Anda di halaman 1dari 45

Laporan Kasus

Bayi Lahir Dengan Hiperbilirubin ec Susp. Breast Milk Jaundice

dd SNAL + BCB + SMK + BBLC

Oleh:

Diva Aurellia Rosa

NIM. 2130912320128

Pembimbing:

dr. Pudji Andayani, Sp. A(K)

BAGIAN/KSM ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM

RSUD ULIN BANJARMASIN

Maret, 2023
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL............................................................................. i

DAFTAR ISI.......................................................................................... ii

DAFTAR TABEL.................................................................................. iii

DAFTAR GAMBAR............................................................................. iv

DAFTAR SINGKATAN....................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................... 3

A. Ikterik Neonatus................................................................. 3

B. Sepsis Neonatorum............................................................. 12

BAB III LAPORAN KASUS................................................................ 23

BAB IV PEMBAHASAN...................................................................... 43

BAB V PENUTUP............................................................................... 59

DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 60

ii
DAFTAR SINGKATAN

ASI Air susu ibu

BBLR Bayi berat lahir rendah

BBLC Bayi berat lahir cukup

BBLL Bayi berat lahir lebih

BCB Bayi cukup bulan

BKB Bayi kurang bulan

BLB Bayi lebih bulan

BMK Besar masa kehamilan

HPHT Hari pertama haid terakhir

IV Intravena

KMK Kecil masa kehamilan

KMC Kangaroo mother care

KPD Ketuban pecah dini

OGT Orogastric tube

PO Peroral

SMK Sesuai masa kehamilan

SNAD Sepsis neonatorum awitan dini

SNAL Sepsis neonatorum awitan lambat

UUB Ubun-ubun besar

UUK Ubun-ubun kecil

WHO World Health Organization

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis neonatorum merupakan suatu keadaan disregulasi respon imun

terhadap infeksi yang terjadi pada bayi baru lahir dan mengancam jiwa.

Berdasarkan data dari Global Burden Disease (GBD), telah dilaporkan 2.824

kasus sepsis neonatorum per 100.000 kelahiran hidup dengan mortalitas 17,6%

pada tahun 2019. Patogen yang paling sering teridentifikasi adalah

Staphylococcus aureus dan Klebsiella spp.1 Berdasarkan waktu awitan, sepsis

neonatorum terbagi menjadi dua, yaitu sepsis neonatorum awitan dini yang terjadi

72 jam pertama kehidupan bayi dan sepsis awitan lambat yang terjadi setelah 72

jam pertama kehidupan.2 Dalam menilai kemungkinan sepsis pada bayi baru lahir,

terdapat faktor risiko infeksi mayor dan minor yang harus ditinjau. Faktor risiko

infeksi mayor meliputi ketuban pecah dini (KPD) lebih dari 24 jam, ibu

mengalami demam dengan suhu lebih dari 38℃ selama hamil, korioamnionitis,

denyut jantung bayi lebih dari 160 kali/menit dan menetap, serta ketuban yang

berbau. Sementara itu, faktor risiko infeksi minor adalah KPD lebih dari 12 jam,

ibu mengalami demam dengan suhu tubuh 37,5℃, bayi berat lahir sangat rendah

(BBLSR), usia gestasi kurang dari 37 minggu, gemelli, keputihan pada ibu, ibu

dengan infeksi saluran kemih yang tidak tertangani, serta nilai APGAR rendah

dimana pada menit pertama nilai yang didapatkan kurang dari 5 dan menit kelima

kurang dari 7. Apabila terdapat minimal 1 faktor risiko infeksi mayor atau 2 faktor

risiko infeksi minor, septic workup pada bayi dapat dilakukan.3

1
2

Ikterik neonatorum adalah suatu keadaan klinis bayi dengan tanda kulit dan

sklera ikterus (kuning) karena akumulasi bilirubin. Prevalensi kejadian ikterik

neonatorum di dunia masih cukup tinggi. Di Amerika Serikat, 65% dari empat

juta neonatus yang lahir setiap tahunnya mengalami ikterik neonatorum dalam

minggu pertama kehidupannya. Di Indonesia, menurut data di RSUD Dr.

Soetomo menunjukkan peningkatan kejadian ikterik neonatorum, yaitu tahun

2013 sebanyak 392 kasus dan tahun 2018 menjadi 392 kasus. 4 Terdapat 2 jenis

ikterik neonatorum, yaitu ikterik fisiologis dan patologi. Ikterik fisiologis terjadi

pada minggu pertama kehidupan dan menetap dalam 10-14 hari, sedangkan ikterik

patologis muncul dalam 24 jam pertama kehidupan dan menetap lebih dari 2

minggu.4

Pada laporan kasus ini, dilaporkan seorang bayi dengan sepsis neonatorum,

ikterik neonatorum, dan bayi berat lahir cukup (BBLC) yang dirawat di RSUD

Ulin Banjarmasin.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Bayi

Definisi Neonatus (Bayi Baru Lahir)

Bayi baru lahir (Neonatus) merupakan bayi yang baru lahir sampai usia 28

hari (0-28 hari). Periode neonatus yang berlangsung sejak bayi baru lahir sampai

usia 28 hari merupakan waktu berlangsungnya perubahan fisik yang dramatis

pada bayi baru lahir. Bayi baru lahir (Neonatus) merupakan suatu keadaan dimana

bayi baru lahir dengan umur kehamilan 38-40 minggu, lahir secara spontan tanpa

gangguan, menangis kuat, bernafas secara spontan dan teratur berat badan antara

2500-4000 gram.5

Klasifikasi Neonatus

Bayi baru lahir (neonatus) dibagi dalam bebrapa klasifikasi menurut Marmi

(2015) yaitu5:

1. Neonatus menurut masa gestasinya ;

a. Kurang bulan (infant preterm) : <259 hari (37 minggu)

b. Cukup bulan (term infant) : 259-294 hari (37-42 minggu)

c. Lebih bulan (postterm infant) : >294 hari (42 minggu atau lebih)

2. Neonatus menurut berat badan lahir5 :

a. Berat lahir rendah : <2500 gram

b. Berat lahir cukup : 2500-4000 gram

c. Berat lahir lebih : >4000 gram

3
4

3. Neonatus menurut berat lahir terhadap masa gestasi (massa gestasi dan ukuran

berat lahir yang sesuai untuk masa kehamilan5 :

a) Neonatus cukup/kurang/lebih bulan (NCB/NKB/NLB)

b) Sesuai/kecil/besar untuk masa kehamilan (SMK/KMK/BMK)

Risiko tinggi menyatakan bahwa bayi harus mendapat pengawasan

yang lebih ketat oleh dokter dan perawat yang sudah berpengalaman.

Lama masa pengawasan biasanya beberapa hari, tetapi dapat berkisar dari

beberapa jam sampai beberapa minggu. Jenis-jenis resiko yang tinggi pada

neonates, yaitu:6

1. Hiperbilirubinemia: suatu keadaan pada bayi baru lahir dimana kadar bilirubin

serum ≥5 mg/dL pada minggu pertama.

2. Asfiksia neonatorum: keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas spontan dan

teratur setelah lahir, yang dapat disertai dengan hipoksia.

3. BBLR: bayi baru lahir yang mempunya berat badan ≤ 2.500 gram.

4. Respiratory distress syndrome: kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea,

frekuensi pernafasan yang lebih dari 60 x/menit, adanya sianosis, adanya

rintihan, pada saat ekspirasi adanya retraksi suprasternal.

B. Ikterik Neonatus

1. Definisi

Ikterus neonatorum yaitu warna kuning pada kulit dan sklera bayi baru

lahir yang dihasilkan dari hiperbilirubinemia. Ikterus neonatorum adalah keadaan

klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat

akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan
5

mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dl. Ikterus

adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin

dalam tubuh. Keadaan ini merupakan tanda penting penyakit hati atau kelainan

fungsi hati, saluran empedu dan penyakit darah. Bila kadar bilirubin darah

melebihi 2mg%, maka ikterus akan terlihat. Namun pada neonatus ikterus masih

belum terlihat meskipun kadar bilirubin darah sudah melampaui 5mg%. Ikterus

terjadi karena peninggian kadar bilirubin indirek (“unconjugated”) dan atau

kadar bilirubin direk (“conjugated”) ekspirasi adanya retraksi suprasternal 7,8.

2. Etiologi dan Patofisiologi

Etiologi ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun

disebabkan beberapa faktor menurut Hasan dan Alatas secara garis besar

etiologi itu dapat dibagi sebagai berikut :

Produksi yang berlebihan, lebih dari kemampuan bayi untuk

mengeluarkannya misalnya pada hemolisis yang meningkat pada

inkompatibilitas darah Rh, golongan darah lain, defisiensi enzim G6PD,

pyruvate kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini

dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk

konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar akibat asidosis, hipoksia dan

infeksi atau tidak terdapatnya enzim glucoronil transferase (criggler najjar

syndrome). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar.

Meningkatnya kadar bilirubin dapat juga disebabkan produksi yang

berlebihan. Sebagian besar bilirubin berasal dari destruksi eritrosit yang


6

menua. Pada neonatus 75% bilirubin berasal dari mekanisme ini. Satu

gram hemoglobin dapat menghasilkan 34 mg bilirubin indirek (free

billirubin) dan sisanya 25% disebut early labeled bilirubin yang berasal

dari pelepasan hemoglobin karena eritropoeis yang tidak efektif di dalam

sumsum tulang, jaringan yang mengandung protein heme dan heme bebas.

Pembentukan bilirubin diawali dengan proses oksidasi yang menghasilkan

biliverdin. Setelah mengalami reduksi biliverdin menjadi bilirubin bebas,

yaitu zat yang larut dalam lemak yang bersifat lipofilik yang sulit

diekskresi dan mudah melewati membran biologik seperti plasenta dan

sawar otak.

Di dalam plasma, bilirubin tersebut terikat/bersenyawa dengan

albumin dan dibawa ke hepar. Dalam hepar menjadi mekanisme ambilan

sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hepar dan masuk ke

dalam hepatosit. Di dalam sel bilirubin akan terikat dan bersenyawa

dengan ligandin (protein Y), protein Z dan glutation S- tranferase

membawa bilirubin ke reticulum endoplasma hati.

Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin

diglukoronide dan sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide. Ada 2

enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin diglukoronide yaitu uridin

difosfat glukoronide transferase (UDPG:T) yang mengkatalisasi

pembentukan bilirubin monoglukoronide. Sintesis dan ekskresi

diglukoronide terjadi di membran kanalikulus.8,9


7

3. Faktor Risiko

Faktor risiko hiperbilirubinemia pada bayi diatas usia 35 minggu, yaitu :5,10

a. Faktor risiko mayor

Faktor risiko mayor dari hiperbilirubinemia adalah ikterus yang

muncul dalam 24 jam pertama kehidupan, inkompabilitas golongan darah

dengan tes antiglobulin direk yang positif atau penyakit hemolitik lainnya,

umur kehamilan 35-36 minggu dimana konsentrasi albumin pada janin

rendah, riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi,

sefalhemathom, dan ras Asia Timur.

b. Faktor risiko minor

Faktor risiko minor dari hiperbilirubinemia adalah umur kehamilan

37-38 minggu dimana hati sudah dapat memproses beberapa produk

buangan tubuh, sebelum pulang bayi tampak kuning, riwayat anak

sebelumnya kuning, dan berjenis kelamin laki-laki.

4. Manifestasi Klinis

Secara klinis ikterus dapat dideteksi dari warna kulit yaitu

pemucatan kulit dengan menekan kulit dengan jari, ketika bilirubin


8

melebihi 5 mg/dl (85 mikromol/L). Ikterus dimulai dari wajah, kemudian

menyebar ke abdomen dan kemudian ke ekstremitas. Ikterus dapat

terlewatkan secara klinis dan lebih sulit dideteksi pada bayi preterm dan

berkulit hitam/gelap.

Tanda klinis dari bayi baru lahir dengan ikterus adalah sklera,

puncak hidung, mulut, dada, perut, dan ekstremitas berwarna kuning,

Letargi, Kemampuan menghisap turun, Kejang, Dehidrasi : hal ini

disebabkan oleh asupan kalori yang tidak adekuat (misalnya : kurang

minum atau muntah-muntah), Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan

limpa, Penurunan berat badan yang berlebihan.11

5. Diagnosis

Pemeriksaan Klinis

Pengamatan ikterus kadang-kadang agak sulit apalagi dalam

cahaya buatan. Paling baik pengamatan dilakukan dalam cahaya matahari

dan dengan menekan sedikit kulit yang akan diamati untuk menghilangkan

warna karena pengaruh sirkulasi darah.

Ada beberapa cara untuk menentukan derajat ikterus yang

merupakan resiko terjadinya kern-icterus, misalnya secara klinis (Rumus

Kramer) dilakukan di bawah sinar biasa (day light). Sebaiknya penilaian

ikterus dilakukan secara laboratories, apabila tidak memungkinkan, dapat


Tabel 2.1 Penerapan rumus Kramer
dilakukan secara klinis.12
9

Derajat ikterus Daerah ikterus Perkiraan bilirubin


I Daerah kepala dan leher 5,0 mg%
1) II
Pemeriksaan diagnosticSampai badan atas
untuk ikterus, yaitu :13 9,0 mg%
Sampai badan bawah
III 11,4 mg%
hingga tungkai
Sampai derah lengan,
IV 12,4 mg%
kaki bawah lutut
Sampai daerah telapak
V 16,0 mg%
tangan dan kaki

a) Golongan darah : untuk menentukan golongan darah dan status Rh bayi bila

transfusi sulih diperlukan

b) Uji Coombs direk : untuk menentukan diagnosis penyakit hemolitik pada

bayi baru lahir ; hasil positif mengindikasikan sel darah merah bayi telah

terpajan (diselimuti antibodi)

c) Uji Coombs indirek : mengukur jumlah antibodi Rh positif dalam darah

ibu

d) Kadar Bilirubin total dan direk : untuk menegakkan diagnosis

heperbilirubinemia

e) Darah periksa lengkap dengan diferensial : untuk mendeteksi hemolisis,

anemia (Hb < 14 gr/dl) atau polisitemia (Ht lebih dari 65%); Ht kurang dari

40% (darah tali pusat) mengindikasi hemolisis berat

f) Protein serum total : untuk mendeteksi penurunan kapasitas ikatan (3,0

mg/dl)

g) Glukosa serum : untuk mendeteksi hipoglikemia (< 40 mg/dl)

6. Tatalaksana

Dalam penanganan ikterus, cara–cara yang dipakai ialah untuk mencegah


10

dan mengobati, sampai saat ini cara–cara itu dapat dibagi dalam empat jenis

usaha, yaitu :

1) Mempercepat metabolisme dan pengeluaran bilirubin.

Pemberian fenobarbital untuk antikonvulsan, dosis muatan 15- 20 mg/kg

oral, intravena, dosis rumatan untuk neonatus 3-4 mg/kg/hari dan dapat diulang

setiap 12-24 jam. (Pemberian fenobarbital yang dapat memperbesar konjugasi

dan ekskresi bilirubin. Pemberiannya akan membatasi perkembangan ikterus

fisiologis pada bayi baru lahir bila diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24

jam sebelum persalinan atau pada bayi saat lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam.

Meskipun demikian, fenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk

mengobati ikterus pada bayi neonatus karena pengaruhnya pada metabolisme

bilirubin biasanya tidak terlihat sebelum mencapai beberapa hari pemberian,

efektivitas obat ini lebih kecil dari pada fototerapi dalam menurunkan kadar

bilirubin, dan dapat mempunyai pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan

serta tidak menambah respon terhadap fototerapi.

Early breast feeding, menyusui bayi dengan ASI. Bilirubin juga

dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin. Untuk itu bayi

harus mendapat cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat

terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar BAB dan BAK. Akan tetapi

pemberian ASI juga harus dibawah pengawasan dokter karena pada

beberapa kasus ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk

jaundice).

Pemberian ASI diberikan pada bayi secara berulang-ulang karena


11

bayi malas minum. ASI yang cukup untuk penanganan pada bayi dengan

ikterus yaitu 8-12 kali sehari. Jika tidak mau menghisap dot berikan pakai

sendok. Jika tidak habis berikan melalui sonde.

2) Terapi dengan sinar matahari

Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya

dijemur selama 15 menit dengan posisi yang berbeda-beda. Lakukan

antara jam 07.00-09.00 karena inilah waktu dimana sinar ultraviolet

dengan panjang gelombang cahaya 425-550 nm cukup efektif mengurangi

kadar bilirubin. Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke

matahari karena dapat merusak matanya.

3) Terapi sinar (Fototerapi)

Terapi sinar dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar

bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan

fototerapi bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecah dan menjadi mudah

larut dalam air tanpa harus diubah dahulu oleh organ hati dan dapat

dikeluarkan melalui urin dan tinja sehingga kadar bilirubin menurun.

Di samping itu pada terapi sinar ditemukan pula peninggian

konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum dan

menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus

sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan keluar bersama

feses. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tidak terus

meningkat sehingga menimbulkan resiko yang lebih fatal. kekurangan

cairan, kelainan metabolik, infeksi, kelainan koagulasi. Kematian mungkin


12

sekitar 1%.

2) Transfusi tukar

Dilakukan pada keadaan hiperbilirubinemia yang tidak dapat diatasi

dengan tindakan lain misalnya telah diberikan terapi sinar tetapi kadar

bilirubin tetap tinggi. Pada umumnya transfusi tukar dilakukan pada

ikterus yang disebabkan karena proses hemolisis yang terdapat pada

ketidakselarasan Rhesus, ABO, dan defisiensi G-6-PD. Indikasi untuk

melakukan transfusi tukar adalah kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg

%, kenaikan kadar bilirubin indirek cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam, anemia

berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung, dan hasil pemeriksaan

uji comb positif. Efek samping transfusi tukar adalah hipokalsemia dan

hipomagnesia, hipoglikemia, gangguan kardiovaskuler, perdarahan, dan

infeksi.8,12,14
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS

1. Identitas Pasien

Nama : An. MAP

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat & tanggal Lahir: Bajarmasin, 23 Januari 2023 (pukul 12.26 WITA)

Umur : 0 bulan 31 hari (pada 23 Januari 2023)

7. Identitas Orangtua

Nama ayah : Tn. EDP Nama ibu : Ny. NH

Usia : 31 tahun Usia : 30 tahun

Pekerjaan : Perawat RS Pekerjaan : Perawat RS-TPI

Pendidikan : Profesi Ners Pendidikan : Profesi Ners

Agama : Islam Agama : Islam

Alamat : Jl. Komp. Green Kemilau Pelangi Blok A7 No.9 Kel

Maharap Tengah Kec. Kab Banjarbaru Kertak Hanyar

B. ANAMNESIS

Aloanamnesis dengan : Ibu kandung pasien

Tanggal/jam : Jumat, 24 Februari 2023, pukul 17.00 WITA (hari

perawatan ke-3)

Masuk rumah sakit : 22 Februari 2023, pukul 22.30 WITA

13
14

1. Keluhan Utama

Bayi lahir dengan warna tubuh kuning

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Selasa, 21 Februari 2023 pukul 22.00 WITA, Ny. NH dan Tn. EDP datang

ke RSUD Ulin Banjarmasin dengan keluhan kuning sejak hari ke 3 lahir, kuning

dari mata sampai puting susu, sebelumnya ada berobat ke spesialis anak dan

diberikan obat puyer selama seminggu, setelah seminggu dilakukan kontrol ulang,

dikatakan kuning berkurang dan tidak be rmasalah. Sebelumnya pasien ada

muntah 3 hari SMRS setiap setelah menyusu, 3-6x/hari. Riwayat demam, BAB

cair, batuk, pilek, dan sesak disangkal. Ditemukan adanya benjolan di lipatan paha

kanan sejak sekitar 4 jam SMRS, muncul jika menangis, namun benjolan sudah

tidak ada saat dibawa ke RS. Bercak merah di bagian perut atas muncul sejak 1

minggu setelah lahir.

Hasil pemeriksaan kandungan didapatkan ibu G1P0A0 dengan usia kehamilan

38 minggu, janin tunggal hidup intrauterin, dan presentasi bokong. Tidak ada

riwayat KPD dan ketuban hijau berbau. . Bayi lahir pada tanggal , 23 Januari 2023

pada pukul 12.26 WITA dan lahir dengan sectio caesaria dipimpin oleh dokter

kandungan di RSUD Ansari Saleh Banjarmasin. Bayi berjenis kelamin laki-laki

dengan berat badan lahir 3.500 gram, panjang badan lahir 50 cm, lingkar kepala

34 cm dan lingkar dada 32 cm.

3. Riwayat Penyakit Keluarga

 Ibu pasien memiliki tidak memiliki riwayat DM, HT, penyakit jantung,

TBC, Asma
15

 Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan serupa

4. Riwayat Kehamilan Persalinan Ibu Sebelumnya

Tabel 3.1 Riwayat Kehamilan dan Persalinan Sebelumnya


Keha Tanggal Penyakit
Jenis Hidup/ Sebab
milan /tahun L/P BBL waktu
persalinan Mati kematian
ke- kelahiran hamil
I 2023 SC L 3.500 gr Hidup - -

5. Riwayat Kehamilan Ibu Sekarang

 HPHT :-

 Taksiran partus :-

 Ibu tidak terdiagnosis DM, HT, penyakit jantung, asma, TB

 Ibu melakukan kontrol kehamilan sebanyak 3 kali di Dokter Spesialis

Obstetri dan Ginekologi dan di bidan praktik mandiri sebanyak 5 kali.

Tabel 3.2 Riwayat Kehamilan Ibu Pasien Sekarang


Trimester
I II III
Jumlah Konsultasi 1 kali 1 kali 2 kali
Berat badan ibu 59 kg 70 kg 84 kg
Lingkar lengan atas - - -
Tekanan darah 120/80 mmHg 130/80 mmHg 140/90 mmHg
Penyakit waktu - - -
hamil
Obat-obatan yang Asam folat, tablet Asam folat, tablet Asam folat, tablet
diterima tambah darah + tambah darah + tambah darah +
vitamin dari bidan vitamin dari dokter vitamin dari dokter
Kebiasaan makan Makan cukup Makan cukup Makan cukup
waktu hamil:
 Makanan:
Kualitatif Nasi cukup, lauk, Nasi cukup, lauk, sayur, Nasi cukup, lauk,
sayur, buah buah sayur, buah

Kuantitatif 2-3x/hari 3x/hari 3x/hari


16

 Jamu Tidak ada Tidak ada Tidak ada


 Rokok Tidak ada Tidak ada Tidak ada

6. Faktor Risiko

a. Mayor

- KPD > 24 jam


- Demam intrapartum > 38○C
- Korioamnionitis
- Ketuban berbau
- DJJ > 160x/menit dan menetap

b. Minor

- KPD > 12 jam


- Demam intrapartum > 37,5˚C
- Nilai APGAR rendah
- BBSLR < 1500 g
- Usia gestasi <37 minggu
- Kehamilan ganda
- Keputihan gatal dan berbau
- Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK)/ISK yang tidak diobati

7. Persalinan Bayi

a. Diagnosis ibu : G1P0A0, kehamilan pertama, cukup bulan

b. Jenis persalinan : SC a/I Sungsang

c. Waktu persalinan : 23 Februari 2023 pukul 12:26 WITA

d. Kondisi saat lahir : Hidup

e. Lama persalinan Kala I : -

Kala II : -

f. Lama ketuban pecah :-

g. Kondisi air ketuban : Warna jernih dan tidak berbau


17

h. Volume air ketuban :-

6. Keadaan Bayi Saat Lahir

a. Penjabaran APGAR score : bayi segera menangis, tonus otot baik, bayi

tidak terlihat biru.

b. Riwayat resusitasi :-

c. Antropometri :

 Berat badan lahir : 3.500 gr

 Panjang badan lahir : 50 cm

 Lingkar kepala : 34 cm

 Lingkar dada : 32 cm

 Lingkar perut : 30 cm

C. PEMERIKSAAN FISIK

Tanggal : 23 Februari 2023 (hari ke-2 perawatan)

Umur : 0 bulan 31 hari

1. Antropometri :

 Berat badan : 3.900 gram

 Panjang badan : 52 cm

2. Tanda vital :

 Kesadaran : Gerak aktif, menangis kuat

 Denyut jantung : 130x/menit

 Frekuensi nafas : 50x/menit

 Suhu tubuh : 36,5°C


18

 Capillary refill time : 3 detik

 SpO2 : 99% on RA

3. Kulit : Ikterik (+) Kramer IV, sianosis (-), pucat (-) turgor cepat

kembali, petekie (-)

4. Kepala : Normosefali, kaput suksadaneum (-), sefal hematom (-),

UUB datar (+)

5. Rambut : Hitam, distribusi merata, alopesia (-)

6. Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), sekret mata

berlebih (-)

7. Telinga : Simetris, pinna memutar penuh, lunak, tetapi sudah

recoil

8. Hidung : Simetris, pernapasan cuping hidung (-), deviasi septum

nasal (-), sekret (-), darah (-)

9. Mulut : Simetris, mukosa bibir lembab berwarna pink, sianosis

(-), tongue tied (-), labio/genato/palatoskisis (-)

10. Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), tortikolis (-)

11. Toraks : Simetris, benjolan (-), retraksi (-)

12. Payudara : Simetris, areola timbul benjolan 3 – 4 mm

13. Paru : Simetris, suara napas bronkovesikuler, ronki (-/-),

wheezing (-/-)

14. Jantung : S1 dan S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

15. Abdomen : Supel, distensi (-), bising usus (+) normal, tali pusat (+),

hepar/lien/massa tidak teraba, asites (-)


19

16. Genitalia : Perempuan, labia mayora menutupi klitoris dan labia

minora

17. Anus : Lubang anus (+)

18. Ekstremitas : Simetris, akral hangat, jumlah jari lengkap, edema (-),

deformitas (-)

19. Denyut arteri femoralis : Teraba kuat angkat (+/+)

20. Tulang belakang : Spina bifida (-), scoliosis (-), meningokel (-)

21. Tanda – tanda fraktur : Tidak ditemukan

22. Tanda kelainan bawaan : Tidak ditemukan

23. Tanda Ortholani - : -

Barlow

24. Neurologi : Refleks hisap (+), refleks gasping (+),

refleks rooting (+)

Gambar 3.1 Kurva Bayi Menurut Lubsencho


20

Gambar 3.2 Maturitas fisik


D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Hasil pemeriksaan laboratorium (22 Februari 2023, pukul 01.06 WITA)

Tabel 3.3 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pasien Tanggal 22 Februari 2023,


Pukul 18.30 WITA
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13.9 14.0-18.0 g/dl
Leukosit 7.4 4.0-10.5 ribu/ul
Eritrosit 4.39 4.00-6.00 juta/ul
Hematokrit 38.6 42.0-52.0 %
Trombosit 339 150-450 ribu/ul
RDW-CV 14.0 12.1-14.0 %
MCV, MCH, MCHC
MCV 87.9 80.0-92.0 Fl
MCH 31.7 28.0-32.0 Pg
MCHC 36.0 33.0-37.0 %
HITUNG JENIS
Neutrofil% 37.9 0.0-1.0 %
Limfosit% 56.8 1.0-3.0 %
21

MID% 5.3 50.0-81.0 %


Neutrofil# 2.80 20.0-40.0 %
Limfosit# 4.20 2.0-8.0 %
MID# 0.4 <1.00 ribu/ul
HATI DAN PANKREAS
Bilirubin Total 19.28 0.20 – 1.20 mg/dl
Bilirubin Direk 0.21 0.00 – 0.60 mg/dl
Bilirubin Indirek 19.07 0.20 – 0.80 mg/dl

Kesimpulan : Neutrofilia, Limfositofilia, Hiperbilirubinemia indirek

2. Hasil pemeriksaan laboratorium (23 Februari 2023, Pukul 07.22 WITA)

Tabel 3.5 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pasien Tanggal 23 Februari 20223


Pukul 07.22 WITA
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12.5 14.0-18.0 g/dl
Leukosit 8.3 4.0-10.5 ribu/ul
Eritrosit 3.91 4.10-6.00 juta/ul
Hematokrit 35.1 42.0-52.0 %
Trombosit 354 150-450 ribu/ul
RDW-CV 13.8 12.1-14.0 %
MCV, MCH, MCHC
MCV 89.8 80.0-92.0 Fl
MCH 32.0 28.0-32.0 Pg
MCHC 35.6 33.0-37.0 %
HITUNG JENIS
Basofil% 0.6 0.0-1.0 %
Eosinofil% 5.6 1.0-3.0 %
Neutrofil% 27.8 50.0-81.0 %
Limfosit% 56.6 20.0-40.0 %
Monosit% 9.4 2.0-8.0 %
Basofil# 0.05 <1.00 ribu/ul
Eosinofil# 0.47 <3.00 ribu/ul
Neutrofil# 2.31 2.50-7.00 ribu/ul
Limfosit# 4.71 1.25-4.00 ribu/ul
Monosit# 0.78 0.30-1.00 ribu/ul
IMUNO-SEROLOGI
CRP < 0.2 <=5.00 mg/L
TIROID
FT4 14.05 10.60 – 19.40 Pmol/l
TSHs 1.977 0.720 – 11.00 uIU/ml
22

Kesimpulan : Eosinofilia, Neutropenia, Limfositofilia, Hiperbilirubinemia


indirek

3. Hasil pemeriksaan laboratorium (23 Februari 2023)

Tabel 3.3 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pasien Tanggal 23 Februari 2023

UJI SARING NEONATUS


G6PD 22.1 U/dK

Kesimpulan : Dalam batas normal

E. Resume

Nama : By. MAP

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 31 hari (23 Februari 2023)

Berat Badan : 3.900 gram

Panjang Badan : 52 cm

Keluhan Utama : Kuning

Uraian :

1. Subjektif (S)

 By. MAP Kuning sejak hari ke 3 lahir, kuning dari mata sampai puting

susu

 Ketika lahir bayi segera menangis dengan tonus otot kuat, warna tubuh

kuning di tangan dan kaki. Nadi 160 kali per menit.

 Bayi lahir dari Ibu berusia 30 tahun dan merupakan kehamilan yang

pertama. Riwayat memeriksakan kandungan selama kehamilan sebanyak 4

kali.
23

 Ibu pasien memiliki tidak riwayat hipertensi ddiabetes mellitus, penyakit

jantung, asma

 Bayi muntah sejak 3 hari SMRS setiap setelah menyusu, sebanyak

3-6x/hari.

2. Objektif (O)

 Antropometri

- Berat badan : 3.900 gram

- Panjang badan : 52 cm

- Lingkar kepala : 34 cm

- Lingkar dada : 32 cm

- Lingkar perut : 30 cm

 Tanda vital

- Denyut jantung : 130x/menit

- Frekuensi napas : 52x/menit

- Suhu : 36,5 °C

- SPO2 : 99% on RA

 Pemeriksaan fisik

- Kulit : Ikterik (+) Kramer IV

- Kepala : Normosefali, tidak ada kelainan

- Rambut : tidak ada kelainan

- Mata : sklera ikterik (+)

- Hidung dan mulut : tidak ada kelainan

- Thorax (pulmo) : tidak ada kelainan


24

- Thorax (cor) : S1 S2 tunggal , murmur (-), gallop (-)

- Abdomen : Supel, BU (+) normal

- Genitalia : Laki-laki, tidak ada kelainan

- Anus : Lubang anus (+)

- Ekstremitas : Deformitas (-), akral hangat (+), CRT3 detik

- Denyut A. Femoralis : Teraba kuat angkat D/S (+/+)

- Vertebra : tidak ada kelainan

- Neurologi : Refleks hisap (+), gasping (+), rooting (+)

 Pemeriksaan Penunjang

- Pemeriksaan Laboratorium (22 Februari 2023) Neutrofil% 37.9,

Limfosit% 56.8, Neutrofil# 2.80, Bilirubin Total 19.28, Bilirubin

Indirek 19.07

- Pemeriksaan Laboratorium (23 Februari 2023)  Hemoglobin

12.5, Eritrosit 3.91, Hematokrit 35.1, Eosinofil%5.6, Neutrofil%

27.8, Limfosit% 56.6, Monosit% 9.4, Neutrofil# 2.31, Limfosit#

4.71, Monosit# 0.78., FT4 14.05, TSHs 1.977, G6PD 22.1

F. Diagnosis Bayi

1. Diagnosis banding:

Tabel 3.8 Diagnosis Banding Neonatus


I II III IV
Iketerik Sesuai Masa
Bayi Cukup Berat Bayi Lahir
Neonatorum Kehamilan
Bulan (BKB) Cukup (BBLC)
(SMK)

2. Diagnosis sementara:
25

I. Iketerik Neonatorum
II. Bayi cukup bulan (BCB)
III. Sesuai masa kehamilan (SMK)
IV. Berat bayi lahir cukup (BBLC)

G. Penatalaksanaan

Planning Terapi

1. Fototerapi
2. Termoregulasi (masukkan bayi ke dalam inkubator dengan suhu 33°C-35°C)
3. Diet ASI per oral (kebutuhan cairan: 600 ml/hari), 8x75 ml/hari
4. I/T Ratio
5. Retiklosit
6. Cek TORCH
7. Infus D40% combo 3,2 cc/jam
8. Inj. Ceftazidime 2 x 175 mg

Planning monitoring

1. Observasi keadaan umum dan tanda vital


2. Observasi tanda-tanda infeksi
3. Observasi BAB dan BAK

H. Prognosis

- Quo ad vitam : dubia


- Quo ad functionam : dubia
- Quo ad sanationam : dubia

I. Follow Up

Tabel 3.9 Follow Up An. MAP Hari Perawatan ke-1,2,3


SOAP Keterangan
23 Februari 2023

Subjektif Distress napas (-), desaturasi (-), instabilitas suhu (-),muntah (-),
BAB (+), BAK (+), kuning (+)

Objektif - HR : 150 x/menit


- RR : 50 x/menit
- T : 36.4ºC
- SpO2 : 98% on CPAP
26

- CRT : <3 detik


3.959
- BB : 3.500 /3.900/ gram
3.870
- SD : 0
- Kulit: Ikterik (+) Kramer V, sianosis (-)
- Kepala/Leher : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
pernapasan cuping hidung (-)
- Thoraks Paru : Simetris, retraksi (-), bronkovesikuler, rhonki
(-/-), wheezing (-/-)
- Jantung : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen : supel, bising usus (+) distensi (-), hemangioma
(+)
- Ekstremitas : akral hangat, CRT < 3 detik, edema (-)
Assessment - Hiperbilirubinemia e.c Susp. Breast Milk Jaundice
- Sepsis klinis
- BLB SMK BBLC
- Hemangioma
Planning - Thermoregulasi (masukan ke inkubator dengan suhu 33°C-
35°C)
- Fototerapi
- Vit E 1 x 50 IU
- R/ Retikulosit
- R/ IT Ratio
- R/ G6PD

SOAP Keterangan
24 Februari 2023
Distress napas (-), desaturasi (-), instabilitas suhu (-),muntah (-),
Subjektif BAB (+), BAK (+), kuning (+)

Objektif - HR : 150 x/menit


- RR : 50 x/menit
- T : 36.4ºC
- SpO2 : 98% on CPAP
- CRT : <3 detik
3.959
- BB : 3.500 /3.900/ gram
3.870
- SD : 0
- Kulit: Ikterik (+) Kramer V, sianosis (-)
- Kepala/Leher : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
27

pernapasan cuping hidung (-)


- Thoraks Paru : Simetris, retraksi (-), bronkovesikuler, rhonki
(-/-), wheezing (-/-)
- Jantung : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen : supel, bising usus (+) distensi (-), hemangioma
(+)
- Ekstremitas : akral hangat, CRT < 3 detik, edema (-)
- Hiperbilirubinemia e.c Susp. TORCH infection
- Sepsis klinis
Assessment
- BLB SMK BBLC
- Hemangioma
- Thermoregulasi (masukan ke inkubator dengan suhu 33°C-
35°C)
- Fototerapi
Planning - Vit E 1 x 50 IU
- R/ cek TORCH
- R/ MDT
- R/ USG

SOAP Keterangan
25 Februari 2023
Distress napas (-), desaturasi (-), instabilitas suhu (-),muntah (-),
Subjektif BAB (+), BAK (+), kuning (+)

Objektif - HR : 150 x/menit


- RR : 50 x/menit
- T : 36.4ºC
- SpO2 : 98% on CPAP
- CRT : <3 detik
3.959
- BB : 3.500 /3.900/ gram
3.870
- SD : 0
- Kulit: Ikterik (+) Kramer V, sianosis (-)
- Kepala/Leher : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
pernapasan cuping hidung (-)
- Thoraks Paru : Simetris, retraksi (-), bronkovesikuler, rhonki
(-/-), wheezing (-/-)
- Jantung : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen : supel, bising usus (+) distensi (-), hemangioma
(+)
28

- Ekstremitas : akral hangat, CRT < 3 detik, edema (-)


- Hiperbilirubinemia e.c Susp. TORCH infection
- Sepsis klinis
Assessment
- BLB SMK BBLC
- Hemangioma
- Thermoregulasi (masukan ke inkubator dengan suhu 33°C-
35°C)
- Fototerapi
Planning - Vit E 1 x 50 IU
- R/ TORCH (lacak)
- R/ MDT
- R/ USG
BAB IV

PEMBAHASAN

Laporan kasus ini membahas sebuah kasus tentang An. MAP jenis kelamin

laki-laki, dirawat di RSUD Ulin Banjarmasin sejak tanggal 22 Februari 2023.

Bayi tersebut dirawat di RSUD Ulin dengan diagnosis bayi kuning pada kulit dan

mata.

Dilaporkan bayi berjenis kelamin laki-laki dari Ny. NH yang dilahirkan

dengan usia kehamilan 38 minggu pada 2 Januari 2023 di RSUD Ansari Shaleh

secara secario, Bayi lahir langsung menangis, bergerak aktif, dan ujung tangan

serta kaki berwarna kuning. Berat lahir bayi 3.500 gram dengan panjang badan 50

cm.

Setelah lahir, An. MAP dirawat inap untuk diobservasi karena berdasarkan

pemeriksaan fisik bayi ikterik. Anamnesis dengan ibu menyebutkan bahwa umur

kehamilannya sekitar 38 minggu. Perhitungan dengan skor New Ballard yang

meliputi maturitas neuromuskular dan fisik didapatkan total skor 35 yang

menginterpretasikan usia gestasi ibu adalah 38 minggu. Secara teori, bayi dalam

kasus ini termasuk ke kelompok bayi cukup bulan (BCB), yaitu bayi yang lahir

dengan masa gestasi 37 – 42 minggu.9 Perhitungan skor New Ballard dalam kasus

ini dapat dilihat pada Gambar 3.1.

29
30

18

17

Gambar 3.1. Perhitungan skor New Ballard.9

Pertumbuhan bayi semasa kehamilan dapat dinilai melalui kurva

Lubchenco. Kurva lubchenco memperkirakan pertumbuhan bayi berdasarkan usia

kehamilan saat bayi dilahirkan dan berat lahir bayi. Berdasarkan kurva

Lubchenco, terdapat tiga kelompok bayi, yaitu bayi kecil masa kehamilan (KMK),

sesuai masa kehamilan (SMK), dan besar masa kehamilan (BMK). Bayi dengan

berat lahir sama dengan atau di bawah persentil ke-10 atau kurang dari 2 Standar
31

Deviasi, digolongkan Kecil Masa Kehamilan (KMK). Bayi yang memiliki berat

lahir di atas persentil ke-90 digolongkan Besar Masa Kehamilan (BMK). Bayi

berada di antara persentil ke-10 hingga ke-90 digolongkan Sesuai masa

Kehamilan (SMK). Pada kasus ini, bayi memiliki berat lahir 3.500 gram dan usia

kehamilan 38 minggu digolongkan Sesuai masa Kehamilan (SMK). Kurva

pertumbuhan Lubchenco untuk kasus ini dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Kurva Pertumbuhan Lubchenco untuk An. MAP10

Bayi An. MAP lahir dengan berat badan 3.500 gram. Berdasarkan berat

lahirnya, bayi termasuk ke dalam BBLC. Bayi berat lahir rendah merupakan

keadaan dimana bayi lahir dengan berat badan < 2.500 gram tanpa melihat usia

gestasi dan melalui pengukuran berat badan kurang lebih 1 jam setelah

kelahiran.10

Bayi pada kasus ini lahir secara SC atas indikasi Sungsang presentasi
32

punggung. Berdasarkan teori, faktor risiko infeksi neonatus dibagi menjadi faktor

risiko mayor dan minor. Faktor risiko mayor meliputi KPD > 24 jam, denyut

jantung janin yang menetap >160 kali per-menit, ibu demam (saat intrapartum

suhu >38°C), korioamnionitis, dan ketuban berbau. Kriteria faktor risiko minor

adalah ketuban pecah selama 12-24 jam, jumlah leukosit maternal >15.000

sel/mL, ibu demam (saat intrapartum suhu >37,5° C), apgar skor rendah (menit

ke-1 <5, menit ke- 5 menit <7), bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) < 1500

gram, usia gestasi <37 minggu, kehamilan ganda, keputihan pada ibu yang tidak

diobati, dan ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK)/tersangka ISK yang tidak

diobati.3

Apabila terdapat satu faktor risiko infeksi mayor atau dua minor, maka

diagnosis sepsis klinis dapat ditegakkan. Pada kasus ini, tidak terpenuhi dua faktor

risiko infeksi mayor maka septic workup dapat dilakukan secara proaktif dengan

memperhatikan gejala klinis, serta dilakukan pemeriksaan penunjang sesegera

mungkin.3

Faktor risiko sepsis neonatorum juga dibagi menjadi faktor risiko yang

terkait dengan bayi dan maternal. Faktor risiko yang berhubungan dengan bayi di

antaranya adalah lahir premature dan BBLR. Bayi premature dengan BBLR

memiliki risiko mengalami sepsis 3-10 kali lebih tinggi daripada bayi aterm

dengan berat badan normal. Selain itu, fetal distress, skor APGAR yang rendah,

resusitasi bayi dan multipara juga meningkatkan risiko sepsis awitan dini.

Sementara itu, prosedur invasif yang dilakukan pada bayi, seperti pengambilan

darah berulang, intubasi, ventilasi mekanik, pemasangan kateter, pemberian ASI


33

kurang cukup, nutrisi parenteral jangka panjang, dan intervensi bedah dapat

meningkatkan risiko sepsis awitan lambat. Pada negara berkembang, risiko sepsis

awitan dini juga meliputi antenatal care yang tidak adekuat, tingginya kelahiran

di rumah, persalinan yang sanitasinya kurang, dan penanganan tali pusat yang

buruk. Faktor risiko sepsis neonatorum dari maternal meliputi korioamnionitis,

KPD > 18 jam, demam intrapartum > 38℃, dan kolonisasi maternal

Streptococcus grup B. Ketuban pecah dini dan korioamnionitis muncul pada 1-3%

sepsis neonatorum awitan dini. 11

Infeksi pada neonatus seringkali tidak menunjukkan gejala dan tanda yang

khas. Sepsis neonatorum dapat bermanifestasi multi organ. Pada sistem

pernapasan terdapat tanda retraksi dinding dada karena kontraksi otot aksesori

pernapasan, pernapasan cuping hidung, apnea, sianosis, takipnea. Pada sistem

kardiovaskular bradikardia atau takikardia, gangguan sirkulasi perifer, hipotensi,

capillary refill time yang memanjang seringkali muncul. Pada sistem pencernaan

seringkali ditemukan intoleransi nutrisi, kesulitan menghisap, muntah, diare, perut

kembung, hepatosplenomegali, dan ikterik. Gejala dan tanda lainnya, meliputi

sklerema, kutis marmorata, hipotoni, mengantuk, tangisan lemah atau bernada

tinggi, ubun-ubun menonjol, iritabilitas, dan kejang. 11,12 Pada kasus ini, gejala dan

tanda yang mengarahkan pada sepsis klinis adalah terdapat distres respirasi dan

sklera serta kulit yang ikterik.

Standar baku emas dalam mendiagnosis sepsis neonatorum adalah

ditemukannya pertumbuhan mikroorganisme pada biakan cairan tubuh seperti

darah, urin, cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan peritoneal, dan cairan sendi
34

yang diharapkan steril. Spesimen yang umum digunakan untuk biakan adalah

darah. Apabila biakan dengan spesimen darah negatif, biakan dengan cairan tubuh

lain dapat dilakukan.11 Pada 15-50% kasus sepsis yang disebabkan oleh meningitis

bacterial menunjukkan biakan darah yang negatif.12 Pada bayi baru lahir, beberapa

organisme bertanggung jawab terhadap terjadinya sepsis neonatorum dini. Infeksi

oleh Streptococcus grup B, Listeria monocytogenes, atau gram negatif batang

(misalnya, Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae) merupakan penyebab

umum sepsis. Agen patogen ini dapat diperoleh di dalam rahim, melalui aspirasi

saat dalam jalan lahir, atau kontak dengan manusia lain maupun kontak dengan

peralatan-peralatan medis.13,14

Pemeriksaan lab darah juga dilakukan untuk mendiagnosis sepsis. Pada bayi

baru lahir, leukosit dapat mencapai 30.000 sel/mm 3, sehingga leukositosis bukan

jadi penanda utama pada kasus sepsis. Bahkan 1/3 dari kasus sepsis tidak

ditemukan leukositosis. Dibandingkan neutrofilia, adanya neutropenia dianggap

lebih bermakna terutama selama 48 jam pertama kehidupan bayi. 12

Selain leukosit, rasio I/T juga signifikan dalam mendiagnosis sepsis.

Normalnya rasio I/T menurun dari 0,16 saat dilahirkan menjadi 0,12 setelah 60

jam. Jika rasio I/T menetap ≥ 0,2, diagnosis sepsis menjadi signifikan. Namun,

rasio I/T dapat menyebabkan interpretasi yang salah pada kasus, seperti asfiksia

perinatal, hipertensi ibu, dan induksi oksitosin jangka panjang. Juga harus diingat

bahwa teknik apusan perifer, pengetahuan dan pengalaman pemeriksa dapat

mempengaruhi hasil.12

Trombositopenia adalah penemuan akhir yang tidak spesifik dari sepsis


35

neonatorum. Ditemukan bahwa jumlah trombosit di bawah 100.000/mm 3 selama

10 hari pertama periode postnatal dan di bawah 150.000/mm 3 pada periode

selanjutnya dapat berhubungan dengan sepsis. Pada 50% kasus dengan infeksi

bakteri, jumlah trombosit ditemukan di bawah 100.000/mm3.12

C-reactive protein (CRP) disintesis dari hepatosit dan merupakan salah satu

tes laboratorium yang paling mudah tersedia dan paling sering digunakan dalam

diagnosis sepsis neonatorum. Sintesisnya dirangsang oleh sitokin, terutama

interleukin-6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor-α (TNF-α). Waktu paruhnya

antara 24-48 jam. Batas bawah normal dianggap sebagai 1 mg/dL pada periode

neonatal. Diperlukan waktu 10-12 jam untuk mencapai kadar terukur dalam

serum, sehingga reliabilitasnya rendah dalam diagnosis dini sepsis neonatorum.

Pengukuran CRP serial telah terbukti meningkatkan sensitivitas dalam diagnosis

sepsis 24 hingga 48 jam setelah timbulnya gejala. Pengukuran CRP serial juga

digunakan untuk mengevaluasi respon antibiotik. Meskipun tingkat serum CRP

meningkat terutama dengan infeksi, hal itu juga dapat meningkat karena penyebab

non-infeksi, seperti ketuban pecah dini, demam ibu, gawat janin, kelahiran yang

sulit, dan asfiksia perinatal. Hal ini menyebabkan spesifisitas CRP yang rendah

untuk sepsis neonatorum dini.11 Dari pemeriksaan CRP ditemukan adanya

penurunan menjadi 0,2 mg/dl. Namun, pemeriksaan CRP pada kasus ini dilakukan

22 Februari 2023.

Terdapat tiga kriteria diagnostik sepsis neonatorum, yaitu

suspected/possible sepsis, clinically sepsis, dan proven sepsis. Suspected sepsis

dapat ditegakkan dengan ada atau tidak adanya gejala sepsis, tetapi faktor risiko
36

infeksi memenuhi untuk dilakukan sepsis workup. Clinically sepsis atau sepsis

klinis ditegakkan apabila ditemukan gejala klinis dan kelainan laboratorium, tetapi

gagal untuk menunjukkan agen penyebab sepsis melalui kultur cairan tubuh.

Proven sepsis ditegakkan apabila gejala klinis dan kelainan laboratorium

mengarah ke sepsis disertai adanya biakan mikroorganisme penyebab pada kultur

cairan tubuh.11 Pada kasus ini, kultur darah bayi negatif, tetapi didapatkan gejala

klinis dan kelainan laboratorium. Gejala klinis yang dimiliki bayi adalah distres

respirasi dan ikterik, sedangkan kelainan laboratorium berupa peningkatan CRP.

Karena hal tersebut, pasien didiagnosis sebagai sepsis klinis.

Mikroorganisme penyebab sepsis neonatorum awitan dini umumnya

ditularkan secara vertikal dari ibu. Mikroorganisme di jalan lahir ibu, leher rahim,

vagina, dan rektum diketahui menyebabkan korioamnionitis dengan melewati

selaput ketuban yang utuh atau pecah sebelum atau selama persalinan. Namun

demikian, temuan klinis yang parah dan temuan bakteremia sejak lahir, terutama

pada bayi tanpa ketuban pecah dan lahir melalui operasi caesar, menunjukkan

transmisi plasenta. Korioamnionitis, yang merupakan salah satu faktor risiko

paling penting pada sepsis neonatorum onset dini, didefinisikan sebagai

peradangan akut selaput ketuban dan cairan ketuban. Ini sering berkembang

karena invasi mikro cairan ketuban akibat pecahnya selaput ketuban dalam waktu

lama. Demam, leukositosis, keluarnya cairan berbau busuk atau intens, nyeri perut

pada ibu dan takikardia janin adalah beberapa temuan klinis korioamnionitis.

Namun, korioamnionitis juga dapat hadir dengan temuan laboratorium patologis

tanpa temuan klinis. Sepsis neonatorum awitan lambat sering menunjukkan


37

transmisi horizontal dari individu yang bertanggung jawab merawat bayi, dari

lingkungan atau sumber nosokomial. Dalam kasus penularan vertikal, kolonisasi

awal pada bayi terjadi sebagai infeksi pada periode akhir. Faktor metabolik,

termasuk hipoksia, asidosis, hipotermia, dan gangguan metabolisme herediter

(misalnya, galaktosemia), cenderung berkontribusi terhadap risiko dan tingkat

keparahan sepsis neonatal. Faktor-faktor ini dianggap mengganggu respon imun

bayi.15

Ikterik neonatorum sering terjadi pada neonatus dan dapat bersifat fisiologis

atau patologis. Ikterik neonatorum sering dikarenakan hiperbilirubinemia karena

bilirubin tidak terkonjugasi dimana ketika bilirubin serum total lebih dari di atas

persentil ke-95 pada nomogram berdasarkan umur, kadar bilirubin serum total > 5

mg dl/hari, atau ikterus bertahan di atas 2-3 minggu pada bayi aterm.

Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi dapat bersifat fisiologis yang terjadi pada

75% hiperbilirubinemia pada neonatus. Ikterik fisiologis muncul setelah 24 jam

pertama kehidupan, mencapai puncaknya pada jam ke 48-96, dan membaik dalam

minggu kedua kehidupan pada bayi yang aterm. Ketika icterus muncul pada 24

jam pertama kehidupan bayi, hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi dapat bersifat

patologis. Hal ini dapat dikarenakan terjadinya peningkatan produksi bilirubin

yang bersifat patologis, seperti karena hemolisis, defisiensi enzim glucose-6-

phosphate dehydrogenase (G6PD), perdarahan akibat trauma lahir (seperti caput

succedaneum, sefal hematoma, perdarahan subgaleal, perdarahan intrakranial),

polisitemia, dan sepsis. Penyebab lain hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi

adalah penurunan klirens bilirubin, seperti sindrom Gilbert.16


38

Sementara itu, hiperbilirubinemia terkonjugasi atau yang disebut juga

kolestasis neonatorum, ditandai dengan peningkatan bilirubin direk > 1 mg/dl dan

dikarenakan kelainan fungsi hepatobilier. Hiperbilirubinemia terkonjugasi pada

neonatus merupakan keadaan patologis yang dikarenakan obstruksi aliran bilier,

infeksi, sepsis, dan penyebab genetik.16 Dalam kasus ini, ikterik neonatorum yang

terjadi pada bayi dapat disebabkan akibat dari sepsis klinis. Penyebab lain ikterik

neonatorum pada bayi ini juga dapat dikarenakan kurangnya intake ASI.

Ikterik neonatorum yang dialami pada bayi An. MAP dapat dihubungkan

dengan sepsis yang dideritanya. Bakteri yang menyebabkan sepsis menginvasi

hepar, sehingga terjadi yang dapat menyumbat saluran hepar dan menyebabkan

kolestasis. Bakteri juga dapat melakukan destruksi eritrosit sehingga terjadi

pemecahan hemoglobin yang berlebihan di dalam sistem retikulo endotelial oleh

enzim heme oksigenase menjadi biliverdin, selanjutnya oleh enzim biliverdin

reduktase dirubah menjadi bilirubin indirek. Bilirubin indirek yang meningkat

dibawa ke sirkulasi darah. Ketika jumlah bilirubin indirek ini melebihi ambang

batas, dapat menimbulkan gejala klinis berupa kulit dan sklera yang ikterik pada

bayi.17

Pada kasus sepsis, walaupun hasil kultur darah negatif, antibiotik empiris

tetap harus diberikan. Antibiotik lini pertama untuk sepsis neonatorum adalah

kombinasi ampisilin dan gentamisin yang diberikan secara intravena. Dosis

ampisilin adalah 50-100 mg/kgBB/dosis dengan interval pemberian setiap 6-12

jam. Dosis gentamisin adalah 4-5 mg/kg/dosis dengan interval pemberian 24-48

jam. Pemberian antibiotik pada kasus sepsis klinis adalah 10-14 hari. Beberapa
39

antibiotik lain yang dapat diberikan secara empiris adalah sefotaksim, vankomisin,

klindamisin, dan meropenem.15

Terdapat beberapa terapi tambahan untuk menangani sepsis neonatorum.

Salah satunya adalah penggunaan kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid

dalam pengobatan sepsis telah diperdebatkan dan dipelajari secara ekstensif pada

orang dewasa selama bertahun-tahun. Namun, dalam satu studi, terapi

hidrokortison menginduksi peningkatan tekanan arteri rata-rata, resistensi

pembuluh darah sistemik, dan penurunan denyut jantung, indeks jantung, dan

norepinefrin yang diperlukan untuk dukungan tekanan darah. Dosis hidrokortison

yang lebih rendah memulihkan stabilitas hemodinamik tanpa tanda-tanda

imunosupresi.17

Pada bayi An. MAP, diberikan vitamin E. Pemberian vitamin E yang

digunakan untuk perkembangan otak bayi. Pada bayi An. MAP dilakukan

termoregulasi untuk mempertahankan suhu tubuhnya. Termoregulasi dilakukan

terutama pada kasus BBLR. Cara mempertahankan suhu tubuh normal adalah

menghangatkan dan mempertahankan suhu tubuh bayi, seperti kangaroo mother

care, pemancar panas, inkubator atau ruangan hangat yang tersedia di fasilitas

kesehatan setempat, jangan menyentuh bayi dengan tangan yang dingin, dan

mengukur suhu tubuh sesuai jadwal.18 Perawatan metode kanguru (PMK) atau

kangaroo mother care (KMC) dirancang sebagai asuhan untuk neonatus dengan

berat lahir rendah atau kurang bulan. Perawatan metode kangguru dilakukan oleh

ibu dan bayi dengan kondisi yang stabil diletakkan telanjang di dada ibu dengan

hanya memakai popok, topi, dan kaus kaki.18


BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus bayi laki-laki, An. MAP yang dirawat di

RSUD Ulin Banjarmasin sejak tanggal 22 Februari 2023 dengan diagnosis bayi

lahir dengan ikteruk neonatorum yang difollow-up selama 3 hari dari tanggal 22

Februari – 25 Ferbruari 2023. Bayi Berat Lahir Cukup, Bayi Cukup Bulan, dan

Besar Masa Kehamilan. Pasien lahir dengan berat badan 3.500 gram pada usia

gestasi 38 minggu. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik

serta pemeriksaan penunjang. Selama menjalani perawatan di ruang bayi RSUD

Ulin Banjarmasin, bayi mendapatkan Fototerapi dan Vitmin E.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Fleischmann C, Reichert F, Cassini A. Global incidence and mortality of


neonatal sepsis: a systematic review and meta-analysis. Arch Dis Child.
2021;106(3):745-52.

2. Okube OT, Komen M. Prevalence and predictors of neonatal sepsis among


neonates admitted at the newborn unit of Kenyatta National Hospital,
Nairobi, Kenya. Open J Obstet Gynecol. 2020;10(9):1216-32.

3. Yunanto A. Panduan praktik klinik neonatologi. 3rd ed. Banjarmasin: Sari


Mulia Indah. 2019.

4. Louangpradith V, Yamamoto E, Inthaphatha S, Phoummalaysith B, Kariya


T, Saw YM. Trends and risk factors for infant mortality in the lao people’s
democratic republic. Scientific Reports. 2020;10(1):1-11.

5. Blencowe H, Krasevec J, Onis M, Black RE, An X, Stevens GA. National,


regional, and worldwide estimates of low birthweight in 2015 with trends
from 2000: a systematic analysis. Lancet Glob Health. 2019;7(7):e849-60.

6. Badan Pusat Statistik. Survei Data Demografi dan Kesehatan Indonesia


(SDKI). Jakarta: SKDI. 2019.

7. Wati S, Adi S. Gambaran kematian neonatal berdasarkan karakteristik ibu di


Kot Semarang. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas. 2020;5(2):82-7.

8. Auliasari NA, Etika R, Krisnana I, Lestari P. Faktor risiko kejadian ikterus


neonatorum. Pediomaternal Nurs J. 2019;5(2): 183-8.

9. Ballard JL, Novak KK, Driver M. A simplified score for assessment of fetal
maturation of newly born infants. The journal of pediatrics.1979;95:769.

10. Pickerel KK, Waldrop J, Freeman E, Haushalter J, D'Auria J. Improving the


accuracy of newborn weight classification. Journal of Pediatric Nursing.
2020 Jan 1;50:54-8.

11. Odabasi IO, Bulbul A. Neonatal sepsis. Med Bull Sisli Etfal Hosp.
2020;54(2):142-58.

12. Ershad M, Mostafa A, Cruz MD, Vearrier. Neonatal sepsis. Curr Emerg
Hosp Med Rep. 2019;7(1): 83-90.

41
42

13. Amelia R, Hasni D, Anggraini D. Pathogenesis of sepsis. Scientific Journal.


2022;1(4):332-9.

14. Martua YS. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sepsis
neonatorum di RSUD Taluk Kuantan. Jurnal Ilmiah Kesehatan.
2021;13(1):55-63.

15. Glaser MA, Hugher LM, Jnah A, Newberry D. Neonatal sepsis: a review of
pathophysiology and current management strategies. Adv in Neo Care.
2020;21(1): 49-60.

16. Assoku AB, Shah SD, Adnan M, Ankola PA. Neonatal jaundice. 2022
[cited 7 Februari 2023]. Available from:
https://europepmc.org/article/nbk/nbk532930.

17. Altit G, Vigny PM, Barrington K, Dorval VG, Lapointe A. Corticosteroid


therapy in neonatal septic shock. Am J Perunatol. 2018;35(2):146-51.

18. Kementerian Kesehatan RI. Buku saku pelayanan kesehatan neonatal


esensial: pedoman teknis pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Departemen
Kesehatan. 2010.

Anda mungkin juga menyukai