Anda di halaman 1dari 21

STENOSIS ARTERI RENALIS PADA ANAK

BAB I
PENDAHULUAN

Hipertensi pada anak merupakan suatu masalah penting karena bila tidak ditangani
dengan baik, penyakit ini dapat menetap hingga dewasa dan menyebabkan berbagai penyakit
kardiovaskular diantaranya hipertrofi ventrikel kiri, penebalan tunika intima-media,
aterosklerosis dan disfungsi diastolik, serta gagal ginjal. Penyebab hipertensi seringkali dapat
disebabkan penyakit lain (hipertensi sekunder), salah satunya yaitu akibat stenosis arteri
renalis.1
Stenosis arteri renal merupakan penyebab utama hipertensi renovaskular dan meliputi
1-10% dari 50 juta kasus hipertensi pada penduduk Amerika Serikat. 2 Penyempitan satu atau
kedua arteri renal dan atau cabang distal menyebabkan turunnya perfusi, peningkatan renin,
peningkatan resistensi vascular, dan hipertensi sistemik.2
National Cooperative Study Group menjelaskan bahwa dari 502 pasien hipertensi
renovaskular yang mendapatkan tindakan pembedahan, frekuensi hipertensi renovaskular
pada pasien di bawah 18 tahun hanya 3%. Berbeda dengan hipertensi esensial yang sangat
jarang terjadi pada anak, penyakit arteri renalis merupakan penyebab tersering pada anak.
Revaskularisasi ginjal adalah terapi efektif pada pasien dewasa dengan hipertensi berat akibat
stenosis arteri renalis. Namun, pada anak ditemukan hasil yang kurang memuaskan dengan
tindakan tersebut, dan banyak penelitian yang menunjukkan bawah bedah ablasi dapat
mencapai hasil yang baik dalam tindakan rekonstruktif vaskular pada anak.3
Oleh sebab itu perhatian serta pengetahuan tentang masalah hipertensi pada anak
terutama yang disebabkan oleh stenosis arteri renalis harus ditingkatkan agar upaya deteksi
dini, penatalaksanaan, serta pencegahan komplikasi hipertensi pada anak dapat dilakukan
secara tepat.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ANATOMI GINJAL


Arteri renal merupakan satu-satunya suplai vaskular ke ginjal. Arteri ini berasal dari
aspek lateral dari aorta abdominali, umumnya pada tingkat diskus intervertebral L1/L2, tepat
inferior terhadap origo dari arteri mesenterika superior. Arteri ini memiliki panjang sekitar 4-
6 cm, berdiameter 5-6 mm dan berjalan lateral dan posterior akibat posisi dari hilum. Mereka
berjalan posterior terhadap vena renal dan memasuki hilum renal anterior terhadap pelvis
renal. Arteri renal juga menyuplai kelenjar adrenal dan ureter pada sisi ipsilateral.4
Arteri renal kanan berasal dari aspek anterolateral dari aorta dan berjalan inferior di
belakang vena kava inferior untuk mencapai ginjal kanan, sedangkan arteri renal kiri berasal
sedikit lebih tinggi dan dari aspek yang lebih lateral dari aorta, dan berjalan hampir horizontal
menuju ginjal kiri. Arteri renal bercabang sebelum masuk ke hilum renal menjadi cabang
anterior dan posterior yang mana mendapat sekitar 75% dan 25% darah. Cabang anterior
terbagi lagi menjadi arteri segmental superior, media, inferior, dan apikal, sedangkan cabang
posterior membentuk arteri segmental posterior. Arteri segmental kemudian bercabang
menjadi arteri lobaris, interlobaris, arkuata, dan interlobularis sebelum membentuk arteriol
aferen yang menuju kapiler glomerulus.4,5
Arteri renal berasal dari aorta dan menyuplai ginjal. Arteri renal kanan berjalan
inferior yang berjalan posterior terhadap vena kava inferior dan vena renal kanan untuk
mencapai hilum dari ginjal kanan. Arteri renal kiri memiliki perjalanan yang lebih pendek
dan berjalan sedikit lebih inferior dibandingkan arteri renal kanan. Arteri renal kiri memiliki
perjalanan yang lebih horizontal dan dapat ditemukan tepat posterior terhadap vena renal kiri
sebelum memasuki hilum ginjal kiri.5

2
Arteri renal kanan dan kiri membentuk beberapa arteri kecil pada segmen proksimal.
Percabangan ini kecil dan seringkali tidak terlihat pada sebagian besar studi pencitraan. Tiga
cabang penting dari arteri renal yaitu arteri adrenal inferior, arteri kapsularis, dan arteri
ureterika. Tepat setelah arteri renal mencapai hilum, arteri ini bercabang menjadi ramus
ventral dan dorsal yang kemudian membagi lagi menjadi beberapa arteri segmental kecil
sebelum memasuki parenkim ginjal. Arteri segmental ini bercabang lagi menjadi cabang
lobaris. Arteriol aferen, yang berasal dari arteri interlobularis, menyuplai glomerulus.5,6
Pada setidaknya tiga puluh persesn populasi, dapat ditemukan arteri renal aksesorius.
Pada kasus yang jarang, terdapat arteri renal aberrant yang tidak memasuki hilum ginjal
namun kapsul ginjal. Pada sekitar 10 persen populasi, dapat ditemukan percabangan dini dari
arteri renal. Percabangan dini ini biasanya terjadi 15 mm hingga 20 mm dari hilum renal. Hal
ini penting diketahui saat melakukan transplantasi ginjal.5,6
Stenosis arteri renal merupakan penyebab umum hipertensi renovaskular. Pada lansia,
penyebab stenosis arteri renal adalah penyakit aterosklerotik. Seiring penyempitan lumen
arteri, aliran darah ginjal berkurag, dan hal ini mengganggu perfusi ginjal. Pasien dengan
stenosis arteri renal dapat mengalami azotemia, bruit abdomen, dan perburukan hipertensi.
Kadangkala gagal ginjal akut dapat terpresipitasi dengan memulai terapi ACI inhibitor.
Sayangnya, bila stenosis arteri renal diterapi dengan angioplasti dan stent, tindakan ini tidak
selalu menyebabkan perbaikan fungsi ginjal.5,6,7

Gambar 1. Anatomi ginjal4

2.2 DEFINISI

3
Stenosis arteri renalis adalah semua jenis lesi vaskular yang menyebabkan
penyempitan dari pembuluh darah arteri ginjal sehingga mengganggu peredaran sirkulasi
darah ke ginjal. Penyakit ini mencakup beberapa jenis patofisiologi namun dua yang paling
sering adalah fibromuscular dysplasia (FMD) dan atherosclerotic renal artery stenosis
(ARAS), yang paling sering terjadi pada kebanyakan kasus. RAS diasosiasikan dengan tiga
gejala klinis mayor: iskemik nefropati, hipertensi dan destabilizing cardiac syndrome.
Namun, diagnosis RAS dapat juga ditegakan dari penemuan incidental yang tidak terdapat
pada pasien asimptomatis.8,9
2.3 ETIOLOGI
Etiologi dari stenosis arteri renalis dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Penyakit Aterosklerosis Arteri Renalis
Penyakit aterosklerosis merupakan penyakit umum yang sering menyerang arteri
renalis, dengan proporsi 90% dari seluruh lesi renovaskular. Aterosklerosis stenosis arteri
renalis biasanya melibatkan sepertiga bagian proximal arteri renalis, termasuk aorta perirenal
dan ostium. Stenosis arteri renalis aterosklerosis atau ARAS diasosiasikan dengan hipertensi
renovaskular, namun lebih konsisten ditemukan ARAS dengan nefropati. Berbeda dengan
penyakit fibromuscular dysplasia, pasien ARAS biasanya adalah lansia dan memiliki faktor
risiko kardiovaskular multipel. Pada pasien ini, aterosklerosis biasanya sistemik dan tidak
tertutup hanya pada arteri renalis. ARAS merupakan penyakit progresif yang ditandai dengan
stenosis yang memburuk dan akhirnya oklusi dengan implikasi yang lebih luas terkait fungsi
organ dan prognosis pasien.10
2. Penyakit Non- aterosklerosis Arteri Renalis
Penyakit Non-atherosklerotik Arteri Renalis memiliki etiologi yang beragam, meliputi
fibromuscular dysplasia, glomerulonephritis, thrombosis arteri renalis, aneurisme, fistula
arteriovena kongenital maupun traumatik, vasculitis, single pelvic kidney. Fibromuscular
dysplasia paling sering ditemukan pada anak. Tidak seperti penyakit atherosklerotik
renovaskular, fibromuscular dysplasia banyak ditemukan pada kaum muda yang sehat dengan
faktor risiko kardiovaskular yang sedikit. Secara histologis, FMD melibatkan bagian intima,
media, dan adventitia; namun, 90% melibatkan media. Pada gambaran angiografi, FMD
memiliki gambaran klasik yang disebut “beads-on-a-string” karena pewarnaan kontras pada
isi dari aneurisme secara konsekutif pada arteri renalis. Pada pasien dengan FMD, dua-per-
tiga bagian distal dari arteri renalis merupakan lokasi yang paling sering terganggu; namun
penyakit ini dapat melibatkan arteri karotis dan arteri vertebralis. Meskipun gambarannya
mirip dengan vaskulitis, fibromuscular dysplasia atau FMD merupakan penyakit non-
4
inflammatorik, dan penyebabnya masih belum diketahui. Diperkirakan bahwa komponen
genetik mengambil peran dalam penyakit ini. FMD secara umum diasosiasikan dengan
prognosis yang baik dan biasanya tidak berlanjut menjadi oklusi komplit.11,12
Klasifikasi patologis dari penyakit arteri renal fibrosa dan muskular didasari pada
lapisan dari dinding arteri yang terlibat. Lesi stenosis pada serial ini meliputi fibroplasia
intima, fibroplasia intima dengan diseksi media, hiperplasia media, dan fibroplasia perimedia.
Lesi ini dianggap displasia kongenital dengan gangguan perkembangan jaringan fibrosa,
muskular, dan elastis dari arteri renal.13
Fibroplasia intima primer bukan penyebab umum hipertensi renovaskular pada
dewasa, namun lebih sering terlihat pada anak-anak. Tidak seperti arteri renal pada orang
dewasa, arteri renal pada anak-anak dengan fibroplasia intima primer hanya secara uniformis
terlibat oleh fragmentasi, absen parsial, dan reduplikasi dari elastika internal. Kemungkinan
aterosklerosis sebagai penyebab stenosis arteri renal pada kelompok ini tersingkir secara
klinis pada profil lipid dan secara histologis dengan tidak adanya gambaran lipid dengan
teknik pewarnaan khusus. Fibroplasia intima dengan diseksi media dicirikan secara patologis
dengan saluran diseksi besar pada setengah bagian luar dari media. Lesi ini diperkirakan
berkembang akibat defek pada elastika interna dengan hasil diseksi media dan dilatasi
aneurisma.13
Pada segmen arteri yang terlibat dengan hiperplasia media, stenosis diakibatkan dari
protrusi massa otot polos berproliferasi bercampur dengan sedikit kolagen menuju lumer
arteri.13
Fibroplasia perimedia merupakan lesi paling sering terlihat pada serial anak-anak ini.
Segmen arteri renal yang terlibat oleh fibroplasia perimedia secara uniformis menunjukkan
suatu cuff sirkumferensial tebal dari kolagen yang mengelilingi dan sebagian menggantikan
setengah hingga dua per tiga bagian luar dari media. Integritas dari lumen dalam segmen
arteri dengan fibroplasia perimedia jauh lebih terganggu dengan suatu proses fibroplasia
intima sekunder (gambar 4). Telah ditunjukkan sebelumnya bahwa penebalan sekunder dari
intima ini terkait dengan perlambatan aliran darah melalui segmen arteri yang menyempit
dengan menyebabkan deposit platelet dan fibrin dan organisasi fibrosa.13
Fibroplasia media dengan terbentuknya mikroaneurisma merupakan penyebab paling
umum dari hipertensi renovaskular non-aterosklerotik pada dewasa, namun tidak dijumpai
pada kelompok anak-anak. Fibroplasia periarteri, yang paling langka dari semua lesi arteri
renal stenosis, tidak ditemukan pada serial anak-anak ini.13
Karakteristik Stenosis Arteri Renal:
5
-Fibromuskular dysplasia
 Kelompok usia muda
 Predominan menyerang wanita
 Timbul sebagai hipertensi
 Jarang menyebabkan gangguan ginjal
-Aterosklerosis
 Kelompok usia tua
 Lebih sering pada pria
 Menyerang perokok
 Bukti adanya aterosklerosis
 Menyebabkan hipertensi—seringkali resisten terapi
 Sering terkait dengan gangguan ginja

2.4 PATOFISIOLOGI
Tekanan darah tinggi pada anak merupakan kasus yang jarang terjadi dan sebagian
besar dari pasien ini tidak menimbulkan gejala, sehingga banyak yang terabaikan sampai
pasien datang dengan krisis hipertensi atau kerusakan yang tidak dapat diperbaiki lagi.
Sebagian besar anak-anak dengan penyempitan arteri ginjal tidak menimbulkan gejala dan
tekanan darah tinggi hanya dapat diketahui melalui pengukuran tekanan darah yang
dilakukan saat pemeriksaan fisik. Angiografi merupakan pemeriksaan yang paling membantu
dalam menegakkan diagnosis. Secara umum telah disetujui bahwa kelainan arteri ginjal pada
anak harus dipertimbangkan untuk koreksi secara operasi.
Secara teori, stenosis arteri renalis menyebabkan hipertensi renovaskular dan
nefropati berdasarkan efek terhadap sistem renin– angiotensin–aldosterone atau RAAS.
RAAS menjaga tonus vaskuler, keseimbangan air dan garam serta fungsi jantung melalui
interaksi dengan sistem saraf simpatis dan beberapa hormone. RAAS teraktivasi oleh adanya
hipotensi, penurunan volume intravascular, hyponatremia, hipokalemia dan perubahan

chloride, karena pengaturan volume intravascular melalui Na+–K2+–Cl- co-transporter pada


macula densa ginjal. Bila RAAS teraktivasi, maka apparatus juxtaglomerular dalam ginjal
akan memproduksi renin, dimana renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin
I. Angiotensi I akan diubah oleh angiotensin-converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin
II, dimana akan berikatan dengan reseptor AT1 dalam ginjal untuk menyebabkan

6
vasokonstriksi pada arteriole efferent, stimulasi aldosterone dan peningkatan reabsopsi
Natrium.14
Apabila terdapat penurunan tekanan perfusi ginjal akibat stenosis arteri renalis, maka
hal tersebut akan mengaktivasi sistem renin– angiotensin–aldosterone. Aktivasi RAAS
bertujuan untuk meningkatkan perfusi ginjal dengan meningkatkan tekanan darah sistemik.
Pada stenosis arteri renalis, vasokonstriksi arteriole efferent menyebabkan terjaganya filtrasi
glomerulus dan mencegah terjadinya hipotensi dan hipoksia relative. Sistem renin–
angiotensin–aldosterone dalam sementara waktu akan menjaga fungsi ginjal akibat adanya
stenosis arteri renalis, tetapi dalam jangka panjang akan menyebabkan nefropati iskemik pada
ginjal yang terkena, nefrosklerosis hipertensi pada ginjal yang sehat, dan glomerulosklerosis
dan tubulus interstitial fibrosis pada kedua ginjal. Glomerulosklerosis dan tubulus interstitial
fibrosis disebabkan oleh peningkatan angiotensin II, yang berkaitan dengan adanya sitokin
inflamasi yang meningkatkan aktivasi jalur inflamasi dan profibrogenic. Disfungsi endotel
pada stenosis arteri renalis menyebabkan gangguan relaksasi pembuluh darah sehingga
meningkatkan aktivitas simpatis yang menimbulkan kerusakan mikrovaskular.14,15

Gambar 3. Mekanisme sistem RAS terhadap tekanan darah

2.5 GEJALA KLINIS


Pada umumnya anak dengan stenosis arteri renalis tidak menunjukan gejala atau
asimptomatik, dan hipertensi ditemukan hanya bila dengan pemeriksaan fisik. Penelitian dari
Foster menunjukkan bahwa 4 dari 7 anak dengan stenosis arteri renalis dating dengan

7
hipertensi ensefalopati. Gejala lainnya meliputi nyeri kepala bagian frontal, mual, muntah,
penglihatan kabur, dan epistaksis.16
Pada infant dengan stenosis arteri renalis, manifestasi klinis yang muncul yaitu gagal
jantung kongestif, gagal tumbuh, asupan nutrisi yang rendah, dypsneu, hipotensi, dan
oliguria.17
Manifestasi akut pada sistem kardiovaskular dari hipertensi renovaskular yaitu edema
pulmonum, tanpa adanya penyakit jantung koroner. Flash pulmonary edema sering timbul
pada pasien dengan hipertensi maligna.18 Manifestasi renal yang terkait dengan stenosis arteri
renalis meliputi munculnya gagal ginjal akut dengan adanya kenaikan serum kreatini setelah
pemberian awal ACE inhibitor (ACE-I) atau angiotensin II receptor blocker (ARB. Gagal
ginjal akut biasanya terjadi dalam waktu 10-14 hari setelah pemberian awal terapi dengan
obat tersebut, tetapi dapat juga terjadi sewaktu-waktu.19

2.6 DIAGNOSIS
Dalam menegakkan diagnosis anak dengan stenosis arteri renalis, pada pemeriksaan
fisik dapat dijumpai tekanan darah yang tinggi. Tekanan darah pada anak dengan hipertensi
renovaskular biasanya sangat tinggi, dengan sistolik mencapai lebih dari 200mgHg dan 27-
126 mmHg (median 52 mmHg) lebih tinggi dari 95 th persentil usia, jenis kelamin dan tinggi
badan. Tekanan darah pada pasien tersebut biasanya sulit dikontrol dengan obat
antihipertensi. Semua anak dengan hipertensi yang membutuhkan agen antihipertensi lebih
dari 1 jenis harus dicurigai kea rah penyebab dari renovaskular. Pada kasus tertentu, bruit
dapat didengar pada abdomen. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan
hiponatremia, hipokalemia dan peningkatan serium kreatinin.20
Menurut National High Blood Pressure Education Program Working Group on High
Blood Pressure Education in children and adolescents, tekanan darah pada anak berusia >1
tahun lebih diklasifikasikan sebagai berikut :,21
1. Tekanan darah normal : tekanan sistolik dan diastolic dibawah persentil 90
(berdasarkan usia, jenis kelamin dan persentil tinggi badan)
2. Prahipertensi (prehypertension) : tekanan darah sistolik atau diastolik lebih tinggi atau
sama dengan persentil 90 tetapi lebih rendah daripada persentil 95 atau tekanan darah
120/80 mmHg atau lebih pada remaja.
3. Hipertensi : tekanan darah sistolik atau diastolik lebih tinggi atau sama dengan
persentil 95

8
4. Hipertensi stadium 1 : tekanan sistolik atau diastolic berada antara persentil 95 sampai
persentil 99+5 mmHg
5. Hipertensi stadium 2 : tekanan darah sistolik atau diastolic di atas persentil 99+5
mmHg
Pada tahun 2017 American Academy of Pediatrics (AAP) menjelaskan definisi hipertensi
pada anak dan remaja menjadi 2 kelompok yang berbeda berdasarkan usia. Sedangkan untuk
persentil tekanan darah dibagi berdasarkan jenis kelamin, usia dan tinggi badan.

Berikut adalah kategori tekanan darah pada anak dan remaja menurut AAP22
Usia 1 – 13 tahun Usia ≥13 tahun
Tekanan Sistolik dan diastolik kurang dari  Sistolik <120 dan Diastolik <80 mmHg
darah persentil ke-90
normal
Tekanan Sistolik dan diastolik lebih Sistolik 120 - 129 dan diastolik <80 mmHg
darah besar atau sama dengan persentil
meningkat ke-90 tetapi lebih kecil dari
persentil ke-95, atau 120/80
mmHg sampai persentil ke-95
( mana yang lebih rendah )

Hipertensi Sistolik dan diastolik lebih 130/80 – 139/89 mmHg


tingkat 1 besar atau sama dengan persentil
ke-95 tetapi lebih kecil dari
persentil ke-95+12mmHg, atau
130/80 – 139/89 mmHg ( mana
yang lebih rendah )
Hipertensi Sistolik dan diastolik lebih lebih besar atau sama dengan 140/90
tingkat 2 besar atau sama dengan mmHg
persentil ke-95+12mmHg, atau
lebih besar atau sama dengan
140/90 mmHg ( mana yang lebih

9
rendah )

Gambar 4. Diagnosis pasien dengan suspek hipertensi renovaskular23


Prosedur pemeriksaan penunjang non-invasif meliputi:20
1. Ultrasonografi
Doppler ultrasound pembuluh darah ginjal dan abdomen merupakan teknik
pemeriksaan penunjang yang simpel dan aman. Namun, observasi langsung pada
stenosis arteri renalis tidak mudah dengan menggunakan ultrasonografi ini, sehingga
diperlukan beberapa indicator tidak langsung dalam menilai stenosis arteri renalis.
Peak systolic velocity (PSV) pada arteri renalis dan cabang-cabangnya dapat
meningkat atau menurun pada distal stenosis, serta waktu akselerasi dapat meningkat.
Ultrasound masih belum dapat mendeteksi stenosis pada cabang-cabang kecil atau

10
arteri renalis aksesoris. Pada dewasa, sensitivitas dan spesifitas ultrasonografi dalam
mendeteksi penyakit renovaskular mencakup 80% dan 54%.
2. Scintigraphy
Scintigraphy renal dengan 99m-technetium-dimercapto-succinic acid (DMSA) atau
99m-Tc-mercaptoacetyltri- glycine (MAG3) sebelum dan sesudah pemberian
angiotensin-converting-enzyme inhibitor merupakan metode yang potensial untuk
menentukan lokasi stenosis arteri renalis pada anak. Beberapa penelitian mengenai
renal scintigraphy setelah pemberian angiotensin-converting-enzyme inhibitor pada
dewasa menunjukkan sensitivitas dan spesivitas 68–93% dan 70–93% dalam
mendeteksi penyakit renovaskular. Penelitian penggunakan renal scintigraphy pada
anak jarang ditemukan, meskipun pada penelitian ini didapatkan sensitivitas dan
spesivitas renal scintigraphy 59–73% dan 68–88%.

Gambar 5. DMSA scintigraphy sebelum (A) dan setelah (B) dosis captopril. Isotope uptake
ginjal kiri menurun setelah pemberian captopril.
3. CT angiography
CT angiography dapat memberikan gambaran yang jelas pada pasien dengan kelainan
di aorta. Pada penelitian dengan 24 anak suspek penyakit ginjal, 5 dan 6 anak dengan
stenosis arteri renalis terdeteksi dengan baik oleh CT angiography. Seberapa besar
tambahan informasi multidetektor CT memberikan gambaran pembuluh darah kecil
pada anak dengan stenosis arteri renal belum dapat diketahui.
4. Magnetic resonance angiography
Magnetic resonance angiography (MRA) memberikan gambaran yang jelas pada
pasien dengan kelainan di aorta dan arteri renalis utama. Pada beberapa penelitian
pada dewasa, Magnetic resonance angiography (MRA) memiliki sensitivitas (92–
98%) dan spesivitas (70–96%) yang baik pada penyakit renovaskular. Namun, MRA

11
masih memiliki keterbatasan dalam penilaian hipertensi renovaskular pada anak,
meskipun resolusi spasial memberikan gambaran yang baik pada segmen
renovaskular.
Pemeriksaan penunjang invasif meliputi:20
1. Pengambilan sampel renin vena renalis
Pengukuran konsentrasi renin pada vena renalis merupakan teknik yang dapat
digunakan dalam pemeriksaan pada anak, terutama pada anak dengan stenosis arteri
renalis bilateral, segmental, atau keduanya. Namun, pada pengambilan sampel
dibutuhkan anestesi umum dimana pada saat sampling dilakukan angiografi
diagnostik pada vena femoralis secara bersamaan. Pengambilan darah dilakukan dari
vena cava inferior infrarenal dan vena renalis utama serta cabang intrarenal yang
besar.
2. Angiografi Diagnostik
Digital subtraction angiography (DSA) adalah teknik yang paling akurat dalam
penilaian anak dengan suspek stenosis arteri renalis. Pada anak usia kurang dari 10
tahun, prosedur ini biasanya dilakukan dengan anestesi umum. Pada anak dengan usia
lebih dari 10 tahun, DSA dapat dilakukan dengan anestesi local. Setelah insersi sheath
pada arteri femoral, DSA dilakukan menggunakan kateter dengan berbagai ukuran.

Gambar 6. DSA menunjukkan A: stenosis aorta abdominal dan stenosis arteri renalis
bilateral. B: pasien dengan stenosis arteri renalis kiri, C: pasien dengan stenosis arteri renalis
kanan, D: oklusi arteri renalis bilateral.

12
Diagnosis banding utama dari stenosis arteri renal pada pasien dengan hipertensi dan
gangguan ginjal adalah nefrosklerosis hipertensif benigna dan penyakit mikroemboli
kolesterol. Membedakan antara kondisi-kondisi tersebut sulit, khususnya karena ketiganya
dapat terjadi simultan.

2.7 TATA LAKSANA


Setelah hipertensi ditegakkan, anak harus mendapatkan terapi dengan obat
antihipertensi. Pada anak sering kali didapatkan tekanan darah yang sangat tinggi, sehingga
dapat dipertimbangkan penurunan tekanan darah yang tidak terlalu cepat. Pada dewasa dapat
diberikan terapi calcium-channel blocker, β blocker, atau keduanya. Angiotensin-converting-
enzyme inhibitors dan angiotensin-receptor blockers menyebabkan dilatasi arteriol efferent
glomerulus dimana menurunkan tekanan filtrasi glomerulus. Pada anak dengan bilateral arteri
stenosis terkadang didapatkan penurunan laju filtrasi glomerulus bila diterapi dengan
Angiotensin-converting-enzyme inhibitors atau angiotensin-receptor blockers. Gagal ginjal
akut berat dapat dijumpai dengan gangguan fungsi ginjal yang reversible, tetapi kerusakan
ginjal permanen jarang ditemukan. Kerusakan ginjal sulit untuk dimonitor pada anak dengan
stenosis arteri unilateral karena gangguan fungsi satu ginjal tertutupi oleh konsentrasi
kreatinin yang stabil dalam plasma, yang disebabkan oleh adanya mekanisme kompensasi
dari kolateral ginjal yang sehat. Maka dari itu fungsi ginjal perlu dimonitor dengan renal
scintigraphy, terutama DMSA. Namun, dengan berjalannya waktu, berkurangnya ukuran
ginjal akan tampak pada gambaran ultrasound. 23
Namun pada penelitian Michael Bendel-Stenzel, pada pasien anak dengan stenosis
arteri renalis diberikan kombinasi terapi sebagai antihipertensi. Kombinasi terapi tersebut
meliputi beta blocker, vasodilator, dan diuretik. Pada umumnya, ACE-inhibitor dan Calcium
Channel Blocker banyak sekali digunakan sebagai antihipertensi. ACE-inhibitor dapat
menurunkan tekanan darah secara efektif pada stenosis arteri renalis. Namun, agen tersebut
harus digunakan dengan hati-hati karena risiko gagal ginjal akut pada pasien dengan bilateral
stenosis arteri renalis, atau pasien stenosis arteri renalis dengan satu ginjal.
Beberapa kelompok anak dengan stenosis arteri renalis tidak dapat dilakukan tindakan
endovascular atau pembedahan. Banyak diantara kelompok pasien tersebut mempunyai
kelainan arteri intrarenal yang sangat kecil dan menunjukkan respons yang buruk pada terapi
medikamentosa. Trial terapetik dengan ACE-Inhibitor atau ARB dapat dilakukan pada pasien

13
tersebut. Fungsi ginjal harus dimonitor rutin dan apabila muncul gangguan ginjal maka obat
tersebut harus dihentikan.

Gambar 7. Anak 3 tahun dengan stenosis arteri renalis bilateral yang disebabkan oleh
fibromuscular dysplasia. A dan B menggambarkan angiogram dengan proyeksi AP dan
lateral dengan kateter Mickelson yang menunjukkan penyempitan yang signifikan pada arteri
renalis kiri (panah putih). C: dilakukan balloon angioplasty dengan peripheral angioplasty
balloon. D: post angioplasty, terdapat peningkatan diameter arteri renalis.

14
Gambar 8. A: Anak usia 4 tahun dengan stenosis arteri renalis bilateral dan total oklusi
(panah putih) dari arteri renalis kanan. B: Pada pasien ini dilakukan balloon angioplasty
dengan peripheral angioplasty balloon. D: pemasangan stent.

Intervensi Endovaskular20
Angioplasti Renal
Saat kontrol tekanan darah tidak adekuat atau terkait dengan efek samping signifikan,
terapi endovaskular dapat dilakukan. Percutaneous transluminal renal angioplasty (PTRA),
dengan atau tanpa stent, merupakan pilihan terapi pada stenosis arteri renal anak. Metode ini
biasanya dilakukan dari pendekatan femoral, dengan sheath vaskular panjang atau kateter
guiding. Perlengkapan angioplasti dirancang untuk digunakan pada arteri koroner dewasa

15
ideal untuk arteri renal anak dan, khususnya, pada arteri segmental. Heparin intra-arteri (100
U/kg) diberikan sebelum PTRA.
Diameter dari balon PTRA dipilih sama atau sedikit lebih kecil daripada arteri
proksimal terhadap stenosis. Pentingnya diameter pembuluh darah distal terhadap stenosis
sulit untuk diinterpretasi karena dilatasi paska-stenotik umum terjadi. Bila inflasi tidak
menghilangkan waist dari balon angioplasti standar, suatu balon bertekanan tinggi atau balon
cutting dapat digunakan. Tidak jarang untuk angiogram paska angioplasti untuk
menunjukkan recoil elastik. Temuan ini berhubungan dengan luaran klinis yang baik, dan
insersi stent tidak diperlukan bila diameter residual stenosis kurang dari sekitar 50%.
Rekanalisasi dari arteri renal teroklusi sempurna juga dimungkinkan.
Komplikasi prosedural dari PTRA tidak jarang. Spasme arteri biasanya hilang sendiri.
Diseksi terjadi sering namun biasanya tidak menganggu hemodinamis. Diseksi yang
menghambat aliran dapat ditangani dengan reinflasi dari balon angioplasti untuk menekan
kembali flap intima. Bila prosedur ini gagal, insersi stent diperlukan. Ruptur arteri dengan
ekstravasasi retroperitoneal dari kontrast jarang terjadi dan biasanya dapa ditangani sempurna
dengan reinflasi ulang dari balon angioplasti. Bila prosedur ini gagal, stent berlapis dapat
digunakan pada segmen yang ruptur. Ruptur atau oklusi arteri renal yang tidak dapat
disembuhkan jarang, namun tetap direkomendasikan adanya ahli bedah vaskular terlatih saat
melakukan PTRA.
Pengawasan ketat paskaoperasi diperlukan paska PTRA. Detak jantung dan tekanan
darah harus sering dicatat setidaknya selama 12 jam. Fluktuasi tekanan darah dapat terjadi.
Anak dengan penyakit serebrovaskular berisiko selama periode paskaoperasi.
Dokter biasanya mencoba meminimalisir risiko komplikasi trombotik dengan
memberikan low-molecular-weight heparing atau intravenous unfractionated heparin (pada
10 Ukg tiap jam selama 12-24 jam). Aspirin (1 mg/kg setiap hari) biasanya diresepkan
selama 3-6 bulan.
Stent Arteri Renal
Stent arteri renal pada anak kontroversial karena luaran jangka panjang dari alat ini
tidak diketahui; indikasi untuk penggunaannya masih terbatas. Namun, stent merupakan
pilihan menarik bila recoil cepat terhadap konfigurasi angiografi original terjadi setelah
PTRA atau rekanalisasi. Stent juga dapat digunakan pada anak dengan stenosis arter renal
rekuren dini setelah PTRA yang berhasil. Stent dengan balon yang dapat mengembang
biasanya lebih dipilih pada anak kecil karena dapat di post-dilated seiring pertumbuhan anak,
namun stent self-expanding juga telah digunakan.
16
Banyak pasien mengalami restenosis in-stent dini yang dapat diakibatkan hiperplasia
intima atau thrombosis. Restenosis in-stent dapat ditangani dengan angioplasti ulang.
Kerugian jangka panjang lainnya adalah stent dapat membatasi pembedahan kedepannya.
Beberapa peneliti juga menyatakan bahwa stent dapat menghambat pertumbuhan arteri,
namun pendapat ini masih diperdebatkan. Jarang, stent dapat fraktur atau bermigrasi. Namun,
pada praktiknya, restenosis in-stent adalah efek samping utama dari stent dan strategi baru
harus dipikirkan untuk menangani komplikasi ini.
Pada suatu penelitian menjelaskan bahwa tindakan balloon angioplasty dan stent
angioplasty meningkatkan 40% diameter lumen minimal. Paska tindakan, pasien dengan stent
angioplasty menunjukkan penurunan tekanan darah sistolik yang signifikan di bawah 90th
persentil dibandingkan dengan pasien yang menjalani balloon angioplasty. Restenosis
ditemukan pada 2 orang pasien yang menjalani balloon angioplasty. Komponen yang penting
dalam tata laksana stenosis arteri renalis yaitu perbaikan klinis dalam hipertensi, yang dalam
hal ini dicapai oleh tindakan stent angioplasty.24

Prosedur Pembedahan
Indikasi primer untuk intervensi bedah adalah hipertensi refrakter yang mana terapi
medis dan angioplasti telah gagal. Terapi bedah dapat berupa revaskularisasi atau nefrektomi.
Penilaian Praoperatif
Penilaian praoperatif dimulai dengan pencitraan keseluruhan aorta dan sistem iliaka.
Anak dengan hipertensi renovaskular sering mengalami kelainan penyerta dari aorta, aksis
seliak, dan arteri mesenterika superior dan inferior. Dengan adanya stenosis mid-aorta berat
atau bahkan oklusi, potensis terjadinya kolateral peri-aorta besar pada anak, dan rekonstruksi
aorta harus dibatasi pada mereka yang dengan klaudikasio yang melumpuhkan atau gangguan
perkembangan tungkai bagian bawah.
Revaskularisasi
Ketika prosedur revaskularisasi yang tepat telah dipilih, harus dipertimbangkan untuk
memberikan pilihan saluran vaskular. Saluran ideal sebaiknya autogen degna potensi untuk
tumbuh dengan sang anak, namun sayangnya, tidak ada graft yang cocok secara universal
yang tersedia. Penggunaan vena saphenous dikontraindikasikan pada anak karena 20% risiko
lebih besar degenerasi aneurisma dalam hitungan tahun. Arteri iliaka interna merupakan
saluran yang berguna dan, pada anak dengan aksis seliak yang tidak terganggu oleh penyakit,
arteri splenikus di sisi kiri dan arteri hepatika dan gastroduodenal di sisi kanan dapat
digunakan untuk revaskularisasi renal. Pada sebagian besar anak, tidak ada pilihan yang ada
17
untuk graft prostetik. Pada kasus ini, pendekatan yang dianjurkan yaitu untuk
mempertahankan aliran darah renal dengan cara endovaskular dengan tujuan untuk
menghambat diperlukannya revaskularisasi pembedahan hingga anak mencapai pubertas.
Bila stratego ini dimungkinkan, prosedur revaskularaisasi definitif dengan bahan prostetik
saat remaja merupakan luaran yang diharapkan.
Bypass ekstraanatomi dari arteri hepatika pada sisi kanan dan arteri splenikus pada
sisi kiri merupakah pilihan menarik, seperti yang didiskusikan dalam paragraf sebelumnya.
Pada hingga 40% pasien, arteri gastroduodenal memiliki kaliber yang cukup untuk
memungkinkan anastomosis end-to-end menuju arteri renal kanan. Pada sisi kiri, arteri
splenikus dapat dibagi proksimal terhadap origo dari arteri gastroepiploik kiri dan
dianastomosis end-to-end sebagai anastomosis splenorenal. Limfa tidak perlu diangkat dan
akan bertahan dengan pembuluh darah gaster pendek, pembuluh darah frenikus, dan perfusi
retrograde melalui arteri gastroepiploic kiri.
Koreksi pembedahan vascular dilakukan pada usia 4 tahun. Tujuan dari terapi
medikamentosa yaitu untuk menunda pembedahan hingga pasien setidaknya berusia 4 tahun
sehingga mencapai pertumbuhan pembuluh darah yang cukup. Pembedahan pada usia infant
juga merupakan tindakan dengan risiko tinggi, melihat bahwa ukuran pembuluh darah renal
yang masih kecil. Penelitian menyebutkan bahwa repair pembuluh darah arteri renalis pada
infant berkaitan dengan infark renal.

18
BAB III
KESIMPULAN

Stenosis arteri renalis merupakan penyakit yang jarang ditemukan, tetapi menjadi
penyebab utama hipertensi pada anak dan dapat dilakukan tatalaksana kuratif. Stenosis arteri
renalis menyebabkan 5-10% hipertensi pada anak. Penyebab dan tatalaksana hipertensi
renovaskular pada anak tentunya berbeda dengan dewasa, di mana pada dewasa sering kali
disebabkan oleh proses atherosclerosis. Pada anak, stenosis arteri renalis pada umumnya
disebabkan oleh penyakit fibromuscular.2,3
Pada umumnya anak dengan stenosis arteri renalis tidak menunjukan gejala atau
asimptomatik, dan hipertensi ditemukan hanya bila dengan pemeriksaan fisik. Penelitian dari
Foster menunjukkan bahwa 4 dari 7 anak dengan stenosis arteri renalis dating dengan
hipertensi ensefalopati. Gejala lainnya meliputi nyeri kepala bagian frontal, mual, muntah,
penglihatan kabur, dan epistaksis.20
Diagnosis stenosis arteri renalis dapat dilakukan dengan beberapa pemeriksaan,
seperti duplex ultrasonografi, urinalisis, intravenous pyelography, arteriografi dan lainnya.
Apabila diagnosis stenosis arteri renalis telah ditegakkan, keputusan tata laksana baik
medikamentosa maupun bedah harus dipertimbangkan. Pada umumnya, stenosis arteri renalis
pada anak dapat dikoreksi dengan pembedahan, tetapi kondisi vaskuler anak yang imatur
menjadi bahan pertimbangan sendiri untuk dilakukan pembedahan. Penelitian menyebutkan
bahwa bila hipertensi dapat dikontrol dan pertumbuhan anak dapat memberikan kemudahan
dalam tindakan revaskularisasi dengan angka kesuksesan yang tinggi maka pasien sebaiknya
dikelola secara medikamentosa dahulu dengan menunggu pertumbuhan atau maturasi
pembuluh darah ginjal.20,23,34

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Ke L, Brock KE, Cant RV. The relationship between obesity and blood pressure
differs by ethnicity in Sydney School Children. Am J Hypertens. 2009;22:52-58.
2. Safian RD, Textor SC (2001) Renal-artery stenosis. N Engl J Med 344:431–442
3. Novick, A. C., Benjamin, S., & Straffon, R. A. (1978). Stenosing Renal Artery
Disease in Children: Clinicopathologic Correlation and Results of Surgical Treatment.
Nephron, 22(1-3), 182–195
4. Leslie SW, Shenot P. Anatomy Abdomen, Kidney, Renal Arteries. StatPearls
Publishing. 2018.
5. Tardo DT, Briggs C, Ahern G, Pitman A, Sinha S. Anatomical variations of the renal
arterial vasculature: An Australian perspective. J Med Imaging Radiat Oncol. 2017
Oct;61(5):643-649
6. Shetty P, Nayak SB. A Detailed Study of Multiple Vascular Variations in the Upper
Part of Abdomen. J Cardiovasc Echogr. 2017 Jan-Mar;27(1):7-9
7. Jamkar AA, Khan B, Joshi DS. Anatomical study of renal and accessory renal
arteries. Saudi J Kidney Dis Transpl. 2017 Mar-Apr;28(2):292-297.
8.Sa an RD, Textor SC. Renal-artery stenosis. N Engl J Med. 2001;344(6): 431–442.
9.Burket MW, Cooper CJ, Kennedy DJ, et al. Renal artery angioplasty and stent placement:
predictors of a favorable outcome. Am Heart J. 2000;139:64–71.
10. Dieter R, Schmidt W, Pacanowski J, Jaff MR. Renovascular hypertension. Expert Rev
Cardiovasc Ther. 2005;3(3):413–422.
11. Slovut DP, Olin JW. Fibromuscular dysplasia. N Engl J Med. 2004;350(18):1862–
1871.
12. Gottam N, Nanjundappa A, Dieter R. Renal artery stenosis: pathophysiology and
treatment. Expert Rev Cardiovasc Ther. 2009;7(11): 1413–1420
13. Novick AC, Benjamin S, Staffron RA. Stenosis Renal Artery Disease in Children:
Clinicopathologic Correlation and Results of Surgical Treatment. Nephron.
1978;22:182-195
14. Textor S. Atherosclerotic Renal artery stenosis: overtreated but underrated. J. Am.
Soc. Nephrol. 19, 656–659 (2008).
15. Textor S. Current approaches to renovascular hypertension. Med. Clin. North Am.
93(3), 717–732 (2009).

20
16. Reintgen D, Wolfe WG, Osofsky S, Seigler HF. Renal artery stenosis in children.
Journal of Pediatric Surgery. 1981;16(1):26-31
17. Bendel-Stenzel M, Najarian JS, Sinaiko AR. Renal artery stenosis in infant: long
term medical treatment before surgery. Pediatr Nephrol. 1996;10:147-151
18. Diamond JR. Flash pulmonary edema and the diagnostic suspicion of occult renal
artery stenosis. Am. J. Kidney Dis. 21, 328–330 (1993).
19. Textor SC. Renal failure related to ACE inhibitors. Semin. Nephrol. 17, 67–76 (1997)
20. Tullus K, Brenna E, Hamilton G, Lord R, McLaren CA, Marks SD. Renovascular
hypertension in children. Lancet. 2008;371.
21. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood
Pressure in Children and Adolescents. The Fourth report on the diagnosis,
evaluation, and treatment of high blood pressure in children and adolescents.
Pediatrics 2004;114:555-76.
22. Feld LG, Corey H. Hypertension in childhood. Pediatr Rev. 2007;28:283-98.
23. Gottam N, Nanjundappa A, Dieter RS. Renal artery stenosis: Pathophysiology and
treatment. Expert Rev. Cardiovasc. Ther.2009;7(11):1413–1420
24. Colyer JH, Ratnayaka K, Slack MC, Kanter JP. Renal artery stenosis in children:
therapeutic percutaneous balloon and stent angioplasty. Pediatr Nephrol. 2013.

21

Anda mungkin juga menyukai