Penatalaksaannya “IKTERUS”.
TINGKAT : 2B
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan
baik yang berjudul “Makalah Membei Asuhan Pada Bayi Dengan Resiko Tinggi Dan
Penatalaksaannya “IKTERUS”.
“ makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dan diajukan untuk memenuhi
standar proses pembelajaran pada mata kuliah pada Poltekkes Kemenkes Palembang prodi DIII
Kebidanan Muara Enim.
Meskipun telah berusaha segenap kemampuan, namun penulis menyadari bahwa makalah
ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari
semua pihak demi perbaikan di hari kemudian.
Akhir kata, penyusun berharap makalah semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam
proses pembelajaran di Poltekkes Kemenkes Palembang prodi DIII Kebidanan Muara Enim.
penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A. Latar belakang........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................... 2
C. Tujuan..................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3
A. Definis ikterus......................................................................................................... 3
B. penyebab dan faktor resiko dari ikterik.................................................................. 4
C. tanda dan gejala ikterik............................................................................................ 5
D. penanganan ikterik......................................................................................... ..........6
E. Komplikasi.............................................................................................................. 9
F. Penatalaksanaan.................................................................................................... 11
G. Konsep Asuhan Kebidanan Pada Bayi Ikterus..................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi
dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi
bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi
karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada
BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah). Banyak sekali penyebab bayi kuning ini. Yang sering terjadi
adalah karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit ( sel darah merah).
Pada bayi usia sel darah merah kira-kira 90 hari. Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses
oleh hati bayi. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan
eritrosit disebut bilirubin, bilirubin ini yang menyebabkan kuning pada bayi. Kejadian ikterus
pada bayi baru lahir (BBL) sekitar 50% pada bayi cukup bulan dan 75% pada bayi kurang bulan
(BBLR). Kejadian ini berbeda-beda untuk beberapa negara tertentu dan beberapa klinik tertentu
di waktu tertentu.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam pengelolaan BBL yang pada akhir-akhir ini
mengalami banyak kemajuan. BBLR menjadi ikterus disebabkan karena sistem enzim hatinya
tidak matur dan bilirubin tak terkonjugasi tidak dikonjugasikan secara efisien 4-5 hari berlalu.
Ikterus dapat diperberat oleh polisitemia, memar,infeksi. BBLR ini merupakan faktor utama
dalam peningkatan mortalitas, morbiditas, dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta
memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupan di masa depan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan ikterus ?
2. Apakah yang menjadi penyebab terjadinya ikterus ?
3. Bagaimana komplikasi yang terjadi pada penyakit ikterus?
4. Apa saja pemeriksaan pada penyakit ikterus?
5. Bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan pada penyakit ikterus?
6. Bagaimana proses asuhan kebidanan pada penyakit ikterus?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui deskripsi tentang definisi ikterus.
2. Untuk mengetahui deskripsi tentang penyebab terjadinya ikterus .
3. Untuk mengetahui gambaran tentang komplikasi yang terjadi pada penyakit ikterus.
4. Untuk mengetahui deskripsi tentang pemeriksaan pada penyakit ikterus.
5. Untuk mengetahui gambaran tentang penatalaksanaan penyakit ikterus.
6. Untuk mengetahui gambaran tentang proses asuhan kebidanan pada bayi
dengan penyakit ikterus.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Ikterus atau Hiperbilirubinemia pada BBL adalah meningginya kadar bilirubin didalam
jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna
kuning.Ikterus pada bayi baru lahir terdapat pada 25-50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi
lagi pada neonatus kurang bulan.
Ikterus pada bayi baru lahir merupakan suatu gejala fisiologis atau dapat merupakan hal
patologis. Ikterus atau warna kuning pada bayi baru lahir dalam batas normal pada hari ke 2-3
dan menghilang pada hari ke-10.
1. Ikterus Fisiologis
Umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu
pertama > 2mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula kadar bilirubin akan
mencapai puncaknya sekitar 6 – 8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun
cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 – 2
minggu.
Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar
yang lebih tinggi ( 7 – 14 mg/dL ) dan penurunan terjadi lebih lambat. Bisa terjadi dalam waktu
2 – 4 minggu bahkan dapat mencapai waktu 6 minggu.
2. Ikterus Patologis
Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam. Peningkatan kadar bilirubin total serum 0,5
mg/dL/jam. Ikterus diikuti dengan adanya tanda – tanda penyakit yang mendasari pada setiap
bayi ( muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea atau
suhu yang tidak stabil ). Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14
hari pada bayi kurang bulan.
Kuning pada bayi timbul karena adanya timbunan bilirubin (zat/ komponen yang berasal
dari pemecahan hemoglobin dalam sel darah merah) di bawah kulit. Pada saat masih dalam
kandungan, janin membutuhkan sel darah merah yang banyak karena paru-parunya belum
berfungsi.
Sel darah merah mengangkut oksigen dan nutrisi dari ibu ke bayi melalui plasenta.
Sesudah bayi lahir, paru-parunya sudah berfungsi, sehingga darah merah ini tidak dibutuhkan
lagi dan dihancurkan. Salah satu hasil pemecahan itu adalah bilirubin.
1. Prahepatik (ikterus hemolitik)
Ikterus ini disebabkan karena produksi bilirubin yang meningkat pada proses hemolisis sel darah
merah (ikterus hemolitik). Peningkatan bilirubin dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah infeksi, kelainan sel darah merah, dan toksin dari luar tubuh, serta dari tubuh
itu sendiri.
2. Pascahepatik (obstruktif)
Adanya obstruksi pada saluran empedu yang mengakibatkan bilirubin konjungasi akan kembali
lagi ke dalam sel hati dan masuk ke dalam aliran darah, kemudian sebagian masuk dalam ginjal
dan diekskresikan dalam urine. Sementara itu, sebagian lagi tertimbun dalam tubuh sehingga
kulit dan sklera berwarna kuning kehijauan serta gatal. Sebagai akibat dari obstruksi saluran
empedu menyebabkan ekresi bilirubin ke dalam saluran pencernaan berkurang, sehingga fases
akan berwarna putih keabu-abuan, liat, dan seperti dempul.
Konjugasi bilirubin terjadi pada sel hati, apabila sel hati mengalami kerusakan maka secara
otomatis akan mengganggu proses konjugasi bilirubin sehingga bilirubin direct meningkat dalam
aliran darah. Bilirubin direct mudah dieksresikan oleh ginjal karena sifatnya mudah larut dalam
air, namun sebagian masih tertimbun dalam aliran darah.
Faktor Maternal :
Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
ASI
Faktor Perinatal :
Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
Faktor Neonatus :
rematuritas
Faktor genetik :
Polisitemia
Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
Rendahnya asupan ASI
Hipoglikemia
Hipoalbuminemia
Fisiologis :
Ikterus fisiologis adalah ikterus normal yang dialami oleh bayi baru lahir, tidak mempunyai
dasar patologis sehingga tidak berpotensi menjadi kern ikterus. Ikterus fisiologis ini memiliki
tanda-tanda berikut:
Patologis :
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis dengan kadar bilirubin
mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Ikterus patologis memiliki tanda dan
gejala sebagai berikut:
D. Penanganan
1. Ikterus fisiologis
Memandikan
Melakukan perawatan tali pusat
Membersihkan jalan nafas
Menjemur bayi di bawah sinar matahari pagi, kurang lebih 30 menit
d. Apabila ada tanda ikterus yang lebih parah (misalnya feses berwarna putih keabu-abuan
dan liat seperti dempul), anjurkan ibu untuk segera membawa bayinya ke puskesmas. Anjurkan
ibu untuk kontrol setelah 2 hari.
2. Hiperbilirubinemia sedang
3. Hiperbilirubenemia berat
Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah
kembali ke ambang batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi dapat
dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah dulu oleh organ hati. Terapi
sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tidak terus meningkat sehingga menimbulkan
resiko yang lebih fatal.
Sinar yang digunakan pada fototerapi berasal dari sejenis lampu neon dengan panjang
gelombang tertentu. Lampu yang digunakan sekitar 12 buah dan disusun secara paralel. Di
bagian bawah lampu ada sebuah kaca yang disebut flaxy glass yang berfungsi meningkatkan
energi sinar sehingga intensitasnya lebih efektif.
Sinar yang muncul dari lampu tersebut kemudian diarahkan pada tubuh bayi. Seluruh
pakaiannya dilepas, kecuali mata dan alat kelamin harus ditutup dengan menggunakan kain kasa.
Tujuannya untuk mencegah efek cahaya yang berlebihan dari lampu-lampu
tersbut. Seperti diketahui, pertumbuhan mata bayi belum sempurna sehingga dikhawatirkan akan
merusak bagian retinanya. Begitu pula alat kelaminnya, agar kelak tak terjadi resiko terhadap
organ reproduksi itu, seperti kemandulan.
Pada saat dilakukan fototerapi, posisi tubuh bayi akan diubah-ubah, terlentang lalu
telungkup agar penyinaran berlangsung merata. Jika sudah turun dan berada di bawah ambang
batas bahaya, maka terapi bisa dihentikan. Rata-rata dalam jangka waktu dua hari sibayi sudah
boleh dibawa pulang.
Meski relatif efektif, tetaplah waspada terhadap dampak fototerapi. Ada kecenderungan bayi
yang menjalani proses terapi sinar mengalami dehidrasi karena malas minum. Sementara, proses
pemecahan bilirubin justru akan meningkatkan pengeluaran cairan empedu ke organ usus.
Alhasil, gerakan peristaltik usus meningkat dan menyebabkan diare. Memang tak semua bayi
akan mengalaminya, hanya pada kasus tertentu saja. Yang pasti, untuk menghindari terjadinya
dehidrasi dan diare, orang tua mesti tetap memberikan ASI pada bayi.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan terapi sinar ialah :
a. Lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 500 jam, untuk menghindarkan
turunnya energi yang dihasilkan oleh lampu yang digunakan.
b. Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin terkena sinar.
c. Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk mencegah
kerusakan retina. Penutup mata dilepas saat pemberian minum dan kunjungan orang tua untuk
memberikan rangsang visual pada neonatus. Pemantau iritasi mata dilakukan tiap 6 jam
dengan membuka penutup mata.
e. Posisi lampu diatur dengan jarak 20-30 cm di atas tubuh bayi, untuk mendapatkan energi
yang optimal
f. Posisi bayi diubah tiap 8 jam, agar tubuh mendapat penyinaran seluas mungkin
g. Suhu tubuh diukur 4-6 jam sekali atau sewaktu-waktu bila perlu
h. Pemasukan cairan dan minuman dan pengeluaran urine, feses dan muntah diukur, dicatat
dan dilakukan pemantauan tanda dehidrasi
Apabila dalam evaluasi kadar bilirubin berada dalam ambang batas normal, terapi sinar
dihentikan. Jika kadar bilirubin masih tetap atau tidak banyak berubah, perlu dipikirkan adanya
beberapa kemungkinan, antara lain lampu yang tidak efektif atau bayi yang menderita dehidrasi,
hipoksia, infeksi, gangguan metabolisme dan lain-lain. Keadaan demikian memerlukan tindakan
kolaboratif dengan tim medis.
Pemberian terapi sinar dapat menimbulkan efek samping. Namun, efek samping tersebut
bersifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan memperhatikan tata cara
penggunaan terapi sinar dan diikuti dengan pemantauan keadaan bayi secara berkelanjutan.
Kelainan yang mungkin timbul pada neonatus yang mendapat terapi sinar adalah :
Kelainan ini akan segera hilang setelah terapi dihentikan. Dilaporkan pada beberapa
terjadi “Bronze baby syndrom” hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan
dengan segera hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit ini bersifat sementara dan tidak
mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.
d. Peningkatan suhu
Beberapa neonatus yang mendapat terapi sinar, menunjukkan kenaikan suhu lingkungan
yang meningkat atau gangguan pengaturan suhu tubuh bayi pada bayi premature fungsi
termostat atau yang belum matang. Pada keadaan ini fototerapi dapat dilanjutkan dengan
mematikan sebagian lampu yang digunakan dan dilakukan pemantauan suhu tubuh neontus
dengan jangka waktu (unterval) yang lebih singkat.
e. Kadang ditemukan kelainan, seperti gangguan minum, lateragi, dan iritabilitas. Keadaan
ini bersifat sementara dan akan hilang dengan sendirinya.
Kelainan retina dan gangguan pertumbuhan ditemukan pada binatang percoban. Pada
neonatus yang mendapat terapi sinar, gangguan pada retina dan fungsi penglihatan lainnya
serta gangguan tumbuh kembang tidak dapat dibuktikan dan belum ditemukan, walupun
demikian diperlukan kewaspadaan perawat tentang kemungkinan timbulnya keadaan tersebut.
2. Terapi Transfusi
Jika setelah menjalani fototerapi tak ada perbaikan dan kadar bilirubin terus meningkat
hingga mencapai 20 mg/dl atau lebih, maka perlu dilakukan terapi transfusi darah.
Dikhawatirkan kelebihan bilirubin dapat menimbulkan kerusakan sel saraf otak (kern ikterus).
Efek inilah yang harus diwaspadai karena anak bisa mengalami beberapa gangguan
perkembangan. Misalnya keterbelakangan mental, cerebrel palsy, gangguan motorik dan bicara,
serta gangguan penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, darah bayi yang sudah teracuni akan
dibuang dan ditukar dengan darah lain.
Penggantian darah sirkulasi neonatus dengan darah dari donor dengan cara mengeluarkan
darah neonatus dan masukkan darah donor secara berulang dan bergantian melalui suatu
prosedur. Jumlah darah yang diganti sama dengan yang dikeluarkan. Pergantian darah bisa
mencapai 75-85% dari jumlah darah neonatus.
Tujuan transfusi tukar adalah untuk menurunkan kadar bilirubin indirek, mengganti
eritrosit yang dapat dihemolisis, membuang antibody yang menyebabkan hemolisis, dan
mengoreksi anemia.
Transfusi tukar akan dilakukan oleh dokter pada neonatus dengan kadar bilirubin indirek
sama dengan atau lebih tinggi dari 20mg% atau sebelum bilirubin mencapai kadar 20 mg%. Pada
neonatus dengan kadar bilirubin tali pusat lebih dari 4 mg% dan kadar hemoglobin tali pusat
kurang dari 10 mg%, peningkatan kadar bilirubin 1 mg% tiap jam. Darah yang digunakan
sebagai darah pengganti (darah donor) ditetapkan berdasarkan penyebab hiperbilirubinemia.
Transfusi tukar dilakukan, tetapi sebelumnya label darah harus diperiksa apakah sudah
sesuai dengan permintaan dan tujuan transfusi tukar. Darah yang digunakan usianya harus
kurang dari 27 jam. Darah yang akan dimasukan harus dihangatkan dulu, 2 jam sebelum
transfusi tukar bayi dipuasakan, bila perlu dipasang pipa nasogastrik, lalu bayi dibawa ke ruang
aseptic untuk menjalani prosedur transfusi tukar.
Bayi ditidurkan di atas meja dengan fiksasi longgar, pasang monitor jantung dengan alarm
jantung diatur di luar batas 100-180 kali/ menit, masukkan kateter ke dalam vena umbilikalis,
melalui kateter darah bayi dihisap sebanyak 200 cc lalu dikeluarkan, kemudian darah pengganti
sebanyak 200 cc dimasukkan ke dalam tubuh bayi. Setelah menunggu 20 detik, lalu darah bayi
diambil lagi sebanyak 200 cc dan dikeluarkan. Kemudian dimasukan darah pengganti dengan
jumlah yang sama. Demikian siklus penggantian tersebut diulangi sampai selesai. Kecepatan
menghisap dan memasukkan darah ke dalam tubuh bayi diperkirakan 1,8 kg/cc BB/menit.
Jumlah darah yang ditransfusi tukar berkisar 140-180 bergantung pada tinggi rendahnya kadar
bilirubin sebelum transfusi tukar.
Hal yang perlu diperhatikan selama transfusi tukar berlangsung, perawat bertanggung jawab
membantu dan mencatat tanda penting tiap 15 menit. Pemeriksaan kadar kalsium dan glukosa
darah dilakukan selama transfusi tukar. Segera setelah transfusi tukar selesai, dilakukan
pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, elektrolit, dan bilirubin, kemudian diulangi tiap 4-8 jam
atau sesuai anjuran dokter. Selama dan sesudah transfusi tukar dapat terjadi komplikasi emboli
udara dan trombosis udara dan trombosis, aritmia, hipervolemia, henti jantung, hipernatremia,
hiperkalemia, hipokalsemia, asidosis dan alkoliosis postransfusi tukar, trombositopenia,
perdarahan dan kelebihan heparin, bakterimia, pasti hepatitis virus B.
3. Terapi Obat-obatan
Biasanya terapi ini dilakukan bersamaan dengan terapi lain, seperti fototerapi. Jika sudah
tampak perbaikan, maka terapi obat-obatan ini dikurangi bahkan dihentikan. Efek sampingnya
adalah mengantuk dan akibatnya bayi jadi banyak tidur dan kurang minum ASI sehingga
dikhawatirkan terjadi kekurangan kadar gula dalam darah yang justru memicu peningkatan
bilirubin. Oleh karena itu, terapi obat-obatan bukan menjadi pilihan utama untuk menangani
hiperbilirubin karena biasanya dengan fototerpi si kecil sudah bisa ditangani.
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urine, untuk itu bayi harus
mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat
memperlancar buang air besar dan buang air kecilnya. Akan tetapi, pemberian ASI juga harus di
bawah pengawasan dokter karena pada beberapa kasus, ASI justru meningkatkan kadar bilirubin
bayi (breast milk jaundice).
Kejadian ini biasanya muncul di minggu pertama dan kedua setelah bayi lahir dan akan berakhir
pada minggu ke-3. Biasanya untuk sementara ibu tidak boleh menyusui bayinya. Setelah kadar
bilirubin bayi normal, baru boleh disusui lagi.
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya dianjurkan setelah
bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur selama setengah jam dengan posisi
yang berbeda-beda. Caranya seperempat jam dalam keadaaan terlentang, misalnya, seperempat
jam kemudian telungkup. Lakukan antara jam 07.00 sampai 09.00. Inilah waktu dimana sinar
surya efektif mengurangi kadar bilirubin. Di bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup
efektif, sedangkan di atas jam sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi sehingga akan merusak
kulit.
Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke matahari karena dapat merusak matanya.
Perhatikan pula situasi di sekeliling, keadaan udara harus bersih
F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan penyakit ini yaitu terjadi kern ikterus yaitu keruskan
otak akibat perlangketan bilirubin indirek pada otak. Pada kern ikterus gejala klinik pada
permulaan tidak jelas antara lain : bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar,
gerakan tidak menentu (involuntary movements), kejang tonus otot meninggi, leher kaku, dan
akhirnya opistotonus. Selain itu dapat juga terjadi Infeksi/sepsis, peritonitis, pneumonia.
I. Penatalaksanaan
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan ikterus diarahkan untuk
mencegah anemia dan membatasi efek dari ikterus. Pengobatan mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum ikterus
4. Menurunkan Serum ikterus
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus
1. Albumin dan Therapi Obat.
2. Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk
menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a
bound of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin
dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar
Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin
tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari
jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan
dengan Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan
diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati
(Avery dan Taeusch, 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin
dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi
tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia. Secara
umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit
dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5
mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam
pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
3. Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
b. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
c. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
d. Tes Coombs Positif
e. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
f. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
g. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
h. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
i. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.
Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan
penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab
ikterus tersebut(Etika et al, 2006).
c. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa bersalah, masalah
Bonding, perpisahan dengan anak.
d. Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal keluarga lain yang
memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia (Cindy
Smith Greenberg. 1988)
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul :
a. Risiko/ defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, serta
peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan defikasi sekunder fototherapi.
b. Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek fototerapi.
c. Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.
d. Gangguan parenting ( perubahan peran orang tua ) berhubungan dengan perpisahan dan
penghalangan untuk gabung.
e. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
f. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
g. Risiko tinggi komplikasi (trombosis, aritmia, gangguan elektrolit, infeksi) berhubungan
dengan tranfusi tukar.
h. PK : Kern Ikterus
3. Intervensi keperawatan
a. Risiko /defisit volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan serta peningkatan IWL dan
defikasi sekunder fototherapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi deficit
volume cairan dengan kriteria :
Jumlah intake dan output seimbang
Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal
Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BBL
Intervensi & Rasional :
1. Kaji reflek hisap bayi ( Rasional/R : mengetahui kemampuan hisap bayi )
2. Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat (R: menjamin keadekuatan intake )
3. Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi faeces ( R : mengetahui kecukupan
intake )
4. Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam (R : turgor menurun, suhu
meningkat HR meningkat adalah tanda-tanda dehidrasi )
5. Timbang BB setiap hari (R : mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi).
c. Risiko /Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi
gangguan integritas kulit dengan kriteria :
tidak terjadi decubitus
Kulit bersih dan lembab
Intervensi :
1. Kaji warna kulit tiap 8 jam (R : mengetahui adanya perubahan warna kulit )
2. Ubah posisi setiap 2 jam (R : mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu
lama ).
3. Masase daerah yang menonjol (R : melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan
di daerah tersebut ).
4. Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab ( R : mencegah lecet )
5. Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun menjadi 7,5 mg%
fototerafi dihentikan (R: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama )
A. Kesimpulan
Ikterus dikelompokkan menjadi dua yaitu Ikterus fisiologis yang biasanya timbul pada
hari kedua dan ketiga dan tanpa ada dasar patologis sedangkan Ikterus patologis muncul pada 24
jam pertama bayi lahir dan akan menetap selama 2 minggu dan kadar bilirubinnya melampaui
batas kadar hiperbilirubinemia. Penanganan pada bayi ikterus bermacam-macam sesuai tingkatan
dan kadar bilirubinnya.
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini , masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu,
sangat diperlukan kritik dan saran yang membangun agar dalam pembuatan makalah selanjutnya
lebih baik lagi. Selain itu, makalah ini disarankan pula untuk dijadikan tolak ukur dalam
pembuatan makalah-makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
FKUI .1985. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta: EGC
Saifudin, Sbdul Bari. 2002. Buku Acuan National Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: JNPKKR-POGI
Manuaba, Ida Bagus Gde. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC