Oleh:
Preseptor:
BAGIAN ILMU
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
2.1.1 Definisi
2.1.2 Etiologi
Syok dapat terjadi oleh berbagai macam sebab dan dengan melalui
berbagai proses, seperti perdarahan yang masif, trauma atau luka bakar yang berat
(syok hemoragik), infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik),
sepsis akibat bakteri yang tak terkontrol (syok septik), tonus vasomotor yang tidak
adekuat (syok neurogenik) atau akibat respon imun (syok anafilaktik).
Syok hemoragik sendiri dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu sebagai
berikut.2
2.1.3 Patofisiologi
2.1.5 Diagnosis
Syok hemoragik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa
ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan.
Diagnosis akan sulit apabila perdarahan tidak ditemukan dengan jelas atau berasal
dari traktus gastrointestinal atau hanya terjadi penurunan jumlah plasma darah.
Setelah perdarahan, biasanya hemoglobin dan hematokrit tidak langsung turun
sampai menimbulkan gangguan kompensasi atau penggantian cairan dari luar.
Kehilangan plasma ditandai dengan hemokonsentrasi, kehilangan cairan bebas
ditandai dengan hipernatremia. Temuan hal tersebut meningkatkan kecurigaan
adanya hipovolemia.
2.1.6 Tatalaksana
Ketika syok hemoragik diketahui, maka tindakan yang harus dilakukan
adalah menjaga jalur pernapasan, menghentikan sumber perdarahan dan
mengganti cairan yang hilang. Pasien yang mengalami perdarahan aktif harus
mengganti cairan intravaskularnya karena oksigenasi jaringan tidak akan
terganggu, bahkan pada konsentrasi hemoglobin yang rendah, selama volume
sirkulasi tetap dipertahankan.1
Penatalaksanaan syok hemoragik dalam keadaan terkontrol (CHS) di mana
sumber perdarahan tersumbat, penggantian cairan ditujukan untuk normalisasi
parameter hemodinamik. Pada syok hemoragik yang tidak terkontrol (UCHS) di
mana perdarahan telah berhenti sementara karena hipotensi, vasokonstriksi, dan
pembentukan bekuan darah, perawatan cairan ditujukan untuk pemulihan denyut
nadi, atau mendapatkan tekanan darah 80 mmHg dengan 250 ml larutan Ringer
laktat (resusitasi hipotensi). Selanjutnya kondisi tersebut dipertahankan dan dijaga
agar tetap pada kondisi satabil. Penatalaksanaan syok hemoragik yang utama
terapi cairan sebagai pengganti cairan tubuh atau darah yang hilang. Jika
ditemukan oleh petugas dokter atau petugas medis, maka penatalaksanaan syok
harus dilakukan secara komprehensif yang meliputi penatalaksanaan pra – rumah
sakit dan di rumah sakit. Dalam perawatan pra-rumah sakit terdapat empat jenis
cairan yang saat ini direkomendasikan yaitu larutan kristaloid, larutan koloid,
larutan garam hipertonik dan pengganti darah pembawa oksigen.1,2
Selanjutnya bila kondisi jantung, jalan nafas dan respirasi dapat
dipertahankan, tindakan selanjutnya adalah adalah menghentikan trauma
penyebab perdarahan yang terjadi dan mencegah perdarahan berlanjut.
Menghentikan perdarahan sumber perdarahan dan jika memungkinkan melakukan
resusitasi cairan secepat mungkin. Selanjutnya dibawa ke tempat pelayaan
kesehatan, dan yang perlu diperhatikan juga adalah teknik mobilisasi dan
pemantauan selama perjalanan. Perlu juga diperhatikan posisi pasien yang dapat
membantu mencegah kondisi syok menjadi lebih buruk, misalnya posisi pasien
trauma agar tidak memperberat trauma dan perdarahan yang terjadi. Pada wanita
hamil dimiringkan ke arah kiri agar kehamilannya tidak menekan vena cava
inferior yang dapat memperburuk fungsi sirkulasi. Sedangkan, saat ini, posisi
Tredelenberg tidak dianjurkan lagi karena justru dapat memperburuk fungsi
ventilasi paru. Pada layanan kesehatan, harus dilakukan pemasangan infus
intravena. Cairan resusitasi yang digunakan adalah cairan isotonik NaCl 0,9%
atau ringer laktat. Pemberian awal adalah dengan tetesan cepat sekitar 20
ml/KgBB pada anak atau sekitar 1-2 liter pada orang dewasa. Pemberian cairan
terus dilanjutkan bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamiknya.
Jika terdapat perbaikan hemodinamik, maka pemberian kristaloid terus
dilanjutkan. Pemberian cairan kristaloid sekitar 5 kali lipat perkiraan volume
darah yang hilang dalam waktu satu jam, karena distribusi cairan koloid lebih
cepat berpindah dari intravaskuler ke ruang intersisial.2
Jika tidak terjadi perbaikan hemodinamik maka pilihannya adalah dengan
pemberian koloid 2-4 liter dalam 20-30 menit dan dipersiapkan pemberian darah
segera. Kehilangan darah yang berlanjut dengan kadar hemoglobin ≤10 g/dl perlu
penggantian darah dengan transfusi. Jenis darah tergantung kebutuhan dan
disarankan untuk melakukan uji silang.2,3
Pada keadaan yang berat atau hipovolemia yang berkepanjangan,
pemberian inotropik dengan dopamine, vasopressin, atau dobutamin dapat
dipertimbangkan untuk mendapatkan kekuatan ventrikel yang cukup setelah
volume darah tercukupi dahulu.2,3
a. Cairan Ekstraseluler
Semua cairan di luar sel secara keseluruhan disebut cairan ekstrasel. Jumlah
relatif cairan ekstraselular berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Pada bayi
baru lahir, sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular.
Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga
dari volume total. Ini sebanding dengan sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan
berat rata-rata 70 kg. Dua kompartemen terbesar dari cairan ekstrasel adalah
cairan intersitisial, yang berjumlah lebih dari tiga perempat bagian cairan
ekstrasel, dan plasma, yang berjumlah hampir seperempat cairan ekstrasel, atau
sekitar 3 liter. Plasma adalah bagian darah yang tak mengandung sel; plasma
terus-menerus menukar zat dengan cairan interstisial melalui pori-pori membran
kapiler. Pori-pori ini bersifat sangat permeable untuk hampir semua zat terTanfi
dalam cairan ekstrasel, kecuali protein. Oleh karena itu, cairan ekstrasel secara
konstan terus tercampur, sehingga plasma dan cairan interstisial mempunyai
komposisi yang hampir sama kecuali untuk protein, yang konsentrasinya lebih
tinggi di dalam plasma.
- Komponen intravaskuler :
Volume darah normal kira-kira 70ml/kgbb pada dewasa dan 85-90ml/kgbb pada
neonatus. Selain darah, komponen intravaskuler juga terdiri dari protein plasma
dan ion, terutama natrium, klorida, dan ion bikarbonat. Hanya sebagian kecil
kalium tubuh berada di dalam plasma, tetapi konsentrasi kalium ini mempunyai
pengaruh besar terhadap fungsi jantung dan neuromuskuler.
- Komponen interstitial :
b. Cairan Intraseluler
a. Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid dapat menembus membran semipermeable secara bebas. Kand
ungan dari cairan ini adalah air dan berbagai elektrolit yang sifatnya isotonic den
gan cairan ekstrasel sehingga mudah dalam menyeimbangkan cairan di seluruh k
ompartemen ekstraseluler dan memulihkan defisit cairan ekstraseluler yang ber
kaitan dengan kehilangan darah, selain itu keuntungan dari cairan ini antara lain
aman, murah, mudah didapat, tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik
dan dapat disimpan cukup lama.
Cairan kristaloid jika diberikan dalam jumlah cukup (3-4x jumlah cairan
koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk
mengatasi defisit volume intravaskuler, masa paruh cairan kristaloid di ruang
intravaskuler sekitar 20-30 menit.
b. Cairan Koloid
Cairan koloid tidak bercampur menjadi larutan sejati dan tidak dapat menemb
us membran semipermeable. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang
mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan
cairan ini cenderung bertahan agak lama (masa paruh 3-6 jam) dalam ruang
intravaskuler, sehingga penggunaan koloid diindikasikan pada : resusitasi cairan pa
da pasien dengan deficit cairan intravaskuler berat (syok hemoragik) sebelum tranf
usi darah dapat dilakukan, dan resusitasi cairan pada pasien hypoalbuminemia bera
t atau pada keadaan luka bakar. Kerugian dari plasma ekspander selain mahal
juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat
menyebabkan gangguan pada cross match.1
c. Cairan hipertonik
Studi klinis dan eksperimental telah menunjukkan bahwa volume kecil salin
hipertonik (5 ml / kg NaCl 7,5%) dengan atau tanpa dekstran dapat menjadi solusi
resusitasi awal yang efektif. Cairan hipertonik meningkatkan aliran mikrovaskuler,
mengontrol tekanan intrakranial, menstabilkan tekanan arteri dan curah jantung
dengan infus volume kecil, tanpa efek merusak pada fungsi kekebalan tubuh.
Meta-analisis studi klinis pengobatan saline hipertonik syok hemoragik traumatis
menunjukkan peningkatan tekanan darah dan curah jantung tetapi tidak ada
peningkatan yang signifikan dalam kelangsungan hidup. Dalam penelitian pada
hewan, pengobatan salin hipertonik UCHS sekunder akibat cedera pembuluh besar
mengakibatkan peningkatan perdarahan dari pembuluh darah yang cedera,
dekompensasi hemodinamik, dan peningkatan mortalitas. Dalam UCHS sekunder
terhadap cedera organ padat (cedera limpa masif) infus salin hipertonik meningkatkan
hemodinamik tetapi tidak meningkatkan perdarahan dari organ padat yang terluka.1
Pemberian terapi cairan dapat dilakukan melalui jalur vena, baik vena perifer
maupun vena sentral, melalui kanulasi tertutup atau terbuka dengan seksi vena.
A B C
Pada kasus A, infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak diperlukan. Pada
kasus B, jika hemoglobin kurang dari 8 gr/dL atau hematokrit kurang dari 25%,
transfusi sebaiknya diberikan. Tetapi seandainya akan dilakukan pembedahan untuk
menghentikan suatu perdarahan, transfusi dapat ditunda sebentar sampai sumber
perdarahan terkuasai dulu. Pada kasus C, transfusi harus segera diberikan. Ada tiga
kemungkinan penyebab yaitu perdarahan masih berlangsung terus (continuing loss),
syok terlalu berat, hipoksia jaringan terlalu lama dan anemia terlalu berat, sehingga
terjadi hipoksia jaringan.13
Pada ½ jam pertama setelah perdarahan, apabila diukur Hb atau Ht, hasil yang
diperoleh mungkin masih ”normal”. Harga Hb yang benar adalah hasil yang diukur
setelah penderita kembali normovolemia dengan pemberian cairan. Penderita dalam
keadaan anestesi, dengan nafas buatan atau dengan hipotermia, dapat mentolerir
hematokrit 10 – 15%. Tetapi pada penderita biasa, sadar, dan dengan nafas sendiri,
memerlukan Hb 8 gr/dL atau lebih agar cadangan kompensasinya tidak terkuras
habis.13
Keberhasilan manajemen syok hemoragik atau lebih khusus lagi resusitasi cairan
bisa dinilai dari parameter-parameter berikut: Capilary refill time < 2 detik, MAP 65-
70 mmHg, saturasi O2 >95%, Urine output >0.5 ml/kg/jam (dewasa) ; > 1 ml/kg/jam
(anak), Shock index = HR/SBP (normal 0.5-0.7),CVP 8 to12 mm Hg, ScvO2 >
70%IV.
Pada bayi dan anak yang dengan kadar hemoglobin normal, kehilangan darah
sebanyak 10-15% volume darah, karena tidak memberatkan kompensasi badan, maka
cukup diberi cairan kristaloid atau koloid, sedangkan diatas 15% perlu transfusi darah
karena ada gangguan pengangkutan oksigen. Sedangkan untuk orang dewasa dengan
kadar hemoglobin normal angka patokannya ialah 20%. Kehilangan darah sampai
20% ada gangguan faktor pembekuan. Cairan kristaloid untuk mengisi ruang
intravaskular diberikan sebanyak 3 kali lipat jumlah darah yang hilang, sedangkan
koloid diberikan dengan jumlah sama.13,14
Transfusi darah umumnya 50% diberikan pada saat perioperatif dengan tujuan
untuk menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Kalau
hanya menaikkan volume intravaskular saja cukup dengan koloid atau kristaloid.
Indikasi transfusi darah antara lain:
1. Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr/dL atau Ht < 30%. Pada orang tua, kelainan
paru, kelainan jantung Hb < 10 gr/dL.
2. Bedah mayor kehilangan darah > 20% volume darah.
Gejala klinis dari kehilangan volume ini adalah minimal. Bila tidak ada
komplikasi, akan terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan yang berarti
dari tekanan darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernafasan. Untuk penderita
yang dalam keadaan sehat, jumlah kehilangan darah ini tidak perlu diganti.
Pengisian transkapiler dan mekanisme kompensasi lain akan memulihkan
volume darah dalam 24 jam. Namun, bila ada kehilangan cairan karena sebab
lain, kehilangan jumlah darah ini dapat mengakibatkan gejala-gejala klinis.
Penggantian cairan untuk mengganti kehilangan primer, akan memperbaiki
keadaan sirkulasi.
Akibat kehilangan darah sebanyak ini dapat sangat parah. Penderita hampir
selalu menunjukkan tanda klasik perfusi yang tidak adekuat, termasuk
takikardi dan takipnue yang jelas, perubahan penting dalam status mental, dan
penurunan tekanan darah sistolik. Dalam keadaan yang tidak berkomplikasi,
inilah jumlah kehilangan darah paling kecil yang selalu menyebabkan tekanan
sistolik menurun. Penderita dengan kehilangan darah tingkat ini hampir selalu
memerlukan tranfusi darah. Keputusan untuk memberi tranfusi darah
didasarkan atas respons penderita terhadap resusitasi cairan semula dan
perfusi dan oksigenisasi organ yang adekuat.
2.5 Penyulit
Penyulit akibat pemberian cairan dapat terjadi pada jantungnya sendiri, pada
proses metabolisme atau pada paru.13
Dekompensasi jantung
Edema paru
Adanya edema paru dapat dinilai antara lain dengan meningkatnya rasio
Qs/Qt. Pemberian koloid yang diharapkan tidak merembes keluar IVF ternyata
mengalami kenaikkan Qs/Qt yang sama yaitu 16 + 1%. Akibat pengenceran darah,
terjadi transient hypoalbuminemia 2,5 ± 0,1 mg% dari sebelumnya sebesar 3,5 ± 0,1
mg%. Penurunan albumin ini diikuti penurunan tekanan onkotik plasma dari 21 + 0,4
menjadi 13 + 1,0. Penurunan selisih tekanan COP – PCWP tidak selalu menyebabkan
edema. Giesecke memberi batasan bahwa kadar albumin terendah yang masih aman
adalah 2,5 mg%. Kalau albumin perlu dinaikkan, pemberian infus albumin 20 – 25%
dapat diberikan dengan tetesan lambat 2 jam/100 ml. Dosis ini akan menaikkan kadar
0,25 -0,50 mg%.
Jika masih terjadi edema paru, berikan furosemid, 1 - 2mg/kg. Gejala sesak
nafas akan berkurang setelah urin keluar 1000 - 2000 ml. Lakukan digitalisasi atau
berikan dopamin drip 5 – 10 microgram/kgBB/menit. Sebagai terapi simptomatik
berikan oksigen, atau bila diperlukan mendesak lakukan nafas buatan + PEEP.
Insiden dari pulmonary insufficiency post resusitasi cairan adalah 2,1%.
Gangguan hemostasis
BAB 3
KESIMPULAN