Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH ASUHAN KEBIDANAN NEONATUS BAYI,

BALITA DAN ANAK PRA SEKOLAH


“HUBUNGAN FREKUENSI PEMBERIAN ASI DENGAN DERAJAT IKTERUS
NEONATORUM FISIOLOGIS DI RSU PKU MUHAMMADIYAH I YOGYAKARTA”

Dosen Pembimbing :
Dr. Lumastari Ajeng Wijayanti, M.Kep, Sp.Mat

Disusun Oleh :
1. Ninne Gerdha (P17321181001)
2. Pepsilia Fransiska (P17321181003)
3. Putri Faiqotul Himmah (P17321183015)
4. Fadhila Kusumasari (P17321183010)
5. Diajeng Fenti S (P17321183017)
6. Risa Mafirta R (P17321183032)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEBIDANAN
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN KEDIRI
TAHUN 2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga


makalah Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah yang
berjudul “Hubungan Frekuensi Pemberian Asi Dengan Derajat Ikterus
Neonatorum Fisiologis Di Rsu Pku Muhammadiyah I Yogyakarta” dapat tersusun
hingga selesai.

Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam
mata kuliah Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah di
Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman untuk para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari

Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini


karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Kediri, 5 November 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER i

KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI 3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 4


1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penulisan 5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ikterus 6


2.2 Gejala dan Tanda Klinis 7
2.3 Etiologi 7
2.4 Patofisiologi 8
2.5 Manifestasi Klinis 9
2.6 Penatalaksanaan Ikterus 11
2.7 Epidemiologi Ikterus 12
2.8 Distribusi Frekuensi Pemberian ASI Pada Neonatus 13
2.9 Distribusi Frekuensi Derajat Ikterus Neonatorum Fisiologis 14
2.10 Hubungan Frekuensi Pemberian ASI Dengan Ikterus Neonatorum
Fisiologis 15
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 19
3.2 Saran 19

DAFTAR PUSTAKA 20

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asuhan kebidanan baru lahir adalah satu pelayanan kesehatan utama
yang diperkirakan dapat menurunkan angka kematian bayi baru lahir. Selain itu
diadakannya sistem rujukan yang selektif yang dapat menurunkan
angkakematian bayi baru lahir.
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat
tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada
neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi
dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit
pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru
lahir, terutama pada BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah). Banyak sekali
penyebab bayi kuning ini. Yang sering terjadi adalah karena belum matangnya
fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit ( sel darah merah). Pada bayi usia
sel darah merah kira-kira 90 hari. Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses
oleh hati bayi. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk melakukan
tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut bilirubin, bilirubin ini yang
menyebabkan kuning pada bayi. Kejadian ikterus pada bayi baru lahir (BBL)
sekitar 50% pada bayi cukup bulan dan 75% pada bayi kurang bulan (BBLR).
Kejadian ini berbeda-beda untuk beberapa negara tertentu dan beberapa klinik
tertentu di waktu tertentu.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam pengelolaan BBL yang pada
akhir-akhir ini mengalami banyak kemajuan. BBLR menjadi ikterus
disebabkan karena sistem enzim hatinya tidak matur dan bilirubin tak
terkonjugasi tidak dikonjugasikan secara efisien 4-5 hari berlalu. Ikterus dapat
diperberat oleh polisitemia, memar,infeksi. BBLR ini merupakan faktor utama
dalam peningkatan mortalitas, morbiditas, dan disabilitas neonatus, bayi dan
anak serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupan di masa
depan.

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari ikterus?
2. Apa saja gejala dan tanda klinis ikterus?
3. Bagaimana etiologi ikterus?
4. Bagaimana patofisiologi ikterus?
5. Bagaimana manifestasi klinis ikterus?
6. Bagaimana penatalaksanaan ikterus?
7. Bagaimana epidemiologi ikterus?
8. Bagaimana distribusi frekuensi pemberian ASI pada neonatus?
9. Bagaimana distribusi frekuensi derajat ikterus neonatorum fisiologis?
10. Apa hubungan frekuensi pemberian ASI dengan icterus neonatorum
fisiologis?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari ikterus
2. Untuk mengetahui apa saja gejala dan tanda klinis ikterus
3. Untuk mengetahui etiologi ikterus
4. Untuk mengetahui patofisiologi ikterus
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis ikterus
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan ikterus
7. Untuk mengetahui epidemiologi ikterus
8. Untuk mengetahui distribusi frekuensi pemberian ASI pada neonates
9. Untuk mengetahui distribusi frekuensi derajat ikterus neonatorum
fisiologis
10. Untuk mengetahui hubungan frekuensi pemberian ASI dengan icterus
neonatorum fisiologis

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ikterus


Ikterus atau Hiperbilirubinemia pada BBL adalah meningginya kadar
bilirubin didalam jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa
dan alat tubuh lainnya berwarna kuning.Ikterus pada bayi baru lahir terdapat
pada 25-50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus
kurang bulan.
Ikterus pada bayi baru lahir merupakan suatu gejala fisiologis atau
dapat merupakan hal patologis. Ikterus atau warna kuning pada bayi baru
lahir dalam batas normal pada hari ke 2-3 dan menghilang pada hari ke-10.
Ikterik neonatorum dikelompokkan menjadi dua yaitu :
1. Ikterus Fisiologis
Umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tak
terkonjugasi pada minggu pertama > 2mg/dL. Pada bayi cukup bulan
yang mendapat susu formula kadar bilirubin akan mencapai puncaknya
sekitar 6 – 8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan
menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat
sebesar 1 mg/dL selama 1 – 2 minggu.
Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI kadar bilirubin
puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi ( 7 – 14 mg/dL ) dan
penurunan terjadi lebih lambat. Bisa terjadi dalam waktu 2 – 4 minggu
bahkan dapat mencapai waktu 6 minggu.
2. Ikterus Patologis
Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam. Peningkatan kadar bilirubin
total serum 0,5 mg/dL/jam. Ikterus diikuti dengan adanya tanda – tanda
penyakit yang mendasari pada setiap bayi ( muntah, letargis, malas
menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea atau suhu
yang tidak stabil ). Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan
atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan.

6
2.2 Gejala dan Tanda Klinis
Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping
itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala:
1. Dehidrasi
Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-muntah)
2. Pucat
Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan golongan
darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah
ekstravaskular.
3. Trauma lahir
Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan tertutup lainnya.
4. Pletorik (penumpukan darah)
Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali
pusat, bayi KMK
5. Letargik dan gejala sepsis lainnya
6. Petekiae (bintik merah di kulit)
Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau eritroblastosis
7. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal)
Sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit
hati
8. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
9. Omfalitis (peradangan umbilikus)
10. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
11. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
12. Feses dempul disertai urin warna coklat
13. Pikirkan ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya konsultasikan ke bagian
hepatologi.

2.3 Etiologi
Etiologi ikterus pada neonatus dapat berdiri sendiri atau disebabkan oleh
beberapa faktor :
1. Produksi yang berlebihan

7
 Golongan darah Ibu - bayi tidak sesuai
 Hematoma, memar
 Spheratisosis kongental
2. Gangguan konjugasi hepar
 Enzim glukoronil tranferasi belum adekuat (prematur)
3. Gangguan transportasi
 Albumin rendah
 Ikatan kompetitif dengan albumin
 Kemampuan mengikat albumin rendah
4. Gangguan ekresi
 Obstruksi saluran empedu
 Obstruksi usus
 Obstruksi pre hepatic

2.4 Patofisiologi
a. Produksi bilirubin yang berlebihan, lebih dari kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya bisa menjadi salah satu penyebab meningkatnya
kadar bilirubindalam darah, rnisalnya pada hemolisis yang meningkat
pada inkompabilitas darah, Rh, ABO, golongan darah lain, detisiensi
G6PD, pendarahan tertutup dan sepsis
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imatur hepar, kurangya substrat
untuk konjugasi bilirubin ganaguan fungsi hepar akibat asidosis,
hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil
transferase(Criggler Najjer Syndrome). Penyebab lainnya adalah
defisiensi dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke
sel-selhepar.
c. Gangguan transportasi
Biliribin dalam darah terikat oleh albuminkemudian diangkut ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin inidapat dipengaruhi oleh obat-obatan
(salisilat, sulfaturazole). Difisiensi albumin menyebabkan lebih banyak

8
terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melakat ke sel otak.
d. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi karena obstruksi dalam hepar atau di
luarhepar, kelainan diluar hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan
hepar oleh penyebab lain.
e. Untuk menurunkan kadar bilirubin indirek dalam serum sehingga tidak
terjadi kern ikterus maka dilakukan terapi sinar tetapi efeksamping dari
terapi sinar secara langsung dapat menyebabkan hipertemia karena
panas lampu, atau hipertemia karena telanjang atau bahkan kulit
terbakar karena prinsip kerjanya membantu pemecahan bilirubin yang
kemudian dikeluarkan melalui urin/feces maka bayi bayi bisa
mengalami dehidrasi.
f. Adanya letargi atau malas minum karena lemahnya reflek menghisap
ikterus menyebabkan asupan nutrisi berkurang sehingga pemenuhan
nutrisi berkurang.
g. Karena asupan nutrisi terlambat maka menyebabkan peristaltik usus
menurun, pasase makanan terlambat, sehingga feses lunak/coklat
kehijauan selama pengeluaran bilirubin, dan urine berwarna gelap

2.5 Manifestasi Klinis


Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar
matahari. Bayi baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin
serumnya kira-kira 6 mg/dl atau 100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1
mikro mol/L). salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL
secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut
Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-
tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan
lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian
kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan
tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya. Gejala utamanya adalah

9
kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping itu dapat pula disertai
dengan gejala-gejala.
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubinemia pada bayi.
Termasuk dalam hal ini anamnesis mengenai riwayat inkompatabilitas
darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya.
Disamping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam
diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko tersebut
antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi, persalinan dengan
tindakan/komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama
hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus, gawat janin,
malnutrisi intrauterin, infeksi intranatal, dan lain-lain.
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah
lahir atau beberapa hari kemudian. Ikterus yang tampak pun sangat
tergantung kepada penyebab ikterus itu sendiri. Pada bayi dengan
peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai
jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu
warna kuning kulit terlihat agak kehijauan. Perbedaan ini dapat terlihat
pada penderita ikterus berat, tetapi hal ini kadang-kadang sulit dipastikan
secara klinis karena sangat dipengaruhi warna kulit. Penilaian akan lebih
sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar. Selain
kuning, penderita sering hanya memperlihatkan gejala minimal misalnya
tampak lemah dan nafsu minum berkurang. Keadaan lain yang mungkin
menyertai ikterus adalah anemia, petekie, pembesaran lien dan hepar,
perdarahan tertutup, gangguan nafas, gangguan sirkulasi, atau gangguan
syaraf. Keadaan tadi biasanya ditemukan pada ikterus berat atau
hiperbilirubinemia berat.
Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti yang penting pula dalam
diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus
mempunyai kaitan yang erat dengan kemungkinan penyebab ikterus
tersebut. Ikterus yang timbul hari pertama sesudah lahir, kemungkinan
besar disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah (ABO, Rh atau

10
golongan darah lain). Infeksi intra uterin seperti rubela, penyakit
sitomegali, toksoplasmosis, atau sepsis bakterial dapat pula
memperlihatkan ikterus pada hari pertama. Pada hari kedua dan ketiga
ikterus yang terjadi biasanya merupakan ikterus fisiologik, tetapi harus
pula dipikirkan penyebab lain seperti inkompatibilitas golongan darah,
infeksi kuman, polisitemia, hemolisis karena perdarahan tertutup, kelainan
morfologi eritrosit (misalnya sferositosis), sindrom gawat nafas,
toksositosis obat, defisiensi G-6-PD, dan lain-lain. Ikterus yang timbul
pada hari ke 4 dan ke 5 mungkin merupakan kuning karena ASI atau
terjadi pada bayi yang menderita Gilbert, bayi dari ibu penderita diabetes
melitus, dan lain-lain. Selanjutnya ikterus setelah minggu pertama
biasanya terjadi pada atresia duktus koledokus, hepatitis neonatal, stenosis
pilorus, hipotiroidisme, galaktosemia, infeksi post natal, dan lain-lain.

2.6 Penatalaksanaan Ikterus


Penatalaksanaan yang perlu dilakukan pada ikterus fisiologis, patologis dan
hemolitik adalah sebagai berikut:
1. Pemberian ASI sedini dan sesering mungkin (8-12 kali sehari)
Pada bayi yang kuning sebagian ibu ibu menghentikan pemberian ASI.
Menurut rekomendasi AAP , justru pemberian ASI tidak boleh
dihentikan bahkan harus ditingkatkan, jika bayi tidak bisa menyusu maka
bayi dipasang NGT.
2. Bayi dijemur dibawah sinar matahari
Sinar matahari dapat membantu memecah bilirubin sehingga lebih
mudah di proses oleh hati. Tempatkan bayi dekat dengan jendela terbuka
untuk mendapatkan matahari pagi antara jam 7-8 pagi agar bayi tidak
kepanasan, atur posisi kepala agar wajah tidak menghadap matahari
langsung. Lakukan penyinaran selama 30 menit, 15 menit terlentang dan
15 menit tengkurap. Usahakan kontak sinar dengan kulit seluas mungkin,
oleh karena itu bayi tidak memakai pakian (telanjang) tetapi hati-hati
jangan sampai kedinginan.
3. Terapi sinar

11
Petugas kesehatan akan memutuskan untuk melakukan terapi sinar
(phototherapy) sesuai dengan peningkatan kadar bilirubin pada nilai
tertentu berdasarkan usia bayi dan apakah bayi lahir cukup bulan atau
premature. Bayi akan ditempatkan dibawah sinar khusus. Sinar ini akan
mampu menembus kulit bayi dan akan mengubah bilirubin menjadi
lumirubin yang lebih mudah diubah oleh tubuh bayi. Selama terapi sinar
penutup khusus akan dibuat untuk melindungi mata. Jika terapi sinar
yang standard tidak menolong untuk menurunkan kadar bilirubin, maka
bayi akan ditempatkan pada selimut fiber optic atau terapi sinar
ganda/triple akan dilakukan. Jika gagal dengan terapi sinar maka
dilakukan transfusi tukar yaitu penggantian darah bayi dengan darah
donor. Ini adalah prosedur yang sangat khusus dan dilakukan pada
fasilitas yang mendukung untukmerawat bayi dengan sakit kritis, namun
secara keseluruhan, hanya sedikit bayi yang akan membutuhkan transfuse
tukar (Maryunani, 2013)
2.7 Epidemiologi Ikterus
Angka kejadian ikterus pada bayi sangat bervariasi di Indonesia
persentase ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan
pada bayi kurang bulan sebesar 42,9%, sedangkan di Amerika Serikat
sekitar 60% bayi menderita ikterus baru lahir menderita ikterus. Lebih dari
50% bayi-bayi yang mengalami ikterus itu mencapai kadar bilirubin yang
melebihi 10 mg/dl.
Ikterus terjadi apabila terdapat hiperbililirubin dalam darah. Pada
sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama
dalam kehidupannya. Dikemukakan bahwa kejadian ikterus terdapat pada
80% bayi kurang bulan. Di dunia rata-rata dilaporkan 32,19% bayi baru
lahir menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi bersifat patologik
yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan
kematian. Karena setiap bayi dengan ikterus harus ditemukan dalam 24
jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar bilirubuin meningkat lebih
dari 5 mg/dl dalam 24 jam.

12
Ikterus yang ditemukan pada bayi baru lahir dapat merupakan
suatu gejala fisiologis (terdapat pada 25-50% neonatus cukup bulan dan
lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan) atau dapat merupakan hal
yang patologis misalnya pada inkompatibilitas Rhesus dan ABO, sepsis,
galaktosemia, penyumbatan saluran empedu dan sebagainya
2.8 Distribusi Frekuensi Pemberian ASI Pada Neonatus

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan mayoritas responden berada pada


kategori sangat sering melakukan pemberian ASI sebanyak 15 (50%)
responden. Ibu yang sangat sering memberikan ASI disebabkan oleh adanya
dukungan keluarga dan tenaga kesehatan yang tinggi, pernah mempunyai
pengalaman memberikan ASI pada bayi dan disertai dengan jumlah produksi
ASI yang tinggi. Banyak hal yang mempengaruhi produksi ASI. Produksi
ASI dan pengeluaran ASI dipengaruhi oleh dua hormon, yaitu prolaktin dan
oksitosin.
Prolaktin mempengaruhi jumlah produksi ASI dan oksitosin berkaitan
dengan proses pengeluaran ASI. Prolaktin berkaitan dengan nutrisi ibu,
semakin asupan nutrisinya baik maka produksi yang dihasilkan juga banyak.
Namun demikian untuk, untuk mengeluarkan ASI diperlukan hormon
oksitosin yang kerjanya dipengaruhi oleh proses hisapan bayi. Semakin sering
putting susu dihisap oleh bayi maka semakin banyak ASI yang dikeluarkan
(Marmi, 2011).
Salah satu cara memperbanyak produksi ASI dengan meningkatkan
frekuensi menyusui atau memompa atau memeras ASI. Rentang frekuensi
menyusui yang yang optimal adalah delapan hingga dua belas kali per hari.
Pemberian ASI Sebaiknya sesering mungkin tidak perlu dijadwal. Susui bayi
sesuai dengan keinginannya (on demand). Bayi dapat menentukan sendiri

13
kebutuhannya. Bayi yang sehat dapat mengosongkan lima sampai dengan
tujuh menit dan ASI dalam lambung bayi kosong dalam waktu dua jam.
Menyusui yang dijadwalkan berakibat kurang baik. Menyusui yang
dijadwalkan akan berakibat kurang baik, karena isapan bayi sangat
berpengaruh pada rangsangan produksi ASI. Dikarenakan isapan bayi sangat
berpengaruh pada rangsangan ASI produksi ASI berikutnya. Dengan
memberikan ASI dengan tidak terjadwal (base on demand) dan sesuai
kebutuhan bayi dapat mencegah berbagai macam penyakit, salah satunya
adalah ikterus.

2.9 Distribusi Frekuensi Derajat Ikterus Neonatorum Fisiologis

Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 30 responden mayoritas


responden mengalami ikterus neonataorum fisiologis derajat I sebanyak 12
(40%)responden. Ikterus adalah pewarnaan kuning yang tampak pada sklera
dan muka yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin yang selanjutnya
meluas secara sefalokaudal ke arah dada, perut dan ekstremitas (Suradai
dalam Hegar, 2008). Menurut Indrasanto et al (2008), pada ikterus fisiologis,
sebagian besar bilirubin merupakan bilirubin yang terkonyugasi dan bayi
dalam keadaan umum yang baik. Keadaan ini bervariasi antara satu bayi
dengan bayi lainnya. Warna kuning yang terjadi pada kulit bayi yang timbul
pada hari kedua dan ketiga setelah bayi lahir. Ikterus menghilang pada 6-8
tetapi mungkin tetap sampai hari ke 14 dengan maksimal total kadar bilirubin
serum kurang 12 mg/dl. Derajat ikterus merupakan pemeriksaan ikterus

14
badan bayi baru lahir secara klinis yang sederhana dan mudah menggunakan
penilaian visual menurut Kramer.
2.10 Hubungan Frekuensi Pemberian ASI Dengan Ikterus Neonatorum
Fisiologis

Berdasarkan tabel 3 menunjukan bahwa dari 30 sampel yang digunakan


sebagian besar responden memberikan ASI dengan frekuensi sangat sering
sebanyak 15 (50 %) responden. Dan dari 15 (50 %) responden tersebut
sebagian besar mengalami ikterus nenatorum fisiologis derajat I sebanyak 9
(30,0%) responden.
Hasil analisa statistik menggunakan uji kendall tau menghasilkan nilai p
value = 0,001 Sehingga didapatkan bahwa p < 0,05 yang artinya Ha diterima
atau terdapat hubungan antara frekuensi pemberian ASI dengan derajat
ikterus neonatorum fisiologis di PKU Muhammadiyah I Yogyakarta.
Frekuensi pemberian ASI memiliki hubungan dengan derajat ikterus
neonatorum fisiologis dikarenakan kecukupan asupan ASI menjamin
kecukupan kalori dan cairan serta menurunkan risiko terjadinya ikterus
neonatorum pada bayi. Pemberian ASI yang tidak adekuat meningkatkan
resiko, kekurangan asupan kalori, dehidrasi akibat menurunnya volume
cairan, meningkatnya sirkulasi bilirubin enerophetik akibat menurunnya
motalitas gastrointestinal (Sunar, 2009). Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan terhadap 30 responden menunjukan bahwa sebagian besar
responden yang memberikan ASI dengan frekuensi sangat sering mayoritas
responden mengalami ikterus derajat I sebanyak 9 (30%) responden.
Hal ini disebabkan oleh pemberian ASI yang adekuat akan
meningkatkan motalitas usus dan menyebebakan bakteri diintroduksi ke usus.

15
Bakteri tersebut mampu mengubah bilirubin direk menjadi urobilin yang
tidak dapat diabsorbsi kembali sehingga kadar bilirubin akan turun, sehingga
ketika bilirubin turun derajat ikterusnya akan berkurang (Martiza, 2010).
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ulfa
Nur Isma tahun 2015 dengan judul Ulfa Nur Isma Ramadhani yang
menunjukkan sebagian besar (75%) frekuensi pemberian ASI < 0,05 maka
Ho ditolak yang artinya ada hubungan frekuensi pemberian ASI dengan
ikterus neonatorum pada bayi umur 1- 14 hari di BPM Vivi Umamiyanto
Surabaya. Simpulan dari penelitian ini adalah frekuensi pemberian ASI
mempengaruhi ikterus. Pada kasus ibu yang memberikan frekuensi ASI
dengan sering sebanyak 11 (36,7% ) responden dan mayoritas mengalami
ikterus neonatorum fisiologis derajat III sebanyak 4 (13,3%) responden.
Ikterus merupakan penyakit yang sangat rentang terjadi pada bayi baru lahir,
terutama dalam 24 jam setelah kelahiran, dengan pemberian ASI yang sering,
bilirubin yang dapat menyebabkan terjadinya ikterus akan dihancurkan dan
dikeluarkan melalui urine. Oleh sebab itu, pemberian ASI sangat baik dan
dianjurkan guna mencegah terjadinya ikterus pada bayi baru lahir. ASI adalah
salah satu penawar dalam mengurangi dan mengobati ikterus. Sedangkan
pada responden yang frekuensi pemberian ASInya tidak sering sebanyak 4
(13,3%) dan mayoritas mengalami ikterus neoantorum fisiologis derajat IV
sebanyak 2 (6,7%) responden.
Menurut Nurasalam (2013), bayi yang mendapatkan kecukupan asupan
ASI kurang mempunyai peluang 3,0 kali lebih besar untuk kejadian ikterus
neonatorum dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan kecukupan ASI
baik.
Teori ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ida Nursanti
dengan judul Pengaruh Kecukupan Asupan ASI Terhadap Risiko Terjadinya
Ikterus Neonatorum di Yogyakarta tahun 2011 dengan hasil penelitian
Terdapat perbedaan proporsi kejadian risiko terjadinya ikterus neonatorum
antara bayi yang mendapatkan kecukupan ASI baik dengan bayi yang
mendapatkan kecukupan asupan ASI kurang. Bayi yang mendapatkan
kecukupan asupan ASI kurang mempunyai peluang 3,0 kali lebih besar untuk

16
terjadi ikterus neonatorum dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan
kecukupan ASI baik.
Salah satu penyebab terjadinya ikterus adalah kurang adekuatnya
pemberian ASI kepada bayi. Penelitian yang dilakukan oleh Tazmi,
Mustarim, Syah (2013) diketahui bahwa angka kejadian ikterus dengan
pemberian ASI yang kurang dari delapan kali per hari mempunyai resiko
untuk terkena ikterus. Hal ini menujukan bahwa frekuensi menyusui
mempengaruhi terjadinya ikterus. Hal ini dikarenakan ASI adalah sumber
makanan terbaik bagi bayi selain mengandung komposisi yang cukup sebagai
nutrisi bagi bayi. Pemberian ASI juga dapat meningkatkan dan mengeratkan
jalinan kasih sayang antara ibu dengan bayi serta meningkatkan kekebalan
tubuh bagi bayi itu sendiri. Bayi yang menyusui dengan rentang frekuensi
yang optimal yaitu 8 hingga 12 menjadikan bayi menghadapi efek ikterus
(Sunar, 2009). Jumlah bilirubin dalam darah bayi banyak berkurang seiring
diberikannya kolostrum yang dapat mengatasi kekuningan, asalkan bayi
tersebut disusui sesering mungkin dan tidak diberi pengganti ASI. Selain
memenuhi segala kebutuhan makanan bayi baik gizi, imunologi, atau lainnya
sampai pemberian ASI memberi kesempatan bagi ibu mencurahkan cinta
kasih serta perlindungan kepada anaknya (Bahiyatun, 2009). Bayi-bayi yang
terus disusui secara adekuat akan cenderung lebih awal mengeluarkan
mekonium dan mengalami kejadian sakit kuning fisiologi yang lebih rendah
(Levene et al, 2008).
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Khairunnisak (2013) yang berjudul Hubungan pemberian ASI dengan
kejadian ikterus pada bayi baru lahir 0-7 hari di Rumah Sakit Umum Daerah
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2013 yang menunjukkan bahwa dari 16
responden yang tidak sering melakukan pemberian ASI ternyata sebanyak
87,5% positif mengalami ikterus. Sedangkan dari 35 responden yang sering
melakukan pemberian ASI ternyata mayoritas 51,4% negatif mengalami
ikterus. Hasil analisa statistik menggunakan uji chi-square menghasilkan nilai
p value = 0,020. Sehingga didapatkan bahwa p ≤ 0,05 yang artinya Ha
diterima atau terdapat hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian

17
ikterus pada bayi baru lahir 0-7 hari. Berdasarkan penelitian, menurut asumsi
penulis penyebab derajat ikterus yang tinggi disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu tenaga kesehatan yang kurang memberikan penkes tentang teknik
menyusui yang benar, ibu yang malas menyusui bayinya karena takut terjadi
perubahan fisik yang tidak baik serta dukungan yang kurang dari kelurga,
faktor bayi yang malas menyusui disebabkan oleh terlambat pemberian ASI
awal sehingga bayi lebih suka tidur.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ikterus adalah keadaan dimana meningginya kadar bilirubin didalam
jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh
lainnya berwarna kuning. Ini disebabkan oleh karena adanya timbunan
bilirubin (zat/ komponen yang berasal dari pemecahan hemoglobin dalam
sel darah merah) di bawah kulit.
Setelah dilakukan penelitian dan uji statistikmaka dapat disimpulkan,
dari 30 responden mayoritas berada pada kategori sangat sering melakukan
pemberian ASI yaitu sebanyak 15 (50%) responden, mayoritas berada pada
kategori ikterus fisologis derajat I sebanyak 12 (40%). Dan ada hubungan
frekuensi pemberian ASI dengan derajat ikterus neonatorum fisiologis di
RSU PKU Muhammadiyah I Yogyakarta.
3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini, masih banyak terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, sangat diperlukan kritik dan saran yang membangun agar
dalam pembuatan makalah selanjutnya lebih baik lagi. Selain itu, makalah
ini disarankan pula untuk dijadikan tolak ukur dalam pembuatan makalah-
makalah selanjutnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

FKUI .1985. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta: EGC


Mansjoer, A dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC
Arif, Dkk. 2009. Neonatus dan Asuhan Keperawatan Anak. Nuha Medika.
Yogyakarta.
Saifudin, Sbdul Bari. 2002. Buku Acuan National Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal. Jakarta: JNPKKR-POGI
Salman. 2006. Asuhan Antenatal. Jakarta: EGC
https://asniarahumayrah.wordpress.com/2017/09/08/ikterus-neonatorum/

http://aouraito.blogspot.com/2014/12/makalah-ikterus-pada-neonatorum.html

https://id.scribd.com/doc/316396207/IKTERUS-NEONATORUM

20

Anda mungkin juga menyukai