Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH TUTORIAL

BLOK KELUHAN BERKAITAN DENGAN SISTEM


HEMOPOIETIK DAN LIMFORETIKULER

SKENARIO 1

LEMAS DAN LELAH

OLEH : KELOMPOK 11

DOSEN TUTOR : Dr. dr. Oski Illiandri, M.Kes.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2019
DAFTAR NAMA ANGGOTA KELOMPOK

NAUFAL NATHAN ARIF HITAM 1710911210039

H. SUFIANI 1710911310018

YOSUA KANGSUDARMANTO 1710911310048

DESY AMALIA 1710911120008

MELYNDRA LAUREN 1710911120017

NURFITRIA RAHMASARI 1710911120029

RAFIDA IKHSANIA CAMALIS 1710911210030

ALIFAH NADIA 1710911220005

ANANDA ROSALINDA 1710911220009

ISNAINI HAFIZAH 1710911220027

SITI SA’DIAH 1710911220050

EMA FITRIANA 1710911320010


DAFTAR ISI

DAFTAR NAMA ANGGOTA KELOMPOK 2

DAFTAR ISI 3

SKENARIO 3

LANGKAH 1. IDENTIFIKASI DAN KLARIFIKASI ISTILAH 4

LANGKAH 2. MEMBUAT DAFTAR MASALAH 4

LANGKAH 3. ANALISIS MASALAH 5

LANGKAH 4. POHON MASALAH 8

LANGKAH 5. SASARAN BELAJAR 9

LANGKAH 7. SINTESIS HASIL BELAJAR 9

DEFINISI 9

ETIOLOGI 10

EPIDEMIOLOGI 10

KLASIFIKASI 11

FAKTOR RESIKO 12

PATOGENESIS 13

MANIFESTASI KLINIS 14

DIAGNOSIS 15

TATA LAKSANA 16

KOMPLIKASI 18

PENCEGAHAN 18

PROGNOSIS 18

KESIMPULAN 19
REFERENSI 20
SKENARIO 1

Lemas dan lelah

Seorang perempuan berusia 22 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan lemas sejak
beberapa bulan sebelum menikah. Saat ini pasien telah hamil 5 bulan. Keluhan disertai cepat
lelah serta sering mengantuk terutama jika pagi hari. Kadang pasien juga merasakan jantung
berdebar dan pusing. Pasien juga mengeluh tambah lemas jika setelah menstruasi. Menurut
pengakuannya, darah yang keluar tiap menstruasi sangat banyak dan biasanya berlangsung 7-8
hari. Pasien memiliki jadwal makan yang baik, namun tidak suka memakan daging ayam,
daging sapi atau ikan karena merasa amis. Biasanya pasien mengkonsumsi bayam, buncis, tahu,
telur dan teh untuk makanan sehari-hari.
Dokter kemudian melakukan pemeriksaan fisik. Berdasarkan data yang didapat dokter
menyarankan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium darah. Sesudah melihat hasilnya,
dokter memberikan resep obat yang harus diminum pasien secara teratur, serta memberikan
saran pada pasien untuk konsumsi makanan tertentu.

LANGKAH 1. IDENTIFIKASI DAN KLARIFIKASI ISTILAH

LANGKAH 2. MEMBUAT DAFTAR MASALAH


1. Apakah ada hubungan jenis kelamin dan usia terhadap keluhan pasien?
2. Bagaimana pengaruh kehamilan terhadap gejala yang dialami pasien?
3. Bagiamana pengaruh pola makan terhadap keluhan yang dialami pasien?
4. Apa saja kandungan gizi dari makanan yang sering dan jarang dikonsumsi pasien?
5. Mengapa pasien merasa mengantuk di pagi hari?
6. Apa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis?
7. Bagaimana proses pembentukan darah?
8. Apa pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis?
9. Mengapa pasien merasa lemas dan pusing?
10. Mengapa psien mengeluhkan jantung berdebar?
11. Bagaimana pengaruh menstruasi terhadap keluhan pasien?
LANGKAH 3. ANALISIS MASALAH
1. Apakah ada hubungan jenis kelamin dan usia terhadap keluhan pasien?
Keluhan lemas dan lelah merupakan gejala dari anemia. Anemia sering terjadi pada wanita
dewasa muda karena adanya menstruasi dan dalam kasus ini didapatkan pada ibu hamil yang
mana menjadi faktor risiko terjadinya anemia.
2. Bagaimana pengaruh kehamilan terhadap gejala yang dialami pasien?
Ibu hamil memerlukan nutrisi 2 kali lipat lebih banyak dari wanita dewasa yang tidak hamil,
terutama zat besi. Zat besi sangat dibutuhkan untuk proses metabolisme dan pembentukan
Hb di dalam tubuh. Sehingga kurangnya asupan zat besi akan mmenimbulkan gejala-gejala
anemia, seperti lemas, mudah lelah, dan sering mengantuk.
3. Bagiamana pengaruh pola makan terhadap keluhan yang dialami pasien?
Pola makan pasien teratur, tetapi kandungan gizi dari makanan tersebut tidak mencukupi
kebutuhan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh, terutama zat besi. Kurangnya zat besi
menyebabkan menurunnya pembentukan Hb. Sayuran hijau dan kacang-kacangan yang
biasanya dikonsumsi pasien mengandung besi dalam bentuk non-heme sehingga sulit untuk
diabsorbsi. Konsumsi teh yang sering juga menyebabkan terhambatnya penyerapan zat besi
dan penurunan metabolisme. Selain itu, kandungan kafein pada the juga dapat menyebabkan
spasme otot. Telur memang mengandung zat besi, tetapi masih belum cukup untuk
memenuhi kebutuhan Fe sehari-hari. Pasien juga jarang mengonsumsi daging dan ayam
yang sebenarnya mengandung banyak zat besi dalam bentuk heme yang mudah diserap oleh
tubuh. Intake dari zat besi yang kurang inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan
pembentukan Hb sehingga pasien merasa lemas dan cepat lelah.
4. Apa saja kandungan gizi dari makanan yang sering dan jarang dikonsumsi pasien?
Makanan yang jarang dikonsumsi oleh pasien mengandung unsur-unsur yang mengandung
banyak zat besi atau bisa disebut faktor enhancer. Sedangkan makanan sering dikonsumsi
oleh pasien mengandung unsur-unsur yang menghambat penyerapan zat besi. Sehingga jika
faktor inhibitor lebih besar dari faktor enhancer akan menyebabkan kurangnya penyerapan
zat besi. Selain itu, keadaan ibu yang sedang hamil juga memperberat kkeadaan defisiensi
zat besi karena kebutuhan yang meningkat.
5. Mengapa pasien merasa mengantuk di pagi hari?
Merasa mengantuk di pagi hari mungkin diakibatkan oleh dehidrasi. Dehidrasi dapat
menyebabkan berkurangnya perfusi ke jaringan otak, sehingga suplai oksigen ke otak juga
menurun. Hal ini akan menyebabkan menurunnya fungsi otak dan timbulnya rasa
mengantuk di pagi hari.
6. Apa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis?
Kasus yang terjadi pada pasien ini dicurigai sebagai anemia. Untuk menegakkan kasus
anemia diperlukan pemeriksaan darah, yaitu pemeriksaan darah rutin. Pemeriksaan darah
rutin dilakukan untuk melihat jumlah komponen darah, seperti Hb, eritrosit, trombosit,
leukosit, dan hematokrit. Jika kadar Hb yang didapatkan <11g/dL, maka diagnosis anemia
dapat ditegakkan. Selain itu, pemeriksaan apusan darah juga dapat dilakukan untuk melihat
bentuk dan warna eritrosit. Eritrosit normal akan memiliki gambaran normositik dan
normokromik. Eritrosit dengan gambaran mikrositik hipokromik dapat terjadi pada kasus
anemia defisiensi besi.
7. Bagaimana proses pembentukan sel darah merah?
Sel darah dibentuk oleh sumsum tulang. Sel darah merah atau eritrosit berasal dari stem cell.
Stem cell -> proeritroblast -> early eritroblast -> Hb accumulation -> normal eritroblast ->
retikulosit -> menuju pembuluh darah -> eritrosit. Eritrosit normalnya hidup selama 120
hari.
8. Apa pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis?
Pemeriksaan fisik selalu diawali dengan pengecekan keadaan umum, kesadaran, dan tanda
vital. Tanda vital terdiri dari pengukuran tekanan darah, frekuensi denyut nadi, frekuensi
respirasi, dan suhu tubuh. Pemeriksaan fisik head to toe. Pemeriksaan lainnya yang
berkaitan dengan diagnosis banding seperti konjungtiva dan pembesaran organ. Selain itu,
karena pasien mengeluh adanya palpitasi maka perlu juga dilakukan pemeriksaan terhadap
jantung.
9. Mengapa pasien merasa lemas dan pusing?
 Kehilangan darah yang banyak
 Penurunan oksigen
 Kerusakan sel darah
 Faktor genetik
 Konsumsi zat penghambat Fe, seperti kacang-kacangan dan the
 Gaya hidup yang kurang sehat, seperti kurangnya waktu tidur, konsumsi alkohol dan
kafein
 Stress
 Hipotiroid yang akan menyebakan kurangnya energi
 Insufisiensi adrenal
 Anoreksia
 Hiponatremia dan hypokalemia
 Hipoglikemia
 Keganasan
10. Mengapa pasien mengeluhkan jantung berdebar?
Menstruasi dan kebutuhan gizi yang tidak tercukupi akan menurunkan produksi Hb,
sehingga oksigen yang dapat diikat juga menjadi lebih sedikit. Kemudian tubuh akan
mengkompensasi dengan cara menyekresi katekolamin oleh ginjal. Katekolamin akan
meningkatkan pompa jantung sehingga terjadi palpitasi.
11. Bagaimana pengaruh menstruasi terhadap keluhan pasien?
Menstruasi yang banyak dan lama akan menyebabkan kehilangan darah yang banyak.
Banyaknya darah yang keluar dari tubuh merupkan salah satu faktor risiko terjadinya
anemia, sehingga muncul gejala mudah lelah, lemas dan mengantuk pada pagi hari.
LANGKAH 4. PEMBUATAN POHON MASALAH

Menstruasi banyak
dan lama Hamil Vegetarian

LEMAS

Sering mengantuk Lemas dan lelah Lemas dan lelah

Anemia Defisiensi Besi


PX FISIK
Chronic Fatigue Syndrome

Thalassemia
PX PENUNJANG

DK : ANEMIA DEFISIENSI BESI

 Definisi  Manifestasi klinis


 Etiologi  Diagnosis
 Epidemiologi  Tata laksana
 Klasifikasi  Komplikasi
 Faktor resiko  Pencegahan
 Patofisiologi  Prognosis
LANGKAH 5. SASARAN BELAJAR

Sasaran belajar dari skenario ini adalah pohon masalah.

LANGKAH 6. BELAJAR MANDIRI

LANGKAH 7. SINTESIS HASIL BELAJAR

1. Definisi
Anemia Defisiensi Besi (ADB) merupakan penyakit kelainan sel darah merah (eritrosit)
yang ditandai dengan kurangnya kadar Hemoglobin (Hb) yang mengandung zat besi pada darah.
Jika pasien mengidap ADB dan tidak ditangani dengan baik, maka akan terjadi kerusakan pada
jantung, otak dan organ lainnya.
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi
untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. ADB ditandai dengan anemia hipokromik
mikrositer dan hasil laboratorium yang menunjukkan cadangan besi kosong.
Hubungan antara anemia dan defisiensi besi dalam suatu populasi diilustrasikan pada
Gambar 1 di halaman sebaliknya. Secara khusus, perlu dicatat bahwa tingkat tumpang tindih
antara defisiensi besi dan anemia defisiensi besi sangat bervariasi dari satu populasi ke populasi
lain dan menurut jenis kelamin dan kelompok umur.
Tingkat tumpang tindih antara tingkat anemia total dan anemia defisiensi besi juga
bervariasi dengan populasi yang diamati. Tumpang tindih terbesar terjadi pada populasi di mana
daya serap zat besi rendah atau kehilangan darah sering terjadi karena infestasi cacing tambang.
Pada anemia defisiensi besi sel darah merah ukurannya lebih kecil dari normal (mikrositer) dan
warnanya lebih pucat (hipokrom) sehingga disebut juga anemia hipokrom mikrositer.

Gambar 1.1 (a) Sel darah merah normal, (b) Sel darah anemia defisiensi besi. (Sumber:
patologiklinik.com)
2. Epidemiologi
Anemia adalah salah satu bagian dari masalah kesehatan, terutama di bagian Negara
berkembang, termasuk Indonesia. Setiap umur berpotensial terkena anemia. Anemia pada
remaja putri sampai saat ini masih cukup tinggi, menurut World Health Organization (WHO),
prevalensi anemia dunia berkisar 40-88%. Menurut WHO, angka kejadian anemia pada
remaja putri di Negara-negara berkembang sekitar 53,7% dari semua remaja putri, anemia
sering menyerang remaja putri disebabkan karena keadaan stress, haid, atau terlambat
makan. Kadar Hb normal pada remaja putri adalah >12 g/dl. Remaja putri dikatakan anemia
jika kadar Hb <12 gr/dl1. Angka anemia gizi besi di Indonesia sebanyak 72,3%. Jumlah
penduduk usia remaja (10-19 tahun) di Indonesia sebesar 26,2% yang terdiri dari 50,9%
laki-laki dan 49,1% perempuan4. Selain itu, berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013,
prevalensi anemia di Indonesia yaitu 21,7% dengan penderita anemia berumur 5-14 tahun
sebesar 26,4% dan 18,4% penderita berumur 15-24 tahun.
Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2012 menyatakan bahwa
prevalensi anemia pada balita sebesar 40,5%, ibu hamil sebesar 50,5%, ibu nifas sebesar
45,1%, remaja putri usia 10-18 tahun sebesar 57,1% dan usia 19-45 tahun sebesar 39,5%.
Wanita mempunyai risiko terkena anemia paling tinggi terutama pada remaja putri. Angka
prevalensi anemia di Indonesia, yaitu pada remaja wanita sebesar 26,50%, pada wanita
usia subur sebesar 26,9%, pada ibu hamil sebesar 40,1% dan pada balita sebesar 47,0%.
Kekurangan zat besi sejak sebelum kehamilan bila tidak diatasi dapat mengakibatkan ibu hamil
menderita anemia. Diperkirakan bahwa angka kejadian anemia mencapai 12,8% dari kematian
ibu selama kehamilan dan persalinan di Asia. Dan prevalensi anemia defisiensi besi pada ibu
hamil Indonesia sebesar 50,5% (Kemenkes RI. 2014).
Kekurangan besi pada remaja mengakibatkan pucat, lemah, letih, pusing, dan
menurunnya konsentrasi belajar. Penyebabnya, antara lain: tingkat pendidikan orang tua,
tingkat ekonomi, tingkat pengetahuan tentang anemia dari remaja putri, konsumsi Fe, Vitamin
C, dan lamanya menstruasi.

3. Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan besi ,
gangguan penyerapan, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun:
1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:
 Saluran cerna : akibat dari tukak,kanker lambung, kanker kolon,hemoroid dan infeksi
cacing tambahng.
 Saluran genitalia perempuan : menorrhagia.Penyebab kurang besi yang sering terjadi
pada perempuan remaja adalah kehilangan darah lewat menstruasi.
 saluran kemih ; hematuria
 saluran napas : hemoptoe.
2. Faktor nutrisi; akibat kurang jumlah besi total dalam makanan atau kualitas besi dan besi
yang tidak baik (makanan banyak serat,rendah vitamin c dan rendah daging).
3. Kebutuhan besi meningkat seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan
kehamilan.
4. Gangguan absorpsi besi : gastrektomi , tropical spure atau kolitis kronik

4. Klasifikasi
Berdasarkan morfologinya dibedakan menjadi tiga, yaitu anemia mikrositik, anemia
normositik, dan anemia makrositik. anemia berdasarkan morfologi dilihat dari skala MCV
(mean corposcular volume) yang diuji pada tes darah lengkap. Anemia mikrositik kadar MCV
<82 fL, yang paling sering menyebabkan anemia mikrositik adalah anemia defisiensi besi,
thalassemia, dan anemia of chronic disease (ACD). Anemia normositik kadar MCVnya 82-98
fL, penyebabnya adalah nutritional deficiency (gabungan dari kekurangan vitamin B12, asam
folat, dan besi), gagal ginjal, anemia hemolitik, kehilangan darah, dan bone marrow disorder.
Anemia makrositik kadar MCV nya >98fL terbagi dua ada yang megaloblastik ada yang non-
megaloblastik. Anemia megaloblastik selnya besar dan imatur, penyebabnya karena kekurangan
vitamin B12, asam folat, maupun drug induced. Adapun anemia non megaloblastic bisa
disebabkan oleh alkohol, hipotiroid, maupun kehamilan. 60% pasien pada sel makrositik tidak
memiliki anemia.
1) Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik adalah lisisnya sel darah merah yang sudah matang baik di dalam
pembuluh darah maupun di luar pembuluh darah. Penyebab intravascularnya antara lain
haemoglobinopati, thalassemia, hemoglobin unstable, defisiensi enzim G-6PD. Sedangkan untuk
yang extravascular bisa karena autoimun dan drug associated: methyldopa, penicillin.
2) Anemia Berdasarkan Patogenesisnya
Adanya penurunan kemampuan untuk menghasilkan sel darah merah, ada anemia
regeneratif dan anemia hipo regeneratif. Anemia regeneratif disebabkan oleh insufisiensi atau
kurangnya nutrisi yang menyebabkan hemoglobin turun lalu terjadi peningkatan eritropoetin
untuk mengimbangi produksinya. Sedangkan anemia hipo regeneratif disebabkan karena
gangguan di sumsum tulang pada sel progenitornya, entah di fase diferensiasi atau pematangan
sehingga menghambat pembentukan sel darah merah. Contohnya penyakit myelodisplasia
syndrome (MDS), leukemia, bone marrow aplasia, dan myelofibrosis.
3) Anemia Karena Kehilangan Darah
Terbagi menjadi dua bisa akut dan bisa kronis. Bila akut bisa disebabkan karena anemia
aplastik, Idipathic Thrombocytopenia Purpura (ITP), dan kehilangan darah akut. Sedangkan
untuk yang kronik bisa karena defisiensi, thalassemia, dan Anemia of Chronic Disease (ACD).

5. Faktor Risiko
Faktor-faktor pendorong anemia pada remaja putri adalah:
1) Adanya penyakit infeksi
Penyakit infeksi mempengaruhi metabolisme dan utilisasi zat besi yang diperlukan
dalam pembentukan hemoglobin dalam darah. Selain itu, Penyakit infeksi tertentu dapat
mengganggu pencernaan dan mengganggu produksi sel darah merah.
2) Menstruasi yang berlebihan pada remaja putri
Menstruasi pada remaja putri biasanya mengakibatkan anemia, karena setiap bulan
remaja putri mengeluarkan darah haid. Remaja putri lebih sering terkena anemia dibanding
remaja putra.
3) Perdarahan yang mendadak seperti kecelakaan
Perdarahan ini bisa saja akibat mimisan, luka karena jatuh atau kecelakaan.
4) Jumlah makanan atau penyerapan diet yang buruk
Kekurangan zat besi adalah penyebab utama anemia. Apabila remaja mendapatkan
makanan bergizi yang cukup, sangat kecil kemungkinannya mengalami kekurangan zat besi,
namun banyak remaja dari kalangan tidak mampu yang kurang mendapatkan makanan bergizi
sehingga mengalami anemia dan gejala kurang gizi lainnya. Remaja dari kalangan mampu juga
dapat terkena anemia bila memiliki gangguan pola makan atau berpola makantidak seimbang.
5) Penyakit cacingan pada remaja
Meskipun penyakit cacingan tidak mematikan, namun cacingan bisa Menurunkan
kualitas hidup penderitanya, bahkan mengakibatkan kurang darah (anemia) dan dapat
mengakibatkan kebodohan. Sekitar 40 hingga 60 persen penduduk Indonesia menderita cacingan
dan data WHO menyebutkan lebih dari satu miliar penduduk dunia juga menderita cacingan.

6. Patofisiologi
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin
menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state atau negative iron
balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorpsi besi
dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi
berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk
eritropoiesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan oada bentuk eritrosit tetapi anemia
secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai iron deficient erythropoiesis.
Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatankadar free
protophorphyrin atau zinc protoporphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan total
iron binding capacity (tibc) meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik ialah
peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila jumlah besi menurun terus maka
eritropoiesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul
anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi
kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada
kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.
7. Manifestasi klinis

Beberapa kondisi klinis dapat meningkatkan risiko terjadinya defisiensi besi, seperti
kehamilan, usia dewasa muda, masa pertumbuhan yang cepat, serta kehilangan darah yang
terjadi secara intermiten. Perlu diingat bahwa ada sebuah pedoman bahwa kemunculan
defisiensi besi pada laki-laki dewasa disebabkan oleh adanya perdarahan gastrointestinal sampai
dapat ditemukan adanya penyebab lain.
Tanda dan gejala defisiensi besi tergantung pada keparahan dan kronisitas dari anemia.
Beberapa tanda umum yang biasa ditemukan, antara lain pucat, lemas, lelah, pusing, sulit
berkonsentrasi, penglihatan berkunang-kunang, syok hipovolemik, dan organomegali (hepar
dan/atau lien). Selain itu, dapat juga ditemukan tanda pasti pada anemia defisiensi besi yang
berat, seperti cheilosis, koilonychias, dan esophageal web.
Cheilosis atau disebut juga dengan angular cheilitis merupakan peradangan yang terjadi
pada sudut bibir. Hal ini dapat terjadi karena maserasi pada sudut bibir yang disebabkan oleh
paparan terhadap saliva yang terlalu lama. Hal ini akan merangsang terjadinya dermatitis kontak
dan reaksi eksematosa pada sudut bibir. Perburukan integritas dari stratum corneum pada epithel
akan membuka jalan untuk terjadinya infeksi oleh organisme komensal.
Koilonychia adalah keadaan dimana kuku jari mencekung sehingga terlihat seperti
permukaan sendok (spoon nails). Sampai sekarang masih belum dapat dijelaskan bagaimana
mekanisme terjadinya koilonychias. Namun, terdapat sebuah hipotesis yang menyatakan bahwa
adanya penurunan aliran darah akan mengganggu pertumbuhan jaringan ikat subungual
sehingga terjadi penurunan distal matrix. Jika produksi oleh distal matrix lebih sedikit daripada
proximal matrix maka akan menghasilkan koilonychias. Sebaliknya Jika produksi oleh distal
matrix lebih banyak daripada proximal matrix maka akan menghasilkan clubbing.
Plummer-Vision syndrome ditandai oleh adanya anemia defisiensi besi, esophageal web,
dan dysphagia (clinical triad). Zat besi merupakan komponen penting dalam menjaga
homeostasis tubuh serta memiliki peranan penting untuk sintesi hemoglobin, myoglobin, dan
kofaktor enzim. Esophageal web merupakan membrane tipis yang terbentuk di esophagus.
Membrane ini timbul karena adanya penurunan aktivitas enzim oksidatif tergantung-besi, akibat
sekunder dari defisiensi besi. Hal ini menyebabkan degradasi dari otot pharyngeal dan atrofi
mucosa yang melapisinya, sehingga memicu perkembangan web. Selain itu, ditemukan bahwa
ada beberapa faktor lain yang dapat menyebabkan muculnya esophageal web, seperti trauma
yang ditimbulkan oleh bolus makanan dan dismotilitas dari esophagus.

8. Diagnosis
Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak
khas. Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB.
1) Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia.
2. Kosentrasi Hb eritrosit rata-rata <31% (N : 32-35%).
3. Kadar Fe serum <50 ug/dl (N : 80 – 180 ug/dL).
4. Saturasi transferin <15 % (N ; 20 – 50%).
2) Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen:
1. Anemia hipokrom mikrositik.
2. Saturasi transferin <16%.
3. Nilai FEP >100 ug/dL.
4. Kadar feritin serum <12 ug/dL.
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 atau 3 kriteria (ST, feritin serum, dan FEP
harus dipenuhi).
3) Lanzkowsky menyimpulakn ADB dapat diketahui melalui:
1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan MCV,
MCH, dan MCHC yang menurun.
2. Red cell distribution width (RDW) > 17%.
3. FEP meningkat.
4. Feritin serum menurun.
5. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 10%.
6. Respon terhadap pemberian preparat besi.
a. Retikulositosis mencapai pundak pada hari ke 5 – 10 setelah pemberian besi.
b. Kadar hemolobin meninkat rata-rata 0,25 – 0,4 g/dl/ hari atau PCV mengkat 1% /
hari.
7. Sumsum tulang
a. Tertundanya maturasi sitoplasma.
b. Pada perwarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang.
4) Cara Lain
Cara lain untuk menentukaan adanya ADB adalah dengan trial pemberian preparat besi.
Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan melihat respons
hemoglobin terhadap pemberian peparat besi. Prosedur ini sangat mudah, praktis, sensitif dan
ekonomis terutama pada anak yang berisiko tinggi menderita ADB. Bila dengan pemberian
preparat besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3 – 4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-
2mg/dL maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita ADB.

9. Tatalaksana
Setelah diagnosis maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi terhadap anemia
defisiensi besi dapat berupa :
1) Terapi kausal : tergantung penyebab, misalnya ; pengobatan cacing tambang, pengobatan
hemoroid, pengobatan menoragia. Terapi kausal harus dilakukan kalau tidak maka anemia
akan kambuh kembali.
2) Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron replacemen
theraphy).
a. Terapi besi per oral : merupakan obat piliham pertama (efektif, murah, dan aman).
Preparat yang tersedia : ferrosus sulphat (sulfas fenosus). Dosis anjuran 3 x 200 mg.
Setiap 200 mg sulfas fenosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas
fenosus 3 x 200 mg mengakibatkan absorpsi besi 50 mg/hari dapat meningkatkan
eritropoesis 2-3 kali normal.
Preparat yang lain : ferrosus gluconate, ferrosus fumarat, ferrosus lactate, dan ferrosus
succinate. Sediaan ini harganya lebih mahal, tetapi efektivitas dan efek samping hampir
sama dengan sulfas fenosus.
b. Terapi besi parenteral
Terapi ini sangat efektif tetapi efek samping lebih berbahaya, dan lebih mahal. Indikasi :
 intoleransi terhadap pemberian oral,
 kepatuhan terhadap berobat rendah,
 gangguan pencernaan kolitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi.
 penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi,
 keadaan dimana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi
oleh pemberian besi oral,
 kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada kehamilan trisemester
tiga atau sebelum operasi,
 defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoetin pada anemia gagal
ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik.
Preparat yang tersedia : iron dextran complex (mengandung 50 mg besi/ml) iron sorbitol
citric acid complex dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate dan iron sucrose yang
lebih aman. Besi parental dapat diberikan secara intrauskular dalam atau intravena. Efek
samping yang dapat timbul adalah reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing,
mual, muntah, nyeri perut dan sinkop.
Terapi besi parental bertujuan untuk mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi besi
sebesar 500 sampai 1000 mg.
Dosis yang diberikan dapat dihitung melalui rumus berikut :
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg
Dosis ini dapat diberikan sekaligus atau diberikan dalam beberapa kali pemberian.
3) Pengobatan lain
 Diet : sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang berasal
dari protein hewani.
 Vitamin c : vitamin c diberikan 3 x 100 mg/hari untuk meningkatkan absorpsi besi.
 Transfusi darah : anemia defisiensi besi jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi
pemberian transfusi darah pada anemia defisiensi besi adalah :
 Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung.
 Anemia yang sangat simpomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing yang sangat
menyolok.
 Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada
kehamilan trisemester akhir atau preoperasi.

10. Komplikasi
1. Penyakit jantung anemia.
2. Pada ibu hamil: BBLR dan IUFD.
3. Pada anak: gangguan pertumbuhan dan perkembangan.

11. Pencegahan
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka diperlukan
suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat berupa:
1) Pendidikan kesehatan:
 kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan lingkungan kerja,
dan pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah penyakit cacing tambang.
 Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu penyerapan besi.
2) Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik paling yang sering
dijumpai di daerah tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan
pengobatan masal dengan antihelmentik dan perbaikan sanitasi.
3) Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk yang rentan,
seperti ibu hamil dan anak balita. Profilaksis di Indonesia diberikan pada perempuan hamil
dan anak balita dengan memakai pil besi dan folat.
4) Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan makan. Di
negara Barat dilakukan dengan mecampur tepung untuk roti atau bubuk susu dengan besi.

12. Prognosis
Umumnya tidak mengancam jiwa, namun dubia ad bonam karena tergantung pada
penyakit yang mendasarinya. Bila penyakit yang mendasarinya teratasi,dengan nutrisi yang baik,
anemia dapat teratasi.
KESIMPULAN
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi
untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Anemia defisiensi besi dapat disebabkan
oleh karena rendahnya masukan besi , gangguan penyerapan, serta kehilangan besi akibat
perdarahan menahun. Berdasarkan morfologinya dibedakan menjadi tiga, yaitu anemia
mikrositik, anemia normositik, dan anemia makrositik. anemia berdasarkan morfologi dilihat
dari skala MCV (mean corposcular volume) yang diuji pada tes darah lengkap. Faktor risiko
terjadinya anemia defisiensi besi, antara lain wanita usia dewasa muda, ibu hamil, status gizi
yang kurang, faktor ekonomi kurang, infeksi kronik dan vegetarian. Diagnosis pasti anemia
defisiensi besi adalah melalui pemeriksaan laboratorium darah. Pengobatan utama dari anemia
defisiensi besi ini adalah penambahan Fe elemental.
REFERENSI
1. Adamson, J. Iron Deficiency and Other Hypoproliferative Anemias. Dalam: Harrison’s
Hematology and Oncology. Longo D, ed. 17th Eds. New York: McGraw Hill. pp. 70-80.
2010.
2. Bakta, IM. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007.
3. Dorland, Newman. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 28. Jakarta: EGC. 2014.
4. Fedrico JR, Basehore BM, Zito PM. Angular Cheiltis. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing. 2019.
5. Goel A, Bakshi SS, Chhavi N, et al. Iron deficiency anemia and Plummer-Vision
syndrome: current insight. Journal of Blood Medicine. 19 Okt 2017; 8: 175-184.
6. Hoffbrand, AV. et all. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta. Penerbit buku kedokteran EGC.
2005
7. Kaimudin NI, Lestari H, Afa JR. Skrining dan Determinan Kejadian Anemia pada Remaja
Putri Sma Negeri 3 Kendari Tahun 2017. Jimkesmas. VOL. 2/NO.6/Mei2017; ISSN 250-
731X.
8. Mansjoer, Arif . et all. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi Ketiga. Jakarta. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2007.
9. Özdemir, N. Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in children. Türk Pediatri
Arşivi. 2015;50(1):11–9.
10. Rahmiyanti D, Darmawati. Prevalensi Anemia Defisiensi Zat Besi pada Ibu Hamil: The
Prevalence Of Iron Deficiency Anemia (Ida) in Pregnant Women. JIM FKep Volume III
No.3 2018.
11. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Setyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
12. Walker J, Baran R, Velez N, Jellinek N. Kilonychia: an update on pathophysiology,
differential diagnosis and clinical relevance. Journal of the European Academy of
Dermatology and Venereology. Nov 2016;30(11): 1985-1991.

Anda mungkin juga menyukai