Anda di halaman 1dari 61

Case Report Session

NEONATAL HIPERBILIRUBINEMIA + SEPSIS AWITAN LANJUT


+ ENTEROKOLITIS NEKROTIKANS

Presentan:
Annissa Nabella Fitriany
12100115143
Preseptor:
dr. Wiwiek Setiowulan, SpA
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSAU dr. M. SALAMUN BANDUNG

I. Identitas Pasien
Nama
: By. F / By. Ny. N
Tanggal lahir/Usia : 17 Juli 2016 / 1 bulan 9 hari
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Anak ke:1
Alamat
: Jl. Sukagalih Gg.H.Yasin V Bandung
Tanggal masuk RS : 15 Agustus 2016

I. Identitas Orangtua Pasien


Nama Ayah : Tn. B
Usia
: 33 tahun
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Guru
Alamat
: Jl. Sukagalih
Gg.H.Yasin V Bandung

Nama Ibu : Ny. N


Usia
: 26 tahun
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Guru
Alamat
: Jl. Sukagalih
Gg.H.Yasin V Bandung

II. Anamnesis

KELUHAN UTAMA: KULIT KUNING

Pasien datang ke RSAU dr. M. Salamun Bandung untuk


kontrol ke 2 pasca rawat karena kulit kuning dengan
keluhan sekarang yaitu kulit masih terlihat kuning. Keluhan
kulit kuning sudah terlihat sejak 1 hari setelah pasien lahir.
Pada awalnya hanya terlihat di mata dan wajah saja
namun sekarang keluhan kuning telah meluas hingga ke
bagian dada dan lengan atas pasien.

Keluhan disertai dengan keluhan lain yaitu perut kembung dan BAB
cair, berlendir dan sering dengan jumlah lebih dari 3 kali perhari
sejak 14 hari SMRS dengan banyaknya BAB cair sekitar 1/8 gelas
dan berwarna kekuningan. Keluhan BAB terdapat darah disangkal.
Keluhan juga disertai dengan muntah setiap kali diberi ASI oleh Ibu.
Keluhan juga disertai dengan gerakan pasien terlihat lemah dan
menjadi malas untuk menyusu serta juga disertai dengan
penurunan berat badan sebelum dan setelah sakit. Keluhan tangan
dan kaki bergetar atau mudah terkejut bila terdapat suara keras
disangkal. Keluhan tampak adanya bercak kemerahan pada kulit
ataupun kulit yang pucat menyerupai lilin disangkal. Keluhan kuning
pasien sudah pernah diobati di Rumah Sakit dan mendapat
perawatan selama 7 hari dan mendapat terapi sinar dengan hasil
Bilirubin 21 mg/dL namun setelah menjalani rawat inap keluhan
masih belum hilang hingga sekarang. Sedangkan untuk keluhan BAB
cair dan sering pasien juga telah melakukan pengobatan ke dokter
dan diberikan pengobatan yang berupa L-Bio namun keluhan tidak
kunjung sembuh.

Keluhan pasien tidak diserta dengan demam, batuk,


pilek, pasien menjadi gelisah atau rewel ataupun BAB
dengan feses pucat seperti dempul, Ibu pasien
menyangkal terdapat kejang, penurunan kesadaran,
sesak atau gangguan bernapas.

Ibu pasien mengaku memiliki golongan darah A dengan rhesus yang


tidak diketahui, dan ibu pasien tidak mengetahui golongan darah pasien
maupun ayah pasien. Selama dirumah sepulang dari rumah sakit setelah
melahirkan ibu pasien melakukan perawatan tali pusat dengan cara
membersihkan. Ibu pasien mengaku pasien muntah ketika pertama kali
mulai diberikan ASI namun pemberian ASI terus menerus diberikan oleh
Ibu pasien karena takut pasien akan kehausan. Riwayat penyakit kuning
dikeluarga yaitu ibu pasien pernah mengalami penyakit kuning saat di
bangku sekolah dasar namun tidak pernah muncul kembali hingga saat
ini. Riwayat memberi susu formula ataupun makanan dan minuman
selain ASI sebelum keluhan perut kembung dan BAB cair disangkal.
Riwayat meminum obat-obatan sebelum keluhan muncul juga disangkal.

Riwayat:
- Pasien lahir sebagai bayi kurang bulan dari seorang ibu G1P0A0 pada usia
kehamilan 34-35 minggu. Bayi lahir tunggal, letak kepala, lahir dengan cara
partus spontan ditolong oleh dokter kebidanan. Berat bayi lahir 2600 gr dan
panjang 47 cm. Tidak terdapat riwayat persalinan lama, ketuban dipecahkan
oleh penolong persalinan (amniotomy) dan warna ketuban jernih.

Pada saat hamil ibu pasien rutin setiap bulan memeriksakan


kandungannya ke dokter kandungan sebanyak 4 kali. Selama hamil ibu sehat
dan tidak meminum jamu-jamuan ataupun obat-obatan tertentu, ibu pasien
hanya meminum vitamin yang diberikan oleh dokter ahli kebidanan. Pada
saat hamil ibu pasien tidak pernah mengalami demam ataupun penyakit
diabetes mellitus. Keluhan nyeri saat berkemih pada waktu menjelang
persalinan disangkal oleh Ibu, riwayat keputihan juga disangkal oleh pasien.
Ibu pasien tidak memelihara binatang peliharaan di rumahnya dan di sekitar
rumah pasien tidak terdapat tempat hewan.

Riwayat Imunisasi
Pasien belum pernah diberikan imunisasi sejak lahir

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan:


Tidak dinilai

Riwayat Nutrisi:
Pasien hanya diberikan ASI sebagai nutrisi sehari-hari

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: Tampak sakit sedang
Kesadaran: Compos mentis
Tanda Vital:
Nadi: 130x/m RR: 40x/m S: 36,3C
Kepala:
Bentuk : Normocephal, tidak ada kelainan
Rambut : Hitam halus
Mata: simetris, cantus mata sejajar dengan pina auricular, pupil bulat isokor

Hidung :
Telinga :
Mulut :
(+)
Leher

Konjungtiva anemis -/- Sklera ikterik +/+


Simetris, deviasi septum (-), PCH -/- , sekret -/Simetris, pina elastis, Sekret -/Mukosa lembab, labioschizis(-), palatoschizis(-), lingua frenulum ikterik
: pembesaran KGB (-)

Thorax:
Cor :Tidak tampak iktus kordis, teraba tidak kuat angkat, bunyi jantung
murmur (+) ICS II
Pulmo : Pergerakan simetris, retraksi Intercostal (-), VBS kanan=kiri,
wheezing -/-, ronchi -/ Abdomen: Cembung, BU (+), retraksi epigastric (-) , LP=34 cm
Anogenital: tidak ada kelainan
Ekstremitas: Bentuk normal, simetris, fraktur (-), deformitas(-), sindaktil (-),
polidaktil (-), Akral hangat, Akrosianosis -/-, CRT < 3 detik, tonus otot baik
Kulit: Ikterus kramer IV
Pemeriksaan Neurologis
Reflex Primitive : grasp reflex (+/+)
Reflex fisiologis : patella (+/+)
Reflex: babinski (+/+)
Cranial Nerve: CN III, IV, VI: normal

Status gizi:
Berat Badan : 3 kg
Panjang Badan : 50 cm
Lingkar Kepala : 35 cm
BB/U (WHO) : 0 s/d -2 SD Normal
TB/U (WHO) : 0 s/d -2 SD Normal
BB/TB (WHO)

: 0 s/d -1 SD Normal

LK/U (WHO) : -1 s/d -2 SD Normal

IV. Diagnosis Banding


Neonatal hiperbilirubinemia ec Breast milk jaundice dengan
Sepsis Neonatorum dan Enterokolitis Nekrotikans
Neonatal hiperbilirubinemia ec Hiptiroidism dengan Sepsis
Neonatorum dan Enterokolitis Nekrotikans
Neonatal hiperbilirubinemia ec Inkompatibilitas ABO dengan
Sepsis Neonatorum dan Enterokolitis Nekrotikans
Neonatal hiperbilirubinemia ec Inkompatibilitas Rh dengan
Sepsis Neonatorum dan Enterokolitis Nekrotikans
Neonatal hiperbilirubinemia ec Defisiensi G6PD dengan Sepsis
Neonatorum dan Enterokolitis Nekrotikans

V. Usulan Pemeriksaan
Darah rutin
Bilirubin serum
Pemeriksaan golongan darah dan Rh
Coombs test
Pemeriksaan TSHs
Pemeriksaan G6PD
- Foto BNO

VII. Follow Up pasien


16/8/2016
S : Ikterus berkurang, BAB (+)
O: N: 132x/m RR: 40x/m S: 36C LP: 34 cm

Tanda vital dalam batas normal

Distensi abdomen, BU meningkat, dam contour (+)


A: Observasi metenismus ec susp. aerofagi
P: Diet ASI 8 x 30-40 cc/spen

Periksa TSHs

Pukul 13.00
S : Muntah 2 kali ketika diberi susu
O: LP 34,5
A: Alergi, DD/ NEC
P: Pasang NGT dekompresi, sementara puasa

Infus Ka-En MG3 18 gtt/m (micro), Ampisilin 3x150 mg IV, Gentamisin 1x14 mg IV

Cek BNO, darah samar feses

VII. Follow Up pasien


17/8/2016
S : Aktif, retensi jernih
O: N: 140x/m RR: 39x/m S: 36C LP: 34,5 cm

Tanda vital dalam batas normal, BU meningkat, LP tetap, ikterik berkurang


A: Susp. NEC + Sepsis awitan lanjut + NH
P: Cek BITD

Metronidazol 3x30 mg IV\

Aminosteril 100 ml, Ka-En MG3 400 ml

Terapi lain lanjut

Bila BT 13 fototerapi stop

18/8/2016
S : Retensi 3 cc jernih
O: N: 139x/m RR: 42x/m S: 36,2C LP: 33 cm

Tanda vital dlam batas normal, ikterik (+), BU (+) Normal


A: Susp. Sepsis dalam perbaikan
P: Ampisilin stop, ganti dengan cefotaxime 3 x15 mg IV, terapi lain lanjut

19/8/2016
S : Aktif, retensi 0
O: N: 128x/m RR: 35x/m S: 36C LP: 32 cm

Tanda vital dalam batas normal, BU (+) normal, LP mengecil


A: Perbaikan
P: puasa hari ke 3, fototerapi stop, terapi lain lanjut

20/8/2016
S : Aktif, ikterik minimal
O: N: 134x/m RR: 38x/m S: 36,6C LP: 31 cm

Tanda vital dalam batas normal, LP mengecil, BU (+) normal


A: Perbaikan
P: Puasa hari ke 4, besok tes feeding 1 cc tiap 6 jam (cek retensi)

21/8/2016
S : Aktif, ikterik minimal
O: N: 134x/m RR: 40x/m S: 36C LP: 28 cm

Tanda vital dalam batas normal, BU (+) normal, LP mengecil


A: Perbaikan
P: ASI 1 cc tiap 6 jam (cek retensi)

Besok 1 cc tiap 3 jam

Terapi lain lanjut

22/8/2016
S : Retensi 6 cc
O: N: 134x/m RR: 42 x/m S: 36,3C LP: 28 cm

Tanda vital dlam batas normal, LP stabil, ikterik (+)


A: Susp. NEC + Sepsis awitan lanjut + NH
P: Puasa 1 jam setelahnya minum

ASI 1 cc tiap 3 jam

Terapi lain lanjut

Cek BT, D, DL

Ranitidin 2x3 mg IV

23/8/2016
S : Belum BAB 1 minggu
O: N: 134x/m RR: 38x/m S: 36,2C LP: 28 cm

Tanda vital dalam batas normal, ikterik berkurang

Murmur sistolik grade II/6 pada ICS II


A: NH + NEC

Observasi murmur susp. PS DD/ PDA


P: ASI 5 x 2,5 cc (cek retensi)

Cefotaksim stop diganti menjadi Ceftazidin 3 x 150 mg iv

Gliserin 1 cc perektal

Fototerapi

VII. Follow Up pasien


24/8/2016
S : Keadaan umum baik, retensi 0
O: N: 127x/m RR: 36x/m S: 36,5C LP: 29 cm

Aktif, ikterik berkurang, BU (+) normal


A: Perbaikan
P: Fototerapi stop

ASI 4 x 75 cc (cek retensi)

Terapi lain lanjut

25/8/2016
S : Ikterik (+)
O: N: 124x/m RR: 38x/m S: 36,2C LP: 28 cm

Tanda vital dalam batas normal, BU (+) normal, murmur (+)


A: NH ec susp. Defisiensi G6PD
P: Terapi lain lanjut

Cek G6PD

ASI 4 x 15 cc ps (cek retensi)

VIII. Pemeriksaan Penunjang


(15/08/2016)
Kimia Klinik
Bilirubin Total 17,40 mg/dL
Bilirubin Direk 1,32 mg/dL

Hematologi rutin
Hemoglobin 12,5
Jumlah leukosit7500
Hematocrit 37
Jumlah trombosit 220.000

Morfologi Darah Tepi


Hemoglobin: 12,5 gr% Jumlah leukosit: 7500 Jumlah trombosit: 220.000
PCV: 37MCV:94,7 MCHC: 33,3 RDW: 15,6
Eritrosit : normokrom, normositik
Leukosit : jumlah cukup, tidak ditemukan kelainan morfologi, tidak
ditemukan sel muda
(blas)
Trombosit : jumlah cukup, tidak ditemukan kelainan morfologi
Kesan: Gambaran apus darah tepi tidak ditemukan adanya kelainan

(16/08/2016)
Foto BNO
Udara dalam usus halus bertambah / distensi, tampak garis lusen tipis
pada dinding kolon ascenden.
Kesan: Menyokong NEC

(17/08/2016)
Kimia Klinik
Bilirubin total 14,3 mg/dL
Bilirubin Direk 0,80 mg/dL

(18/08/2016)
Endokrinologi
TSH Neonatus < 1,95 IU/mL

(22/8/2016)
Hematologi
Hemoglobin 11,9
Jumlah leukosit 5700
Hematokrit 36
Trombosit 339.000
Hitung jenis leukosit:
Basofil 0
Eosinofil 1
Batang 1
Segmen 20
Limfosit 67
Monosit 11

Kimia klinik
Bilirubin total 14,0
Bilirubin direk 0,93

(23/8/2016)
Feses Rutin
Makroskopik
Warna : Hitam
Bau : Khas/ normal
Konsistensi : Lunak berbentuk
Lendir : Positif
Darah : Negatif
Parasit : Negatif

Mikroskopik
Leukosit : 3-5 / LPB
Eritrosit : 1-2 / LPB
Telur cacing : tidak ditemukan
Amoeba : tidak ditemukan
Sel lemak : positif
Sel sayur : negative
Sel otot : negative
Lain-lain : negative

26/8/2016
G6PD

9,4 (n: 4,6 -13,5)

IX. Diagnosis Kerja


Diagnosis Kerja untuk etiologi neonatal hyperbilirubinemia belum
dapat ditegakkan dan masih membutuhkan hasil pemeriksaan lebih
lanjut, tetapi dapat di simpulkan 2 diagnosis banding yang mungkin
pada pasien ini:
- Neonatal hiperbilirubinemia ec susp. Breast milk jaundice dengan
Sepsis Neonatorum dan Enterokolitis Nekrotikans
- Neonatal hiperbilirubinemia ec susp. Inkompatibilitas Rh dengan
Sepsis Neonatorum dan Enterokolitis Nekrotikans
Prognosis
Quo ad vitam: Dubia ad malam
Quo ad functionam: Dubia ad malam
Quo ad sanationam: Dubia ad malam

PEMBAHASAN
Berdasarkan gejala yang terdapat pada pasien
dapat disimpulkan beberapa diagnose yang
sesuai dengan gejala yang muncul diantaranya
adanya neonatal hyperbilirubinemia, sepsis
neonatus awitan lanjutan dan enterokolitis
nekrotikans.
Berdasarkan teori yang ada,
Neonatal hyperbilirubinemia: keadaan klinis pada
bayi yang ditandai oleh pewarnaan kuning pada

Ikterus fisiologis: terjadi pada bayi baru lahir dengan


kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2
mg/dL pada bayi cukup bulan dan akan mencapai
puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan
kemudian akan turun cepat selama 2 3 hari diikuti
dengan penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama
1-2 minggu.
Ikterus patologis: dapat terjadi dalam 24 jam pertama
kehidupan dengan adanya peningkatan atau akumulasi
bilirubin serum >5 mg/hari, bilirubin total serum >17
mg/dL pada bayi yang mendapat ASI dan kadar bilirubin
direk >2 mg/dL.
Ikterus patologis akan menetap sesudah 8 hari pada bayi

Pada pasien didapatkan pewarnaan kuning pada kulit


yang telah terlihat sejak 1 hari setelah lahir dan menetap
hingga saat ini dimana pasien telah berusia 1 bulan.
Berdasarkan gejala yang ada pasien dapat dikategorikan
dalam klasifikasi ikterus neonatorum yang bersifat
patologis. Pada pemeriksaan laboratorium pertama
ketika pasien dirawat, didapatkan peningkatan pada
kadar bilirubin total yaitu sebesar 17,40 mg/dL dan kadar
bilirubin direk sebesar 1,32 mg/dL.

Faktor risiko dan Predisposisi:


- Bayi: sering terjadi pada jenis kelamin laki-laki, prematuritas,
asidosis, asfiksia, hypoalbuminemia, hipoglikemia dan pengaruh
obat-obatan yang menghambat kerja glukoronil transferase
seperti novobiosin, penyakit anemia hemolitik, ekstravasasi darah
(misalnya hematoma), polisitemia, sirkulasi enterohepatic
berlebihan, uptake bilirubin oleh hepar menurun, adanya efek
konjugasi, adanya gangguan transportasi bilirubin direk yang
keluar dari hepatosit serta adanya obstruksi aliran empedu.
- Maternal: Infeksi TORCH saat kehamilan, memiliki penyakit
diabetes mellitus gestasional ataupun meminum obat-obatan
seprti diazepam atau oksitosin selama menyusui.

Pada pasien didapatkan salah satu faktor risiko yang berhubungan dengan neonatal
hyperbilirubinemia yaitu
1. jenis kelaminn laki-laki akan lebih meningkatkan risiko terjadinya neonatal
hyperbilirubinemia dan,
2. pasien merupakan bayi dengan kelahiran premature pada usia kehamilan 34-35
minggu.
Pasien dapat diklasifikasikan dalam neonatal hyperbilirubinemia dengan faktor risiko
berat dimana secara teori didalamnya mencakup:
-. ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan
-. usia kehamilan 35-36 minggu
-. inkompatibilitas golongan darah dengan tes antiglobulin direk yang positif atau
penyakit hemolitik lainnya
-. riwayat keluarga mendapat fototerapi dan adanya sefal hematoma atau memar yang
bermakna.
Pada pasien belum diketahui apakah terdapat inkompatibilitas rhesus golongan darah
yang terjadi, Ibu pasien mengaku memilik golongan darah A dengan rhesus yang tidak
diketahui dan mengaku tidak mengetahui golongan darah pasien dan ayah pasien.

Inkompatibilitas ABO: ketidaksesuaian golongan darah antara Ibu


dan bayi yang dapat reaksi hemolysis, dimana berdasarkan
teori pada Ibu dengan golongan darah A atau B antibodi alami
yang dimilikinya berupa antibodi kelas IgM yang tidak dapat
menembus plasenta. Sedangkan pada ibu dengan golongan
darah O antibodi alaminya didominasi oleh antibodi kelas IgG
yang dapat menembus plasenta. Antibodi anti-A dan anti-B pada
ibu dengan golongan darah O yang dapat melewati plasenta akan
mensensitisasi sel darah merah dengan antigen A, B, atau AB
pada janin. Antibodi tersebut akan menyelimuti sel darah merah
dan akan dilisiskan oleh enzim lysosomal yang diproduksi
makrofag dan natural killer lymphocytes.
Pada pasien diketahui bahwa golongan darah Ibu adalah A,
sehingga diagnosis penyebab neonatal hyperbilirubinemia ec
inkompatibilitas ABO dapat disingkirkan

Sedangkan Inkompatibilitas Rh merupakan reaksi


hemolysis yang terjadi karena ketidakcockan Rhesus ibu
dan bayi, dimana Ibu dengan Rh (-) dan memiliki Rh (+)
dapat menyebabkan terjadinya sensitisasi Rh dan
pembentukan antibody yang berasal dari ibu yang dapat
melisiskan sel darah merah bayi.
Untuk itu disarankan untuk dilakukan pemeriksaan
rhesus golongan darah pada pasien dan Ibu pasien dan
coombs test untuk mengetahui apakah terdapat faktor
risiko untuk terjadinya inkompatibilitas Rh.

Selain itu, Ibu pasien megaku tidak ada riwayat


keluarga yang mendapatkan fototerapi namun Ibu
mengaku pernah mengalami penyakit kuning saat duduk
dibangku sekolah dasar namun tidak pernah muncul
kembali hingga saat ini. Ibu pasien juga mengaku tidak
memelihara binatang peliharaan di rumahnya dan di
sekitar rumah pasien tidak terdapat tempat hewan untuk
menyingkirkan riwayat penyakit seperti hepatitis pada
keluarga, riwayat kuning pada keluarga sebelumnya atau
infeksi TORCH yang mungkin terjadi pada saat kehamilan.

Diagnosis tampilan ikterus dapat ditentukan:


- memeriksa bayi dalam ruangan dengan pencahayaan yang baik
- menekan kulit dengan tekanan ringan untuk melihat warna kulit
dan jaringan subkutan, selain itu juga harus diperiksa apakah
terdapat kulit pucat, ptekia, ekstravasasi darah, memar kulit yang
berlebihan, hepatosplenomegaly, kehilangan berat badan dan
bukti dehidrasi.
Pada pasien ditemukan adanya kulit yang berwrna kuning
dengan bagian yang terlihat kuning mencakup mata, wajah, dada
dan lengan atas. Berdasarkan sebaran kuning yang dialami oleh
pasien maka dapat diklasifikasikan pasien mengalami ikterus
neonatorum dengan skala krammer IV.

Setelah dilakukan pemeriksaan bilirubin serum, utntuk mencari etiologi penyakit maka
pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya yaitu pemeriksaan
bilirubin total dengan hasil 14,3 mg/dL dan bilirubin direk 0,80 mg/dL, karena bilirubin direk < 2
mg/dL maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan hematocrit dan didapatkan hasil
36%. Interpretasi hematocrit dalam batas normal dan dilanjutkan dengan pemeriksaan morfologi
darah tepi dan didapatkan hasil kesan gambaran apus darah tepi tidak ditemukan adanya
kelainan.
Selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan hormone tiroid untuk melihat apakah terdapat
kecenderungan hipotiroid pada pasien, pada pemeriksaan TSH Neonatus masih dalam batas
normal dengan kadari < 1,95 IU/mL, untuk itu diagnosis banding suspek hipotiroidism dapat
disingkirkan.

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan etiologi


terjadinya keadaan neonatal hyperbilirubinemia pada pasien
belum ditemukan, pemeriksaan penunujang lain yang telah
disarankan untuk mencari etiologi penyebab adalah
pemeriksaan enzim G6PD, jika hasil pemeriksaan dalam batas
normal, maka kecenderungan etiologi lain selain terjadinya
inkompatibilitas Rh adalah terjadinya keadaan breast milk
jaundice.
Breastmilk jaundice (BMJ) : kadar bilirubin indirek yang masih
meningkat setelah 4-7 hari pertama, dapat berlangsung 3-12
minggu tanpa ditemukan penyebab hiperbilirubinemia lainnya.
Penyebab BMJ berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang
ibu tertentu dan biasanya akan timbul pada setiap bayi yang
disusukannya, bergantung pada kemampuan bayi tersebut
dalam mengkonjugasi bilirubin indirek dimana bayi kurang bulan
akan mengalami manifestasi klinis ikterusyang lebih berat.

Breastmilk jaundice diperkirakan timbul akibat:


- Terhambatnya uridine diphosphoglucoronic acid
glucoronyl transferase (UDPGA) dalam ASI ibu-ibu
tertentu
- Fungsi glukoronid transferase di hati oleh peningkatan
konsentrasi asam lemak bebas yang tidak di esterifikasi
dapat juga menimbulkan BMJ
- Peningkatan beta-glukoronidase dalam ASI dan juga
pada usus bayi yang mendapat ASI
- Terlambatnya pembentukan flora usus pada bayi yang
mendapat ASI

Jika penyebab berasal dari breastmilk jaundice,


American Academy of Pediatric:
Tidak menganjurkan penghentian ASI dan telah
merekomendasikan pemberian ASI terus menerus (minimal 8-10
kali dalam 24 jam).
Gartner dan Auerbach:
Dilakukan penghentian ASI sementara memberi kesempatan
hati mengkonjungasi bilirubin indirek yang berlebihan. Apabila
kadar bilirubin tidak turun maka penghentian ASI dilanjutkan
sampai 18-24 jam dan dilakukan pengukuran kadar bilirubin setiap
6 jam. Apabila kadar bilirubin tetap meningkat setelah
penghentian ASI selama 24 jam, maka dapat disimpulkan
penyebab bukan karena ASI

Kesimpulan yang dirangkum oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia:


(1)pemantauan jumlah ASI yang diberikan apakah sudah mencukupi
(2)(pemberian ASI sejak lahir dan secara teratur minimal 8 kali sehari
(3)Tidak diperlukan pemberian air putih, air gula dan formula pengganti
(4)Pemantauan kenaikan berat badan serta frekuensi BAB dan BAK
(5)Jika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL penambahan volume cairan
dan stimulasi produksi ASI dengan melakukan pemerasan payudara
(6)Jika kadar bilirubin mencapai kadar >12 mg/dL terapi sinar jika terapi
(7)Pemeriksaan komponen ASI dilakukan jika hiperbilirubinemia menetap
lebih dari 6 hari, kadar bilirubin meningkat melebihi 20 mg/dL. Terapi
sinar dapat dihentikan bila Bilirubin serum total turun sampai di bawah
13 - 14 mg/dL

Secara umum penatalaksanaan neonatal hyperbilirubinemia:


pemberian fototerapi yang sesuai dengan berat badan, jika
>2500 dan bayi dalam keadaan sakit dapat diberikan fototerapi
pada kadar 12-15 mg/dL dan pertimbangkan tranfusi ganti pada
kadar18-20 mg/dL.
Pada pasien, dilakukan penatalaksanaan yang berupa
- fototerapi dengan indikasi pemberhentian fototerapi adalah jika
kadar bilirubin total 13mg/dL penatalaksanaan tepat
- pasien dipuasakan selama 4 hari denghan hasil follow up: gejala
klinis ikterus berkurang dan pada hari selanjutnya setelah puasa
mulai dilakukan test feeding dan dilanjutkan dengan pemberian
ASI secara bertahap dimulai dari 1cc /6 jam, dilanjutkan besok
hari dengan pemberian 1 cc/3 jam dilanjutkan besok hari dengan
5 x 2,5 cc, kemudian besok hari menjadi 4 x 75 cc per sten

Hasil follow up pasien pada saat mulai dilakukan test


feeding dan pemberian ASI sebanyak 1 cc/6 jam
didapatkan kembali tanda ikterus yang kembali terlihat
jelas. Dalam hal ini etiologi penyebab diagnosis
neonatal hyperbilirubinemia ec breast milk jaundice
dapat dipertimbangkan.
Untuk mengetahui secara pasti menurut Gartner dan
Auerbach sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar
bilirubin pada setiap 6 jam untuk melihat secara
kuantitatif pengaruh kadar bilirubin terhadap
pemberhentian ASI.

- Selain itu pasien didiagnosis mengalami sepsis neonatorum: sindrom klinis yang ditandai
dengan gejala sistemik dan disertai bacteremia pada bulan pertama kehidupan
- klasifikasi sepsis awitan lanjut: infeksi nosocomial dan terjadi > 7 hari dengan etiologi
diantaranya Bakteri gram positif seperti Streptokokous grup B, Stafilokokus koagulase
bakteri gram negative seperti Eschericia coli, Listeria monocytogenes, Haemofilus influenza,
Pseudomonas, Klebsiela, Enterobakter, Salmonela, Bakteri anaerob dan Gardenella
vaginalis.
Patofisiologi:
- transplasental (antepartum)
- asenderens kuman vagina pada partus lama atau ketuban pecah sebelum waktunya
- mikroorganisme di vagina atau rectum saat bayi melewati jalan lahir.
- tindakan manipulasi seperti intubasi, kateterisasi, pemasangan infus dan sebagainya
- adanya defek kongenital seperti omfalokel, meningokel, labioskizis ataupun
labiopalatoskizis
- berhubungan dengan koloni bakteri yang terdapat di saluran pernafasan atas, konjungtiva,
membrane mukosa, umbilicus dan kulit yang dapat menginvasi atau menyebar secara
sistemik.

- Faktor maternal: perdarahan pada saat kehamilan atau


persalinan, infeksi pada uterus atau plasenta, ketuban
pecah dini (sebelum 37 minggu kehamilan), ketuban
pecah terlalu cepat saat melahirkan ( 18 jam sebelum
melahirkan) dan proses kelahiran yang lama dan sulit.
- Faktor bayi: laki-laki lebih sering terkena dibandingkan
dengan bayi perempuan, adanya berat bayi lahir rendah,
prematuritas, bayi kurang bulan/ kecil masa kehamilan,
kehamilan kembar, adanya tindakan resusitasi saat
melakukan intubasi serta adanya defek kongenital

Pada pasien terdapat faktor predisposisi terjadinya


sepsis diantaranya bayi berjenis kelamin laki-laki, lahir
kurang bulan atau kecil masa kehamilan, selain itu faktor
risiko lain tidak ditemukan. Keluhan pernah mengalami
sakit saat hamil, sering mengalami keputihan atau nyeri
saat berkemih ketika menjelang persalinan juga
disangkal oleh Ibu pasien.

Gejala klinis sepsis neonates:


Bayi tampak tidak sehat, tidak mau minum, suhu badan tidak
stabil dan adanya retensi cairan lambung dengan jumlah banyak.
- Pencernaan: muntah, diare, distensi abdomen serta
hepatomegaly,
- Pernafasan: pernafasan cuping hidung yang menandakan
adanya dispneu dan takipneu, anak terlihat merintih, adanya
retraksi otot tambahan pernafasan dan dapat terjadi apneu
- Kardiovaskular: takikardia, bradikardia dan hipotensi
- Sistem saraf pusat: penurunan kesadaran, jittery, kejang,
iritabel dan hipotonia
- Hematologi: pucat, ikterus, perdarahan dan pembesaran limfa
- Kulit: petekia, purpura, sklerema dan mottling

Pada pasien ditemukan bebrapa geejala yang


mendungkung diagnosis kearah sepsis neonatorum
diantaranya:
- pasien terlihat tidak sehat, menjadi sulit untuk minum
- Pencernaan: terdapatnya muntah, diare, distensi
abdomen dengan retensi cairan lambung
- Hematologi: ikterus atau kekuningan pada wajah, dada
hingga lengan atas pasien.

Penatlaksanan pada sepsis neonatorum:


Umum: perawatan dalam ruang isolasi atau incubator, cuci
tangan sebelum dan sesudah memeriksa bayi dan
pemeriksa harus memakai oakaian ruangan yang sudah
disediakan.Secara khusus dapat dilakukan
penatalaksanaan suportif dengan cara menjaga stabilitas
hemodinamik dan oksigenisasi jaringan vital
Antibiotik:
Sesuai jenis bakteri yang menginfeksi (pemeriksaan
kultur dan tes resistensi)
Jika etiologi belum diketahui: spectrum luas
Initial terapi jika belum terdapat hasil kultur dan
resistensi:

- Kombinas Ampisilin dan Aminoglikosida


Ampisilin: 50 mg/kgBB/dosis IV dalam 2 dosis (<7hari) dan dalam 3-4
dosis (>7hari)
Aminoglikosida: 1,5 mg/kgBB/dosis 2 kali IV (<2500 gr) dan dosis 2,5
mg/kgBB/dosis 2 kali (2500 gr)
- Kombinasi Aminoglikosida dan Sefotaksim (diduga bakteri gram
negative) (7 hari) 100 mg/kgBB/hari IV dalam 2 dosis dan 150
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis (>7hari)
tidak ada perbaikan sesudah 48 jam maka antibiotic diganti dengan
antibiotic alternative sesuai dengan gambaran klinis penderita

Pada pasien ini dilakukan penatalaksanaan perawatan didalam incubator,


pemantauan tanda vital dan hemodinamik, mencuci tangan sebelum dan
sesudah memeriksa bayi namun belum menggunakan baju khusus ketika
masuk kedalam ruangan rawat untuk mengurangi risiko terjadinya infeksi.
Untuk penatalaksanaan khusus pada pasien dilakukan pemasangan NGT
dekompresi, sementara puasa, berkaitan dengan gangguan pencernaan
dan keluhan kembung di perut pasien, serta diberikan infus Ka-En MG3 18
gtt/m (micro) dengan mempertimbangkan indikasi ketidakseimbangan
karbohidrat dan elektrolit pada keadaan insufisiensi asupan makanan per
oral pada neonates, serta pemberian antibiotic Ampisilin 3x150 mg IV,
Gentamisin 1x14 mg IV yang merupakan pilihan terapi kombinasi awal yang
dapat diberikan jika belum diketahui hasil kultur dan resistensi etiologi
penyebab, kemudian ditambahkan Metronidazol 3x30 mg IV, dan dilakukan
pemberhentian pemberian Ampisilin yang diganti menjadi cefotaxime 3 x15
mg IV selama 5 hari yang kemudian diganti menjadi Ceftazidin 3 x 150 mg
iv maka dapat diberikan kesimpulan bahwa penatalaksanaan pasien ini
sudah tepat.

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan sepsis


neonatus diantaranya meningitis bakterialis, enterocolitis
nekrotikans, koagulasi intravascular diseminata dan juga
syok septik dan tingkat morbiditas akibat sepsis pada bayi
kurang bulan lebih tinggi dibandingkan dengan bayi cukup
bulan yang mengalami sepsis.
Enterokolitis Nekrotikans (EKN) merupakan kelainan saluran
cerna yang didapat pada >90 % bayi kurang bulan (BKB)
berupa kerusakan mukosa, iskemia dan toksik yang diduga
karena imaturitas usus serta sistem imunologik yang belum
matang.

Faktor resiko:
prematuritas, asfiksia, sindrom distres pernapasan, polisitemia
dan pemberian susu formula yang terlalu cepat dan banyak
dimana
Patofisiologi:
terjadinya kehilangan integritas mukosa usus imaturitas saluran
cerna/imunologi, iskemia, kolonisasi, invasi bakteri usus,
pertumbuhan bakteri usus yang berlebih, dan toksin bakteri.
Gejala klinis: intoleransi makanan,muntah, distensi abdomen,
darah segar pada feses/perubahan bentuk feses, sedangkan
gejala tidak spesifik dapat ditemukan apnea, bradikardia,
ketidakstabilan suhu, dan letargi dan penurunan bising usus.

Pada pasien didapatkan gejala klinis yang menyokong kearah


enterocolitis nekrotikans:
gangguan pada pencernaan: muntah, distensi abdomen dan
perubahan pada bentuk feses menjadi lebih cair. Gejala tidak
spesifik: letargi serta terjadi penurunan bising usus.
Untuk menegakkan diagnosis pada pasien dilakukan
pemeriksaan feses rutin dan darah samar pada feses serta
pemeriksaan foto BNO, dan didapatkan hasil
Feses rutin:tidak ditemukan adanya darah
BNO: udara dalam usus halus yang bertambah atau mengalami
distensi serta tampak garis lusen tipis pada dinding kolon
ascenden yang menyokong diagnosis enterocolitis nekrotikans.

Jika diklasifikasikan maka pasien termasuk klasifikasi


IA : gejala sistemik yang tidak spesifik dan gejala pada intestinal yang berupa
tetensi lambung, distensi abdomen ringan, feses: darah samar, dengan
gambaran radiologis terdapat ileus ringan.
Berdasarkan teori penatalaksanaan: menghentikan nutrisi peroral, dekompresi
saluran cerna dengan pipa nasogastric, pemantauan tanda vital, perdarahan
saluran cerna, masukan/keluaran cairan, elektrolit, dan tanda sepsis.
- Antibiotik kombinasi Ampisilin diberikan p.o., i.m, atau i.v
usia 7 hr, 50 mg/kgBB/hr dalam 2 dosis
usia > 7 hr, 75 mg/kgBB/hr dalam 2 dosis
dan Gentamisin diberikan i.m, atau i.v.
Usia 7 hr:
BB < 1.000 g dan usia kehamilan < 28 mgg, 2,5 mg/kgBB/hr, dosis tunggal,
BB < 1.500 usia kehamilan < 34 mgg, 2,5 mg/kgBB/dosis/18 jam18
BB < 1.500 g dan usia kehamilan 34 mgg, 2,5 mg/kgBB/dosis/ 12 jam
Usia > 7 hr BB < 1.200 g, 2,5 mg/kgBB/dosis/18-24 jam
BB 1.200 g, 2,5 mg/kgBB/dosis/8 jam

- Selain itu dilakukan foto abdomen serial (setiap 6-8


jam)
Untuk penatalaksanaan berdasarkan stadium:
Stadium I:
Nutrisi p.o. dihentikan dan pemberian minum dapat
diberikan sesudah 3 hari perbaikan
Antibiotik diberikan selama 3 hari

Pada pasien dilakukan penatalaksanaan:


- pemasangan NGT dekompresi, pasien dipuasakan, berkaitan dengan
gangguan pencernaan dan keluhan kembung di perut pasien
- infus Ka-En MG3 18 gtt/m (micro) dengan mempertimbangkan indikasi
ketidakseimbangan karbohidrat dan elektrolit pada keadaan insufisiensi
asupan makanan per oral pada neonates
- Antibiotic Ampisilin 3x150 mg IV, Gentamisin 1x14 mg IV kemudian
ditambahkan Metronidazol 3x30 mg IV, dan dilakukan pemberhentian
pemberian Ampisilin yang diganti menjadi Cefotaxime 3 x15 mg IV selama 5
hari yang kemudian diganti menjadi Ceftazidin 3 x 150 mg iv
- Selain itu dilakukan pemantauan Lingkar perut dan retensi setiap hari dan
ketika retensi 0 dilakukan test feeding dan peningkatan jumlah ASI yang
diberikan secara bertahap. Penatalaksaan yang dilakukan pada pasien ini
sudah tepat tetapi pemantauan foto abdomen serial tidak dilakukan pada
pasien ini seharusnya berdasarkan teori yang ada salah satu penatalaksanaan
dari enterocolitis nekrotikans adalah melakukan foto abdomen serial setiap 6
sampai 8 jam.

Pada pemeriksaan yang dilakukan tanggal 23 Agustus 2016:


Didapatkan bunyi jantung urmur sistolik grade II/6 pada ICS II tepi kiri
sternum dengan diagnosis sementara: Observasi murmur suspek
pulmonary stenosis dengan diagnosis banding patent ductus arteriosus.
Pulmonary Stenosis/PS merupakan suatu keadaan dimana kelainan
paling sering berupa obstruksi anatomik jalan keluar ventrikal kanan.
Gejala yang dapat ditemukan diantaranya terdengar murmur ejeksi
sistol di ICS II tepi kiri sternum. Berdasarkan gejala klinis terdapat
kesamaan antara teori yang ada, namun untuk lebih menegakkan
diagnostik dibutuhkan pemeriksaan penunjang lain yang berupa rontgen
thorax dengan interpretasi ukuran jantung normal atau dapat berupa
pembesaran jantung (Right ventricle hypertrophy) dengan segmen
pulmonal yang menonjol dan corakan vascular paru yang menurun atau
normal, dapat juga dilakukan pemeriksaan elektrokardiografi.

DAFTAR PUSTAKA
Herry Garna, Heda Melinda Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak
Edisi ke-5. 2014
Nelson Textbook of Pediatric 18th edition
Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia
http://www.aafp.org/afp/2002/0215/p599.html Hyperbilirubinemia in the Term
Newborn
http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/indikasi-terapi-sinar-pada-bayi-menyusui-ya
ng-kuning
http://emedicine.medscape.com/article/977956-overview // Necrotizing
enterocolitis
http://emedicine.medscape.com/article/978352-overview Neonatal Sepsis
Gartner, Breastfeeding and jaundice- LM. J Perinatol. 2001 Dec;21 Suppl 1:S25-9;
discussion S35-9
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK2266/ Hemolytic Disease of the Newborn

TERIMAKASIH
WASSALAMUALAIKUM WR. WB

Anda mungkin juga menyukai