LAPORAN KASUS
SISTEMIK LUPUS ERITOMATOSUS (SLE)
DisusunOleh:
Hedo Saputra Jaya
NPM. 10310169
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Status
Agama
Alamat
Tgl masuk RS
: Ny.S
: 53 tahun
: Perempuan
: Menikah
: Islam
: Basuki Rahmat
: 25 April 2014
2. Anamnesa
2.1 Keluhan Utama
Mual sejak 3 hari yang lalu SMRS
2.2 Keluhan Tambahan
Keluhan disertai muntah,pusing,susah tidur,nyeri sendi jari dan
kaki kanan saat digerakkan.
2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Os datang dengan keluhan mual sejak 2 hari yang lalu SMRS. Os
disertai dengan muntah sebanyak 3x dalam sehari.muntah tersebut berisi
sebagian makanan.os juga mengeluhkan sering merasa pusing, badan
lemah dan nafsu makan berkurang.os juga mengeluhkan berat badan
mengalami penurunan sejak 1 bulan yang lalu.
Os juga mengeluhkan nyeri ulu hati sebelum 2 hari SMRS.nyeri
tersebut dirasakan dibagian epigastrik dibagian abdomen.
Riwayat BAK tidak ada keluhan dan DBN dan riwayat BAB tidak ada
keluhan dan DBN.Riwayat hipertensi (-), Diabetes Melitus (-) dan jantung
(-)
Selain itu os juga merasakan nyeri sendi jari dan kaki kanan pada saat
digerakkan.nyeri sendi tersebut dirasakan berpindah-pindah dan tidak
bengkak.os juga merasakan panas terasa dibagian pipi dan kepala.os juga
mengalami bercak-bercak kemerahan dibagian abdomen keatas yaitu
dibagian seluruh lapangan perut,dada depan,dada belakang,tangan kanan
dan kiri dan bagian wajah yaitu pipi.
Bercak kemerahan tersebut sama rata dengan kulit yaitu tidak
menonjol dan tidak berisi pustul dan cairan lainnya.bercak kemerahan
Leher
Inspeksi : bentuk normal, deviasi trakea (-)
Palpasi : pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar getah
bening (-), JVP tidak meningkat
Thoraks Anterior
Inspeksi : bentuk dada kanan=dada kiri, pergerakan
nafas kanan=kiri, iktus kordis tidak terlihat dan bagian
depan thorax terdapat bercak-bercak kemerahan yang
Thoraks Posterior
Inspeksi : punggung simetris kanan=kiri dan bagian
thorak posterior terdapat bercak-bercak kemerahan
disemua lapangan thorak posterior.
Palpasi : fremitus taktil dan vokal kanan=kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : pernafasan vesikuler
Abdomen
Inspeksi : supel, perut tampak datar lembut, tidak ada
jaringan parut
Palpasi : nyeri tekan abdomen (+), hepar dan lien tidak
teraba
Perkusi : seluruh lapang abdomen timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstremitas
Superior : akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-)
Inferior : akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-)
Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tanggal 25 April 2014
GDS
: 140 mg/dl
Ureum
: 22 mg/dl
Creatinin
: 0,9 mg/dl
SGOT
: Reagen Habis
SGPT
: 109 U/L
Hemoglobin
: 10,2 gr%
Leukosit
: 12300
Eritrosit
: 3,3 /mm3
Trombosit
: 155000
Hematokrit
: 30 %
Golongan darah
:0
5. Diagnosa Kerja
SLE (sistemik lupus eritomatosus)
6. Diagnosa Banding
SLE
Dyspepsia
7. Penatalaksanaan
Infuse RL 20 tpm
Mucosta 3x4 mg
Lancid 2x1 mg
Vonetus 2x1 mg
Lameson 5-2-2
Irvask 1x1 pagi
Amilodipine 1x1 malam
Zolpiden 1x1 malam
Vometa 1x1 malam
8. Prognosis
Bervariasi,tergantung dari komplikasi dan keparahan
keradangan.perjalanan SLE kronis dan kambuh-kambuhan seringkali
dengan periode remisi yang lama.
Dengan pengendalian yang baik pada fase akut awal prognosis
dapat baik.
PEMBAHASAN
Definisi LES.
Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit reumatik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi
dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.
Epidemiologi LES
Penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 15-40
tahun selama masa reproduktif dengan ratio wanita dan pria 5:1. Dalam 30 tahun
terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit penyakit reumatik utama di dunia.
Prevalensi LES di berbagai negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000400/100.000. LES lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro,
Cina, dan mungkin saja Filipina.
Etiopatogenesis LES.
Etiopatogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana
terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor
enetik,faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor
genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang
meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode
unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik
pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3
serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat
komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang
mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan
sitokin.
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan
dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen
MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi
spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen
komplemen, seperti C2,C4, atau C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak
pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga
membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit
gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan
menimbulkan respon imun.
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada selfimmunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus,
dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel
DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu
menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit1. Faktor lingkungan lainnya
yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko
tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau
yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran
bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat
meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen
infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella,
sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor
hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa
penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar
Manifestasi Muskuloskeletal
Pada penderita LES, manifestasi pada muskuloskeletal ditemukan
poliartritis, biasanya simetris dengan episode artralgia pada 90% kasus. Pada 50%
kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendonitis juga sering terjadi dengan akibat
subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa
osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya berhubungan
dengan terapi steroid.
Selain itu, ditemukan juga mialgia yang terjadi pada 60% kasus, tetapi
miositis timbul pada penderita LES< 5% kasus. Miopati juga dapat ditemukan,
biasanya berhubungan dengan terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering
didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid.
Manifestasi Kulit
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas,
butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi
psoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tandatanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari,
gangren.
10
Manifestasi Kardiovaskular
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat
berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial.
Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia,
interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.
Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik,
tapi data autopsi mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman-Sachs.
Adanya vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan
endokarditis bakterialis. Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung
koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang
berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.
Manifestasi paru
Kelainan paru-paru pada LES seringkali bersifat subklinik sehingga foto
toraks dan spirometri harus dilakukan pada pasien LES dengan batuk, sesak nafas
atau kelainan respirasi lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat ditemukan pada
60% kasus. Efusi pleura dapat ditemukan pada 30% kasus, tetapi biasanya ringan
dan secara klinik tidak bermakna. Fibrosis interstitial, vaskulitis paru dan
pneumonitis dapat ditemukan pada 20% kasus, tetapi secara klinis seringkali sulit
dibedakan dengan pneumonia dan gagal jantung kongestif. Hipertensi pulmonal
sering didapatkan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid. Pasien dengan nyeri
pleuritik dan hipertensi pulmonal harus dievaluasi terhadap kemungkinan sindrom
antifosfolipid dan emboli paru.
Manifestasi Ginjal
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan
menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan
silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin.
11
Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan
hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR harus
dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.
Manifestasi Susunan Saraf
Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain,
neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan
antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan
serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan
pada 10% kasus.
Ketelibatan saraf otak, jarang ditemukan.Kelainan psikiatrik sering ditemukan,
mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu
oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan
gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi.
Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT
scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau
perdarahan.
Manifestasi Gastrointestinal
Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali,
peritonitis aseptik, vaskulitis mesenterial, pankreatitis. Selain itu, ditemukan juga
peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis
autoimun.
Aktivitas Penyakit LES.
Untuk menilai aktivitas penyakit dari LES dapat dilakukan penilaian
dengan skor antara lain dengan menggunakan SLE Disease Activity Index
( SLEDAI ), British Isles Lupus Assesment Group ( BILAG ), Systemic Lupus
12
13
Pemeriksaan Autoantibodi
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai
proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya
terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun termasuk di dalamnya LES,
Arthritis Reumatoid, sindroma Sjogren dan sebagainya. Adanya antibodi termasuk
autoantibodi sering dipakai dalam upaya membantu penegakkan diagnosis
maupun evaluasi perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan.
Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian
yang mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian
pula halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir, dikatakan
terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan sentralnya pada T-helper
dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi autoantigen, kemiripan
atau mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross reactive peptide
terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik, aktivasi poliklonal dan
sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan
mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher. Kekacauan
ini semakin besar kesempatan terjadinya sejalan dengan semakin bertambahnya
usia seseorang.
Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit.
Oleh karenanya, lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers)
proses patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau
turun dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi
terapi. Kompleks autoantigen dan autoantibodilah yang akan memulai rangkaian
penyakit autotoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah autoantibodi
baru dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit reumatik
autoimun apabila ia berperan dalam proses patologiknya.
14
Antibody antinuklear
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi
yang spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada
connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective
Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogrens primer. ANA pertama kali
ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang penderita LES.
Dengan perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas
ANA yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP), Ro/SS-A dan La/SSB.
ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi.
ANA digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease.
Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita LES menunjukkan pemeriksaan
yang positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens dan 40% pada penderita
skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70 tahun.
Antibodi terhadap DNA.
Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi
yang reaktif terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti ds-DNA positif
dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik
dan prognostik. Kadar anti ds-DNA yang rendah ditemukan pada sindrom
Sjogrens, arthritis reumatoid. Peningkatan kadar anti ds-DNA. menunjukkan
peningkatan aktifitas penyakit. Pada LES,anti ds-DNA mempunyai korelasi yang
kuat dengan nefritis lupus dan aktifitas penyakit SLE. Pemeriksaan anti ds-DNA
dilakukan dengan metode radioimmunoassay, ELISA dan C.luciliae
immunofluoresens.
15
Pemeriksaan Komplemen
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik.
Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi
aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai
mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen
merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari 20 protein plasma dan
bekerja secara berantai (self amplifying) seperti model kaskade pembekuan darah
dan fibrinolisis.
Pada LES, kadar C1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus
kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat
beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada penderita
dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen terlihat lebih dahulu dibanding
gejala klinis.
Diagnosis SLE
Diagnosis LES, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
laboratorium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1997,
mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi LES, dimana apabila didapatkan 4
kriteria, diagnosis LES dapat ditegakkan
Kriteria tersebut adalah :
1. Ruam malar.
2. Ruam diskoid.
3. Fotosensitivitas.
4. Ulkus di mulut.
16
17
18
19
Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik lupus
kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria mempunyai efek
sunsblocking, antiinflamasi dan imunosupresan.Pada penderita yang resisten
terhadap antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid sistemik.
Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid,
vaskulitis dan lesi LE berbula. Efek toksik obat ini terhadap sistem hematopoetik
adalah methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia, dan anemia hemolitik, yang
kadang-kadang memperburuk ruam LES di kulit.
Kelelahan dan keluhan sistemik.
Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita LES,
demikian juga penurunan berat badan dan demam. Kelelahan juga dapat timbul
akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan demam dapat
juga diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpati dalam
mengatasi masalah ini. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup
menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat
dapat menunjukkan peningkatan aktivitas penyakit LES dan pemberian
glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.
Serositis
Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat merupakan tanda
serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, obat
antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15
mg/hari). Pada keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk
mengontrol penyakitnya.
20
TERAPI AGRESIF
Kortikosteroid
Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi
harus segera dimulai bila timbul manifestasi serius LES dan mengancam nyawa,
misalnya vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliarthritis, poliserositis,
miokarditis pneumonitis lupus, glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia
hemolitik, trombositopenia, sindrom otak organik, defek kognitif yang berat,
mielopati, neuropati perifer dan krisis lupus (demam tinggi, prostrasi).
Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan dibandingkan jenis
glukokortikoid yang akan diberikan. Walaupun demikian, pemberian
glukokortikoid berefek panjang seperti deksametason, sebaiknya dihindari.
Pemberian prednison lebih banyak disukai, karena lebih mudah mengatur
dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral, sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal
pada pagi hari. Pada manifestasi minor LES, seperti arthritis, serositis dan gejala
konstitusional, dapat diberikan prednison 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada
manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari.
Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB selama 3
hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi,
kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/ hari.Respons terapi
dapat terlihat sedini mungkin, tetapi dapat juga dalam waktu yang cukup lama,
seperti 6-10 minggu. Setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama 6
minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis secara bertahap, dimulai
dengan 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis
prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5 mg/minggu,
dan setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1
mg/minggu. Bila timbul eksaserbasi akut, dosis prednison dinaikkan sampai ke
dosis efektif, kemudian dicoba diturunkan kembali.
21
22
23
24
25
26
KESIMPULAN
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Editor : Prof. DR. Adhi Juanda. Anggota Editor : dr. Mochtar hamzah, DR. Siti
Aisah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Ketiga. Bagian Penyakit Kulit dan
Kelamin FKUI. Jakarta, 2007.
2. Symposium national immunology week 2004.chapter 20.arthritis and
musculoskeletal disorder.page 805=807
3. Harrissons principle of internal medicine 15th edition.volume 2:page 19222928
4. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 1,edisi ketiga:hal 150-159
5. medical journal : cermin dunia kedokteran no.142,2004 : hal 27-30
6. Ppatoghenesis Lupus Erythematosus. Available at :
http//www.thedoctordoctor.com/disease
7.The merck manual edisi 16,jilid 2 : hal 878-830.
8. Editor : Prof. dr. H. M. Sjaiffoellah Noer dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi Ketiga. Penerbit ; Balai Penerbit FKUI. Jakarta,2009.
9. Fitzpatricks in : Color Atlas and Synopsisof Clinical Dermatology. Fifth
Edition.
10. Charles D. Forbes, William F. Jackson in : Illustrated Pocket Guide to Clinical
Medicine. Second Edition 2004. Mosby