Anda di halaman 1dari 26

Clinical Science Session

TATALAKSANA PADA SYOK HEMORAGIK

Oleh:

Habifa Mulya Cita 1840312673

Nindya Rahmadita 1840312779

Preseptor:

dr. M. Zulfadli Syahrul, SpAn

BAGIAN ILMU

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan
hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk
mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini
muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius seperti perdarahan
yang masif, trauma atau luka bakar yang berat (syok hemoragik), infark
miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang
tak terkontrol (syok septik), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok
neurogenik) atau akibat respons imun (syok anafilaktik).1 Syok hemoragik
merupakan keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang
disebabkan gangguang kehilangan akut dari darah (syok hemorragic) atau
cairan tubuh yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Penyebab terjadinya
syok hemoragik diantaranya adalah trauma perdarahan atraumatik (seperti
ruptur aneurisma aorta atau perdarahan gastrointestinal) maupun perdarahan
karena obsetri. Syok hemoragik merupakan salah satu syok dengan angka
kejadian yang paling banyak dibandingkan syok lainnya.1

Syok hemoragik pada umumnya terjadi pada negara dengan mobilitas


penduduk yang tinggi karena salah satu penyebabnya adalah kehilangan darah
karena kecelakaan kendaraan. Sebanyak 500.000 pasien syok hemoragik pada
wanita karena khasus perdarahan obsetri meninggal pertahunnya dan 99%
terjadi pada negara berkembang. Sebagian besar penderita meninggal setelah
beberapa jam terjadi perdarahan karena tidak mendapat perlakuan yang tepat
dan adekuat.1

Syok hemoragik dikaitkan dengan gangguan yang menyebabkan defek


hemodinamik yang didasari oleh volume intravaskular yang rendah dan
penurunan kontraktilitas miokard. Hal ini merupakan konsekuensi dari
penurunan preload karena kehilangan volume intravaskular. Preload yang
berkurang mengurangi stroke volume, menghasilkan penurunan cardiac output
(CO). Resistensi vaskular sistemik biasanya meningkat dalam upaya untuk
mengkompensasi CO berkurang dan mempertahankan perfusi ke organ vital.
Deteksi dan intervensi dini akan membantu mencegah kematian. 2
Upaya mempertahankan pengiriman oksigen ke jaringan sehingga
membatasi hipoksia jaringan, peradangan, dan disfungsi organ melibatkan
penggunaan resusitasi cairan, vasopresor, dan transfusi darah. Penggantian
volume secara agresif dengan memperhatikan etiologi yang mendasarinya adalah
utama dari syok hemoragik. Selain itu, derajat syok dapat menjadi pertimbangan
klinisi dalam memberikan terapi cairan. Ekspansi volume bertujuan untuk
meningkatkan aliran darah keseluruhan, dengan harapan peningkatan tersebut
akan meningkatkan aliran ke sirkulasi mikro yang meningkatkan ketersediaan
oksigen ke jaringan.3

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas mengenai tatalaksana pada syok hemoragik.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman mengenai tatalaksana pada syok hemoragik.

1.4 Manfaat Penulisan


Menambah wawasan pengetahuan penulis dan pembaca mengenai
tatalaksana pada syok hemoragik.

1.5 Metode Penulisan


Metode yang dipakai dalam penulisan studi kasus ini berupa tinjauan
kepustakaan yang mengacu pada berbagai literatur, termasuk buku, teks dan
artikel ilmiah.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Syok Hemoragik

2.1.1 Definisi

Pengertian syok terdapat bermacam-macam sesuai dengan konteks klinis


dan tingkat kedalaman analisisnya. Secara patofisiologi syok merupakan
gangguan sirkulasi yang diartikan sebagai kondisi tidak adekuatnya transport
oksigen ke jaringan atau perfusi yang diakibatkan oleh gangguan hemodinamik.
Gangguan hemodinamik tersebut dapat berupa penurunan tahanan vaskuler
sitemik terutama di arteri, berkurangnya darah balik, penurunan pengisian
ventrikel dan sangat kecilnya curah jantung. 1

Syok hemoragik merupakan terganggunya sistem sirkulasi akibat dari


volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini dapat terjadi akibat
perdarahan yang masif atau kehilangan plasma darah.2

2.1.2 Etiologi
Syok dapat terjadi oleh berbagai macam sebab dan dengan melalui
berbagai proses, seperti perdarahan yang masif, trauma atau luka bakar yang berat
(syok hemoragik), infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik),
sepsis akibat bakteri yang tak terkontrol (syok septik), tonus vasomotor yang tidak
adekuat (syok neurogenik) atau akibat respon imun (syok anafilaktik).
Syok hemoragik sendiri dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu sebagai
berikut.2

Tabel 1. Penyebab Syok Hemoragik


Perdarahan
Hematom subskapsular hati
Aneurisma aorta pecah
Perdarahan gastrointestinal
Perlukaan berganda
Kehilangan plasma
Luka bakar luas
Pankreatitis
Deskuamasi kulit
Sindrom Dumping
Kehilangan cairan ekstraselular
Muntah (vomitus)
Dehidrasi
Diare
Terapi diuretic
Diabetes insipidus
Infusiensi adrenal

2.1.3 Patofisiologi

Penurunan hebat volume plasma intravaskular merupakan faktor utama


yang menyebabkan terjadinya syok. Dengan terjadinya penurunan hebat volume
intravaskuler akibat perdarahan atau dehidrasi akibat sebab lain maka darah yang
balik ke jantung (venous return) juga berkurang dengan hebat, sehingga curah
jantung pun menurun. Pada akhirnya ambilan oksigen di paru juga menurun dan
asupan oksigen ke jaringan atau sel (perfusi) juga tidak dapat dipenuhi. Begitu
juga halnya bila terjadi gangguan primer di jantung, bila otot-otot jantung
melemah yang menyebabkan kontraktilitasnya tidak sempurna, sehingga tidak
dapat memompa darah dengan baik dan curah jantung pun menurun. Pada kondisi
ini meskipun volume sirkulasi cukup tetapi tidak ada tekanan yang optimal untuk
memompakan darah yang dapat memenuhi kebutuhan oksigen jaringan, akibatnya
perfusi juga tidak terpenuhi.1
Gangguan pada pembuluh dapat terjadi pada berbagai tempat, baik arteri
(afterload), vena (preload), kapiler dan venula. Penurunan hebat tahanan vaskuler
arteri atau arteriol akan menyebabkan tidak seimbangnya volume cairan
intravaskuler dengan pembuluh tersebut sehingga menyebabkan tekanan darah
menjadi sangat rendah yang akhirnya juga menyebabkan tidak terpenuhinya
perfusi jaringan. Peningkatan tahanan arteri juga dapat mengganggu sistem
sirkulasi yang mengakibatkan menurunya ejeksi ventrikel jantung sehingga
sirkulasi dan oksigenasi jaringan menjadi tidak optimal. Begitu juga bila terjadi
peningkatan hebat pada tonus arteriol, yang secara langsung dapat menghambat
aliran sirkulasi ke jaringan. Gangguan pada vena dengan terjadinya penurunan
tahanan atau dilatasi yang berlebihan menyebabkan pengisian jantung menjadi
berkurang pula. Akhirnya menyebabkan volume sekuncup dan curah jantung juga
menurun yang tidak mencukupi untuk oksigenasi dan perfusi ke jaringan.
Ganguan pada kapiler secara langsung seperti terjadinya sumbatan atau kontriksi
sistemik secara langsung menyebabkan terjadinya gangguan perfusi karena area
kapiler adalah tempat terjadinya pertukaran gas antara vaskuler dengan jaringan
sel-sel tubuh.
Berdasarkan bermacam-macam sebab dan kesamaan mekanisme
terjadinya itu syok dapat dikelompokkan menjadi beberapa empat macam yaitu
syok hemoragik, syok distributif, syok obstrukttif, dan syok kardiogenik.

2.1.4 Gejala Klinis

Gejala klinis pada syok hemoragik akibat non-perdarahan serta perdarahan


sama walaupun terdapat sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok.
Respons fisiologi yang normal adalah mempertahankan perfusi terhadap otak dan
jantung sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi dengan efektif.
Terdapat peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps,
pelepasam hormone stress serta ekspansi besar untuk pengisian volume pembuluh
darah dengan menggunakan cairan intersisial, intraselular, dan menurunkan
produksi urin.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya syok
hemoragik tersebut pemeriksaan pengisian dan frekuesnsi nadi, tekanan darah,
pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-uung jari (refiling kapiler), suhu dan
turgor kulit. Berdasarkan persentase volume kehilangan darah, syok hemoragik
dapat dibedakan menjadi empat tingkatan atau stadium. Stadium syok dibagi
berdasarkan persentase kehilangan darah sama halnya dengan perhitungan skor
tenis lapangan, yaitu 15, 15-30, 30-40, dan >40%. Setiap stadium syok hemoragik
ini dapat dibedakan dengan pemeriksaan klinis tersebut.8
1. Stadium-I adalah syok hemoragik yang terjadi pada kehilangan darah hingga
maksimal 15% dari total volume darah. Pada stadium ini tubuh mengkompensai
dengan dengan vasokontriksi perifer sehingga terjadi penurunan refiling kapiler.
Pada saat ini pasien juga menjadi sedkit cemas atau gelisah, namun tekanan
darah dan tekanan nadi rata-rata, frekuensi nadi dan nafas masih dalam kedaan
normal.
2. Syok hemoragik stadium-II afalah jika terjadi perdarahan sekitar 15-30%. Pada
stadium ini vasokontriksi arteri tidak lagi mampu menkompensasi fungsi
kardiosirkulasi, sehingga terjadi takikardi, penurunan tekanan darah terutama
sistolik dan tekanan nadi, refiling kapiler yang melambat, peningkatan frekuensi
nafas dan pasien menjadi lebih cemas.
3. Syok hemoragik stadium-III bila terjadi perdarahan sebanyak 30-40%. Gejala-
gejala yang muncul pada stadium-II menjadi semakin berat. Frekuensi nadi
terus meningkat hingga diatas 120 kali permenit, peningkatan frekuensi nafas
hingga diatas 30 kali permenit, tekanan nadi dan tekanan darah sistolik sangat
menurun, refiling kapiler yang sangat lambat.
4. Stadium-IV adalah syok hemoragik pada kehilangan darah lebih dari 40%.
Pada saat ini takikardi lebih dari 140 kali permenit dengan pengisian lemah
sampai tidak teraba, dengan gejala-gejala klinis pada stadium-III terus
memburuk. Kehilangan volume sirkulasi lebih dari 40% menyebabkan
terjadinya hipotensi berat, tekanan nadi semakin kecil dan disertai dengan
penurunan kesadaran atau letargik.
Selengkapnya stadium dan tanda-tanda klinis pada syok hemoragik dapat dilihat
pada tabel 2.

Tabel 2. Stadium dan tanda-tanda klinis pada syok hemoragik

Tanda dan Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV


Pemeriksaan
Klinis
Kehilangan 15% 15-30% 30-40% >40%
darah (%)
Kesadaran Sedikit Cemas Sangat Letargi
cemas Cemas/Bingung
Frekuensi <100x /menit >100- >120-140x >140x /menit
Jantung atau 120x /menit /menit
Nadi
Frekuensi 14-20x 20-30x 30-40x /menit >35x /menit
Napas /menit /menit
Refiling Lambat Lambat Lambat Lambat
kapiler
Tekanan darah Normal Normal Turun Turun
sistolik
Produksi urin >30 ml/jam 20- 30ml/jam 5- 15 ml/jam Sangat
sedikit

2.1.5 Diagnosis
Syok hemoragik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa
ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan.
Diagnosis akan sulit apabila perdarahan tidak ditemukan dengan jelas atau berasal
dari traktus gastrointestinal atau hanya terjadi penurunan jumlah plasma darah.
Setelah perdarahan, biasanya hemoglobin dan hematokrit tidak langsung turun
sampai menimbulkan gangguan kompensasi atau penggantian cairan dari luar.
Kehilangan plasma ditandai dengan hemokonsentrasi, kehilangan cairan bebas
ditandai dengan hipernatremia. Temuan hal tersebut meningkatkan kecurigaan
adanya hipovolemia.

2.1.6 Tatalaksana
Ketika syok hemoragik diketahui, maka tindakan yang harus dilakukan
adalah menjaga jalur pernapasan, menghentikan sumber perdarahan dan
mengganti cairan yang hilang. Pasien yang mengalami perdarahan aktif harus
mengganti cairan intravaskularnya karena oksigenasi jaringan tidak akan
terganggu, bahkan pada konsentrasi hemoglobin yang rendah, selama volume
sirkulasi tetap dipertahankan.1
Penatalaksanaan syok hemoragik dalam keadaan terkontrol (CHS) di mana
sumber perdarahan tersumbat, penggantian cairan ditujukan untuk normalisasi
parameter hemodinamik. Pada syok hemoragik yang tidak terkontrol (UCHS) di
mana perdarahan telah berhenti sementara karena hipotensi, vasokonstriksi, dan
pembentukan bekuan darah, perawatan cairan ditujukan untuk pemulihan denyut
nadi, atau mendapatkan tekanan darah 80 mmHg dengan 250 ml larutan Ringer
laktat (resusitasi hipotensi). Selanjutnya kondisi tersebut dipertahankan dan dijaga
agar tetap pada kondisi satabil. Penatalaksanaan syok hemoragik yang utama
terapi cairan sebagai pengganti cairan tubuh atau darah yang hilang. Jika
ditemukan oleh petugas dokter atau petugas medis, maka penatalaksanaan syok
harus dilakukan secara komprehensif yang meliputi penatalaksanaan pra – rumah
sakit dan di rumah sakit. Dalam perawatan pra-rumah sakit terdapat empat jenis
cairan yang saat ini direkomendasikan yaitu larutan kristaloid, larutan koloid,
larutan garam hipertonik dan pengganti darah pembawa oksigen.1,2
Selanjutnya bila kondisi jantung, jalan nafas dan respirasi dapat
dipertahankan, tindakan selanjutnya adalah adalah menghentikan trauma
penyebab perdarahan yang terjadi dan mencegah perdarahan berlanjut.
Menghentikan perdarahan sumber perdarahan dan jika memungkinkan melakukan
resusitasi cairan secepat mungkin. Selanjutnya dibawa ke tempat pelayaan
kesehatan, dan yang perlu diperhatikan juga adalah teknik mobilisasi dan
pemantauan selama perjalanan. Perlu juga diperhatikan posisi pasien yang dapat
membantu mencegah kondisi syok menjadi lebih buruk, misalnya posisi pasien
trauma agar tidak memperberat trauma dan perdarahan yang terjadi. Pada wanita
hamil dimiringkan ke arah kiri agar kehamilannya tidak menekan vena cava
inferior yang dapat memperburuk fungsi sirkulasi. Sedangkan, saat ini, posisi
Tredelenberg tidak dianjurkan lagi karena justru dapat memperburuk fungsi
ventilasi paru. Pada layanan kesehatan, harus dilakukan pemasangan infus
intravena. Cairan resusitasi yang digunakan adalah cairan isotonik NaCl 0,9%
atau ringer laktat. Pemberian awal adalah dengan tetesan cepat sekitar 20
ml/KgBB pada anak atau sekitar 1-2 liter pada orang dewasa. Pemberian cairan
terus dilanjutkan bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamiknya.
Jika terdapat perbaikan hemodinamik, maka pemberian kristaloid terus
dilanjutkan. Pemberian cairan kristaloid sekitar 5 kali lipat perkiraan volume
darah yang hilang dalam waktu satu jam, karena distribusi cairan koloid lebih
cepat berpindah dari intravaskuler ke ruang intersisial.2
Jika tidak terjadi perbaikan hemodinamik maka pilihannya adalah dengan
pemberian koloid 2-4 liter dalam 20-30 menit dan dipersiapkan pemberian darah
segera. Kehilangan darah yang berlanjut dengan kadar hemoglobin ≤10 g/dl perlu
penggantian darah dengan transfusi. Jenis darah tergantung kebutuhan dan
disarankan untuk melakukan uji silang.2,3
Pada keadaan yang berat atau hipovolemia yang berkepanjangan,
pemberian inotropik dengan dopamine, vasopressin, atau dobutamin dapat
dipertimbangkan untuk mendapatkan kekuatan ventrikel yang cukup setelah
volume darah tercukupi dahulu.2,3

2.2 Terapi Cairan

Cairan merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Cairan membantu


mempertahankan suhu tubuh dan bentuk sel. Cairan juga membantu transpor nutrisi,
gas, dan zat sisa. Menjaga agar volume cairan tubuh tetap relatif konstan dan
komposisinya stabil adalah penting untuk homeostasis.4
Dalam penerapan bantuan hidup lanjut, langkah penting yang dapat
dilakukan secara simultan bersama langkah lainnya merupakan drug and fluid
treatment. Pada pasien yang mengalami kehilangan cairan yang banyak seperti
dehidrasi karena muntah, mencret dan syok, langkah tersebut dapat
menyelamatkan pasien.5

2.2.1 Fisiologi Cairan Tubuh


Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, dimana laki-laki
dewasa mengandung air 50-60% berat badan, wanita dewasa 50% berat badan,
bayi usia >1 tahun 70-75% berat badan dan bayi usia <1 tahun 80-85% berat
badan.6,7
Gambar 1. Distribusi total cairan tubuh.

a. Cairan Ekstraseluler

Semua cairan di luar sel secara keseluruhan disebut cairan ekstrasel. Jumlah
relatif cairan ekstraselular berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Pada bayi
baru lahir, sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular.
Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga
dari volume total. Ini sebanding dengan sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan
berat rata-rata 70 kg. Dua kompartemen terbesar dari cairan ekstrasel adalah
cairan intersitisial, yang berjumlah lebih dari tiga perempat bagian cairan
ekstrasel, dan plasma, yang berjumlah hampir seperempat cairan ekstrasel, atau
sekitar 3 liter. Plasma adalah bagian darah yang tak mengandung sel; plasma
terus-menerus menukar zat dengan cairan interstisial melalui pori-pori membran
kapiler. Pori-pori ini bersifat sangat permeable untuk hampir semua zat terTanfi
dalam cairan ekstrasel, kecuali protein. Oleh karena itu, cairan ekstrasel secara
konstan terus tercampur, sehingga plasma dan cairan interstisial mempunyai
komposisi yang hampir sama kecuali untuk protein, yang konsentrasinya lebih
tinggi di dalam plasma.

- Komponen intravaskuler :

Volume darah normal kira-kira 70ml/kgbb pada dewasa dan 85-90ml/kgbb pada
neonatus. Selain darah, komponen intravaskuler juga terdiri dari protein plasma
dan ion, terutama natrium, klorida, dan ion bikarbonat. Hanya sebagian kecil
kalium tubuh berada di dalam plasma, tetapi konsentrasi kalium ini mempunyai
pengaruh besar terhadap fungsi jantung dan neuromuskuler.

- Komponen interstitial :

Komponen interstitial lebih besar daripada komponen intravaskuler, secara


anatomis, berhubungan secara kasar dengan ruang interstitial dari tubuh. Jumlah
total cairan ekstraseluler (intravaskuler dan interstitial) bervariasi antara 20-35%
dari berat badan dewasa dan 40-50% pada neonatus. Air dan elektrolit dapat
bergerak bebas di antara darah dan ruang interstitial, yang mempunyai komposisi
ion yang sama, tetapi protein plasma tidak dapat bergerak bebas keluar dari ruang
intravaskuler kecuali bila terdapat cedera kapiler misalnya pada luka bakar atau
syok septik. Jika terdapat kekurangan cairan dalam darah atau volume darah yang
menurun dengan cepat, maka air dan elektrolit akan ditarik dari komponen
interstitial ke dalam darah untuk mengatasi kekurangan volume intravaskuler,
yang diprioritaskan secara fisiologis.

b. Cairan Intraseluler

Perbedaan utama komposisi cairan intraseluler adalah pada cairan ini


kation utama adalah kalium dan anion utamanya adalah fosfat. Berbeda dengan
endotel kapiler, membran sel adalah selektif permeabel untuk beberapa ion tertentu,
dan permeabel bebas untuk air. Jadi, persamaan tekanan osmotik berlangsung
secara kontinyu dan hal tersebut tercapai melalui pergerakan air melalui membran
sel. Osmolalitas antara cairan ekstra dan intrasel harus selalu setara dimana air
bergerak secara cepat antara intraseluler dan ekstraseluler untuk mengurangi
perbedaan osmolalitas.
2.2.2 Pilihan Jenis Cairan

a. Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid dapat menembus membran semipermeable secara bebas. Kand
ungan dari cairan ini adalah air dan berbagai elektrolit yang sifatnya isotonic den
gan cairan ekstrasel sehingga mudah dalam menyeimbangkan cairan di seluruh k
ompartemen ekstraseluler dan memulihkan defisit cairan ekstraseluler yang ber
kaitan dengan kehilangan darah, selain itu keuntungan dari cairan ini antara lain
aman, murah, mudah didapat, tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik
dan dapat disimpan cukup lama.
Cairan kristaloid jika diberikan dalam jumlah cukup (3-4x jumlah cairan
koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk
mengatasi defisit volume intravaskuler, masa paruh cairan kristaloid di ruang
intravaskuler sekitar 20-30 menit.

Cairan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak


digunakan untuk resusitasi cairan. Jenis cairan ini relatif bersifat hipotonis terh
adap cairan ekstraseluler karena memiliki konsentrasi natrium yang lebih rend
ah. Pemberian yang berlebihan dapat menimbulkan hiperlaktatemia, asidosis
metabolik, dan kardiotoksik. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan
adalah NaCl 0,9%. Cairan ini mengandung natrium dan klorida dengan konsentrasi
yang sama, sehingga isotonis dengan cairan ekstraseluler. namun jika diberikan seca
ra berlebihan dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik dan menurunkan
kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan kadar klorida. Karena risiko kelebi
han natrium dan klorida pada pemberian cairan NaCl 0,9% dalam jumlah besar, cair
an Ringer Laktat lebih direkomendasikan pada pasien yang menjalani pembedahan,
pasien dengan trauma, dan pasien dengan ketoasidosis diabetik.1

b. Cairan Koloid
Cairan koloid tidak bercampur menjadi larutan sejati dan tidak dapat menemb
us membran semipermeable. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang
mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan
cairan ini cenderung bertahan agak lama (masa paruh 3-6 jam) dalam ruang
intravaskuler, sehingga penggunaan koloid diindikasikan pada : resusitasi cairan pa
da pasien dengan deficit cairan intravaskuler berat (syok hemoragik) sebelum tranf
usi darah dapat dilakukan, dan resusitasi cairan pada pasien hypoalbuminemia bera
t atau pada keadaan luka bakar. Kerugian dari plasma ekspander selain mahal
juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat
menyebabkan gangguan pada cross match.1

c. Cairan hipertonik

Studi klinis dan eksperimental telah menunjukkan bahwa volume kecil salin
hipertonik (5 ml / kg NaCl 7,5%) dengan atau tanpa dekstran dapat menjadi solusi
resusitasi awal yang efektif. Cairan hipertonik meningkatkan aliran mikrovaskuler,
mengontrol tekanan intrakranial, menstabilkan tekanan arteri dan curah jantung
dengan infus volume kecil, tanpa efek merusak pada fungsi kekebalan tubuh.
Meta-analisis studi klinis pengobatan saline hipertonik syok hemoragik traumatis
menunjukkan peningkatan tekanan darah dan curah jantung tetapi tidak ada
peningkatan yang signifikan dalam kelangsungan hidup. Dalam penelitian pada
hewan, pengobatan salin hipertonik UCHS sekunder akibat cedera pembuluh besar
mengakibatkan peningkatan perdarahan dari pembuluh darah yang cedera,
dekompensasi hemodinamik, dan peningkatan mortalitas. Dalam UCHS sekunder
terhadap cedera organ padat (cedera limpa masif) infus salin hipertonik meningkatkan
hemodinamik tetapi tidak meningkatkan perdarahan dari organ padat yang terluka.1

d. Pengganti darah pembawa oksigen

Cairan resusitasi efektif yang dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan


oksigen tanpa masalah penyimpanan, kompatibilitas, dan penularan penyakit yang
berhubungan dengan transfusi darah standar. Pengganti darah pembawa oksigen
umumnya dapat dibagi menjadi dua jenis: pembawa oksigen sintetik berbasis
fluorokarbon dan produk hemoglobin terkait-manusia atau non-manusia yang bebas
stroma. Emulsi fluorokarbon mudah diproduksi, memiliki umur simpan yang lama,
dan memiliki efek infeksi atau imunogenik yang minimal. Kerugian potensial
termasuk persyaratan FiO2 yang tinggi, dan pembersihan plasma yang cepat.
Pembawa oksigen berbasis hemoglobin penting untuk daya dukung oksigen tinggi,
efek onkotik yang cukup besar, dan umur simpan yang lama. Kerugian termasuk
paruh pendek plasma, potensi toksisitas ginjal, efek hipertensi, dan potensi efek
imunogenik. Uji klinis lebih lanjut untuk menetapkan dosis optimal, kemanjuran,
keamanan, dan efek pada hasil diindikasikan sebelum pengganti darah pembawa
oksigen diimplementasikan dalam praktik klinis rutin.
Setelah oksigenasi dan volume sirkulasi telah dipulihkan, evaluasi ulang situasi klinis
dilakukan. Tanda-tanda vital, status mental, keluaran urin, dan pengisian kapiler
harus dinilai secara teratur selama resusitasi. Inisiasi pemantauan pusat dapat
diindikasikan pada saat ini, jika respons terhadap resusitasi awal kurang dari yang
diharapkan, atau jika kehilangan darah sedang berlangsung. Darah harus diambil
untuk menilai status hematologis, koagulasi, elektrolit dan metabolisme. Gangguan
elektrolit dan metabolisme serta defisiensi koagulasi harus diperbaiki. Gas darah
arteri harus diperoleh untuk menentukan kecukupan oksigenasi. Manajemen
pergantian oksigenasi, ventilasi, pH, keseimbangan cairan dan elektrolit sekarang
harus didasarkan pada evaluasi klinis dan pengukuran laboratorium. Komponen darah
juga dapat digunakan pada tahap ini untuk menggantikan defisiensi yang
teridentifikasi.
Sebagian besar kasus syok hemoragik yang tidak responsif terhadap
penatalaksanaan cairan pada pasien trauma disebabkan oleh penurunan volume darah
yang terus-menerus atau disfungsi miokard. Sementara stabilisasi awal sedang
berlangsung, perhatian harus diarahkan untuk segera menghentikan pendarahan.
Pemulihan tekanan darah normal yang agresif tanpa menghentikan pendarahan
internal akan meningkatkan kehilangan volume darah lebih lanjut dengan
meningkatkan aliran dan menghambat koagulasi di lokasi cedera. Hipotensi ringan
hingga sedang memungkinkan pembentukan gumpalan dan memperlambat
perdarahan dari pembuluh darah yang terluka (resusitasi hipotensi). Korban yang
terluka secara hemodinamik yang tidak stabil harus dibawa ke pembedahan sesegera
mungkin dan sumber perdarahan segera diidentifikasi.1

2.2.3 Jalur pemberian cairan

Pemberian terapi cairan dapat dilakukan melalui jalur vena, baik vena perifer
maupun vena sentral, melalui kanulasi tertutup atau terbuka dengan seksi vena.

1. Kanulasi Vena Perifer


Syarat dari pemilihan kanulasi ini adalah dimulai dari vena di daerah
ekstremitas atas lalu dilanjutkan pada vena bagian ekstremitas bawah. Vena di area
kepala perlu dihandari karena hematom mudah terjadi. Pada bayi baru lahir, vena
umbilikalis bisa digunakan untuk kanulasi terutama dalam keadaan darurat. Tujuan
dilakukannya kanulasi vena perifer ini adalah untuk :
a. Terapi cairan pemeliharaan dalam waktu singkat. Lokasi pemasangan harus
dipindah serta penggantian set infus perlu dilakukan, jika pemberiannya melebihi 3
hari.
b. Terapi cairan pengganti dalam keadaan darurat, untuk menganti kehilangan cairan
tubuh atau perdarahan akut.
c. Terapi obat lain secara intravena yang diberikan secara kontinyu atau berulang

2. Kanulasi Vena Sentral


Pemberian jangka panjang, misalnya untuk nutrisi parenteral total, dilakukan
kanulasi pada vena subklavikula atau vena jugularis interna. Sedangkan dalam
pemberian jangka pendek, dilakukan melalui venavena di atas ekstremitas atas secara
tertutup atau terbuka dengan vena seksi. Tujuan dari kanulasi vena sentral ini
tersendiri adalah:
a. Terapi cairan dan nutrisi parenteral jangka panjang. Terutama untuk cairan nutrisi
parenteral dengan osmolaritas yang tinggi untuk mencegah iritasi pada vena.
b. Jalur pintas terapi cairan pada keadaan darurat, misalnya kardiovaskuler, vena
perifer sulit diidentifikasi.
c. Untuk pemasangan alat pemacu jantung.8,9,10,11,12

2.3 Terapi Cairan pada Syok Hemoragik


Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan
ini mengisi intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume
vaskular dengan cara menggantikan cairan berikutnya ke dalam ruang interstitial
dan intraselular. Larutan ringer laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl
fisiologis adalah pilihan kedua. Walupun NaCl fisiologis merupakan pengganti
yang baik namun cair ini memiliki potensi untuk terjadinya asidosis
hiperkloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila fungsi ginjalnya kurang
baik. Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan tetesan cepat sebagai bolus.
Dosis awal adalah 1 sampai 2 liter pada dewasa dan 20 ml/kg pada anak.
Respons penderita terhadap pemberian cairan ini dipantau, dan keputusan
pemeriksaan diagnostik atau terapi lebih lebih lanjut akan tergantung pada
respons ini.13

Jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar


diramalkan pada evaluasi awal penderita. Perkiraan kehilangan cairan dan darah,
dapat dilihat cara menentukan jumlah cairan dan darah yang mungkin diperlukan
oleh penderita. Perhitungan kasar untuk jumlah total volume kristaloid yang
secara akut diperlukan adalah mengganti setiap mililiter darah yang hilang
dengan 3 ml cairan kristaloid, sehingga memungkinkan resusitasi volume plasma
yang hilang kedalam ruang interstitial dan intraselular. Ini dikenal sebagai
“hukum 3 untuk 1” (3 for 1 rule). Namun lebih penting untuk menilai respons
penderita kepada resusitasi cairan dan bukti perfusi dan oksigenasi end-organ
yang memadai, misalnya keluaran urin, tingkat kesadaran dan perfusi perifer.
Bila, sewaktu resusitasi, jumlah cairan yang diperlukan untuk memulihkan atau
mempertahankan perfusi organ jauh melebihi perkiraan tersebut, maka
diperlukan penilaian ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang belum
diketahui atau penyebab lain untuk syok.13
Penderita datang dengan perdarahan

Pasang infus jarum besar Catat tekanan darah, nadi,


ambil ambil sampel darah perfusi, (produksi urin)

Ringer Laktat atau NaCl 0,9%


20ml/kgBB cepat, ulangi.
1000-2000 ml dalam 1 jam

Hemodinamik baik Hemodinamik buruk


- Tekanan sistolik ≥100, nadi ≤100,
- Perfusi hangat, kering, Teruskan cairan
- Urin ½ ml/kg/jam 2-4 x estimated loss

Hemodinamik baik Hemodinamik buruk

A B C

Pada kasus A, infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak diperlukan. Pada
kasus B, jika hemoglobin kurang dari 8 gr/dL atau hematokrit kurang dari 25%,
transfusi sebaiknya diberikan. Tetapi seandainya akan dilakukan pembedahan untuk
menghentikan suatu perdarahan, transfusi dapat ditunda sebentar sampai sumber
perdarahan terkuasai dulu. Pada kasus C, transfusi harus segera diberikan. Ada tiga
kemungkinan penyebab yaitu perdarahan masih berlangsung terus (continuing loss),
syok terlalu berat, hipoksia jaringan terlalu lama dan anemia terlalu berat, sehingga
terjadi hipoksia jaringan.13

Pada ½ jam pertama setelah perdarahan, apabila diukur Hb atau Ht, hasil yang
diperoleh mungkin masih ”normal”. Harga Hb yang benar adalah hasil yang diukur
setelah penderita kembali normovolemia dengan pemberian cairan. Penderita dalam
keadaan anestesi, dengan nafas buatan atau dengan hipotermia, dapat mentolerir
hematokrit 10 – 15%. Tetapi pada penderita biasa, sadar, dan dengan nafas sendiri,
memerlukan Hb 8 gr/dL atau lebih agar cadangan kompensasinya tidak terkuras
habis.13

Keberhasilan manajemen syok hemoragik atau lebih khusus lagi resusitasi cairan
bisa dinilai dari parameter-parameter berikut: Capilary refill time < 2 detik, MAP 65-
70 mmHg, saturasi O2 >95%, Urine output >0.5 ml/kg/jam (dewasa) ; > 1 ml/kg/jam
(anak), Shock index = HR/SBP (normal 0.5-0.7),CVP 8 to12 mm Hg, ScvO2 >
70%IV.

2.4 Perdarahan dan Penanganan


Untuk mengetahui jumlah volume darah seseorang, biasanya digunakan patokan
berat badan. Walau dapat bervariasi, volume darah orang dewasa adalah kira-kira 7%
dari berat badan. Dengan demikian laki-laki yang berat 70 kg, mempunyai volume
darah yang beredar kira-kira 5 liter. Bila penderita gemuk maka volume darahnya
diperkirakan berdasarkan berdasarkan berat badan idealnya, karena bila kalkulasi
didasarkan berat badan sebenarnya, hasilnya mungkin jauh di atas volume
sebenarnya. Volume darah anak-anak dihitung 8% sampai 9% dari berat badan (80-
90 ml/kg).13

Lebih dahulu dihitung EBV (Estimated Blood Volume) penderita, 65 – 70


ml/kg berat badan. Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan baik.
Kehilangan 10% - 30% EBV memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat.
Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV masih dapat ditunjang untuk sementara
dengan cairan saja sampai darah transfusi tersedia. Total volume cairan yang
dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar antara 2 – 4 x volume yang
hilang.13

Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan kriteria Traumatic


Status dari Giesecke. Dalam waktu 30 sampai 60 menit susudah infusi, cairan Ringer
Laktat akan meresap keluar vaskular menuju interstitial. Demikian sampai terjadi
keseimbangan baru antara Volume Plasma/Intravascular Fluid (IVF) dan Interstitial
Fluid (ISF). Ekspansi ISF ini merupakan interstitial edema yang tidak berbahaya.
Bahaya edema paru dan edema otak dapat terjadi jika semula organ-organ tersebut
telah terkena trauma. 24 jam kemudian akan terjadi diuresis spontan. Jika keadaan
terpaksa, diuresis dapat dipercepat lebih awal dengan furosemid setelah transfusi
diberikan.13

Pada bayi dan anak yang dengan kadar hemoglobin normal, kehilangan darah
sebanyak 10-15% volume darah, karena tidak memberatkan kompensasi badan, maka
cukup diberi cairan kristaloid atau koloid, sedangkan diatas 15% perlu transfusi darah
karena ada gangguan pengangkutan oksigen. Sedangkan untuk orang dewasa dengan
kadar hemoglobin normal angka patokannya ialah 20%. Kehilangan darah sampai
20% ada gangguan faktor pembekuan. Cairan kristaloid untuk mengisi ruang
intravaskular diberikan sebanyak 3 kali lipat jumlah darah yang hilang, sedangkan
koloid diberikan dengan jumlah sama.13,14

Transfusi darah umumnya 50% diberikan pada saat perioperatif dengan tujuan
untuk menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Kalau
hanya menaikkan volume intravaskular saja cukup dengan koloid atau kristaloid.
Indikasi transfusi darah antara lain:

1. Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr/dL atau Ht < 30%. Pada orang tua, kelainan
paru, kelainan jantung Hb < 10 gr/dL.
2. Bedah mayor kehilangan darah > 20% volume darah.

Tabel 1. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah

Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV


Kehilangan darah (ml) Sampai 750 750 – 1500 1500 - 2000 >2000
Kehilangan darah (% volume Sampai 15% 15% - 30% 30% - 40% >40%
darah)
Denyut nadi <100 >100 >120 >140
Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi Normal / ↑ ↓ ↓ ↓
Frekuensi pernapasan 14-20 20 -30 30-40 >35
Produksi urin (ml/jam) >30 20-30 5-15 <5
CNS/Status mental Sedikit Agak Cemas Cemas, Bingung,
Cemas Bingung Lesu
Penggantian cairan Kristaloid Kristaloid Kristaloid Kristaloid
(hukum 3:1) dan darah dan darah

1. Perdarahan Kelas I (Kehilangan volume darah sampai 15%)

Gejala klinis dari kehilangan volume ini adalah minimal. Bila tidak ada
komplikasi, akan terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan yang berarti
dari tekanan darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernafasan. Untuk penderita
yang dalam keadaan sehat, jumlah kehilangan darah ini tidak perlu diganti.
Pengisian transkapiler dan mekanisme kompensasi lain akan memulihkan
volume darah dalam 24 jam. Namun, bila ada kehilangan cairan karena sebab
lain, kehilangan jumlah darah ini dapat mengakibatkan gejala-gejala klinis.
Penggantian cairan untuk mengganti kehilangan primer, akan memperbaiki
keadaan sirkulasi.

2. Perdarahan Kelas II (Kehilangan volume darah 15% - 30%)

Gejala klinis termasuk takikardi, takipnoe, dan penurunan tekanan nadi.


Penurunan tekanan nadi ini terutama berhubungan dengan peningkatan dalam
komponen diastolik karena bertambahnya katekolamin yang beredar. Zat
inotropik ini menghasilkan peningkatan tonus dan resistensi pembuluh darah
perifer. Tekanan sistolik hanya berubah sedikit pada syok yang dini karena itu
penting untuk lebih mengandalkan evaluasi tekanan nadi daripada tekanan
sistolik. Penemuan klinis yang lain yang akan ditemukan pada tingkat
kehilangan darah ini meliputi perubahan sistem syaraf sentral yang tidak jelas
seperti cemas, ketakutan atau sikap permusuhan. Walau kehilangan darah dan
perubahan kardiovaskular besar, namun produksi urin hanya sedikit
terpengaruh. Aliran air kencing biasanya 20-30 ml/jam untuk orang dewasa.
Kehilangan cairan tambahan dapat memperberat manifestasi klinis dari
jumlah kehilangan darah ini.

3. Perdarahan Kelas III (Kehilangan volume darah 30% - 40%)

Akibat kehilangan darah sebanyak ini dapat sangat parah. Penderita hampir
selalu menunjukkan tanda klasik perfusi yang tidak adekuat, termasuk
takikardi dan takipnue yang jelas, perubahan penting dalam status mental, dan
penurunan tekanan darah sistolik. Dalam keadaan yang tidak berkomplikasi,
inilah jumlah kehilangan darah paling kecil yang selalu menyebabkan tekanan
sistolik menurun. Penderita dengan kehilangan darah tingkat ini hampir selalu
memerlukan tranfusi darah. Keputusan untuk memberi tranfusi darah
didasarkan atas respons penderita terhadap resusitasi cairan semula dan
perfusi dan oksigenisasi organ yang adekuat.

4. Perdarahan Kelas IV (Kehilangan volume darah lebih dari 40%)

Dengan kehilangan darah sebanyak ini, jiwa penderita terancam. Gejala-


gejalanya meliputi takikardi yang jelas, penurunan tekanan darah sistoluk
yang cukup besar, dan tekanan nadi yang sangat sempit. Produksi urin hampir
tidak ada, dan kesadaran jelas menurun. Pada kulit terlihat pucat dan teraba
dingin. Penderita ini sering kali memerlukan tranfusi cepat dan intervensi
pembedahan segera. Kehilangan lebih dari 50% volume darah penderita
mengakibatkan ketidaksadaran, kehilangan denyut nadi dan tekanan darah.8

2.5 Penyulit
Penyulit akibat pemberian cairan dapat terjadi pada jantungnya sendiri, pada
proses metabolisme atau pada paru.13

Dekompensasi jantung

Dekompensasi ditandai oleh kenaikan PCWP (Pulmonary Capillary Wedge


Pressure). Bahaya terjadinya dekompensasi jantung sangat kecil, kecuali pada
jantung yang sudah sakit sebelumnya. Pada pemberian koloid dapat mengalami
kenaikan PCWP 50% yang potensial akan mengalami dekompensasi jantung.

Edema paru

Adanya edema paru dapat dinilai antara lain dengan meningkatnya rasio
Qs/Qt. Pemberian koloid yang diharapkan tidak merembes keluar IVF ternyata
mengalami kenaikkan Qs/Qt yang sama yaitu 16 + 1%. Akibat pengenceran darah,
terjadi transient hypoalbuminemia 2,5 ± 0,1 mg% dari sebelumnya sebesar 3,5 ± 0,1
mg%. Penurunan albumin ini diikuti penurunan tekanan onkotik plasma dari 21 + 0,4
menjadi 13 + 1,0. Penurunan selisih tekanan COP – PCWP tidak selalu menyebabkan
edema. Giesecke memberi batasan bahwa kadar albumin terendah yang masih aman
adalah 2,5 mg%. Kalau albumin perlu dinaikkan, pemberian infus albumin 20 – 25%
dapat diberikan dengan tetesan lambat 2 jam/100 ml. Dosis ini akan menaikkan kadar
0,25 -0,50 mg%.

Jika masih terjadi edema paru, berikan furosemid, 1 - 2mg/kg. Gejala sesak
nafas akan berkurang setelah urin keluar 1000 - 2000 ml. Lakukan digitalisasi atau
berikan dopamin drip 5 – 10 microgram/kgBB/menit. Sebagai terapi simptomatik
berikan oksigen, atau bila diperlukan mendesak lakukan nafas buatan + PEEP.
Insiden dari pulmonary insufficiency post resusitasi cairan adalah 2,1%.

Gangguan hemostasis

Gangguan karena pengenceran ini mungkin terjadi jika hemodilusi sudah


mencapai 1,5 x EBV. Faktor pembekuan yang terganggu adalah trombosit. Pemberian
Fresh Frozen Plasma tidak berguna karena tidak mengandung trombosit, sedangkan
faktor V dan VIII dibutuhkan dalam jumlah sedikit (5 - 30 % normal). Trombosit
dapat diberikan sebagai fresh blood, platelet rich plasma atau thrombocyte
concentrate dengan masa simpan kurang dari 6 jam pada suhu 40C. Untuk hemostasis
yang baik diperlukan kadar trombosit 100.000 per mm3. Dextran juga dapat
menimbulkan gangguan jika dosis melebihi 10 ml/kgBB.

BAB 3
KESIMPULAN

Syok merupakan gangguan sirkulasi yang diartikan sebagai kondisi tidak


adekuatnya transport oksigen ke jaringan atau perfusi yang diakibatkan oleh
gangguan hemodinamik. Syok hemoragik disebabkan kehilangan akut dari darah atau
cairan tubuh. Syok hemoragik dapat timbul dari perdarahan karena trauma atau
perdarahan atraumatik (seperti ruptur aneurisma aorta atau perdarahan
gastrointestinal). Kehilangan darah secara keseluruhan dari luka terbuka adalah
penyebab utama untuk syok hemoragik.
Terdapat peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang
kolaps, pelepasam hormone stress serta ekspansi besar untuk pengisian volume
pembuluh darah dengan menggunakan cairan intersisial, intraselular, dan
menurunkan produksi urin. Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan
diagnosis adanya syok hemoragik tersebut pemeriksaan pengisian dan frekuesnsi
nadi, tekanan darah, pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-ujung jari (refiling
kapiler), suhu dan turgor kulit. Berdasarkan persentase volume kehilangan darah,
syok hemoragik dapat dibedakan menjadi empat tingkatan atau stadium.
Ada tiga tujuan dalam keadaan darurat dengan syok hemoragik termasuk
menjaga jalur pernapasan, menghentikan sumber perdarahan, mengganti cairan yang
hilang. Pasien harus dirawat di unit perawatan intensif yang dilengkapi dengan
pemantauan yang ketat. Cara paling efektif untuk memulihkan sirkulasi yang adekuat
adalah dengan infus cairan ekspansi volume yang cepat.

DAFTAR PUSTAKAX1. Krausz MM. World Journal of Emergency Initial


resuscitation of hemorrhagic shock. 2006;5:1–5.
2. Hardisman. Tinjauan Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok hemoragik :
Update dan Penyegar. J Kesehat Andalas. 2013;2(3):178–82.
3. Setiati S, Alwi I,dkk. 2015. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing
4. Gruartmonera G, Mesquidaa J, Inceb C. Fluid therapy and the hypovolemic
microcirculation. Curr Opin Crit Care. 2015;21:276–84.
5. Floss K, Borthwick M, Clark C. Intravenous Fluids Principles of Treatment.
Clinical Pharmacist Vol.3. 2011.
6. Leksana, Ery; 2010; Terapi Cairan dan Darah; Semarang; SMF/Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, RSUP Dr. Kariadi / Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.
7. Heitz U, Horne MM. Fluid; 2005; Electrolyte and Acid Base Balance. 5th ed.
Missouri: Elsevier-mosby;.p3-227; Dikutip dari : Hartanto, Widya W; 2007; Terapi
Cairan dan Elektrolit Perioperatif; Bandung; Bagian Farmakologi Klinik Dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
8. Hall, J. (2014). Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 12th ed.
Singapore: Elsevier Health Sciences.
9. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Management of Patients with Fluid and
Electrolyte Disturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th ed.
New York: Mc-Graw Hill. 2013; 4 (49): h. 1107 – 40.
10. Agro FE, Fries D, Vennari M. Body Fluid Management From Physiology to
Therapy. Verlag Italia: Springer. 2013.
11. Floss K, Borthwick M, Clark C. Intravenous Fluids Principles of Treatment.
Clinical Pharmacist Vol.3. 2011.
12. Mangku G, Senapathi TGA. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam Buku
Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks; 2017. 6 (5): h.272 – 301.
13. Steven, Parks N; 2004; Advanced Trauma Life Support (ATLS) For Doctors;
Jakarta : Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI).
14. Latief, Said A, dkk; 2002; Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua: Dikutip
dari: Transfusi Darah pada Pembedahan; Jakarta, Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai