Ikterus Neonatorum
Disusun oleh:
dr. Tri Adimas Ardian
Pembimbing:
dr. Christina Kastanti Nugrahani, Sp. A
dr. Elmizah
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Shalawat
besertasalam kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita
dari zaman jahiliyah ke zaman islamiyah, juga kepada sahabat dan keluarga beliau.
Ucapan terima kasih tidak lupa kami ucapkan kepada pembimbing kami dr.
Christina Kastanti Nugrahani, Sp.A, dr. Elmizah, dan para dokter di RS Tk. IV
Cijantung Kesdam Jaya yang telah memberikan arahan serta bimbingan hingga
terselesaikannya laporan kasus ini.
Tidak ada kata sempurna dalam pembuatan sebuah laporan kasus. Keterbatasan
dalam penulisan maupun kajian yang dibahas merupakan beberapa penyebabnya. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan terhadap laporan kasus ini demi
perbaikan di masa yang akan datang.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar.........................................................................................................1
Daftar Isi..................................................................................................................3
Bab I Pendahuluan...................................................................................................4
3
BAB I
PENDAHULUAN
Penelitian yang dilakukan pada tahun 1980 hingga 1990 menunjukkan bahwa
angka kejadian kernikterus sangat jarang dan terlalu banyak neonatus yang
mendapatkan pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan. Akan tetapi, banyak juga
bayi baru lahir yang dipulangkan dari Rumah Sakit lebih awal sehingga membatasi
kemampuan dokter untuk dapat mendeteksi terjadinya ikterus selama periode ketika
konsentrasi bilirubin serum cenderung mengalami peningkatan.1
Ikterus terjadi selama usia minggu pertama pada sekitar 60% bayi cukup bulan
dan 80% pada bayi prematur. Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap
tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Di Indonesia, didapatkan data ikterus
neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang
dilakukan di RSCM selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru
lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar
bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan
sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan
23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3
4
dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan
hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi
kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56%
bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus
yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia. Data yang agak berbeda
didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003
hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus
patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga
data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan
22,8%.4,5
Sebagian besar ikterus pada neonatus tidak memiliki penyebab dasar atau
disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan
pada bayi cukup bulan. Tetapi sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis,
septikemi, penyakit metabolik (ikterus patologik) sehingga menimbulkan gangguan
yang menetap atau menyebabkan kematian. Ensefalopati bilirubin merupakan
komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas
yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi,
paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup. Dalam keadaan
tersebut penatalaksanaan ikterus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus
dapat dihindarkan.4,5,6,11
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa
karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin. Jaringan
permukaan yang kaya elastin, seperti sklera dan permukaan bawah lidah, biasanya
menjadi kuning pertama kali. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum
bilirubin > 2 mg/dL (> 17 μmol/L, sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum
bilirubin sudah > 5 mg/dL (> 86 μmol/L). Bilirubin serum normal adalah 0,1 – 0,3
mg/dl. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah > 13 mg/dL.
Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis.5,7,8
Klasifikasi
Terdapat 2 jenis ikterus: ikterus fisiologis dan patologis. Ikterus fisiologis
memiliki karakteristik timbul pada hari kedua-ketiga, kadar bilirubin indirek (larut
dalam lemak) tidak melewati 12 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 10mg/dL pada
kurang bulan, kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg/dL per hari,
kadar bilirubin direk (larut dalam air) kurang dari 1mg/dL, gejala ikterus akan hilang
pada sepuluh hari pertama kehidupan, tidak terbukti mempunyai hubungan dengan
keadaan patologis tertentu. Sedangkan ikterus patologis memiliki karakteristik ikterus
yang terjadi pada 24 jam pertama kehidupan, ikterus dengan kadar bilirubin melebihi
12mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 10mg/dL pada neonatus lahir kurang
bulan/premature, ikterus dengan peningkatan bilirubun lebih dari 5mg/dL per hari, dan
ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama, ikterus yang mempunyai hubungan
dengan proses hemolitik, infeksi atau keadaan patologis lain yang telah diketahui, dan
kadar bilirubin direk melebihi 1mg/dL. 5,7,8
Etiologi
Penyebab ikterus dapat dibagi kepada tiga fase yaitu4,5:
i. Ikterus Prahepatik
Produksi bilirubin yang meningkat yang terjadi pada hemolisis sel darah
merah. Peningkatan pembentukan bilirubin dapat disebabkan oleh:
6
- Kelainan sel darah merah
- Infeksi seperti malaria, sepsis.
- Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat – obatan, maupun yang
berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfuse dan
eritroblastosis fetalis.
ii. Ikterus Pascahepatik
Bendungan pada saluran empedu akan menyebabkan peninggian bilirubin
konjugasi yang larut dalam air. Akibatnya bilirubin mengalami akan
mengalami regurgitasi kembali kedalam sel hati dan terus memasuki
peredaran darah, masuk ke ginjal dan di eksresikan oleh ginjal sehingga
ditemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena ada bendungan
pengeluaran bilirubin kedalam saluran pencernaan berkurang sehingga tinja
akan berwarna dempul karena tidak mengandung sterkobilin.
iii. Ikterus Hepatoseluler
Kerusakan sel hati menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu sehingga
bilirubin direk akan meningkat dan juga menyebabkan bendungan di dalam
hati sehingga bilirubin darah akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati
yang kemudian menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam
aliran darah. Kerusakan sel hati terjadi pada keadaan: hepatitis, sirosis
hepatic, tumor, bahan kimia, dll.
Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan .
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin
pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia. Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat
menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar
protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. 5,7,8
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi
misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat
toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek
yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini
7
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat
menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada
umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul
apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Bilirubin indirek akan mudah
melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan berat badan lahir rendah ,
hipoksia, dan hipoglikemia. 4,5,7,8
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa
hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus
akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan
yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap. Tekan kulit secara ringan
memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan subkutan. Penilaian
ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.4,5,7,8
o Kondisi umum, penentuan usia gestasi neonatus, berat badan, tanda-tanda sepsis,
status hidrasi
o Tanda-tanda kernikterus seperti letargi, hipotonia, kejang, opistotonus, high
pitch cry
o Pallor, plethora, sefalhematom, perdarahan subaponeurotik
o Tanda-tanda infeksi intrauterin seperti pateki, splenomegali.
o Progresi sefalo-kaudal pada ikterus berat
8
Kramer II Daerah dada – pusat (Bilirubin total ± 7 – 10 mg%)
Kramer III Perut dibawah pusat - lutut (Bilirubin total ± 10 – 13 mg)
Kramer IV Lengan sampai pergelangan tangan, tungkai bawah sampai
pergelangan kaki (Bilirubin total ± 13 – 17 mg%)
Kramer V hingga telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17 mg%)
Pemeriksaan Laboratorium4,5,12
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi
yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun pada bayi yang
mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi
sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar serum bilirubin.
9
Penatalaksanaan
1) Ikterus Fisiologis4,5,7,8
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi
sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan
terjadinya kernikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang
sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut:
o Minum ASI dini dan sering
o Terapi sinar
o Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan
kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning).
o Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai
faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu
10
pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena
tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar.
B. Mengatasi hipeerbilirubinemia7,8
1) Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat
ini bekerja sebagai “enzyme inducer” sehingga konjugasi dapat dipercepat.
Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam
baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila
diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum melahirkan bayi.
2) Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi.
Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas.
Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin
biasanya diberikan sebelum transfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan
mempercepat keluarnya bilirubin dari kstravaskuler ke vaskuler sehingga
bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar.
Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.
3) Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat
menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan
11
transfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk
pra dan pasca transfusi tukar. Indikasi terapi sinar adalah:
a. Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar bilirubin
>10 mg/dL
b. Bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin >15 mg/dL
c. Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus-mnerus, istirahat 12 jam,
bila perlu dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam
4) Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:
a. Kadar bilirubin tidak langsung >20 mg/dL
b. Kadar bilirubin tali pusat >4 mg/dL dan Hb <10 mg/dL
c. Peningkatan bilirubin >1mg/dL
Monitoring
Monitoring yang dilakukan antara lain2,7,8,:
1. Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit
tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama
bayi mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.
2. Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan
baik, atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di RS.
Komplikasi1,3,6
12
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus atau ensefalopati
bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak
terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan nuclei
batang otak. Patogenesis kern icterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interaksi
antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak
terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf terhadap
cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan perubahan permeabilitas sawar darah
otak mempengaruhi risiko terjadinya kern icterus.
Pada bayi sehat yang menyusu kern icterus terjadi saat kadar bilirubin >30
mg/dL dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu pertama
kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 minggu.
Gambaran klinis kern icterus antara lain:
1) Bentuk akut :
a. Fase 1(hari 1-2): menetek tidak kuat, stupor, hipotonia, kejang.
b. Fase 2 (pertengahan): hipertoni otot ekstensor, opistotonus, retrocollis,
demam.
c. Fase 3 (setelah minggu I): hipertoni.
2) Bentuk kronis :
a. Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic
neck reflexes, keterampilan motorik yang terlambat.
b. Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus,
tremor), gangguan pendengaran.
Pencegahan2,3,7
1) Pencegahan Primer
o Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/ hari
untuk beberapa hari pertama.
o Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi
yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
2) Pencegahan Sekunder
o Wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta
penyaringan serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.
13
o Memastikan bahwa semua bayi secara rutin di monitor terhadap timbulnya
ikterus dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai
saat memeriksa tanda – tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 – 12
jam.
Prognosis
Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 75%
atau lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80% yang bertahan hidup menderita
koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental, tuli, dan
kuadriplegia sapstis lazim terjadi. Bayi yang berisikio harus menjalani skrining
pendengaran.4,5
14
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : By. Ny. Irma/ Muhriz Tiar Alrasheed
Umur : 1 Bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Jambu No. 39, Cijantung, Jakarta Timur
Pekerjaan :-
Status Pernikahan :-
Suku : Jawa
Agama : Islam
HP/ Telp :-
Nomor RM : 15092826
Tanggal Periksa : 15/05/2019
Anamnesis
- Keluhan Utama : Kulit kuning
o Riwayat Penyakit Sekarang :
Awalnya pasien dibawa ibu nya ke puskesmas untuk imunisasi, namun saat
diperiksa oleh dokter di puskesmas dikatakan bahwa pasien terlihat kuning dan
disarankan untuk ke RS. Ibu pasien mengaku saat kulit pasien memang kuning dari
saat pulang dari RS setelah persalinan, dikatakan oleh dokter saat itu masih normal,
hanya perlu dijemur. Ibu pasien mengaku sudah sering menjemur pasien pagi hari.
Demam(-), batuk (-), pilek (-), muntah (-), BAB dempul (-), menyusu diakui ibu pasien
agak susah hanya sedikit-sedikit, namum BB baik dan meningkat. Riwayat kehamilan
normal dan persalinan normal.
15
o Riwayat Kehamilan dan Perkembangan
Pasien dikandung cukup bulan dan sesuai masa kehamilan. Ibu pasien
memeriksakan kehamilannya secara teratur selama hamil. Ibu pasien tidak memiliki
keluhan yang berarti.
Pasien dilahirkan di rumah sakit di bantu oleh dokter. Lahir spontan, langsung
menangis, pergerakan aktif dan tidak ada cacat fisik maupun trauma lahir.
Pemeriksaan Fisik
Tanda vital
Tekanan darah : Tidak diukur
Frekuensi nadi : 93 kali/menit
Frekuensi nafas : 45 kali/menit
Suhu badan : 36,7oC
Toraks
Cor : BJ I dan BJ II normal reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : BND vesikuler, Rh (-/-), Wh (-/-)
Abdomen
Tidak teraba massa.
Ekstremitas
Akral hangat, Kramer IV, edem (-/-), parese (-/-)
Pemeriksaan penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 15 Mei 2019 :
16
Pemeriksaan Hasil
Leukosit 10.500/uL
Hematokrit 40 Vol%
Trombosit 272.000/uL
Diagnosis
Hiperbilirubinemia indirek fisiologis
Diagnosis Banding
Hiperbilirubinemia patologis
Medikamentosa :
Sanbeplex 2 x 0.5cc
BAB IV
Follow Up
17
c) Tatalaksana :
i) Sanbeplex 2 x 0.5cc
ii) Fototerapi 1 x 24 jam
2) Jumat, 17 Mei 2019
a) Tanda vital
i) Tekanan darah : Tidak diukur
ii) Frekuensi nadi : 93 kali/menit
iii) Frekuensi nafas : 45 kali/menit
iv) Suhu badan : 36,7oC
18
BAB V
KESIMPULAN
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa
karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin. Pada
kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak
memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut
ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada
bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi,
penyakit metabolik (ikterus patologis).
3)
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Ennery, P., Eidman, A., Tevenson, D., 2001. Neonatal Hyperbilirubinemia. New
England Journal of Medicine, Vol. 344, No. 8.
2. Neimark, Ezequiel & Leleiko, Neal S. 2009. Antioxidant Effect of Bilirubin And
Pediatric Nonalcoholic Fatty Liver Disease Pediatrics; 124; E1240-E1241.
3. Sedlaka, Thomas W., Salehb, B. Masoumeh, Higginsonb, Daniel S., Paulb, Bindu
D., Julurib, Krishna R., Snyder, Solomon H. 2009. Bilirubin And Glutathione Have
Complementary Antioxidant And Cytoprotective Roles. The National Academy Of
Sciences Of The USA Vol. 106 No. 13 Hal 5171–5176.
4. Etika, R., Harianto, A., Indarso, F., Damanik, Sylviati M. 2004. Hiperbilirubinemia
Pada Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr.
Soetomo - Surabaya
8. Hansen, Thor Willy Ruud. 2010. Core Concepts: Bilirubin Metabolism. Neoreviews
vol. 11; hal. E316-E322.
9. Gartner, Lawrence M. 1994. Neonatal Jaundice. Pediatrics Review. Vol. 15; hal.
422-432
10. Depkes RI. 2001. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis. Dalam : Buku
Bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna untuk
Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI.
20