Anda di halaman 1dari 13

KELAINAN PRODUKSI SEL DARAH MERAH

HIPOPROLIFERASI

Anemia karena Kerusakan Sumsum Tulang Akibat Obat dan Radiasi


Anemia akibat kerusakan sumsum tulang merupakan efek samping kemoterapi yang
dapat diprediksi dan anemia ini biasanya ringan kecuali bila menggunakan dosis tinggi, multi
obat, yang dapat menimbulkan pancytopenia. Selama obat-obata tersebut tidak merusak
secara permanen, pemulihan biasanya lengkap. Radiasi energi tinggi juga dapat menimbulkan
anemia karena kerusakan sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis, dan lamanya
eksposur. Radiasi eksternal tingkat rendah namun jangka panjang maupun radioisotop yang
ditelan dapat juga menimbulkan anemia aplastik.
Beberapa obat lain juga berhubungan dengan anemia aplastik seperti kloramfenikol
dapat menyebabkan anemia aplastik berat dan ireversibel hanya dengan dosis sedikit saja.
Namun kebanyakan obat lain bersifat lebih ringan dengan onset pansitopenia yang gradual
dan reversibel bila obat dihentikan.

Tabel 1. Obat-obatan yang dapat menyebabkan anemia aplastik

Anemia Akibat Kerusakan Sumsum Tulang Akibat Infeksi


Infeksi langsung pada sumsum tulang dapat menimbulkan kerusakan sumsum tulang.
Contoh terbaik adalah tuberculosis milier. Imunosupresi dari pertumbuhan sumsum tulang
juga dapat menyebabkan anemia. Hal ini dapat dilihat pada penyakit akibat infeksi virus
seperti hepatitis, infeksi virus Ebstein-Barr, HIV, dan rubella. Meskipun kebanyakan anemia
ini bersifat reversibel namun beberapa infeksi dapat menyebakan anemia aplastik yang fatal.
Anemia akibat kerusakan sumsum tulang akibat keganasan hematologi atau keganasan lain
yang meluas ke sumsum tulang.
Anemia dapat disebabkan semua leukemia yang menurunkan jumlah prekursor
eritroid, baik dengan mengalihkan stem cell dari jalur eritroid maupun dengan produksi
berlebihan sel leukemia. Tumor padat seperi payudara, paru-paru, dan prostat dapat
bermetastasis ke sumsum tulang menyebabkan anemia hipoproliferatif. Sindrom
mielodisplasia dan gangguan mieloproliferaitf juga dapat mendesak prekursor ertitrosit dan
menyebabkan anemia.

Management Anestesi
Pasien dapat datang untuk menjalani pembedahan dengan anemia dan
trombositopenia yang berat sehingga memerlukan transfusi preoperatif. Beratnya kondisi
neutropenia akan mempengaruhi kebutuhan dan pilihan antibiotik. Penggunaan granulocyte
colony-stimulating factor preoperative untuk meningkatkan neutrofil masih kontroversial.

POLISITEMIA
Hipoksia lama biasanya akan menyebabkan peningkatan massa eritrosit dan
hematokrit secara kompensasi. Meskipun akan menyebabkan peningkatan oxygen-carrying
capacity darah, hal ini juga meningkatkan viskositas. transport oksigen ke jaringan maksimal
pada hematokrit 33-36% (Hb 11-12 g/dl) dengan asumsi tidak ada perubahan cardiac output
dan aliran darah regional. Diatas level ini peningkatan viskositas akan menurunkan aliran
darah dan menurunkan oxygen delivery. Efek ini relatif minor sampai hematokrit melebihi
55% dimana aliran darah ke organ vital menurun secara signifikan.

Fisiologi Polisitemia
Polisitemia dan eritrositosis adalah istilah untuk menggambarkan hematokrit yang
meningkat secara abnormal. Peningkatan sedikit hematokrit dapat memiliki dampak besar
pada viskositas seluruh darah. Peningkatan hematokrit dapat disebabkan berkurangnya
volume plasma (relatif polisitemia) tanpa pengurangan masa sel eritrosit aktual. Penurunan
volume plasma akut seperti pada puasa preoperatif, dapat mengubah polisitemia
asimptomatik menjadi hoperviskositas yang menganggu perfusi. Ketika hematokrit
meningkat diatas 55% atau 60% viskositas keseluruhan darah meningkat secara eksponensial
terutama pada kapiler dengan aliran lambat. Sirkulasi serebral sangat rentan terhadap
penurunan aliran darah akibat viskositas yang meningkat.
Tanda dan gejala peningkatan hematokrit bervariasi tergantung penyakit yang
mendasari dan kecepatan terjadinya. Pasien dengan polisitemia kronik sedang seperti pada
penyakit paru kronis hanya mengalami sedikit gejala sampai hematokrit melibihi 55% atau
60%. Nyeri kepala dan kelelahan akan muncul. Splenomegali dapat muncul (Ruggeri et al.,
2008). Hematokrit diatas 60% dapat mengancam nyawa karena peningkatan viskositas
merugikan perfusi organ. Pasien dengan hematokrit yang sangat tinggi juga beresiko terjadi
trombosis arteri dan vena. 40% pasien ini akan mengalami minimal 1 kejadian trombosis
selama penyakitnya.

Polisitemia Vera
Polisitemia primer yang dikenal sebagai polisitemia vera atau PV adalah gangguan
stem sel dengan karakeristik proliferasi dari suatu klon perkusor hematopoietik, hampir
semuanya berasal dari mutasi gen JAK2 (Janus kinase 2). Ekspansi klonal ini paling sering
memproduksi berlebihan eritrosit namun jumlah platelet dan leukosit juga bisa meningkat.
Kriteria diagnosis polisitemia vera adalah peningkatan Hb (>18,5g/dl untuk laki-laki dan
>16,5 g/dl untuk wanita) dan adanya mutasi JAK2 atau 2 dari berikut ini : hiperselularitas
sumsum tulang, kadar eritropoietin subnormal, dan pembentukan koloni eritroid endogen.
Polisitemia dapat muncul pada setiap umur namun paling sering terjadi pada dekade keenam
atau ketujuh. Insiden polisitemia lebih sering terjadi pada laki-laki dengan prevalensi 4-
16/sejuta (Im et al, 2015). Sindrom Budd-Chiari adalah gejala yang sering terjadi yaitu
pruritus generalisata dan eritromelalgia (suatu kondisi dengan episode nyeri, kemerahan dan
bengkak pada berbagai bagian tubuh terutama tangan dan kaki). Trombosis koroner atau
cerebral sering mnyertai. Hipertensi pulmonal sering terjadi pada populasi ini. Pasien secara
umum membutuhkan phlebotomy reguler dan membutuhkan terapi myelosupresif dengan
hidroksi urea, interferon alpha, atau fosfor radioaktif untuk mengendalikan hematokrit. Pada
kondisi emergensi viskositas darah dapat dikurangi dengan infus kristaloid intravena
(Ruggeri et al., 2008). Sekitar 30% pasien meninggal karena komplikasi trombosis dan 30%
lainnya menderita kanker, yang tersering myelofibrosis dan leukemia akut.
Pasien dengan PV yang akan menjalani operasi beresiko mengalami trombosis
perioperatif dan secara paradoks perdarahan. Peningkatan resiko trombosis disebabkan
kombinasi hiperkoagulabilitas basal dan kondisi protrombosis saat pembedahan. Perdarahan
disebabkan penyakit von Willebrand yang didapat, karena jumlah multimer faktor von
Willebrand (vWF) ultralarge yang rendah secara abnormal. Faktor ini penting untuk adesi
platelet yang normal. Hiperviskositas yang berkaitan dengan hematokrit yang tinggi
mendukun perubahan konformasional vWF yang membeuatnya rentan terhadap pembelahan
enzimatik. Oleh karena itu, multimer besar yang paling efektif secara hemostatik menjadi
berkurang, menimbulkan resiko perdarahan. Phlebotomy dan pencegahan dehidrasi
menurunkan resiko trombosis dan perdarahan selama periode perioperatif.
Penelitian oleh Waserman dan Gilbert yang menilai dua kelompok pasien yang
menjalani operasi besar dan mengalami polisitemia vera. Dari 28 pasien dengan polisitemia
tidak terkontrol 79% mengalami komplikasi dan 36% meninggal. Dari 53 pasien dengan
kondisi terkontrol 28% mengalami komplikasi dan 5% meninggal. Pada kedua kelompok
komplikasi berhubungan terutama karena trombosis dan perdarahan. Oleh karena itu adalah
penting untuk memiliki pengetahuan dan pre treatment polisitemia sehingga menggurangi
morbiditas dan mortalitas preoperatif (Ruggeri et al., 2008).

Manajemen Anestesi
Pasien PV beresiko mengalami hiperkoagulabilitas dan perdarahan perioperatif.
Penurunan hematokrit menjad kurang dari 45% dengan phlebotomi sebelum operasi dapat
menurunkan resiko komplikasi trombohemoragik. Trombositosis harus diturunkan dibawah
400.000 platelet/mm3. Terapi aspirin harus ditunda 7 hari sebelum operasi. Desmopresin dan
kriopresipitat bermanfaat dalam meningkatkan kadar vWF dan menurunkan perdarahan.
Beberapa pre-treatment preoperatif yang dpat dipertimbangkan untuk mencegah komplikasi
tromboemboli adalah penggunaan heparin dosis rendah, satu serial phlebotomy untuk
mneurunkan hematokrit dibawah 45% atau acute normovolemic hemodilutionI intraoperatif
yaitu mengambil darah sekaligus digantikan dengan koloid sampe Hb menurun menjadi 14,5
g/dl dengan hematokrit 45% (Im et al, 2015).
Karena resiko gangguan fungsi platelet dan perdarahan, teknik anestesi neuraksial
harus dipertimbangkan hanya jika profil koagulasi dan fungsi platelet terbukti normal. Profil
koagulasi standar seperti protrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT)
dan jumlah platelet harus normal. Fungsi platelet dapat dinilai dengan menginduksi agregasi
platelet dengan kolagen , ristocetin dan adenosin difosfat. Penyakin von Willebrand
dieksklusi dengan menilai aktivitas faktor VIII, antigen vWF dan aktivitas kofaktor ristocetin.
Jika ada keraguan mengenai gangguan perdarahan teknik general anestesi menjadi pilihan
(Ruggeri et al., 2008).
Polisitemia Sekunder Akibat Hipoksia
Peningkatan masa eritrosit tanpa terbukti adanya perubahan pada jalur sel
hematopoietik lain adalah respon fisiologi normal terhadap hipoksia apapun penyebabnya.
Individu yang tinggal diketinggian sekitar 7000ft mengalami polisitemia kompensasi yang
secara fisiologis sesuai dan tidak berhubungan kelainan kllinis. Pada ketinggian yang tinggi
manusia beresiko mengalami mountain sickenss akut dan kronik, yang timbul sebagai nyeri
kepala hebat, nausea, muntah, dan disorientasi akibat edema serebral.
Penyakit kardio pulmoner yang berat juga dapat menyebabkan hipoksi jaringan dan
menginduksi polisitemia. Penyakit jantung kongenital dengan right-to-left shunt yang
signifikan dan sianosis adalah contohnya. Cardiac output yang snagat rendah, baik
kongenital maupun didapat, dapat menstimulasi pelepasan eritropoietin dan menybabkan
peningkatan hematokrit. Penyakit paru dapat menyebabkan polisitemia hipoksik. Obesitas
ekstrem dengan adanya hipoventilasi (sindrom pickwickian) adalah contoh klasik. Defek Hb
turunan seperti high affinity Hb dan defek pada jumlah atau fungsi 2,3-DPG, dapat
menyebabkan polisitemia akibat penurunan oxygen delivery jaringan dan pergeseran kurva
disosiasi oksihemoglobin kekiri. Defek atau obat yang menyebabkan methemoglobinemia
yang signifikan juga dapat menyebabkan polisitemia kompensasi. Seseorang dengan kelainan
yang menyebabkan metheoglobinemia dibedakan dengan penampilan pseudosianotik, akibat
warna kecoklatan dari ferric Hb karena ketidakmampuannya untuk memantulkan cahaya
merah selama oksigenasi.

Polisitemia Sekunder Karena Peningkatan Produksi Eritropoiten


Penyakit ginjal dan beberapa tumor yang sekresi eritropoietin telah dikaitkan dengan
polisitemia sekunder. Hidronefrosis, penyakit ginjal polikistik, kista ginjal, tumor ginjal jinak
maupun ganas dapat menyebabkan peningkatan produksi eritropoietin. Mioma uteri,
hepatoma, dan hemangioma serebelar juga menunjukkan kemampuan sekresi eritropietin.
Setelah transplantasi ginjal pasien dapat mengalami eritrositosis yang tidak berhubungan
dengan produksi eritropoietin. Angiotensin-converting inhibitor akan mengembalikan
polisitemia ini. Pengguanaan terselubung eritropoietin rekombinan oleh atlet juga
menimbulkan polisitemia.
Manajemen Anestesi Polisitemia Sekunder
Tatalaksana bervariasi tergantung penyebabnya, pasien dengan polisitemia hipoksia
ringan tidak memerlukan terapi khusus. Pasien dengan hematokrit yang sangat tinggi dapat
diindikasikan untuk phlebotomy untuk mengurangi komplikasi trombosis dan perdarahan.

LEUKEMIA
Leukemia adalah produksi tidak terkontrol dari leukosit akibat mutasi cancerous dari
sel limfogenous atau myelogenous. Leukemia limfositik dimulai dari nodus limfatikus
sedangkan leukemia mieloid dimulai dari produksi cancerous dari sel myelogenous dalam
sumsum tulang dengan penyebaran ke organ extramedula. Perbedaan prinsip dari normal
hematopoietic stem cell dan sel leukemia adalah kemampuan sel leukemia untuk terus
membelah. Hasilnya adalah massa sel yang meluas dan menginfiltrasi sumsum tulang dan
membuat pasien secara fungsional aplastik. Anemia dapat tamapak nyata. Kemudian
kegagalan sumsum tulang menyebabkan infeksi yang fatal atau perdarahan akibat
trombositopenia. Sel leukemia juga menginfiltrasi hati, spleen, nodus limfatikus, dan
meninges, menyebabkan tanda-tanda disfungsi pada organ tersebut. Penggunaan nutrisi yang
berlebihan oleh sel kanker yang berproliferasi cepat menghabiskan cadangan asam amino
sehingga terjadi kelemahan pasien dan kematian metabolik dari jaringan yang normal.
Leukemia adalah salah satu kanker yang paling sering didiagnosa terutama pada anak-
anak. Kanker merupakan penyebab kematian paling sering karena penyakit pada anak-anak
usia 1 sampai 14 tahun, namun perbaikan yang signifikan terhadap terapi penyakit ini telah
meningkatkan angka survival secara dramatis. Angka survival saat ini 78% dibandingkan
28% pada tahun 1960an. Ahli anestesi menjadi bagian penting tim multidisiplin yang
menangani anak-anak dengan keganasan. Anestesi di perlukan pada semua tingkat pelayanan
termasuk diagnosis, terapi, dan manajemen nyeri. Pengetahuan mengenai efek fisiologi dari
keganasan dan terapinya adalah penting bagi ahli anestesi yang melayani pasien tersebut.
(Oduro-Dominah and Brennan, 2013)
Leukimia menyumbang sekitar 1/3 dari diagnosis kanker pada anak-anak. Insiden
puncak pada usia 2-3 tahun. Anak-anak dengan trisomi 21 (sindrom down) memiliki
peningkatan 10-20 kali lipat. Hampir 80% dari leukemia pada anak-anak adalah acute
lymphoblastic leukemia (ALL). Angka kesembuhan dari ALL yang baru terdiagnosa
mencapai 85%. (Scrace and Mcgregor, 2013)

Peran Ahli Anestesi


Peran anestesia termasuk untuk prosedur singkat, untuk insersi akses vena sentral,
fasilitasi radioterapi dan pembedahan mayor. Ahli anestesi harus waspada terhadap faktor
yang potensial menimbulkan komplikasi.
Anestesi pada prosedur singkat sering dilakukan pada tempat yang jauh seperti ruang
radiologi dan unit onkologi rawat jalan. Ahli anestesi yang berpengalaman, staf ruang
pemulihan dan perlengkapan resusitasi yang lengkap harus tersedia setiap saat. Adalah
penting bagi ahli anestesi untuk mengetahui interaksi antara obat yang sering diberikan
dengan proses penyakit dan terapinya. Dexamethason sering digunakan sebagai antiemetik
namun juga diigunakan sebagai kemoterapi dan sebaiknya tidak diberikan intraoperatif tanpa
berdiskusi dengan tim onkologi karena dapat mencetuskan lisis tumor. (Scrace and Mcgregor,
2013)

Anestesi Untuk Prosedur Singkat


Kemoterapi modern terdiri dari penggunaan obat sitotoksik intratekal dengan aspirasi
sumsum tulang secara reguler dan trephines untuk meniilai respon terapi. Prosedur ini sering
dilakukan dan membutuhkan anestesia untuk memberikan analgesi dan amnesia sambil
membatasi efek samping dan gangguan aktivitas anak. Banyak institusi mnganjurkan
penggunaan anestesi intravena dengan propofol dan remifentanyl (atau alfentanyl/fentanyl)
karena profil efek samping yang lebih disukai. Keuntungan lain dibanding anestesi inhalasi :
onset dan pemulihan yang cepat hilangnya gerakan terhadap stimulus dan tidak memerlukan
scavenging gas anestesi. (Oduro-Dominah and Brennan, 2013)

Anestesi Untuk Radioterapi


Menjaga pasien tetap diam membantu terapi radiasi terbatas pada area yang sakit.
Anak-anak diatas usia 5 tahun dapat mentoleransi radioterapi tanpa anestesi jika telah
dipersiapkan dengan baik namun pada anak yang lebih muda anestesi sering kali dipelukan.
Anestesi intravena dengan infus propofol merupakan pilihan yang baik. Opioid tidak
diperlukan karena radioterapi tidak nyeri. Pertimbangan lain adalah tempat radioterapi yang
biasanya tersisolasi oleh karena itu ketersediaan alat resusitasi dengan monitor lengkap
menjadi penting. (Scrace and Mcgregor, 2013)

Toksistas Terapi
Adalah penting untuk mengenali pasien kanker dapat mengalami disfungsi organ
setiap saat karena berbagai alasan. Riwayat anestesi sebelumnya yang tidak bermasalah tidak
selalu menjadi prediktor keamanan. Perhatian harus difokuskan pada efek fisiologi dan
anatomi dari penyakit kkanker itu sendiri maupun terapinya.

Efek Kemoterapi
Terapi kombinasi menyebabkan toksisitas yang potensial pada hampir semua sistem
organ. Yang sangat penting adalah efek merugikan dari kemoterapi dan radioterapi pada jalan
nafas dan sistem kardiopulmoner. Efek ini dapat secara langsung berdampak pada pemberian
dan respon terhadap anestesi. Penilian seksama dari semua sistem harus dilakukan sebelum
memberikan anestesi.

Tabel 2. Efek samping dari beberapa kemoterapi (Scrace and Mcgregor, 2013).
Efek kadiotoksik dari agen kemoterapi antara lain : depresi, miokard dan iskemia,
hipotensi, hipertensi, miokarditis, fibrosis endomiokardial dan gangguan konduksi seperti
takikardi supraventrikel dan blok. Kardiotaksisitas diperkirakan disebabkan oleh
pembentukan radikal bebas yang menganggu fungsi mitokondria. Pasien yang menerima
kemoterapi kardiotoksik harus dinilai secra echocardiografi selama dan setelah terapi.
Informasi ini penting untuk penilaian preoperatif.

Toksisitas Paru
Agen kemoterapi dapat memberikan komplikasi paru luas. Dapat terjadi diawal
maupun diakhir dari terapi manifestasi akhir lebih sering terjadi dan paling sering berupa
fibrosis pulmoner.

Tabel 3. Toksisitas Paru dari agen kemoterapi (Scrace and Mcgregor, 2013)
Toksisitas Hematologi
Myelosupresi merupakan efek kemoterapi yang paling sering dan muncul sebagai
anemia, neutropenia, dan trombositopenia. Myelosupresi sendiri dapat merupan efelk
langsung dari kanker dan muncul pada fase sebelum terapi.
Pertimbangan spesifik bagi ahli anestesi untuk pasien netropenia (Scrace and Mcgregor,
2013) :
 Kepatuhan teknik aseptik selama prosedur invasif
 Mencegah medikasi per rektal
 Isolasi pasien perioperatif yang sesuai
 Kewaspadaan terhadap peningkatan resiko mukositis dan komplikasi jalan nafas yang
potensial berhubungan

Tombositopenia merupakan efek samping myelosupresi yang sering terjadi.


Perdarahan yang signifikan sering terjadi dan merupakan penyebab kematian dini pada pasien
dengan leukemia. Terdapat beberapa variasi protokol lokal mengenai jumlah platelet yang
dapat diterima untuk prosedur invasif. Biasanya jumlah platelet harus diatas 50.000/mm3
untuk pungsi lumbal dan diatas 20.000/mm3 untuk trephine sumsum tulang (Scrace and
Mcgregor, 2013).

Toksisitas Gastrointestinal
Efek samping ini sering terjadi dan terbatas selama terapi antara lain : nausea dan
vomitus,diare, mukositis, enterocolitis, stomatitis. Hal ini dapat terjadi bersamaan sehingga
terjadi anoreksia, malnutrisi, gangguan elektrolit dan protein serum. Pertimbangan anestesi
khusus adalah pengosongan lambung yang terlambat dan aspirasi. Dehidrasi dan gagal ginjal
akut juga harus dipertimbangkan.
Efek Radioterapi
Radioterapi menyebabkan kematian sel maupun jaringan sehat. Jaringan yang sehat
memiliki kapasitas untuk meperbaiki diri setelah terkena radiasi namun membutuhkan waktu
sehingga dosis total radioterapi dibagi dalam serial waktu. Jalan nafas merupakan organ yang
beresiko terkena efek samping terkena radioterapi didaerah leher dan rongga mulut. Efek
radioterapi yang menyebabkan jalan nafas sulit (Scrace and Mcgregor, 2013):
 Fibrosis dan kekakuan jaringan lunak sehingga membatasi buka mulut dan ekstensi
leher.
 Fibrosis mukosa jalan nafas
 Edem subglotis
 Stenosis supra dan subglotis
 Hipoplasi mandibula dan xerostomia

Efek radiasi terhadap jantung antara lain : perikarditis, efusi perikard, fibrosis
endokardial, fibrosis valvular, defek konduksi, dan penyakit arteri koroner.
Mukositis ditandai dengan lesi yang ulseratif, eritematous, dan sangat nyeri. Dapat
menyebabkan edema supraglotis dan perdarahab jalan nafas akibat kerapuhan jaringan
sehingga menyebabkan jalan nafas menjadi sulit sering terjadi selama penggunaan
kemoterapi dosis tinggi, transplantasi stem sel hemopoietik, dan terapi radiasi kepala-leher.
Dapat muncul 7-10 hari setelah dimulai kemoterapi dan berlangsung selama 1-2 minggu.
Pada terapi radiasi paling sering muncul 2-4 minggu setelah terapi. (Scrace and Mcgregor,
2013)

Sindrom Lisis Tumor


Merupakan sindrom yang fatal dan sering terjadi pada pasien dengan jumlah sel tumor
yang besar terutama leukemia akut dan high grade lymphoma. Sindrom ini terjadi akibat
pelepasan mendadak komponen intraseluler kedalam sirkulasi akibat kematian sejumlah
besar sel maligna. Hal ini menyebabkan meningkatnya kalium secara cepat dan gangguan
ginjal progresif karena nefropati urat dan presipitasi fosfat. Peningkatan produksi fosfat
serum dapat disertai kejang hipokalsemik. Komplikasi lanjut termsuk asidosi metabolik berat,
aritmia, kematian mendadak. Tatalaksana emergensi yaitu mengendalikan hiperkalemia,
koreksi hipokalsemia, dan hiperhidrasi untuk mencegah nefropati urat. Pasien ini harus
dirawat diruang intensif karena akan membutuhkan hemofiltrasi. Pasien dengan resiko tinggi
sindrom lisis tumor harus mendapatkan perawatan preventif sebelum kemoterapi atau
intervensi anestesi. Perawatan tersebuta antara lain : hiperhidrasi, pemberian alopurinol dan
alkalinasi urin. Enzim urat oksidase rekombinan, rasburicase telah terbukti efektif sebagai
profilaksis pada pasien pediatri resiko tinggi. Tidak kalah penting juga bagi ahli anestesi
adalah bahwa steroid memiliki efek anti kanker yang poten dan telah ditunjukkan
mencetuskan sindrom lisis tumor secara tidak disengaja. Penggunaan steroid terutama
dexamethason sebagai antiemetik harus dihindari selama anestesi. (Oduro-Dominah and
Brennan, 2013)
DAFTAR PUSTAKA

Im H., et al. 2015. Anesthetic Management of a Patient with Polycythemia Vera Undergoing
Emergency Repair of a Type-A Aortic Dissection and Concomitant Coronary Artery Bypass
Grafting, a Case Report. Korean J Anesthesiol 2015 December 68(6): 608-612.
http://dx.doi.org/10.4097/kjae.2015.68.6.608

Oduro-Dominah, L. and Brennan, L. (2013). Anaesthetic management of the child with


haematological malignancy. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain, 13(5), pp.158-164.

Ruggeri M, et al. (2008). Postsurgery outcomes in patients with polycythemia vera and
essential thrombocythemia: a retrospective survey. Blood, 111(2), pp.666-671.

Scrace, B. and Mcgregor, K. (2013). Anaesthetic Considerations for Paediatric Oncology.


Anaesthesia Tutorial Of The Week, (280), pp.1-8.

Anda mungkin juga menyukai