul kelainan  kulit “flea bite rash” di daerah muka badan dan ekstrimitas

Kelainan ini akan segera hilang setelah terapi dihentikan. Dilaporkan pada beberapa
terjadi “Bronze baby syndrom” hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan
dengan segera hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit ini bersifat sementara dan tidak
mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.

d.  Peningkatan suhu

Beberapa neonatus yang  mendapat terapi sinar, menunjukkan kenaikan suhu lingkungan
yang meningkat atau gangguan pengaturan suhu tubuh bayi pada bayi premature fungsi
termostat atau yang belum matang. Pada keadaan ini fototerapi dapat dilanjutkan dengan
mematikan sebagian lampu yang digunakan dan dilakukan pemantauan suhu tubuh neontus
dengan jangka waktu (unterval) yang lebih singkat.

e.  Kadang ditemukan kelainan, seperti gangguan minum, lateragi, dan iritabilitas. Keadaan
ini bersifat sementara dan akan hilang dengan sendirinya.

f. Gangguan pada mata dan pertumbuhan

Kelainan retina dan gangguan pertumbuhan ditemukan pada binatang percoban. Pada
neonatus yang mendapat terapi sinar, gangguan pada retina dan fungsi penglihatan lainnya
serta gangguan tumbuh kembang tidak dapat dibuktikan dan belum ditemukan, walupun
demikian diperlukan kewaspadaan perawat tentang kemungkinan timbulnya keadaan tersebut.

2.      Terapi Transfusi

Jika setelah menjalani fototerapi tak ada perbaikan dan kadar bilirubin terus meningkat
hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu dilakukan terapi transfusi darah.
Dikhawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern ikterus).
Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak bisa mengalami beberapa gangguan
perkembangan. Misalnya keterbelakangan mental, cerebrel palsy, gangguan motorik dan bicara,
serta gangguan penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, darah bayi yang sudah teracuni akan
dibuang dan ditukar dengan darah lain.

Penggantian darah sirkulasi neonatus dengan darah dari donor dengan cara mengeluarkan
darah neonatus dan masukkan darah donor secara berulang dan bergantian melalui suatu
prosedur. Jumlah darah yang diganti sama dengan yang dikeluarkan. Pergantian darah bisa
mencapai 75-85% dari jumlah darah neonatus.

Tujuan transfusi tukar adalah untuk menurunkan kadar bilirubin indirek, mengganti
eritrosit yang dapat dihemolisis, membuang antibody yang menyebabkan hemolisis, dan
mengoreksi anemia.

Transfusi tukar akan dilakukan oleh dokter pada neonatus dengan kadar bilirubin indirek
sama dengan atau lebih tinggi dari 20mg% atau sebelum bilirubin mencapai kadar 20 mg%. Pada
neonatus dengan kadar bilirubin tali pusat lebih dari 4 mg% dan kadar hemoglobin tali pusat
kurang dari 10 mg%, peningkatan kadar bilirubin 1 mg% tiap jam. Darah yang digunakan
sebagai darah pengganti (darah donor) ditetapkan berdasarkan penyebab hiperbilirubinemia.

Transfusi tukar dilakukan,  tetapi sebelumnya label darah harus diperiksa apakah sudah
sesuai dengan permintaan dan tujuan transfusi tukar. Darah yang digunakan usianya harus
kurang dari 27 jam. Darah yang akan dimasukan harus dihangatkan dulu, 2 jam sebelum
transfusi tukar bayi dipuasakan, bila perlu dipasang pipa nasogastrik, lalu bayi dibawa ke ruang
aseptic untuk menjalani prosedur transfusi tukar.

 Prosedur transfusi tukar :

Bayi ditidurkan di atas meja dengan fiksasi longgar, pasang monitor jantung dengan alarm
jantung diatur di luar batas 100-180 kali/ menit, masukkan kateter ke dalam vena umbilikalis,
melalui kateter darah bayi dihisap sebanyak 200 cc lalu dikeluarkan, kemudian darah pengganti
sebanyak 200 cc dimasukkan ke dalam tubuh bayi. Setelah menunggu 20 detik, lalu darah bayi
diambil lagi sebanyak 200 cc dan dikeluarkan. Kemudian dimasukan darah pengganti dengan
jumlah yang sama. Demikian siklus penggantian tersebut diulangi sampai selesai. Kecepatan
menghisap dan memasukkan darah ke dalam tubuh bayi diperkirakan 1,8 kg/cc BB/menit.
Jumlah darah yang ditransfusi tukar berkisar 140-180 bergantung pada tinggi rendahnya kadar
bilirubin sebelum transfusi tukar.

Saat transfusi tukar, darah donor dihangatkan sesuai suhu temperatur


ruang. Pemanasan darah dapat merusak eritrosit yang akan menghemolisis dan menghasilkan
bilirubin. Pemanasan tidak boleh dilakukan secara langsung dan tidak boleh menggunakan
microwave. Darah dihangatkan dengan koil penghangat yang dirancang untuk tujuan tersebut.

Hal yang perlu diperhatikan selama transfusi tukar berlangsung, perawat bertanggung jawab
membantu dan mencatat tanda penting tiap 15 menit. Pemeriksaan kadar kalsium dan glukosa
darah dilakukan selama transfusi tukar. Segera setelah transfusi tukar selesai, dilakukan
pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, elektrolit, dan bilirubin, kemudian diulangi tiap 4-8 jam
atau sesuai anjuran dokter. Selama dan sesudah transfusi tukar dapat terjadi komplikasi emboli
udara dan trombosis udara dan trombosis, aritmia, hipervolemia, henti jantung, hipernatremia,
hiperkalemia, hipokalsemia, asidosis dan alkoliosis postransfusi tukar, trombositopenia,
perdarahan dan kelebihan heparin, bakterimia, pasti hepatitis virus B.

3.      Terapi Obat-obatan

Terapi lainnya adalah dengan obat-obatan. Misalnya phenobarbital atau luminal untuk


meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga bilirubin yang sifatnya indirect
berubah menjadi direct. Ada juga obat-obatan yang mengandung plasma atau albumin yang
berguna untuk mengurangi timbunan bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hati.

Biasanya terapi ini dilakukan bersamaan dengan terapi lain, seperti fototerapi. Jika sudah
tampak perbaikan, maka terapi obat-obatan ini dikurangi bahkan dihentikan. Efek sampingnya
adalah mengantuk dan akibatnya bayi jadi banyak tidur dan kurang minum ASI sehingga
dikhawatirkan terjadi kekurangan kadar gula dalam darah yang justru memicu peningkatan
bilirubin. Oleh karena itu, terapi obat-obatan bukan menjadi pilihan utama untuk menangani
hiperbilirubin karena biasanya dengan fototerpi si kecil sudah bisa ditangani.

4.      Menyusui Bayi dengan ASI

Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urine, untuk itu bayi harus
mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat
memperlancar buang air besar dan buang air kecilnya. Akan tetapi, pemberian ASI juga harus di
bawah pengawasan dokter karena pada beberapa kasus, ASI justru meningkatkan kadar bilirubin
bayi (breast milk jaundice).

Kejadian ini biasanya muncul di minggu pertama dan kedua setelah bayi lahir dan akan berakhir
pada minggu ke-3. Biasanya untuk sementara ibu tidak boleh menyusui bayinya. Setelah kadar
bilirubin bayi normal, baru boleh disusui lagi.

5.      Terapi Sinar Matahari

Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya dianjurkan setelah
bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur selama setengah jam dengan posisi
yang berbeda-beda. Caranya seperempat jam dalam keadaaan terlentang, misalnya, seperempat
jam kemudian telungkup. Lakukan antara jam 07.00 sampai 09.00. Inilah waktu dimana sinar
surya efektif mengurangi kadar bilirubin. Di bawah  jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup
efektif, sedangkan di atas jam sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi sehingga akan merusak
kulit.

Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke matahari karena dapat merusak matanya.
Perhatikan pula situasi di sekeliling, keadaan udara harus bersih

F.     Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan penyakit ini yaitu terjadi kern ikterus yaitu keruskan
otak akibat perlangketan bilirubin indirek pada otak. Pada kern ikterus gejala klinik pada
permulaan tidak jelas antara lain : bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar,
gerakan tidak menentu (involuntary movements), kejang tonus otot meninggi, leher kaku, dan
akhirnya opistotonus. Selain itu dapat juga terjadi Infeksi/sepsis, peritonitis, pneumonia.

I.       Penatalaksanaan
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan ikterus diarahkan untuk
mencegah anemia dan membatasi efek dari ikterus. Pengobatan mempunyai tujuan :
1.      Menghilangkan Anemia
2.      Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3.      Meningkatkan Badan Serum ikterus
4.      Menurunkan Serum ikterus
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus
1. Albumin dan Therapi Obat.
2. Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk
menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a
bound of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin
dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar
Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin
tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari
jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan
dengan Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan
diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati
(Avery dan Taeusch, 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin
dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi
tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia. Secara
umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit
dengan berat badan kurang dari 1000 gram  harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5
mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam
pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
3. Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
a.       Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
b.      Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
c.       Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
d.      Tes Coombs Positif
e.       Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
f.       Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
g.      Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
h.      Bayi dengan Hidrops saat lahir.
i.        Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.

Transfusi Pengganti digunakan untuk :


1.      Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah merah
terhadap Antibodi Maternal.
2.      Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
3.      Menghilangkan Serum Bilirubin
4.      Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin
Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh
negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang
pendek. setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari
sampai stabil.
4. Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan
konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk
beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post
natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Colistrisin dapat
mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus
Enterohepatika.
J.      Konsep Asuhan Kebidanan Pada Bayi ikterus
Untuk memberikan asuhan kebidanan yang paripurna digunakan proses merawat meliputi
Pengkajian, Diagnosa, Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi.
1.      Pengkajian
a.       Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia, Infeksi,
Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
a)      Riwayat kehamilan dengan komplikasi(obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi
intrauterine, infeksi intranatal)
b)      Riwayat persalinan dengan tindakan/komplikasi
c)      Riwayat ikterus/terapi sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya
d)     Riwayat inkompatibilitas darah
e)      Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa(Etika et al, 2006).
b.      Pemeriksaan Fisik :
Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks menyusui yang
lemah, Iritabilitas. Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus
akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang
kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi
apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar(Etika et al, 2006). Salah satu cara memeriksa
derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan sederhana adalah dengan penilaian
menurut Kramer(1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang
tulangnya menonjol seperti tulang hidung,dada,lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan
tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut
disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya(Mansjoer et al, 2007).

Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan
penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab
ikterus tersebut(Etika et al, 2006).
c.       Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa bersalah, masalah
Bonding, perpisahan dengan anak.
d.      Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal keluarga lain yang
memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia (Cindy
Smith Greenberg. 1988)
2.      Diagnosa keperawatan
Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul :
a.       Risiko/ defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, serta
peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan defikasi sekunder fototherapi.
b.      Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek fototerapi.
c.       Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.
d.      Gangguan parenting ( perubahan peran orang tua ) berhubungan dengan perpisahan dan
penghalangan untuk gabung.
e.       Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
f.       Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
g.      Risiko tinggi komplikasi (trombosis, aritmia, gangguan elektrolit, infeksi) berhubungan
dengan tranfusi tukar.
h.      PK : Kern Ikterus

3.      Intervensi keperawatan
a.       Risiko /defisit volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan serta peningkatan IWL dan
defikasi sekunder fototherapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi deficit
volume cairan dengan kriteria :
 Jumlah intake dan output seimbang
 Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal
 Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BBL
Intervensi & Rasional :
1.      Kaji reflek hisap bayi ( Rasional/R : mengetahui kemampuan hisap bayi )
2.      Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat (R: menjamin keadekuatan intake )
3.      Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi faeces ( R : mengetahui kecukupan
intake )
4.      Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam (R : turgor menurun, suhu
meningkat HR meningkat adalah tanda-tanda dehidrasi )
5.      Timbang BB setiap hari (R : mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi).

b.      Risiko/hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi


Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
hipertermi dengan kriteria suhu aksilla stabil antara 36,5-37 0 C.
Intervensi dan rasionalisasi :
1.      Observasi suhu tubuh ( aksilla ) setiap 4 - 6 jam
(R : suhu terpantau secara rutin )
2.      Matikan lampu sementara bila terjadi kenaikan suhu, dan berikan kompres dingin serta ekstra
minum ( R : mengurangi pajanan sinar sementara )
3.      Kolaborasi dengan dokter bila suhu tetap tinggi ( R : Memberi terapi lebih dini atau mencari
penyebab lain dari hipertermi ).

c.       Risiko /Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
gangguan integritas kulit dengan kriteria :
tidak terjadi decubitus
Kulit bersih dan lembab
Intervensi :
1.      Kaji warna kulit tiap 8 jam (R : mengetahui adanya perubahan warna kulit )
2.      Ubah posisi setiap 2 jam (R : mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu
lama ).
3.      Masase daerah yang menonjol (R : melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan
di daerah tersebut ).
4.      Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab ( R : mencegah lecet )
5.      Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun menjadi 7,5 mg%
fototerafi dihentikan (R: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama )

d.      Gangguan parenting ( perubahan peran orangtua) berhubungan dengan perpisahan dan


penghalangan untuk gabung.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan orang tua dan bayi
menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat mengekspresikan ketidak mengertian
proses Bounding.
Intervensi :
1.      Bawa bayi ke ibu untuk disusui ( R : mempererat kontak sosial ibu dan bayi )
2.      Buka tutup mata saat disusui (R: untuk stimulasi sosial dengan ibu)
3.      Anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya (R: mempererat kontak dan stimulasi
sosial ).
4.      Libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan ( R: meningkatkan peran orangtua
untuk merawat bayi ).
5.      Dorong orang tua mengekspresikan perasaannya (R: mengurangi beban psikis orangtua)

e.       Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.


Tujuan : Setelah diberikan penjelasan selama 2x15 menit diharapkan orang tua menyatakan
mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan kooperatif dalam perawatan.
Intervensi :
1.      Kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien ( R : mengetahui tingkat pemahaman
keluarga tentang penyakit )
2.      Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan perawatannya ( R :
Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit )
3.      Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah (R : meningkatkan tanggung
jawab dan peran orang tua dalam erawat bayi)

f.       Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi


Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi injury
akibat fototerapi ( misal ; konjungtivitis, kerusakan jaringan kornea )
Intervensi :
1.      Tempatkan neonatus pada jarak 40-45 cm dari sumber cahaya( R : mencegah iritasi yang
berlebihan).
2.      Biarkan neonatus dalam keadaan telanjang, kecuali pada mata dan daerah genetal serta bokong
ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya usahakan agar penutup mata tidak
menutupi hidung dan bibir(R : mencegah paparan sinar pada daerah yang sensitif )
3.      Matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam(R:
pemantauan dini terhadap kerusakan daerah mata )
4.      Buka penutup mata setiap akan disusukan.( R : memberi kesempatan pada bayi untuk kontak
mata dengan ibu ).
5.      Ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan( R : memberi rasa aman pada
bayi ).

g.      Risiko tinggi terhadap komplikasi berhubungan dengan tranfusi tukar


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 1x24 jam diharapkan tranfusi tukar dapat
dilakukan tanpa komplikasi
Intervensi :
1.      Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan(R : menjamin keadekuatan akses
vaskuler )
2.      Basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan( R : mencegah
trauma pada vena umbilical ).
3.      Puasakan neonatus 4 jam sebelum tindakan(R: mencegah aspirasi )
4.      Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama dan setelah prosedur( R : mencegah hipotermi
5.      Catat jenis darah ibu dan Rhesus memastikan darah yang akan ditranfusikan adalah darah
segar( R : mencegah tertukarnya darah dan reaksi tranfusi yang berlebihan 0
6.      Pantau tanda-tanda vital, adanya perdarahan, gangguan cairan dan elektrolit, kejang selama dan
sesudah tranfusi (R : Meningkatkan kewaspadaan terhadap komplikasi dan dapat melakukan
tindakan lebih dini )
7.      Jamin ketersediaan alat-alat resusitatif (R : dapat melakukan tindakan segera bila terjadi
kegawatan )

h.      PK Kern Ikterus


Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tanda-tanda awal
kern ikterus bisa dipantau
Intervensi :
1.      Observasi tanda-tanda awal Kern Ikterus ( mata berputar, letargi , epistotonus, dll)
2.      Kolaborasi dengan dokter bila ada tanda-tanda kern ikterus.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Ikterus adalah keadaan dimana meningginya kadar bilirubin didalam jaringan


ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning. Ini
disebabkan oleh karena adanya timbunan bilirubin (zat/ komponen yang berasal dari pemecahan
hemoglobin dalam sel darah merah) di bawah kulit.

Ikterus dikelompokkan menjadi dua yaitu  Ikterus fisiologis yang biasanya timbul pada
hari kedua dan ketiga dan tanpa ada dasar patologis sedangkan Ikterus patologis muncul pada 24
jam pertama bayi lahir dan akan menetap selama 2 minggu dan kadar bilirubinnya melampaui
batas kadar hiperbilirubinemia. Penanganan pada bayi ikterus bermacam-macam sesuai tingkatan
dan kadar bilirubinnya.

B. Saran

Dalam pembuatan makalah ini , masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu,
sangat diperlukan kritik dan saran yang membangun  agar dalam pembuatan makalah selanjutnya
lebih baik lagi. Selain itu, makalah ini disarankan pula untuk dijadikan tolak ukur dalam
pembuatan makalah-makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
FKUI .1985. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta: EGC

Mansjoer, A dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC

Pelatihan PONED Komponen Neonatal 28-30 Oktober 2004)

Saifudin, Sbdul Bari. 2002. Buku Acuan National Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: JNPKKR-POGI

Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Salman. 2006. Asuhan Antenatal. Jakarta: EGC

Manuaba, Ida Bagus Gde. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai