Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

PEMBERIAN INFUS

DISUSUN OLEH :

Raden Ade Nengsih (21121A124)

PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN

AKADEMI KEBIDANAN BAKTI INDONESIA

BOGOR

2022

1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur saya panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat
dan karunia-Nyalah, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, tepat pada waktunya adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Asuhan
Kebidanan pada semester 2, di tahun ajaran 2021-2022, dengan judul Pemberian infus. Kami
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Beti Sartika. S.ST.,M.Kes, selaku Dosen mata kuliah
Pengantar Asuhan Kebidanan. Berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah wawasan saya
dan teman-teman berkaitan dengan topik yang diberikan.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak
kesalahan. Oleh karena itu saya memohon maaf atas kesalahan dan ketidaksempurnaan yang
pembaca temukan dalam makalah ini. Saya juga berharap adanya kritik serta saran dari pembaca
apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Bogor, 27 Juni 2022

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................... 2
DAFTAR ISI..................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................. 5
1.3 Tujuan................................................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Septum Vagina....................................................................................................... 6
2.2 Aplasia dan Atresia Vagina................................................................................... 8
2.3 Kista Vagina........................................................................................................ 10
2.4 Uterus dan Tuba Fallopi...................................................................................... 10
2.5 Ovarium.............................................................................................................. 10
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................... 12
3.2 Saran..................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 13

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit saluran pencernaan merupakan penyakit yang berbahaya dan menyebabkan
kematian nomor 6 di dunia, dikarenakan pengetahuan akan gejala awal suatu penyakit yang
kurang, kesadaran akan kesehatan masyarakat yang masih rendah, kebiasaan hidup, perilaku
dan pola pikir dari masyarakat yang ingin hidup praktis, sarana media penyampaian
informasi tentang penyakit yang masih 2 kurang, serta minimnya jumlah tenaga medis
(Istiqomah & Fadlil, 2013) Bagian sistem pencernaan anak yang seringkali terserang
penyakit adalah pada bagian usus, hingga tak heran jika anak-anak sering terkena penyakit
diare, infeksi usus bahkan sampai penyakit cacing usus. Di Indonesia penyakit cacing usus
terutama yang ditularkan melalui tanah seperti Ascaris Lumbricoides, Tricus Trichiura dan
Cacing Tambang masih merupakan penyakit rakyat dengan prevalensi yang cukup tinggi
terutama pada masyarakat sosio ekonomi rendah di pedesaan (Lubis, 2004).

Salah satu jenis penyakit sistem pencernaan yang sering menyerang anak-anak adalah
diare. Diare tetap menjadi penyebab kedua kematian di antara anak-anak balita secara
global. Hampir satu dari lima kematian anak (sekitar 1,5 juta setiap tahun) adalah karena
diare. Diare dapat membunuh anak lebih muda dari AIDS, malaria dan campak (WHO &
UNICEF, 2009). Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara
berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih tinggi.
Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan dari tahun 2000
s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 IR penyakit Diare 301/ 1000
penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374 /1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423
/1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB)
diare juga masih sering terjadi, dengan CFR yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi
KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah 3 kasus 8133 orang, kematian 239 orang. Tahun 2009
terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100
orang, sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita
4204 dengan kematian 73 orang (RI, Agtini, Mph, & Soenarto, SpA(K),PhD, 2011)

1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud septum vagina dan bagaimana cara penanggulangannya?

1.2.2 Apa yang dimaksud aplasia dan atresia vagina dan bagaimana cara
penanggulangannya?

1.2.3 Apa yang dimaksud kista vagina dan cara penanggulangannya?

1.2.4 Apa yang dimaksud uterus dan Tuba Fallopi dan cara penanggulangannya?

1.2.3 Apa yang dimaksud ovarium dan bagaimana cara penanggulangannya?

1.3 Tujuan
1.2.1 Mengetahui apa yang dimaksud septum vagina dan bagaimana cara
penanggulangannya.

1.2.2 Mengetahui apa yang dimaksud aplasia dan atresia vagina dan bagaimana cara
penanggulangannya.

1.2.3 Mengetahui apa yang dimaksud kista vagina dan cara penanggulangannya.

1.2.4 Mengetahui apa yang dimaksud uterus dan Tuba Fallopi dan cara penanggulangannya.

1.2.3 Mengetahui apa yang dimaksud ovarium dan bagaimana cara penanggulangannya.

1.4 Manfaat Makalah


Adapun manfaat penulisan adalah sebagai berikut :

1.4.1 Sebagai bahan referensi bagi mahasiswi mengenai materi pemberian infus

1.4.2 Sebagai bahan penilaian tugas mata kuliah Pengantar Asuhan Kebidanan

1
BAB II
PEMBAHAASAN

2.1 Definisi gangguan sistem pencernaan pada anak


Gangguan sistem pencernaan pada anak adalah dimana anak mengalami pengerasan tinja yang
berlebihan sehingga sulit untuk dibuang atau dikeluarkan yang dapat menyebabkan kesakitan
hebat pada penderitanya. Bisa dikatakan konstipasi apabila buang air besar dalam seminggu
kurang dari 2x dan dalam tempo 1 minggu atau satu bulan terdapat satu periode dimana ketika
buang air besar mengeluarkan kotoran yang sangat banyak. Hal ini terjadi karena penimbunan
kotoran terlalu lama.

Pada umumnya, waktu pengosongan lambung setelah makan sekitar 1 sampai 2 jam dan
makanan akan masuk ke usus dua belas jari dan akan berhenti di usus dua belas jari kurang lebih
12 jam tergantung dari isi makanan tersebut, sehingga makanan dapat diserap oleh tubuh setelah
dilakukan proses pencernaan yang ada di dalam usus halus, kemudian akan menuju ke usus besar
dimana akan ada proses penyerapan cairan.

masalah yang terjadi pada saluran atau organ yang terlibat dalam pencernaan. Kondisi ini bisa
disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari infeksi hingga naiknya asam lambung. Gejala
gangguan sistem pencernaan pun bervariasi, mulai dari yang ringan hingga yang berat.
Gangguan sistem pencernaanumumnya terjadi karena radang selaput perut dan usus yang
disebabkan oleh virus. Biasanya, sakit gangguan pencernaan bisa diobati di rumah, tetapi
membutuhkan perawatan medis jika gejalanya ekstrem dan berkepanjangan.

2.2 Macam-macam gangguan pencernaan pada anak

2.2.1 Necrotizing enterocolitis (NEC)


Necrotizing enterocolitis (NEC) adalah suatu proses inflamasi, ditandai dengan nekrosis
intestinal yang menyebabkan perforasi, peritonitis dan kematian. Teori patogenetik klasik
berfokus pada kerusakan mukosa yang terkait dengan iskemia intestinal yang diinduksi stres
yang menyebabkan cedera mukosa dan kolonisasi bakteri pada dinding. Hipotesis yang lebih
baru menekankan peran ketidakmatangan sistem pencernaan dan kekebalan tubuh, terutama
yang prematur, bertanggung jawab atas kerentanan dinding usus
NEC adalah keadaan darurat gastrointestinal yang paling umum terjadi pada bayi baru
lahir, dengan kejadian yang lebih tinggi pada prematur.

1.Epidemiologi

1
Epidemiologi Necrotizing enterocolitis (NEC) mempengaruhi sekitar 5% dari semua bayi
dengan berat lahir prematur atau sangat rendah (VLBW: <1500 g) dan sekitar 10% dari
semua bayi sangat prematur atau bayi dengan berat lahir sangat rendah (ELBW: <1000 g).
Tingkat kematian akut terkait NEC adalah umumnya dilaporkan lebih besar dari 10% secara
keseluruhan dan lebih dari 25% untuk bayi dengan NEC cukup berat, memerlukan
intervensi bedah. Bayi dengan NEC memiliki kejadian infeksi nosokomial yang lebih tinggi
dan tingkat asupan nutrisi yang lebih rendah, tumbuh lebih lambat, dan memiliki durasi
perawatan intensif dan tinggal di rumah sakit lebih lama. Studi populasi dari India mengenai
kondisi ini tidak dipublikasikan secara luas. Dalam satu laporan tersebut terjadi kejadian
NEC pada bayi usia kehamilan kurang dari 32 minggu adalah 5,2%. Tingkat kematian
bervariasi di seluruh pusat dan berkisar antara 10 sampai 40% tergantung usia kehamilan
bayi .

2. Faktor resiko

(1)Prematuritas(<28minggu).
(2) Pemberian enteral (90% diberi makan secara enteral).
(3) Keterlambatan pertumbuhan neonatus.
(4) Penyakit hipertensi ibu hamil.
(5) Plasental abruption.
(6) Kecepatan aliran diastolik yang tidak ada atau terbalik.
(7) Penggunaan kateter umbilikal
(8) Skor Apgar rendah.
(9) Transfusi PRC.

1
3. Manifestasi Klinis
Bayi dengan NEC memiliki berbagai tanda dan gejala dan mungkin
mengalami onset bencana yang berbahaya atau mendadak.

GASTROINTESTINAL SISTEMIK
Distensi abdomen Lethargy
Abdominal tenderness Apnea/distress pernapasan
Intoleransi makan Ketidakstabilan suhu
Keterlambatan pengosongan lambung Rasa tidak nyaman
Muntah Asidosis (Metabolik/respiratorik)
Olkutisme / darah dalam tinja Ketidakstabilan glukosa
Perubahan konsistensi tinja / diare Perfusi yang buruk/syok
Massa perut Koagulopati intravaskular diseminata
Eritema dinding perut Hasil positif dari kultur darah

Permulaan NEC biasanya terjadi pada minggu ke 2 atau 3 minggu namun bisa selambat-
lambatnya 3 bulan pada bayi VLBW. Usia onset berbanding terbalik terkait usia kehamilan.
Tanda pertama penyakit nonspesifik, termasuk lethargy dan ketidakstabilan suhu, atau
terkait dengan patologi gastrointestinal, seperti distensi abdomen dan retensi lambung.
Darah pada feces jelas terlihat pada 25% pasien. Karena tanda nonspesifik, sepsis mungkin
dicurigai sebelum NEC. Spektrum penyakitnya luas, mulai dari yang ringan penyakit dengan
hanya feces guaiak-positif. Untuk penyakit parah dengan perforasi usus, peritonitis, sindrom
respon inflamasi sistemik, syok, dan kematian. Perkembangan penyakit mungkin cepat, tapi
biasanya penyakit ini berkembang dari yang ringan sampai berat setelah 72 jam.

4. Patogenesis
Berbagai kombinasi faktor risiko, yang mungkin didasarkan pada predisposisi genetik, telah
ditunjukkan untuk meningkatkan risiko cedera mukosa dan epitel.

1
1. Prematuritas dengan gangguan imunitas
Faktor risiko yang paling konsisten dan penting adalah imaturitas itu sendiri.
Motilitas, digesti, absorpsi, dan regulasi sirkulasi yang imatur menjadi predisposisi bayi
prematur terhadap peningkatan risiko cedera usus. Terutama pada pasien tersebut,
pertahanan gastrointestinal (GI) (barier fisik) dan pertahanan imunologis, meliputi
limfosit intraepitel dan sekretori IgA, sangat terganggu; dan kurangnya atau tidak adanya
banyak faktor biokimia seperti laktoferin, epidermal growth factor (EGF), heparin-
binding (HB)-EGF, transforming growth factor, insulin-like growth factor, oligosakarida,
dan asam lemak tak jenuh ganda (PUFA).

2. Makanan enteral
Pemberian makanan enteral, terutama pemberian susu formula, adalah faktor
risiko kedua yang paling penting pada NEC, dengan lebih dari 90% kasus NEC
dilaporkan terjadi setelah inisiasi pemberian makanan enteral. Sejak pemberian makanan
dini diperkenalkan dalam perawatan bayi dengan berat badan lahir amat sangat rendah,
onset NEC umumnya tertunda untuk beberapa minggu. Hubungan pasti antara pemberian
makanan enteral dan NEC tetap tidak jelas, tapi volume dan laju peningkatan pemberian
makan (overdistensi dapat membahayakan sirkulasi splanchnic), osmolaritas, dan
fermentasi substrat dianggap faktor penting. Asam lemak rantai pendek, berasal dari
fermentasi karbohidrat yang tidak dicerna oleh bakteri usus, memiliki efek penting pada
fungsi dan maturasi epitel. Pada suatu penelitian hewan, overproduksi / akumulasi rantai
pendek asam lemak di kolon proksimal dan / atau ileum distal memiliki peran potensial
dalam patogenesis NEC; namun, tidak ada penelitian yang menguji efek dari molekul ini
yang tersedia pada saat itu. Apalagi beberapa penelitian telah menunjukkan defisiensi
enzim laktase atau enzim brush border lainnya atau akumulasi asam empedu juga bisa
menyebabkan luka mukosa.

3. Kolonisasi bakteri
Dalam rahim, usus bersifat steril, dan tidak ada kasus NEC telah
didokumentasikan. Fakta bahwa NEC biasanya berkembang sebelum kolonisasi ekstensif
saluran GI oleh organisme anaerob, dan bahwa terapi probiotik dapat mencegah penyakit

1
tersebut, mendukung teori bahwa mikroba juga memainkan peran kunci dalam inisiasi
dari cedera usus. Kolonisasi usus pada bayi sehat yang diberi ASI dengan spesies anaerob
seperti Bifidobacterium dan Lactobacillus terjadi pada usia 1 minggu. Namun, bayi
dengan BBLSR yang dirawat di rumah sakit memiliki jumlah spesies yang kurang
beragam dan lebih sedikit atau tidak ada bakteri anaerob. Ketidakseimbangan ini
mendorong proliferasi dan pengikatan patologis, serta invasi bakteri usus nonpatogen,
dan mengurangi efek antiinflamasi dan pertahanan mukosa dari organisme probiotik.
Kurangnya interaksi fisik ibu-bayi yang normal selama menyusui mengganggu kolonisasi
usus normal, yang melindungi terhadap mikroflora patologis pada bayi prematur yang
diberi ASI. Selanjutnya kontaminasi atau kolonisasi dari selang makanan menunjukkan
kontribusi pada pengembangan NEC. Bakteri yang paling sering diisolasi adalah
Clostridium sp., Escherichia coli, Klebsiella sp., Staphylococcus epidermidis, dan
Enterobacter. Secara khusus, penggunaan susu formula yang terkontaminasi dengan
Enterobacter sakazakii dikaitkan dengan wabah NEC.

4. Iskemia usus
Iskemia usus akibat hipoksia-iskemia dilaporkan sebagai faktor risiko penting
pada NEC dalam penelitian awal, terutama pada bayi aterm dan prematur akhir, sebagai
ciri khas histologis NEC tahap akhir adalah "infark" yang ditandai dengan koagulasi
(iskemik) nekrosis pada seluruh lapisan dengan sedikit sel inflamasi akut (neutrofil) dan
infiltrasi limfositik yang dominan. Namun, iskemia usus sekarang kurang
dipertimbangkan sebagai kejadian perinatal mayor yang berkontribusi terhadap
perkembangan NEC. Sebaliknya, diyakini bahwa hal itu mengganggu keseimbangan
tonus mikrovaskular yang terkait dengan produksi regulator pembuluh darah seperti nitrat
oksida dan endothelin, yang cenderung berperan hilir dalam kaskade patogen NEC. Lebih
lanjut, patent ductus arteriosus, faktor risiko lain untuk NEC, menyebabkan hipoperfusi
intestinal oleh fenomena penurunan diastolik; dan pada pasien yang diobati dengan
indometasin (penghambat nonselektif siklooksigenase-1 dan -2), nekrosis usus fokal atau
NEC dapat terjadi.

5. Faktor lainnya

1
Meskipun ada hubungan antara transfusi elektif PRC dan NEC telah dilaporkan,
mekanismenya melalui transfusi mungkin terkait dengan perubahan aliran darah usus
atau hipoksia-iskemia tetap tidak jelas. Antagonis reseptor H2, yang merupakan
penghambat asam lambung, meningkat pH lambung, yang dapat meningkatkan
pertumbuhan bakteri patogen dan meningkatkan risiko NEC. Sebagai predisposisi
genetik, hilangnya gen faktor pertumbuhan mirip HB-EGF (yang penting untuk
mempertahankan fungsi barier usus) diusulkan pada studi hewan. Selanjutnya,
penggunaan steroid postnatal dapat menyebabkan perforasi usus, terlepas dari pemberian
makanan enteral; penggunaan kateter arteri umbilikus atau vena tampak tidak
meningkatkan risiko NEC.

5. Diagnosis
Necrotizing enterocolitis (NEC) paling sering terjadi pada bayi prematur, dengan
kejadian penyakitnya berbanding terbalik dengan usia gestasi. Kasus ini terjadi pada 1 dari 10
bayi dengan berat lahir sangat rendah (kurang dari 1500 gm). Selain prematur, kebanyakan
kasusnya adalah terkait dengan pemberian makanan enteral, yang menunjukkan bahwa
beberapa kasus postnatal (seperti pengenalan bakteri) dapat mengubah pergerakan kaskade
yang berpuncak pada kerusakan jaringan. Sementara agen infeksius cenderung berperan
dalam patogenesis NEC. Sejumlah besar mediator inflamasi telah dikaitkan dengan NEC.
Salah satu mediator tertentu, platelet-activating faktor (PAF), telah terlibat dalam peningkatan
permeabilitas mukosa dengan meningkatkan apoptosis enterosit dan melibatkan interceluler
tight junction.

NEC biasanya melibatkan terminal ileum, cecum, dan usus besar bagian kanan, meskipun
ada beberapa bagian usus halus atau besar yang bisa dilibatkan. Segmen yang terlibat
biasanya membesar, rapuh, dan sesak, atau bisa terlihat gangren yang jelas; perforasi usus
dengan disertai peritonitis dapat terlihat. Pada pemeriksaan mikroskopis, nekrosis mukosa
koagulatif atau transmural, ulserasi, kolonisasi bakteri, dan gelembung gas submukosa semua
fitur yang terkait dengan NEC. Bukti perubahan reparatif, seperti granulasi jaringan dan
fibrosis, bisa jadi terlihat tak lama setelah resolusi episode akut. Klinisnya cukup khas,
dengan awalan tinja berdarah, distensi perut, dan perkembangankeruntuhan sirkulasi.

1
Radiografi abdomen sering menunjukkan gas di dalam dinding usus (pneumatosis
intestinalis). Bila terdeteksi dini, NEC sering bisa dikelola Secara konservatif, namun banyak
kasus (20% sampai 60%) memerlukan intervensi operasi termasuk reseksi segmen nekrotik
dari usus. NEC dikaitkan dengan tingginya kematian perinatal ; Bayi yang bertahan sering
mengalami post-NEC Penyempitan dari fibrosis disebabkan oleh proses penyembuhan.

Gambar 1.Necrotizing enterocolitis. Ginjal-ureter-kandung kemih menunjukkandistensi


abdomen, gas vena portal hati (panah), dan tampilan gelembung pneumatosis intestinalis
(panah, kuadran kanan bawah). Dua tanda terakhir adalah dianggap pathognomonic untuk
enterokolitis necrotizing neonatal

1
Gambar 2 A, Pada pemeriksaan postmortem dalam kasus yang parah, seluruh usus halus
membesar dengan dinding yang sangat tipis (biasanya tampilan ini menyiratkan aka terjadinya
perforasi). B, Bagian padat ileum sesuai dengan daerah infark hemoragik dan nekrosis
transmural terlihat pada mikroskopi. Gelembung gas submukosa (pneumatosis intestinalis)
dapat terlihat di beberapa daerah (panah).
Presentasi klinis NEC dapat berkisar dari tanda-tanda yang tidak spesifik yang
berkembang secara tersembunyi selama beberapa hari sampai onset fulminan tanda-tanda
gastrointestinal, sistem multiorgan disfungsi dan syok selama beberapa jam. Tanda-tanda
awal NEC tidak spesifik dan mungkin juga terjadi tidak dapat dibedakan dari sepsis. Tanda
klinis meliputi gangguan usus dan gangguan sistemik Tanda-tanda usus di awal NEC bisa
hadir sebagai intoleransi makan dan dapat bermanifestasi sebagai residu lambung pra-makan
yang meningkat, emesis, distensi abdomen, dan darah dalam tinja (hematochezia).. Selama
stadium lanjut NEC, perut mungkin tampak berkilau, buncit dan eritematosa. Bayi umumnya
lebih suka dengan posisi "kaki katak" (posisi yang nyaman (gambar 2) dan hiporesponsif.
Pada palpasi, perut mungkin terasa kencang, tegang, dan lembut, dan massa lunak bisa teraba.
Perforasi usus dapat menyebabkan perut tampak biru atau berubah warna. Bayi dengan perut
biru berubah warna menjadi sekunder akibat terisolasi perforasi usus. Mungkin tidak dapat
dibedakan dari bayi dengan NEC. Pada bayi laki-laki, eritema atau perubahan warna kebiru-
biruan pada skrotum mungkin muncul jika cairan peritoneal dari usus yang perforasi
mengalami herniasi ke dalam skrotum (Gambar 3).
Bayi yang sangat prematur tidak menunjukkan distensi abdomen. Oleh karena itu,
tingginya indeks kecurigaan diperlukan untuk menetapkan diagnosis NEC. NEC juga bisa
timbul dengan darah pada tinja (hematochezia) tanpa tanda awal lainnya, terutama saat NEC
melibatkan kolon distal. Jika jejunum dan ileum terminal adalah tempat yang dominan dari
NEC, kemudian emesis, peningkatan residu dan / atau distensi abdomen semakin
memungkinan tanda klinis awal.
Bayi yang sangat prematur dengan NEC lebih cenderung hadir dengan distensi perut,
ileus, dan emesis. Mereka cenderung muncul dengan pneumatosis tapi lebih kemungkinan
untuk mengembangkan pneumoperitoneum dibandingkan dengan bayi usia lebih bulan atau
bayi aterm.

1
Tanda sistemik meliputi lethary, hipotensi, perfusi yang buruk dan pucat, peningkatan
episode apnea dan bradikardi, perburukan fungsi pernafasan, ketidakstabilan suhu,takikardia,
hiperglikemia, atau hipoglikemia. Tes laboratorium abnormal meliputi anemia, pergeseran
neutrofil kiri, neutropenia, trombositopenia, asidosis metabolik, dan hiponatremia. Dalam
beberapa kasus, NEC muncul dengan hiponatremia yang tidak dapat dijelaskan. Bakteremia
serentak dan sepsis terjadi pada 40-60% dari kasus NEC. Sepsis karena bakteri Gram negatif
lebih umum. Sebaliknya, jika bayi mengidap sepsis karena bakteri gram negatif dan tanda-
tanda usus dan radiografi tidak spesifik , ada kemungkinan lebih besar bahwa NEC adalah
penyebabnya.

Dalam 5-6% kasus, NEC dapat kambuh. Kekambuhan lebih mungkin terjadi jika
episode awal NEC dikaitkan dengan penyakit jantung bawaan atau dengan rotavirus.
Kekambuhan juga bisa terjadi dengan alergi protein susu sapi. Namun, NEC dapat
kambuh setelah dilakukan pengobatan atau medis NEC bedah tanpa faktor risiko spesifik.

Gambar 3A Berkilau, distensi ,eritematosa pada bayi dengan NEC dengan posisi "kaki
katak”. 4B. Skrotum yang berubah warna pada bayi dengan NEC; tidak ada
pneumoperitoneum yang
terlihat pada radiografi abdomen.

6. Pencegahan

1
Kecepatan perkembangan dan potensi yang merusak pada NEC memerlukan fokus pada
pencegahan, terutama karena tidak ada pilihan pengobatan yang terbukti efektif setelah
diagnosis dibuat. Berbagai pendekatan telah dilakukan berdasarkan patogenesis penyakit,
Misalnya, temuan bahwa kolonisasi bakteri pada usus bayi prematur yang memiliki NEC
berbeda dengan yang tanpa penyakit telah menyebabkan fokus pada penggunaan probiotik
pada bayi prematur. Namun, karena kita masih memiliki pemahaman yang tidak lengkap
tentang patofisiologi NEC, strategi pencegahan juga tetap sulit dipahami.
a. Probiotik
Bayi yang baru lahir yang diberi ASI secara eksklusif memiliki risiko NEC yang berkurang.
Ada kekhawatiran tentang peningkatan awal dan pemberian volume makan yang agresif
meningkatkan risiko NEC pada bayi VLBW, Meskipun rejimen pemberian makanan yang
aman tetap tidak diketahui. Prophylactic enteral Antibiotik bisa mengurangi risiko NEC,
meski mengkhawatirkan hasil buruk terus berlanjut, terutama yang terkait dengan resistensi
bakteri. Persiapan probiotik juga bisa menurunkan kejadian NEC; Suplementasi probiotik
enteral mengurangi risiko NEC berat (stadium II atau lebih tinggi) dan mortalitas di
Indonesia pada bayi prematur. Keamanan dan efisiensi dari suplemen ini membutuhkan
evaluasi lebih lanjut pada bayi <1.000 g berat lahir.
Minat penggunaan probiotik untuk pencegahan NEC muncul setelah beberapa
pengamatan: (1) bahwa genera seperti Bifidobacterium dan Lactobacillus lebih rendah pada
bayi yang dirawat di rumah sakit dari pada bayi yang sehat, (2) bahwa bakteri probiotik
berguna pada penyakit gastrointestinal , (3) suplementasi bifidobakteria dapat mengurangi
risiko penyakit dan menurunkan proliferasi bakteri patogen enterik Gram-negatif dan (4)
bahwa bakteri probiotik menurunkan respons inflamasi usus dalam berbagai jenis hewan dan
model kultursel.
Sebuah meta-analisis baru-baru ini yang meneliti 16 uji coba secara acak menyimpulkan
bahwa suplementasi probiotik enteral dapat mengurangi risiko NEC dan kematian pada bayi
prematur. Namun, mengenai keamanan, dosis optimal, dan spesies tertentu belum terjawab,
dan di Amerika Serikat, probiotik belum menjadi standar perawatan untuk pencegahan NEC.
Penelitian untuk menentukan bagaimana probiotik dapat melindungi menemukan bahwa
bakteri probiotik dan produknya dapat menghambat kepatuhan patogen, memperkuat tight
junction, menurunkan respons inflamasi, dan merangsang ekspresi gen yang mengkodekan

1
faktor pelindung kekebalan tubuh seperti imunoglobulin A melalui molekul toll-like receptor
( TLR).
b. ASI
Necrotizing enterocolitis (NEC) adalah penyakit yang berbahaya pada bayi prematur
dan dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Sementara patogenesis
NEC tetap tidak lengkap dipahami, sudah mapan bahwa risiko penyakit meningkat dengan
adanya administrasi susu formula dan menurun dengan pemberian ASI.
Bayi yang diberi ASI, dibandingkan dengan bayi yang diberi susu formula, memiliki
insidensi NEC yang lebih rendah dan kurang parah. Pada tahun 1990, satu-satunya studi
prospektif yang memeriksa formula versus bayi yang diberi ASI menemukan risiko NEC 6
sampai 10 kali lebih tinggi pada bayi yang diberi susu formula saja dan 3 kali lebih tinggi
pada bayi diberi susu campuran dan susu formula dibandingkan dengan bayi yang disusui
secara eksklusif. Dalam sebuah studi retrospektif yang lebih baru yang meneliti praktik
pemberian makan dari tiga rumah sakit di Utah, untuk bayi yang mengembangkan NEC,
dimana mereka yang diberi susu formula secara eksklusif lebih cenderung mengembangkan
NEC. Kelompok lain baru-baru ini menunjukkan efek protektif ASI menemukan bahwa bayi
yang diberi ASI lebih banyak dari pada susu formula (> 50%) dibandingkan bayi yang diberi
susu formula lebih banyak daripada ASI (<50%ASI) memiliki risiko penurunan NEC tiga
kali lipat. Namun, ibu-bayi prematur sering mengalami kesulitan dalam memproduksi cukup
susu untuk memenuhi kebutuhan bayi mereka.Oleh karena itu, beberapa penelitian telah
meneliti apakah donor ASI juga memberikan perlindungan terhadap NEC. Hasilnya
menunjukkan bahwa bayi yang menerima susu donor tiga kali lebih kecil kemungkinannya
untuk mengembangkan NEC daripada bayi yang diberi susu formula. Keabsahan biologis
sifat pelindung susu dapat ditemukan dalam komponennya.Ada beberapa faktor bioaktif
pelindung pada ASI, seperti antibodi spesifik antigen /imunoglobulin, leukosit, enzim,
laktoferin, faktor pertumbuhan, oligosakarida, dan asam lemak tak jenuh ganda yang dapat
memodulasi kaskade inflamasi di usus. ASI juga mengembangkan kolonisasi usus dengan
organisme "baik" termasuk Bifidobacterium dan Lactobacillus.

c. Epidermal Growth Factor

1
Epidermal growth factor (EGF) telah terbukti memiliki peran dalam pematangan dan
fungsi usus jadi sudah dipertimbangkan untuk potensi preventifnya di NEC. Bayi yang
memiliki NEC, serta bayi prematur, memiliki tingkat yang lebih rendah dari EGF pada
saliva. Percobaan pada hewan tikus menunjukkan pengurangan NEC pada tikus prematur
yang diberi makan oral EGF. Dalam penelitian ini, pemberian oral EGF ditunjukkan
untuk menormalkan struktur villous, menurunkan produksi sitokin proinflamasi
interleukin 18, meningkatkan produksi sitokin interleukin antiinflamasi, dan menggeser
keseimbangan protein pro dan antiapoptosis. Kelompok lain menemukan bahwa ikatan
heparin faktor pertumbuhan seperti EGF melindungi sel epitel intestinal dari cedera pada
model tikus NEC. Efeknya sepertinya dimediasi melalui aktivasi reseptor EGF.
.

2.2.2 Diare
Dalah pengeluaran tinja yang tidak normal dan cair. Buangan air besar yang tidak normal
danbentuk tinja yang cair dengan frekuensi yang lebih banyak dari biasanya. Bayi diakatakan
diare bila sudah lebih dari 3x buang air besar. sedangkan neonatus dikatakan diare bila sudah
lebih dari 4X buang air besar.

Tanda Klinis

1. Cengeng

2. gelisah

3. suhu meningkat

4.nafsu makan menurun.

5. tinja cair, lendir kadang-kadang ada darahnya. Lama-lama tinja berwarna hijau dan asam.

6. anus lecet.

7. dehidrasi, bila menjadi dehidrasi berat akan terjadi volume darah berkurang nadi cepat dan
kecil, denyut jantung cepat tekanan darah turun, kesadaran menurun dan diakhiri deng syok.

8. berat badan turun.

9. turgor kulit menurun.

10. mata dan ubun-ubun cekung

1
11. selaput lendir dan mulut serta kulit menjadi kering.

Etiologi

1.Infeksi

a. Enteral yaitu infeksi yang terjadi dalam saluran pencerna yang merupakan penyebab utama
terjadinya diare ya meliputi :

Infeksi bakteri : vibrio, E. Coli, Salmonella, Shigel Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dan
sebagainya. Infeksi virus Enterovirus (virus ECHO) Coxsackre Polomyelitis, Adenovirus,
Rotavirus, Astrovirus, dar sebagainya.

Infeksi parasit Cacing (Ascaris Irichiuris, Oxyurs Strongylodies) Protozoa (Entamoeba


Histolytica Giardia Lamblia, Trochomonas hominis), jamur (Candida Albicans).

b. Parental yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan. Misalnya OMA (Otitis
Media Akut). Tobngsilofatringitis, Bronkopneumia, Ensefalitis, dan sebagainya.

Malabsorbsi

a. Karbohidrat : disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan Sukrosa). Monosakarida (intoleransi


glukosa dan galaktosa). Pada anak dan bayi yang paling berbahaya adalah intoleransilaktosa.

b. Lemak

c. protein J. Makanan, misalnya basi, beracun, alergi

4. Psikologis, misalnya rasa takut atau cemas.

Patogenesis

Mekanisme dasar yang dapat menyebabkan timbulnya diare adalah:

1. Gangguan ostimotik

Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap oleh tubuh akan menyebabkan
tekanan osmotic dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus
untuk mengeluarkan isis dari usus sehingga timbul diare.

2. Gangguan sekresi

Akibat rangsangan tertentu, misalnya oleh toksin pada dinding usus yang akan menyebabkan
peningkatan sekresi air dan elektrolit yang berlebihan ke dalam rongga usus, sehingga akan

1
terjadi peningkatan-peningkatan isi dari rongga usus yang akan merangsang pengeluaran isi dari
rongga usus sehingga timbul diare.

3. Gangguan molititas usus

Hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya kesempatan bagi usus untuk menyerap


makanan yang masuk, sehingga akan timbul diare. Tetapi apabila terjadi keadaan yang
sebaliknya yaitu penurunan dari peristaltic usus akan dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri
yang berlebihan didalam rongga usus sehingga akan menyebabkan diare juga.

Patogenesis Diare Akut

1. Maksudnya jasad renik yang masih hidup ke dalam usus halu setelah berhasil melewati
rintangan asam lambung.

2. Jasad renik tersebut akan berkembang biak (multiplikasi) di dalam usus halus

3. dari jasad renik tersebut akan keluar toksin (toksin diaregenik)

4. Akibat toksin tersebut akan terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare

Komplikasi

1. Dehidrasi akibat kekurangan cairan dan elektrolit, yang dibagi menjadi:

a. Dehidrasi ringan apabila <5% BB

b. Dehidrasi sedang apabila <5% BB - 10% BB

c. Dehidrasi berat apabila < 10% BB-15% BB

2. Renjatan hipovolemik akibat menurunnya volume darah, apabila penurunan volume darah
mencapai 15% BB - 25% BB akan menyebabkan penurunan tekanan darah 3. Hipokalemia
dengan gejala yang muncul adalah meterismus, hipotoni otot, lemah, braddikardia, perubahan
pada

4. Hipoglikemia

lactose karena krsh vili mukosa usus halus pemeriksaan EKG

5. Intoleransi laktosa sekunder sebagai akibat defisiensi enzim

1
6. Kejang

7. Malnutrisi energi protein karena selain diare dan muntah, biasanya penderita mengalami
kelaparan

Penatalaksanaan

Prinsip perawatan diare adalah:

1. Pemberian cairan (rehidrasi awal dan rumat)

2.Diatetik (pemberian makanan)

3. Obat-obatan

Skematika penatalaksanaan berdasarkan keadaan diare Tanpa dehidrasi smp tanpa dehidrasi
ringan dg/penyakit penyerta

dehidrasi ringan smp dehidrasi sedang

dehidrasi berat komplikasi

Cairan RT (LGG, air tajin parental kuah sayur, teh botol

Oralit dg RL, glukosa

Cairan dehidrasi

Pengobatan di rumah perawatan

Di Puskesmas/ poliklini RS

di RS/Puskesmas

Jumlah cairan yang diberikan tanpa dehidrasi adalah 100 ml/kgBB/hr sebanyak 1x setiap 2 jam.
Diberikan 20% dalam 4 jam 1 dan sisanya adlibitum.

Jika setiap kali diare dan umur anak < 2 th diberikan ½ gelas < 2-6 diberikan 1 gelas

anak besar diberikan 400 cc (2 gelas)

Pada dehidrasi ringan dan diarenya 4x sehari maka diberikan cairan 25-100 ml/kgBB dalam
sehari atau setiap jam 2x.Oralit diberikan pada kasus dehidrasi ringan-berat 100 ml/kgBB/4-6
jam.

Beberapa cara membuat cairan RT:

1
1. LGG

2. Gula pasir 1 sendok teh munjung

3. Garam dapur halus ½ sendok teh + air masak/air teh hangat 1 gelas

4. Air tajin (21+ 5 gr garam

a. Cara tradisional 3. It air + 100 gr atau 6 sendok makan munjung beras dimasak selama 45'-60'.
Setelah masak air tajin (2L + 5 gr garam)

b. Cara biasa 2 It air + tepung beras 100 gr + 5 gr garam dimasak hingga mendidih dan akan
didapat air tajin Selain hal tersebut ASI tetap diberikan

2.2.3 Gizi buruk


Gizi buruk adalah status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya di bawah
standar rata-rata. Definisi gizi buruk yakni suatu kondisi anak yang memiliki BB/TB dibawah
minus 3 standar deviasi dan BB yang tidak sesuai dengan usia serta di bawah garis merah. Status
gizi buruk dibagi menjadi tiga bagian, yakni gizi buruk karena kekurangan protein (disebut
kwashiorkor), kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut marasmus).

Gizi buruk ini biasanya terjadi pada anak balita (bawah lima tahun) dan ditampakkan oleh
membusungnya perut (busung lapar).Gizi buruk dapat berpengaruh kepada pertumbuhan dan
perkembangan anak, juga kecerdasan anak. Pada tingkat yang lebih parah, jika dikombinasikan
dengan perawatan yang buruk, sanitasi yang buruk, dan munculnya penyakit lain, gizi buruk
dapat menyebabkan kematian. ciri-ciri anak yang mengalami gizi buruk akan nampak kurus,
Berat badan yang menurun dan otot yang mengecil merupakan hal yang paling sering ditemui.

Penyebab busung lapar/gizi buruk dapat dilihat dari berbagai jenjang/tingkatan, yaitu penyebab
langsung, penyebab tidak langsung, dan penyebab mendasar.

 Penyebab langsung merupakan faktor yang langsung ber hubungan dengan


kejadian gizi buruk, yakni konsumsi makanan yang buruk dan adanya penyakit.
Bahkan an tara asupan gizi dan penyakit/infeksi terjadi interaksi yang saling
menguatkan untuk memperburuk keadaan. Interaksi ini dapat berakibat fatal
penyebab kematian dini pada anak-anak.

 Penyebab tidak langsung merupakan faktor yang mempengaruhi penyebab


langsung. Seperti akses men dapatkan makanan yang kurang, perawatan dan pola
asuh anak kurang, dan pelayanan kesehatan serta ling kungan buruk atau tidak
mendukung kesehatan anak anak. Faktor inilah yang akan mempengaruhi

1
rendah/buruknya asupan makanan/gizi anak dan terjadinya penyakit/infeksi pada
anak-anak.

 Penyebab mendasar terjadinya gizi buruk terdiri dari dua hal, yakni faktor sumber
daya potensial dan faktor yang menyangkut sumber daya manusia (penga wasan,
ekonomi, dan organisasi). Pengelolaan sumber daya potensial sangat erat
kaitannya dengan politik dan ideologi, suprastruktur, dan struktur ekonomi.
Sedang kan faktor sumber daya berkaitan erat dengan kurang nya pendidikan
rakyat. Pemberdayaan rakyat melalui pendidikan sangat penting artinya untuk
mengatasi penyebab tidak langsung gizi buruk.

Rangkaian penyebab gizi buruk yang teruntai dalam bentuk jenjang penyebab tersebut di atas,
bukanlah sebuah konsep teori semata. Namun yang paling pen ting bagaimana meramu/meracik
sebuah sistem yang kondusif agar semua faktor terkait mendapat perhatian sesuai porsinya
masing-masing. Dominasi salah satu pro gram tanpa memperhatikan program lainnya dalam
rangkaian jenjang penyebab gizi buruk, niscaya upaya mengatasi gizi buruk tidak akan pernah
tercapai. Bukan itu saja, adanya anak-anak yang menderita gizi buruk dari waktu ke waktu
adalah pertanda bahwa tidak ada upaya yang berarti bagi anak-anak. Sama saja mereka hanya
dibiarkan begitu saja, dari anak yang satu ke anak yang lain. Dari kematian anak yang satu ke
kema tian anak yang lain seiring bergulirnya waktu.

2.2.4 Hirsprung
Penyakit Hisprung adalah kelainan kongenital yang mengakibatkan obstruksi mekanis dari
motilitas usus yang tidak adekuat. Penyakit ini menyumbang sekitar seperempat dari semua
kasus obstruksi usus pada neonatus. Insidennya 1 dari 5000 kelahiran hidup (Fiorino and
Liacouras, 2011). Kasus ini empat kali lebih sering terjadi pada pria daripada wanita Pada lebih
dari 80% kasus, aganglionosis terbatas pada sfingter internal, rektum, dan beberapa sentimeter
dari kolon sigmoid dan disebut penyakit segmen pendek (Hockenberry and Wilson, 2015).

Patofisiologi Patologi penyakit hisprung berkaitan dengan tidak adanya sel ganglion di area usus
yang terkena mengakibatkan hilangnya refleks rektosfingterik dan lingkungan mikro abnormal
dari sel-sel usus yang terkena. Istilah megakolon aganglionik kongenital menggambarkan defek
primer, yaitu tidak adanya sel ganglion di pleksus myenteric Auerbach dan pleksus submukosa
Meissner (Gbr. 2.1).

Tidak adanya sel ganglion pada bagian usus yang terkena menyebabkan kurangnya stimulasi
sistem saraf enterik, yang menurunkan kemampuan sfingter internal untuk rileks. Stimulasi
simpatis yang tidak dilawan menyebabkan peningkatan tonus usus. Selain kontraksi usus yang
abnormal dan kurangnya gerakan peristaltik, juga tidak adanya refleks rektosfingterik. Biasanya,

1
ketika feses memasuki rektum, sfingter internal mengendur dan feses didorong. Pada penyakit
hisprung, sfingter internal tidak mengendur. Dalam kebanyakan kasus, segmen aganglionik
meliputi rektum dan beberapa bagian dari kolon distal (Hidayat, 2006).

Manifestasi Klinis

Mayoritas anak dengan penyakit hisprung terdiagnosa dalam beberapa bulan pertama kehidupan.
Manifestasi klinis bervariasi menurut usia ketika gejala dikenali dan adanya komplikasi, seperti
enterokolitis. Pada bayi neonatus biasanya perut tampak buncit, intoleransi makan, muntah
berwarna kehijauan, dan mekonium keluar lebih dari 24 jam pertama kehidupan.

1. Periode neonatal Pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah berwarna hijau, adanya
distensi abdomen merupakan gejala klinis yang sering ditemukan pada usia neonatus. Gejala
klinis yang paling khas adalah mekonium akan keluar lebih dari 24 jam pertama kehidupan. Bila
mekonium dapat segera segera dikeluarkan, muntah hijau dan distensi abdomen biasanya
berkurang. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur maka biasanya feses akan keluar
menyemprot.

2. Periode anak-anak Konstipasi kronis dan gizi buruk adalah gejala klinis yang paling menonjol
pada anak. Tidak mampu mengeluarkan feses tanpa obat pencahar atau enema. Anak juga akan
menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang lambat, serta tampak kurang energi karena
kekurangan sel darah merah. Biasanya anak juga akan memiliki siklus buang air besar yang tidak
teratur, bahkan hanya sekali dalam beberapa hari.

Pemeriksaan Diagnostik

Pada neonatus penegakan diagnosa dicurigai berdasarkan adanya tanda klinis obstruksi usus atau
kegagalan mengeluarkan mekonium. Pada bayi dan anak anak, riwayat merupakan bagian
penting dari diagnosa dan biasanya mencakup adanya sembelit kronis. Pada pemeriksaan rektum
dalam keadaan tidak ada feses, sfingter internal biasanya sempit, ada kebocoran feses dengan
konsistensi cair dan akumulasi gas dapat terjadi jika segmen aganglionik pendek. Enema kontras
sering menunjukkan zona transisi antara kolon proksimal yang berdilatasi (megakolon) dan
segmen distal aganglionik. Tetapi, megakolon khas dan segmen distal sempit ini mungkin tidak
berkembang sampai usia 2 bulan atau lebih (Mendri and Prayogi, 2018).

Untuk menegakkan diagnosa, biopsi rektal dilakukan baik dengan pembedahan untuk
mendapatkan spesimen biopsi ketebalan penuh atau dengan biopsi isap untuk bukti histologis
tidak adanya sel ganglion. Prosedur non-invasif yang dapat digunakan adalah manometri
anorektal, yaitu kateter dengan balon dipasang ke dalam rektum.

Tes ini mencatat respons tekanan refleks sfingter anal internal terhadap distensi balon. Respons
normal adalah relaksasi sfingter internal, diikuti dengan kontraksi sfingter eksternal. Pada

1
penyakit hisprung, sfingter eksternal berkontraksi secara normal tetapi sfingter internal gagal
untuk relaksasi (Mendri and Prayogi, 2018).

Penatalaksanaan

Mayoritas anak-anak dengan penyakit hisprung memerlukan salah satu dari tiga prosedur
operasi, yaitu: Soave pull-through, prosedur Swenson, dan prosedur Duhamel (Gourlay, 2013).
Setelah anak distabilkan dengan penggantian cairan dan elektrolit dan pembersihan kolon dengan
enema, jika diperlukan, pembedahan dilakukan, biasanya dengan tingkat keberhasilan yang
tinggi. Manajemen bedah terutama terdiri dari pengangkatan bagian aganglionik usus untuk
menghilangkan obstruksi, mengembalikan motilitas normal, dan mempertahankan fungsi sfingter
ani eksternal. Prosedur transanal Soave endorectal pull-through yaitu menarik ujung usus normal
melalui samping otot rektum, dari mana mukosa aganglionik telah dikeluarkan. Dengan diagnosa
dini usus bagian proksimal mungkin tidak terlalu distended, sehingga memungkinkan
dilakukannya prosedur pull-through dan mencegah dilakukannya tindakan kolostomi sementara.
Operasi yang lebih sederhana, seperti miomektomi anorektal, dapat diindikasikan pada penyakit
segmen yang sangat pendek. Setelah prosedur pull-through, penyempitan dan inkontinensia anal
dapat terjadi dan memerlukan terapi lebih lanjut, termasuk dilatasi atau terapi pelatihan ulang
usus. Konstipasi dan inkontinensia tinja merupakan masalah kronis pada sebagian kecil pasien
setelah tindakan operasi perbaikan untuk penyakit hisprung (Mendri and Prayogi, 2018).

2.2.5 Stunting
Definisi Stunting

Stunting adalah kondisi tinggi badan seseorang lebih pendek dibanding tinggi badan orang lain
pada umunya (yang seusia). Stunted (short stature) atau tinggi/panjang badan terhadap umur
yang rendah digunakan sebagai indikator malnutrisi kronik yang menggambarkan riwayat kurang
gizi balita dalam jangka waktu lama (Sudargo, 2010). Menurut Dekker et al (2010), bahwa
stunting pada balita atau rendahnya tinggi/panjang badan menurut umur merupakan indikator
kronis malnutrisi (Dekkar, 2010). Menurut CDC (2000) short stature ditetapkan apabila
panjang/tinggi badan menurut umur sesuai dengan jenis kelamin balita <5 percentile standar
pengukuran antropometri gizi untukmemantau pertumbuhan dan perkembangan balita umur 6-24
bulan menggunakan indeks PB/U menurut baku rujukan WHO 2007 sebagai langkah mendeteksi
status stunting

Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balitaakibat dari kekurangan gizi kronis
sehingga anak menjadi terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi dapat terjadi sejak bayi
dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir, tetapi baru nampak setelah anak
berusia 2 tahun, di mana keadaan giziibu dan anak merupakan faktor penting dari pertumbuhan
anak. Periode 0-24 bulan usia anak merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan
sehingga disebut dengan periode emas.

1
Periode ini merupakan periode yang sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap bayi masa
ini bersifat permanen, tidak dapat dikoreksi. Diperlukan pemenuhan gizi adekuat usia ini.
Mengingat dampak yang ditimbulkan masalah gizi ini dalam jangka pendek adalah terganggunya
perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam
tubuh. Jangka panjang akibat dapat menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, dan
menurunnya kekebalan tubuh (Branca F,Ferrari M, 2002; Black dkk, 2008).

Pertumbuhan dapat dilihat dengan beberapa indikator status gizi. Secara umum terdapat 3
indikator yang bisa digunakan untuk mengukur pertumbuhan bayi dan anak,yaitu indikator berat
badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB). Stunting merupakan salah satu masalah gizi yang diakibatkan oleh kekurangan
zat gizi secara kronis. Hal ini ditunjukkan dengan indikator TB/U dengan nilai skor-Z (Zscore) di
bawah minus 2.

Ciri-ciri Anak Stunting

Agar dapat mengetahui kejadian stunting pada anakmaka perlu diketahui ciri-ciri anak yang
mengalami stunting sehingga jika anak mengalami stunting dapat ditangani sesegera mungkin.

1. Tanda pubertas terlambat

2. Usia 8-10 tahun anak menjadi lebIh pendiam, tidak banyak melakukan eye contact

3. Pertumbuhan terhambat

4. Wajah tampak lebih muda dari usianya

5. Pertumbuhan gigi terlambat

6. Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar

Pubertas merupakan salah satu periode dalam prosespematangan seksual dengan hasil
tercapainya kemampuan reproduksi. Pubertas ditandai dengan munculnya karateristik seks
sekunder dan diakhiri dengan datangnya menars pada anak perempuan dan lengkapnya
perkembangan genital pada anak laki-laki. Usia awal pubertas pada anak laki-laki berkisar antara
9–14 tahun dan perempuan berkisar 8–13 tahun. Pubertas terlambat apabila perubahan fisik awal
pubertas tidak terlihat pada usia 13 tahun pada anak perempuan dan 14 tahun pada anak laki-laki,
karena keterlambatan pertumbuhan dan maturasi tulang (Lee P.A,1996).

Calon ibu yang menderita anemia, kekurangan gizi,atau kehilangan berat badan secara drastis di
masa kehamilan akan meningkatkan resiko sang calon bayi untuk mengalami gangguan
pertumbuhan. Kondisi ini dapat diperburuk bila sang ibu menolak untuk memberikan ASI
kepada bayi, yang membuatkan kehilangan banyak nutrisi penting yangdibutuhkannya untuk
bertumbuh dan berkembang

1
Faktor penyebab stunting

A. Faktor-Faktor Penyebab Kejadian Stunting pada Balita

Stunting merefleksikan gangguan pertumbuhan sebagai dampak dari rendahnya status gizi dan
kesehatan pada periode pre- dan post-natal. UNICEF framework menjelaskan tentang faktor
penyebab terjadinya malnutrisi. Dua penyebab langsung stunting adalah faktor penyakit dan
asupan zat gizi. Kedua faktor ini berhubungan dengan faktor pola asuh, akses terhadap makanan,
akses terhadap layanan kesehatan dan sanitasi lingkungan. Namun, penyebab dasar dari semua
ini adalah terdapat pada level individu dan rumah tangga tersebut, seperti tinggkat pendidikan,
pendapatan rumahtangga. Banyak penelitian cross-sectional menemukan hubungan yang erat
antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi anak (Bloem MW, de Pee S, Hop LT, Khan
NC,Laillou A, Minarto, et al., 2013).

pengobatan Stunting

Penanganan stunting dapat meliputi pengobatan penyakit penyebabnya, perbaikan nutrisi,


pemberian suplemen, serta penerapan pola hidup bersih dan sehat. Berikut adalah tindakan yang
dapat dilakukan oleh dokter:

Mengobati penyakit yang mendasarinya, misalnya memberikan obat-obatan antituberkulosis bila


anak menderita TBC Memberikan nutrisi tambahan, berupa makanan yang kaya protein hewani,
lemak, dan kaloriMemberikan suplemen, berupa vitamin A, zinc, zat besi, kalsium, dan yodium

Menyarankan keluarga untuk memperbaiki sanitasi dan menerapkan perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS), guna mencapai keluarga yang sehat

pencegahan Stunting

Stunting bisa dicegah dengan menghindari faktor-faktor yang dapat meningkatkan risikonya.
Upaya yang bisa dilakukan antara lain:

 Memenuhi asupan gizi yang cukup sebelum merencanakan kehamilan dan selama
kehamilan

 Mencukupi asupan gizi, terutama selama 1.000 hari pertama kehidupan, yaitu sejak
pembuahan sel telur hingga anak berusia 2 tahun

 Memberikan ASI eksklusif hingga bayi berusia 6 bulan

 Memastikan anak mendapatkan imunisasi lengkap

1
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gametogenesis merupakan proses pembentukan sel-sel gamet di dalam organ
pembiakan pria dan wanita. Gametogenesis merangkumi spermatogenesis yang berlaku di
dalam testis dan oogenesis yang berlaku di dalam ovari. Bilangan kromoson dalam sel soma
manusia ialah 46, yaitu 2n=46. Ini bermakna bilangan kromoson di dalam setiap sel soma
seorang pria dan wanita masing-masing ialah 46. Jika sperma dan ovum dihasilkan masing-
masing mengandung 46 kromoson, maka zigot yang terbentuk melalui persenyawaan sperma
dan ovum tersebut akan mengandungi 96 kromoson.

Fertilisasi merupakan suatu proses penyatuan antara sel mani/sperma dengan sel telur di
tuba fallopi. Fertilisasi dapat terjadi pada rentan masa subur dari seorang wanita. Proses
fertilisasi dimulai dengan masuknya sperma yang di ejakulasikan kedalam vagina. Sperma
tersebut bergerak ke dalam kavum uteri dari tuba sampai akhirnya bertemu dengan ovum di
ampula/infundibulum tuba.

3.2 Saran
Sebaiknya kita selalu menerapkan hidup sehat, agar tubuh kita selalu sehat dan generasi
keturunan dapat hidup sehat dan berkembang dengan semestinya. Menyadari bahwa penulis
masih jauh dari kata sempurna kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam
menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya
dapat di pertanggung jawabkan.

1
DAFTAR PUSTAKA

. Chu A, Hageman JR, Caplan MS. Necrotizing Enterocolitis: predictive markers and preventive
strategies. NeoReviews 2013;14(3): e113. doi: 10.1542/neo.14-3-e113. (diakses 22 Oktober
2017).
Buku ajar asuhan kebidanan neonatus bayi dan anak balita sudardi-afroh fauziah

Busung Lapar/Irianton Aritonang & Endah Priharsiwi Media Pressindo, 2006


Novita Verayanti Manalu., dkk. Keperawatan Sistem Pencernaan Yayasan Kita Menulis, 2021

1
1

Anda mungkin juga menyukai