Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH IKTERUS NEONATORUM FISIOLOGI

Dosen Pengampu : Winda Puspita Sari ,S.ST,. M.keb

DISUSUN OLEH :

NAMA :YULIANA

NIM :(202107119)

KELAS : I B

PRODI SARJANA KEBIDANAN DAN PROFESI

INSTITUT ILMU KESEHATAN PELAMONIA KESDAM XIV HASANUDDIN

MAKASSAR

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah

ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih

terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan

baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa

pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam

penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.

Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca

demi kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 27 Maret 2022

YULIANA
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................3

A. Latar Belakang...................................................................3

B. Rumusan Masalah.............................................................5

C. Tujuan.................................................................................5

BAB II ISI.......................................................................................7

A. Pengertian Ikterus Neonatorum.........................................7

B. Klasifikasi Ikterus Neonatorium..........................................8

C. Tanda Dan Gejala Ikterus Neonatorium............................10

D. Etiologi Ikterus Neonatorium..............................................11

E. Faktor Resiko Ikterus Neonatorium...................................12

F. Patofisiologi Ikterus Neonatorium......................................13

G. Penanganan Dan Koplikasi Ikterus Neonatorium..............14

H. Pencegahan Ikterus Neonatorium......................................16

BAB III PENUTUP...................................................................25

A. Kesimpulan...................................................................25

B. Saran.............................................................................26

DAFTAR PUSTAKA......................................................................27
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bayi (AKB) karena bayi lebih rentan terhadap penyakit dan kondisi tubuh

yang tidak sehat. Selain itu AKB merupakan indikator penting dalam

pembangunan sektor kesehatan sehingga dapat menggambarkan keadaan deraj

at kesehatan di suatu masyarakat (Bappenas, 2007).

Sampai saat ini ikterus masih merupakan masalah pada neonatus yang

sering dihadapi tenaga kesehatan terjadi pada sekitar 25-50% neonatus cukup

bulan dan lebih tinggi pada neonatus kurang bulan. Oleh sebab itu memeriksa

ikterus pada neonatus harus dilakukan pada waktu melakukan kunjungan

neonatal/pada saat memeriksa bayi diklinik. (Depkes RI. 2006. him. 24)

AKB di Indonesia sebesar 35 per 1.000 kelahiran hidup Hasil ini mengalami

penurunan dari tahun sebelumnya, meskipun demikian penurunan yang terjadi

tidak berlangsung cepat, tetapi turun perlahan. Berdasarkan pola ini,

diperkirakan di tahun 2015 AKB di Indonesia mencapai 21 kematian bayi per

1000 kelahiran maka salah satu tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas

dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun

menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi

baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kemikterus).

Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling

berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan

gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental
yang sangat mempengaruhi kualitas hidup (SDKI tahun 2007).

Ikterus(jaundice) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah,

sehingga kulit(terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak kekuningan.

Pada sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama

kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60%

bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan. (Risa,2006)

Angka kejadian dan angka kematian neonatus akibat komplikasi seperti

Asfiksiadnleksi. Hipotermia, Hiperbilirubinemia masih tinggi, Ikterus, dan BBLR

didiharapkan Bidan sebagai ujung tombak pelayanan yang mungkin menjumpai

kasus Ikterus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai sesuai

dengan kompetensi dan fasilitas yang tersedia. Bidan dan perawat yang terampil

dan kompeten dalam manajemen Ikterus diharapkan dapat menangani kasus

Ikterus dengan baik dan benar, serta dapat menyebarkan pengetahuannya

kepada keluarga mengenai penanganan Ikterus menggunakan cara yang mudah

Mengingat banyaknya masalah kejadian Ikterus di Indonesia terutama di

daerah DIY maka perlu penanganan yang memadai untuk mencegah terjadinya

masalah Ikterus maupun komplikasi lebih lanjut agar dapat menekan dan

menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi, maka penulis merasa tertarik

untuk menyusun Karya Tubs Ilmiah tentang Asuhan Kebidanan Neonatus Bayi

Dan Balita Dengan Ikterus Patologis

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu ikterus neonatorum fisiologi

2. Apa saja klasifikasi ikterus neonatorium


3. Apa Tanda dan gejala ikterus neonatorium

4. Apa Etiologi ikterus neonatorium

5. Apa Penyebab ikterus neonatorium

6. Apa Faktor resiko ikterus neonatirium

7. Apa Patofisiologi ikterus neonatorium

8. Apa Penanganan dan komplikasi ikterus neonatorium

9. Apa pencegahan terjadinya ikterus neonatorum pada bayi

A. Tujuan

1. Untuk mengetahui ikterus neonatorum fisiologi

2. Untuk mengetahui klasifikasi ikterus neonatorium

3. Untuk mengetahui Tanda dan gejala ikterus neonatorium

4. Untuk mengetahui Etiologi ikterus neonatorium

5. Untuk mengetahui Penyebab ikterus neonatorium

6. Untuk mengetahui Faktor resiko ikterus neonatirium

7. Untuk mengetahui Patofisiologi ikterus neonatorium

8. Untuk mengetahui Penanganan dan komplikasi ikterus neonatorium

9. Untuk mengetahui pencegahan terjadinya ikterus neonatorum pada bayi


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ikterus Neonatorum

Ikterus neonatorum fisiologis adalah penyakit kuning yang ditunjukkan dengan

perubahan warna kekuningan pada kulit, konjungtiva, dan sklera akibat peningkatan

bilirubin plasma pada bayi baru lahir. Kondisi ini biasanya terjadi setelah hari kedua

atau ketiga setelah bayi lahir, puncaknya antara hari ke 4 sampai hari ke 5 pada

neonatus aterm dan hari ke 7 pada neonatus preterm, dan hilang dalam 2 minggu.

Ikterus neonatorum fisiologis tidak pernah terjadi dalam 24 jam pertama dan lebih

dari 2 minggu. Ikterik pada kondisi ini meluas secara sefalokaudal ke arah dada,

perut dan ekstremitas. Ikterus neonatorum seringkali tidak dapat dilihat pada sklera

karena bayi baru lahir umumnya sulit membuka kelopak mata.

Ikterus adalah keadaan transisional normal yang mempengaruhi hingga 50%

bayi aterm yang mengalami peningkatanprogresif pada kadar bilirubin tak

terkongjugasi dan ikterus pada hari ketiga (Myles, 2009).

Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning.

Ikterus adalah perubahan wama kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran

mukosa) yang menjadi kuning karena pewamaan oleh bilirubin yang meningkat

kadamya dalam sirkulasi darah.

Bilirubin merupakan produk utama pemecahan sei darah merah oleh sistem

retikuloendotelial. Kadar bilirubin serum normal pada bayi baru lahir < 2 mg/dl. Pada
konsentrasi > 5 mg/dl bilirubin maka akan tampak secara klinis berupa pewamaan

kuning pada kulit dan membran mukosa yang disebut ikterus. Ikterus akan ditemukan

dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus

terdapat pada 50% bayi cukup bulan (aterm) dan 75% bayi kurang bulan (preterm).

(Winkjosastro, 2007)

B. Klasifikasi Ikterus

1. Ikterus fisiologis adalah:

a. Ikterus yang timbul pada hari kedua atau ketiga lalu menghilang setelah

sepuluh hari atau pada akhir minggu kedua

b. Tidak mempunyai dasar patologis

c. Kadamya tidak melampaui kadar yang membahayakan

d. Tidak mempunyai potensi menjadi kern-ikterus

e. Tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi

f. Sering dijumpai pada bayi dengan berat badan lahir rendah.

Ikterus baru dapat dikatakan fisiologis apabila sesudah pengamatan dan

pemeriksaan selanjutnya tidah menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai

potensi berkembang menjadi kem-icterus. Kem-icterus (ensefalopati biliaris) ialah

suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak.(Sarwono,

2008)
Ikterus patologis Adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah

mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus

kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan

yang patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin mencapai

12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang bulan. Utelly

menetapkan 10 mg% dan 15 mg%. (Sarwono, 2002).

a. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama

b. Ikterus dengan kadar bilirubin > 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan atau >10

mg% pada neonatus kurang bulan.

c. Ikterus dengan peningkatan kadar bilirubin > 5 mg% per hari.

d. Ikterus pada BBLR yang terjadi hari ke 2-7

e. Ikterus pada BBLR dengan pewamaan kuning melebihi/melewati daerah muka

f. Ikterus yang cenderung menjadi patologik adalah :

• Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama setelah lahir

• Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5 mg % atau lebih

setiap24jam

• Ikterus yang disertai:

a. Berat lahir kurang dari 2000 gram

b. Masa gestasi kurang dari 36 minggu

c. Asfiksia,hipoksia,dan sindroma gawat nafas pada

d. neonatus

e. Infeksi

f. Trauma lahir pada kepala


g. Hipoglikemia,

h. Hiperosmolaritas darah

i. Proses hemolisis

C. Tanda Dan Gejala Ikterus Neonatorum

1. Gejala akut:

gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada neonatus adalah

letargi, tidak mau minum dan hipotoni.

2. Gejala kronik :

tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan opistonus (bayi

yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan

atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan displasia

dentalis).

Sedangkan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah wama kuning (ikterik) pada

kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar

bilirubin darah mencapai sekitar 40 pmol/1.


Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping itu

dapat pula disertai dengan gejala-gejala:

a. Dehidrasi, Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-

muntah)

b. Pucat, Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis.

Ketidakcocokan golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan

darah ekstravaskular.

c. Trauma lahir, Bruising, sefalhematom (peradarahan kepala),

perdarahan tertutup lainnya.

d. Pletorik (penumpukan darah). Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh

keterlambatan memotong tali pusat.

e. Letargik dan gejala sepsis lainnya.

f. Petekiae (bintik merah di kulit). Sering dikaitkan dengan infeksi congenital,

sepsis atau eritroblastosis.

g. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal) Sering berkaitan dengan

anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati

h. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)

i. Omfalitis (peradangan umbilikus)

j. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)

k. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)

l. Feses dempul disertai urin warna coklat. Pikirkan ke arah ikterus obstruktif.

D. Etiologi

Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena
a. Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sei darah merah lebih banyak dan

berumur lebih pendek.

b. Produksi bilirubin serum yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk

mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada

inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD,

piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

c. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi akibat dari gangguan fungsi

hepar. Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar,

akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil

transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein.

Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sei

hepar.

d. Gangguan transportasi karena kurangnya albumin yang mengikat bilirubin.

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan

bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,

sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya

bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sei otak.

e. Gangguan ekskresi yang terjadi akibat sumbatan dalam liver (karena infeksi atau

kerusakan sei liver). Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar

atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan

bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar

oleh penyebab lain.

E. Penyebab Ikterus
1. Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi

G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.

2. Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.

3. Polisitemia.

4. Ekstravasasi sei darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.

5. Ibu diabetes.

6. Asidosis.

7. Hipoksia/asfiksia.

8. Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi

enterohepatik.

9. Produksi yang berlebihan, misalnya pada pemecahan darah (hemolisis) yang

berlebihan pada incompatibilitas (ketidaksesuaian) darah bayi dengan ibunya.

10. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi akibat dari gangguan fungsi liver.

11. Gangguan transportasi karena kurangnya albumin yang mengikat bilirubin.

12. Gangguan ekskresi yang terjadi akibat sumbatan dalam liver (karena infeksi atau

kerusakan sei liver

A. Penegakan Diagnosis

a. Visual

Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat

digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus

kulit berwama, karena besamya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan

metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat

masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif
segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.

WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara

visual, sebagai berikut:

Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari

dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat

dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang

kurang.

Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui wama di

bawah kulit dan jaringan subkutan.

Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang

tampak kuning.

b. Bilirubin Serum

Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis

ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut.

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum

bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat

meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total.

Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil).

Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin

total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.

c. Bilirubinometer Transkutan

Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja

dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang


gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi wama kulit

neonatus yang sedang diperiksa.

Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat

dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength

spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin

transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.

d. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO

Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal

ini menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi

bilirubin serum yang rendah.

Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas.

Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase.

Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap

bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwama. Dengan pendekatan bilirubin

bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.

Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan

gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran

konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pemapasan dapat digunakan sebagai

indeks produksi bilirubin.

A. Faktor Resiko

Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:

Faktor Maternal

a. Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)


b. Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)

c. Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.

d. ASI

Faktor Perinatal

a. Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)

b. Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

Faktor Neonatus

A. Prematuritas

B. Faktor genetik

C. Polisitemia

D. Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)

E. Rendahnya asupan ASI

F. Hipoglikemia

G. Hipoalbuminemia

H. Patofisiologi

1. Pigmen kuning ditemukan dalam empedu yang terbentuk dari pemecahan

hemoglobin oleh kerja heme oksigenase,biliverdin reduktase,dan agen pereduksi

nonenzimatik dalam sistem retikuloendotelial,

2. Setelah pemecahan hemoglobin,bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh protein

intraseluler ”Y protein”dalam hati.pengambilan tergantung pada aliran darah

hepatik dan adanya ikatan protein.

3. Bilirubin yang tak terkonjugasi dalam hati diubah atau terkonjugasi oleh enzim

asam uridin difosfoglukuronat uridin diphosphoglucuronic acid (UPGA) glukuronil


transferase menjadi bilirubin mono dan diglucuronida yang polar larut dalam air

(bereaksi direk).

4. Bilirubin yang terkonjugasi yang larut dalam air dapat dieliminasi melalui ginjal

dengan konjugasi bilirubin masuk dalam empedu melalui membran kanalikular

kemudian ke sistem gastointestinal dengan diaktifkan oleh bakteri menjadi

urobilinogen dalam tinja dan urin.beberapa bilirubin diabsorbsi kembali melalui

sirkulasi enter ohepatik.

5. Wama kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen bilirubin yang larut dalam

lemak,tak terkonjugasi,non polar(bereaksi indirek)

6. Pada bayi dengan hyperbilirubinemia kemungkinan merupakan hasil dari

defisiensi atau tidak aktifnya glukuronil transferase, rendahnya pengambilan

dalam hepatik kemungkinan karena penurunan protein hepatik sejalan dengan

penurunan darah hepatik.

7. Jundice yang terkait dengan pemberian ASI merupakan hasil dari hambatan

kerja glukoronil transferase oleh pregnanediol atau asam lemak yang terdapat

dalam ASI terjadi 4- 7 hari setelah lahir dimana terdapat tkenaikan bilirubin tak

terkonjugasi dengan kadar 25 - 30 mg/dl selama minggu ke 2- ke 3.biasanya bisa

mencapai usia 4 minggu dan menurun setelah 10 minggu.jika pemberian ASI

dilanjutkan,hyperbilirubinemia akan menurun berangsur angsur dapat menetap

selama 3-10 minggu pada kadar yang lebih rendah.jika pemberian ASI

dihentikan,kadar bilirubin serum akan turun dengan cepat biasanya 1-2 hari dan

pengganti ASI dengan susu formula mengakibatkan penurunan bilirubin serum

dengn cepat,sesudahnya pemberian ASI dapat dimulai lagi dan hyperbilirubin


tidak kembali ke kadar yang tinggi seperti sebelumanya.

8. Bilirubin yang patologi tampak ada kenaikan bilirubin dalam 24 jam pertama

kelahiran.sedangkan untuk bayi dengan ikterus fisiologis muncul antara 3-5 hari

sesedah kelahiran.

A. Penanganan Dan Komplikasi Ikterus Neonatorium

a. Bawa segera ke tenaga kesehatan untuk memastikan kondisi ikterus pada bayi

kita masih dalam batas normal (fisiologis) ataukah sudah patologis.

b. Dokter akan memberikan pengobatan sesuai dengan analisa penyebab yang

mungkin. Bila diduga kadar bilirubin bayi sangat tinggi atau tampak tanda-tanda

bahaya, dokter akan merujuk ke RS agar bayi mendapatkan pemeriksaan dan

perawatan yang memadai.

c. Di rumah sakit, bila diperlukan akan dilakukan pengobatan dengan pemberian

albumin, fototerapi (terapi sinar), atau tranfusi tukar pada kasus yang lebih berat.

1. Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir:

Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama-tama diperhatikan oleh

salah seorang perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat tersebut melihat

bahwa bayi yang mendapatkan sinar matahari di bangsalnya temyata ikterusnya

lebih cepat menghilang dibandingkan dengan bayi lainnya. Cremer (1958) yang

mendapatkan laporan tersebut mulai melakukan penelitian mengenai pengaruh sinar

terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya terbukti bahwa disamping sinar

matahari, sinar lampui tertentu juga mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar

bilirubin pada bayi prematur yang diselidikinya.


Terapi sinar tidak hanya bermanfaat untuk bayi kurang bulan tetapi juga efektif

terhadap hiperbilirubinemia oleh sebab lain. Pengobatan cara ini menunjukkan efek

samping yang minimal, dan belum pemah dilaporkan efek jangka panjang yang

berbahaya.

Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar, yang perlu diperhatikan:

a. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan

membuka pakaian bayi.

b. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat

memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sei reproduksi bayi.

c. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik

untuk mendapatkan energi yang optimal.

d. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh

bayi yang terkena cahaya dapat menyeluruh.

e. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.


f. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.

g. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan

hemolisis.

h. Pengawasan nutisi/ASI

Pemberian nutrisi harus dilakukan dengan cermat.Perintah menyusui sudah

dijelaskan dalam QS Al-Baqarah (2) ayat 233 yang artinya:

“ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun penuh, yaitu bagi

yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan

pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani

melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita

kesengsaraan karena anaknya,dan juga seorang ayah karena ankanya, dan

warispun kewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum 2 tahun)

dengan kerelaan keduanya dan musyawaralymaka tidak ada dosa atas keduanya.

Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,maka tidak ada dosa bagimu.

Apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada

Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. ”

Untuk pemberian ASI sangat dianjurkan untuk memberikan

ASI ekslusif yaitu pemberian ASI saja tanpa makanan pendamping lainnya selama 6

bulan penuh kemudian dilanjutkan sampai usia dua tahun dengan ditambah

makanan pendamping ASI.

Bila dievaluasi ternyata tidak banyak perubahan pada kadar bilirubin, perlu

diperhatikan kemungkinan lampuyang kkurang efektif, atau ada komplikasi pada bayi

seperti dehidrasi, hipoksia (kekurangan oksigen), infeksi, gangguan metabolisme,


dan lain-lain.

2. Komplikasi

Setiap pengobatan selalu akan menimbulkan efek samping. Dalam penelitian

yang dilakukan selama ini, tidak ditemukan pengaruh negatif terapi sinar terhadap

tumbuh kembang bayi. Efek samping hanya bersifat sementara, dan dapat

dicegah/diperbaiki dengan memperhatikan tata cara penggunaan terapi sinar.

Kelainan yang mungkin timbul karena terapi sinar antara lain:

a. Peningkatan kehilangan cairan tubuh bayi. Karena itu pemberian cairan harus

diperhatikan dengan sebaik-baiknya. Bila bayi bisa minum ASI, sesering mungkin

berikan ASI.

b. Frekwensi buang air besar meningkat karena hiperperistaltik (gerakan usus yang

meningkat).

c. Timbul kelainan kulit yang bersifat sementara pada muka, badan, dan alat gerak.

d. Kenaikan suhu tubuh.

e. Kadang pada beberapa bayi ditemukan gangguan minum, rewel, yang hanya

bersifat sementara.

Komplikasi biasanya bersifat ringan dan tidak sebanding dengan manfaat

penggunaannya. Karena itu terapi sinar masih merupaka pilihan dalam mengatasi

hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.

A. Mencegah Ikterus Pada Bayi

Ikterus dapat dicegah sejak masa kehamilan, dengan cara pengawasan

kehamilan dengan baik dan teratur, untuk mencegah sedini mungkin infeksi pada

janin, dan hipoksia(kekurangan oksigen) pada janin di dalam rahim. Pada masa
persalinan, jika terjadi hipoksia, misalnya karena kesulitan lahir, lilitan tali pusat,

dan lain-lain, segera diatasi dengan cepat dan tepat. Sebaiknya, sejak lahir,

biasakan anak dijemur dibawah sinar matahari pagi sekitar jam 7 - jam 8 pagi

setiap hari selama 15 menit dengan membuka pakaiannya. Edukasi dan promosi

kesehatan ikterus neonatorum fisiologis penting diberikan pada ibu bayi dan

keluarganya agar hiperbilirubinemia yang terjadi tidak berkembang

Penggunaan kriteria Kremer berkorelasi dengan kadar bilirubin total secara

kasar, yaitu:

 Kremer I yakni bagian tubuh yang nampak kuning dari bagian kepala hingga

leher, serum bilirubin pada level 4–8 mg/dl

 Kremer II meliputi bagian kepala hingga upper trunk, serum bilirubin pada

level 5–12 mg/dl

 Kremer III meliputi bagian kepala hingga lower trunk dan paha bawah,

serum bilirubin pada level 8–16 mg/dl

 Kremer IV meliputi bagian kepala hingga tangan dan tungkai bawah, serum

bilirubin mencapai level 11-18 mg/dl

 Kremer V meliputi seluruh badan yakni kepala hingga telapak tangan dan

telapak kaki, serum bilirubin levelnya >15 mg/dll


Penatalaksanaan ikterus neonatorum fisiologis meliputi paparan sinar matahari,

fototerapi, dan asupan nutrisi yang mencukupi. Kondisi ini akan sembuh sendiri

dan bayi tidak perlu dirawat. Paparan sinar matahari dapat menurunkan kadar

bilirubin indirek/tak terkonjugasi. Jika kadar bilirubin indirek/tak terkonjugasi tetap

tinggi atau meningkat, bayi mungkin memerlukan pengobatan lebih lanjut untuk

menurunkan kadar bilirubin. Perawatan yang dapat dilakukan adalah dengan

pemberian air susu ibu (ASI) yang adekuat dan fototerapi


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Ikterus neonatorum fisiologis adalah penyakit kuning yang ditunjukkan

dengan perubahan warna kekuningan pada kulit, konjungtiva, dan sklera akibat

peningkatan bilirubin plasma pada bayi baru lahir. Kondisi ini biasanya terjadi

setelah hari kedua atau ketiga setelah bayi lahir, puncaknya antara hari ke 4

sampai hari ke 5 pada neonatus aterm dan hari ke 7 pada neonatus preterm, dan

hilang dalam 2 minggu. Ikterus neonatorum fisiologis tidak pernah terjadi dalam

24 jam pertama dan lebih dari 2 minggu. Ikterik pada kondisi ini meluas secara

sefalokaudal ke arah dada, perut dan ekstremitas. Ikterus neonatorum seringkali

tidak dapat dilihat pada sklera karena bayi baru lahir umumnya sulit membuka

kelopak mataFaktor-faktor penyebab ikterus yaitu factor maternal, perintal,dan

neonatus. Asuhan kebidanan yang dapat diberikan pada bayi baru lahir dengan

ikterus fisiologis yaitu dengan memberikan ASI sedini mungkin dan sesering
mungkin serta melakukan penjemuran dibawah sinar matahari pagi dengan

memperhatikan lama penjemuran dan kondisi cuaca agar bilirubin bisa

dikeluarkan melalui urin dan feses. Asuhan kebidanan pada ikterus patologis

yaitu dengan melakukan fototerapi yang berguna untuk menurunkan kadar

bilirubin serum dalam darah sehingga tindakan ini akan mengurangi kebutuhan

transfusi tukar

B. SARAN

Diharapkan bidan bisa memberikan Edukasi dan promosi kesehatan ikterus

neonatorum fisiologis penting diberikan pada ibu bayi dan keluarganya agar

hiperbilirubinemia yang terjadi tidak berkembang


DAFTAR PUSTAKA

https://www.alomedika.com/penyakit/kesehatan-anak/ikterus-neonatorum-
fisiologis/etiologi

https://www.alomedika.com/penyakit/kesehatan-anak/ikterus-neonatorum-
fisiologis/etiologi

https://www.alodokter.com/komunitas/topic/ikterus-pada-
bayie9a5f5#:~:text=Ikterus%20neonatorum%20fisiologis%20adalah
%20penyakit,plasma%20pada%20bayi%20baru%20lahir.

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2310/3/BAB%20II.pdf

https://www.sehatq.com/penyakit/ikterus-neonatorum
https://scholar.google.co.id/scholar?
q=pembahasan+ikterus+neonatorum+fisiologis&hl=id&as_sdt=0&as_vis=1&oi=
scholart#d=gs_qabs&u=%23p%3DaFQsYhgbAnQJ

http://repository.unjaya.ac.id/3360/3/Bab%20I.pdf

Anda mungkin juga menyukai