Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN PENDAHULUAN

BAYI DENGAN IKTERUS NEONATORUM

Disusun guna Memenuhi Persyaratan Ketuntasan


Praktik Asuhan Kebidanan Pada Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal

Program Studi Sarjana Terapan Kebidanan

Disusun oleh:

Nama : Bellatry Gusmayanti


NIM : PO 62.24.2.22.306

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALANGKA RAYA
JURUSAN KEBIDANAN
TAHUN 2023

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, telah
melimpahkan anugerah dan berkat-Nya, sehingga penulis diberi kekuatan,
kesehatan dan kesempatan untuk menyelesaikan Laporan Pendahuluan Bayi
dengan Ikterus Neonatorum ini yang disusun guna memenuhi persyaratan
ketuntasan Praktik Asuhan Kebidanan pada Kegawatdaruratan Maternal dan
Neonatal.
Dalam penulisan Laporan Pendahuluan ini, ijinkan penulis menyampaikan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Erina Eka Hatini, SST., MPH sebagai dosen Pembimbing Institusi
yang telah membimbing dan mengarahkan dalam pelaksanaan Praktik
Asuhan Kebidanan pada Persalinan dan BBL.
2. Ibu Siti Fatimah, S.ST sebagai Pembimbing Lahan yang telah banyak
memberikan masukan dan saran dalam pelaksanaan Praktik Asuhan
Kebidanan pada Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal ini.
3. Ibu Riny Natalina, SST.,M.Keb sebagai dosen koordinator mata kuliah
Asuhan Kebidanan pada Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal yang
telah membimbing dan mengawasi selama berpraktik
Penulis menyadari bahwa penulisan Laporan Pendahuluan ini masih
banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun demi perbaikan yang lebih baik.
Akhir kata penulis mengharapkan Laporan Pendahuluan ini bermanfaat
sebagai bahan bacaan yang memberikan informasi positif.

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan ....................................................................... 3
C. Manfaat Penulisan ...................................................................... 3

BAB II TINJAUAN TEORI


A. Definisi Ikterus Neonatorum ....................................................... 4
B. Etiologi Ikterus Neonatorum ....................................................... 5
C. Metabolisme Ikterus Neonatorum ............................................... 6
D. Klasifikasi Ikterus Neonatorum................................................... 8
E. Tanda dan Gejala Ikterus Neonatorum ........................................ 9
F. Penilaian Bayi Ikterus ................................................................. 10
G. Komplikasi Ikterus ..................................................................... 12
H. Penatalaksanaan Bayi dengan Ikterus .......................................... 12
I. Pencegahan Hiperbilirubin (Kurva Botani) ................................. 17

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi per 1000

kelahiran hidup. Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu

indikator status kesehatan masyarakat yang terkait dengan berbagai indikator

kesehatan dan indikator pembangunan lainnya. Angka Kematian Bayi (AKB)

tidak hanya menggambarkan keberhasilan pembangunan sektor kesehatan,

tetapi juga terkait langsung dengan angka rata-rata harapan hidup penduduk

disuatu daerah (Mala, 2015). Sebanyak 7000 bayi baru lahir di dunia

meninggal setiap harinya. Tiga per empat kematian terjadi pada minggu

pertama, dan 40% meninggal dalam 24 jam pertama. Angka Kematian Bayi

(AKB) pada Negara ASEAN (Association ofSouth East Asia Nations) seperti

di Singapura sebanyak 3 per 1000 kelahiran hidup, Malaysia 5,5 per 1000

kelahiran hidup, Thailand 17 per 1000 kelahiran hidup, Vietnam 18 per 1000

kelahiran hidup, dan Indonesia 27 per 1000 kelahiran hidup. Angka Kematian

Bayi di Indonesia masih tinggi dari Negara ASEAN lainnya, jika

dibandingkan dengan target dari SDGs (Sustainable Development Goals)

pada tahun 2030 yaitu 12 per 1.000 kelahiran hidup. (Kemenkes RI, 2016).

Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun

2017 Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih cukup tinggi yaitu 24

per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) di

1
provinsi Kalimantan Selatan tahun 2016 sebesar 10,83 per 1.000 kelahiran

hidup. Berdasarkan penyebabnya , kematian bayi ada dua macam yaitu dalam

kandungan dan luar kandungan.

Kematian janin dalam kandungan adalah kematian janin yang dibawa

sejak lahir seperti asfiksia. Sedangkan kematian bayi luar kandungan atau

kematian post neonatal disebabkan oleh faktor – faktor yang berkaitan dengan

pengaruh luar. Salah satu penyebab kematian bayi luar kandungan adalah

bayi mengalami ikterus neonatorum, dimana ikterus merupakan salah satu

fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir dalam

minggu pertama dalam kehidupannya. Kejadian ikterus di Amerika

65%,Malaysia 75%,Indonesia 51,47% ditahun 2015. Bayi dengan

hiperbilirubinemia tampak kuning akibat akumulasi pigmen bilirubin yang

berwarna kuning pada sklera dan kulit (Mathindas, dkk, 2014)

Hiperbilirubinemia terbagi atas dua , yaitu fisiologis dan patologis.

Hiperbilirubin fisiologis jika tidak segera ditangani dengan baik akan

menimbulkan cacat seumur hidup atau bahkan kematian, sedangkan

hiperbilirubin patologis mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterik.

(Mathindas, dkk, 2014)

Berdasarkan uraian di atas yang menunjukan bahwa masih tinggi nya

Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia terutama di Kalimantan Selatan,

serta pentingnya penanganan yang tepat untuk bayi dengan ikterus

neonatorum agar tidak terjadi komplikasi maka penulis tertarik untuk

memberikan membuat laporan pendahuluan serta memberikan asuhan

2
kebidanan pada bayi Ny. D umur 2 hari dengan ikterus neonatorum di ruang

Instalasi Neonatal Resiko Tinggi (INRIT) RSUD Ulin Banjarmasin.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penulisan laporan pendahuluan ini adalah untuk

menerapkan asuhan kebidanan pada klien dengan kehamilan fisiologis.

2. Tujuan Khusus

a. Mampu melakukan pengkajian data subjektif asuhan kebidanan pada

bayi dengan ikterus neonatorum di ruang INRIT RS Ulin Banjarmasin

b. Mampu melakukan pengkajian data objektif asuhan kebidanan pada

bayi dengan ikterus neonatorum di ruang INRIT RS Ulin Banjarmasin

c. Mampu menegakkan analisa data pada bayi dengan ikterus

neonatorum di ruang INRIT RS Ulin Banjarmasin

d. Mampu melakukan penatalaksanaan asuhan kebidanan pada bayi

dengan ikterus neonatorum di ruang INRIT RS Ulin Banjarmasin

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Ikterus

Hiperbilirubinemia atau yang sering disebut ikterus neonatorum

adalah akumulasi bilirubin dalam darah yang berlebihan, ditandai dengan

adanya jaundice atau ikterus, perubahan warna kekuningan pada kulit, sklera,

dan kuku (Riyantini, 2014).

Ikterus berarti gejala kuning karena penumpukan bilirubin dalam

aliran darah yang menyebabkan pigmentasi kuning pada plasma darah yang

menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang memperoleh banyak

aliran darah tersebut. Ikterus biasanya baru dapat dilihat kalau kadar bilirubin

serum mencapai 2-3 mg/dl, sedangkan kadar bilirubin serum normal 0,3-1

mg/dl (Anggraini, 2014).

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling

sering ditemukan pada bayi baru lahir. Hiperbilirubinemia dapat disebabkan

oleh proses fisiologi atau patologi atau kombinasi keduanya (Lubis, dkk

2013).

Hiperbilirubinemia adalah warna kuning yang tampak pada sklera dan

wajah yang disebabkan oleh penumpukan kadar bilirubin yang selanjutnya

meluas secara sefalokaudal (dari atas ke bawah) ke arah dada, perut, dan

ekstremitas (Riyantini, 2014).

4
B. Etiologi Ikterus

Menurut (Mia, 2017) bayi baru lahir yang mengalami ikterus biasanya

disebabkan oleh salah satu 4 hal dibawah ini :

1. Physiologic Jaundice, atau sakit kuning yang umumnya dialami oleh

banyak sekali BBL (lebih dari 50%), termasuk BBL prematur. Kondisi

ini dimulai pada usia bayi 2-3 hari, dan biasanya berlangsung selama 1-2

minggu. Penyebabnya yaitu BBL mempunyai lebih banyak sel-sel darah

merah yang terkandung dalam 1 ml darah dibandingkan dengan orang

dewasa. Ketika sel darah merah yang terdapat dalam tubuh BBL tersebut

mati (suatu proses yang normal dialami oleh manusia), maka hemoglobin

yang terkandung didalamnya mulai pecah. Bilirubin yang larut dalam

lemak (fat soluble) merupakan salah satu komponen pecahan hemoglobin

tersebut harus larut dalam air (water soluble) agar dapat dibuang dari

tubuh bayi melalui BAB. Hati atau lever bayi bertugas untuk menjadikan

bilirubin larut dalam air. Seringkali hati atau lever bayi belum berfungsi

dengan sempurna sehingga bilirubin tersebut tidak dapat terbuang semua

dari tubuh bayi.

2. Pathologic Jaundice, yaitu sakit kuning yang disebabkan oleh

ketidakcocokan rhesus (Rh) atau golongan darah antara ibu dan bayi.

Dalam kondisi ini, jumlah sel-sel darah merah yang mati melebihi jumlah

rata-rata, sehingga mengakibatkan terbentuknya lebih banyak lagi

bilirubin atau golongan darah ibu yang berbeda dapat membentuk

antibodi yang justru bersifat menghancurkan sel-sel darah merah BBL.

5
3. Breastfeeding Jaundice, disebabkan ketika bilirubin yang telah larut

dalam air (water soluble) masuk ke dalam usus untuk dibuang melalui

BAB namun ada sebagian yang terserap kembali oleh tubuh setelah

dinding usus diubah lagi komposisinya menjadi larut dalam lemak (fat

soluble). Semakin banyak BAB yang berhasil mengeluarkan bilirubin,

maka akan semakin sedikit yang terserap kembali oleh tubuh bayi. Oleh

karena itu, penting sekali bagi BBL untuk minum ASI dalam bentuk

kolostrum yang banyak mengandung zat laksatif sehingga bilirubin dapat

dikeluarkan secara maksimal.

4. Conjugated Hyperbilirubinemia, penyebabnya adalah bayi baru lahir

dengan kondisi hati atau lever yang rusak, atau saluran yang

menghubungkan lever dengan usus bayi tersumbat, sehingga bilirubin

yang telah larut dalam air tidak dapat masuk ke dalam usus dan akan

masuk kembali ke darah bayi.

C. Metabolisme Ikterus

Bilirubin adalah zat yang terbentuk secara normal dari proses

penguraian dalam sel darah merah (SDM). SDM yang sudah tua, dan

imatur dibuang dari sirkulasi dan dipecah di dalam system retikuloendotelial

(hati, limpa, dan makrofag). Hemoglobin dipecah menjadi produk sisa heme,

dan globin. Globin dipecah menjadi asam amino, yang digunakan kembali

oleh tubuh untuk membuat protein. Heme akan beikatan dengan oksigen

(hem oksigenase) sehingga menghasilkan biliverdin dan kemudian biliverdin

6
akan melakukan reduksi (biliverdin reduktase) menjadi bilirubin tak

terkonjugasi.

Bilirubin tak terkonjugasi akan berikatan dengan albumin untuk

ditranspor dalam plasma ke hati. Kemudian, di hati akan dilakukannya proses

ambilan yaitu bilirubin dilepaskan dari albumin dan dengan bantuan enzim

glukoronil transferase akan dirubah menjadi bilirubin konjugasi (bilirubin

yang mudah larut dalam air dan siap untuk ekskresi). Bilirubin terkonjugasi

diekskresi melalui empedu dibawa ke dalam saluran intestinal, dengan

bantuan bakteri usus untuk mengubah menjadi urobilinogen, kemudian

urobilinogen diereksi dalam feses dinamakan strekobilin dan sebagian kecil

diserap kembali oleh usus menuju vena porta, kemudian ada yang diereksikan

kembali dalam empedu dan juga ada yang mencapai ginjal sehingga

diereksikan lewat urin (Asrining, dkk 2013)

Dalam usus bayi terdapat enzim glukorinil transferase yang mampu

mengubah bilirubin dan menyerap kembali bilirubin kedalam darah sehingga

makin memperparah akumulasi bilirubin dalam badannya. Akibatnya pigmen

tersebut akan disimpan dibawah kulit, sehingga kulit bayi menjadi kuning.

Biasanya dimulai dari wajah, dada, tungkai dan kaki menjadi kuning.

Kadar bilirubin yang sangat tinggi biasanya disebabkan pembentukan

yang berlebihan atau gangguan pembuangan bilirubin. Kadang pada bayi

cukup umur yang diberi susu ASI, kadar bilirubin meningkat secara progresif

pada minggu pertama, keadaan ini disebut jaundice ASI. Penyebabnya tidak

diketahui dan hal ini tidak berbahaya, jika kadar bilirubin sangat tinggi

7
mungkin perlu dilakukan terapi yaitu terapi sinar dan transfusi tukar

(Maryunani, 2014).

D. Klasifikasi Ikterus

1. Ikterus fisiologis

Ikterus fisiologis adalah warna kekuningan pada kulit yang timbul pada

hari ke-2 sampai ke-3 setelah lahir yang tidak mempunyai dasar patologis

dan akan menghilang dengan sendirinya pada hari ke-10. Ikterus

fisiologis memiliki tanda-tanda, antara lain sebagai berikut.

1) Warna kuning akan timbul pada hari kedua atau ketiga setelah bayi

lahir dan tampak jelas pada hari ke-5 sampai ke-6 dan menghilang

sampai hari ke-10.

2) Bayi tampak bias, minum baik, berat badan naik biasa.

3) Kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari 12

mg/dl dan pada BBLR 10 mg/dl dan akan hilang pada hari ke-14

(Maulida, 2014)

2. Ikterus patologis

Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologi atau

kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia

Ikterus patologi memiliki tanda-tanda, antara lain sebagai berikut :

1) Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan, serum bilirubin total

lebih dari 12 mg/dl.

2) Peningkatan bilirubin 5 mg/dl atau lebih dari 24 jam.

8
3) Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg/dl pada bayi < 37

minggu (BBLR) dan 12,5 mg/dl pada bayi cukup bulan

4) Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilta darah,

defisiensi enzim glukosa-6-fosfat dehydrogenase (G6PD) dan sepsis.

5) Ikterus yang disebabkan oleh bayi kurang dari 2000 gram yang

disebkan karena usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun dan

kehamilan pada remaja, masa gestasi kurang dari 36 minggu,

asfiksia, hipoksia, syndrome gangguan pernapasan, infeksi

hipoglikemia, hiperkopnia dan hiperosmolitas darah sepsis (Maulida,

2014).

E. Tanda dan Gejala Hiperbilirubin

Adapun tanda dan gejala neonatus dengan hiperbilirubinemia adalah:

3. Kulit jaundice (kuning)

4. Sklera ikterik

5. Peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10 mg % pada neonates yang

cukup bulan dan 12,5 mg% pada neonatus yang kurang bulan

6. Kehilangan berat badan sampai 5% selam 24 jam yang disebabkan

oleh rendahnya intake kalori

7. Asfiksia

8. Hipoksia

9. Sindrom gangguan pernapasan

10. Pemeriksaan abdomen terjadi bentuk perut yang membuncit

9
11. Feses berarna seperti dempul dan pemeriksaan neurologis dapat

ditemukan adanya kejang

12. Epistotonus (posisi tubuh bayi melengkung)

13. Terjadi pembesaran hati

14. Tidak mau minum ASI

15. Letargi

16. Reflex moro lemah atau tidak ada sama sekali (Maryunani, 2014)

F. Penilaian Bayi Hiperbilirubin

1. Pengamatan ikterus kadang-kadang agak sulit apalagi dalam cahaya

buatan. Paling baik pengamatan dilakukan dalam cahaya matahari dan

dengan menekan sedikit kulit yang akan diamati untuk menghilangkan

warna karena pengaruh sirkulasi darah.

Ada beberapa cara untuk menentukan derajat ikterus yang merupakan

resiko terjadinya kern ikterus dengan cara klinis (Kramer) yang

dilakukan dibawah sinar biasa (daylight) (Marmi, 2012).

Tabel 1. Rumus Kramer

Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin

1 Kepala dan leher 5

2 Daerah 1 (+) badan bagian atas 9

3 Daerah 1,2(+) badan bagian bawah 11

dan tungkai

4 Daerah 1,2,3 (+) lengan dan kaki di 12

10
bawah lutut

5 Daerah 1,2,3,4 (+) tangan dan kaki >12,5

2. Pemeriksaan Diagnostic

a. Test coombs pada tali pusat baru lahir : hasil positif test coombs

indirek menandakan adanya antibody Rh-positif, anti A atau anti B

dalam darah ibu. Hasil positif dari test coombs direk menandakan

adanya sensitasi (Rh-positif, anti A, anti B) SDM dari neonatus.

b. Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas

ABO.

c. Bilirubin total : kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi

1,0-1,5 mg/dL, yang mungkin dihubungkan dengan sepsis.

Kadar indirek (tidak terkonjugasi) tidak boleh melebihi

peningkatan 5 mg/dL dalam 24 jam atau tidak boleh lebih dari 20

mg/dL pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dL pada bayi preterm

(tergantung pada berat badan).

d. Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 mg/dL menandakan

penurunan kapsitas ikatan, terutama pada bayi preterm.

e. Hitung dalam darah lengkap : hemoglobin (HB) mungkin rendah

(kurang dari 14 mg/dL) karena hemolisis hematocrit (HT) mungkin

meningkat (kurang dari 45%) dengan hemolysis dan anemia

berebihan.

11
f. Glukosa : kadar dextrosit mungkin kurang dari 45% glukosa darah

lengkap kurang dari 30 mg/dL atau tes glukosa serum kurang dari 40

mg/dL bila bayi baru lahir hipoglikemia dan mulai menggunakan

simpanan lemak dan melepaskan asam lemak. (Marmi, 2012).

G. Komplikasi Ikterus

1. Kern ikterus

2. Kerusakan hepar

3. Gagal ginjal (Maryunani, 2014).

H. Penatalaksanaan Ikterus

1. Pemberian ASI

Menurut Anil, dkk (2014), penanganan icterus yaitu :

a. Ikterus fisiologis tidak memerlukan penanganan khusus dan dapat

rawat jalan dengan nasehat untuk kembali jika icterus

berlangsung lebih dari 2 minggu.

b. Jika bayi dapat menghisap, anjurkan ibu untuk menyusui secara

dini dan ASI ekslusif lebih sering minimal setiap 2 jam.

c. Jika bayi tidak dapat menyusu, berikan ASI melalui pipa naso

gastrik atau dengan gelas dan sendok.

d. Letakkan bayi ditempat yang cukup mendapat sinar matahari pagi

selama 30 menit selama 3-4 hari. Jaga agar bayi selalu tetap

hangat.

12
e. Setiap Ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca kelahiran maka

membutuhkan pemeriksaan laboratorium lanjut: minimal kadar

bilirubin serum total, pemeriksaan kearah adanya penyakit

hemolisis oleh karena itu selanjutnya harus dirujuk.

2. Fototerapi

Berdasarkan (Roharjdo, 2014). Cara kerja fototerapi adalah

dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk

dieksresikan melalui empedu atau urin. Ketika bilirubin mengabsorpsi

cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi. Juga terdapat

konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin

yang dengan cepat dibersihkan dari plasma melalui empedu.

Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat

fototerapi pada manusia. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak

terkonjugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan

lewat urin. Fotoisomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk

asalnya dan secara langsung bias dieksreksikan melalui empedu.

Hanya produk fotoksi dan saja yang bias diekskresikan lewat urin.

a. Jenis lampu

Beberapa studi menunjukan bahwa lampu flouresen biru lebih

efektif dalam menurunkan bilirubin. Karena cahaya biru dapat

mengubah warna bayi, maka yang lebih disukai adalah lampu

flouresen cahaya normal karena dengan spektrum 420–460 nm

sehingga asuhan kulit bayi dapat diobservasi dengan baik

13
mengenai warnanya (jaundis, palor, sianosis) atau

kondisilainnya. Agar fototerapi efektif, kulit bayi harus

terpajang penuh terhadap sumber cahaya dengan jumlah yang

adekuat. Bila kadar bilirubin serum meningkat sangat cepat

atau mencapai kadar kritis, dianjurkan untuk menggunakan

fototerapi dosis ganda atau intensif, teknik ini melibatkan

dengan menggunakan lampu over head konvensional

sementara itu bayi berbaring dalam selimut fiberoptik. Hasil

terbaik terjadi dalam 24 sampai 48 jam pertama fototerapi.

Fototerapi intensif adalah fototerapi dengan menggunakan

sinar bluegreen spectrum (panjang gelombang 430-490 nm)

dengan kekuatan paling kurang 30 uW/cm2 (diperiksa dengan

radio meter, atau diperkirakan dengan menempatkan bayi

langsung di bawah sumber sinar dan kulit bayi yang terpajang

lebih luas). Bila konsentrasi bilirubin tidak menurun atau

cenderung naik pada bayi–bayi yang mendapat fototerapi

intensif, kemungkinan besar terjadi proses hemolisis.

b. Jarak

Dosis dan kemanjuran dari fototerapi biasanya dipengaruhi

oleh jarak antara lampu (semakin dekat sumber cahaya,

semakin besar radiasinya) dan permukaan kulit yang terkena

cahaya, karena itu dibutuhkan sumber cahaya di bawah bayi

pada fototerapi. Jarak antara kulit bayi dan sumber cahaya

14
dengan lampu neon, jarak harus tidak lebih besar dari 50

cm(20 in). Jarak ini dapat dikurangi sampai 10-20 cm jika

homeostasis suhu dipantau untuk mengurangi resiko

overheating.

c. Berat Badan

1) Untuk usia bayi dengan berat lahir kurang dari 1000 gram,

memulai fototerafi sebesar 5-6 mg/dLpadausia 24 jam,

kemudian meningkat secara bertahapsampai usia 4 hari.

Efisiensi fototerapi tergantung pada jumlah bilirubin yang

diradiasi. Penyinaran area kulit permukaan besar lebih efisien

daripada penyinaran daerah kecil, dan efisiensi meningkat

fototerapi dengan konsentrasi biliubin serum.

2) Ikterus yang timbul pada usia 25-48 jam pasca kelahiran,

fototerapi dianjurkan bila kadar bilirubin serum total

>12mg/dl (170mmol/L). Fototerapi harus dilaksanakan bila

kadar bilirubin serum total > 15mg/dl (260mmol/L). Bila

fototerapi 2x24 jam gagal menurunkan kadar bilirubin serum

total < 20mg/dl (340 mmol/L), dianjurkan untuk dilakukan

tranfusi tukar. Bilakadar bilirubin serum total 20 mg/dl

(>340mmol/L) dilakukan fototerapi dan harus dilakukan

tindakan tranfusi tukar. Bila kadar bilirubin serum total > 15

mg/dl (>260 mmol/L) pada 25-48 jam pasca kelahiran,

15
mengindikasikan perlunya pemeriksaan laboratorium ke arah

hemolisis.

3) Usia 49-72 jam pasca kelahiran, fototerapi dianjurkan bila

kadar bilirubin serum total > 15 mg/dl(260mmol/L).

Fototerapi harus dilaksanakan bila kadar bilirubin serum total

18 mg/dl (310mmol/L). Bila fototerapi 2x24 jam gagal

menurunkan kadar bilirubin serum total < 25mg/dl

(430mmol/L), dianjurkan untuk dilakukan tranfusi tukar. Bila

kadar bilirubin serum total >18 mg.dl (>310mmol/L) maka

fototerapi dilakukan sambil mempersiapkan tindakan tranfusi

tukar.

4) Bila kadar bilirubin serum total > 25 mg/dl(>430 mmol/L)

pada 49-72 jam pasca kelahiran, mengindikasikan perlunya

pemeriksaan laboratorium kearah penyakit hemolisis.

5) Selanjutnya pada usia >72 jam pasca kelahiran, fototerapi

harus dilaksanakan bila kadar bilirubin serum total >17 mg/dl

(290mmol/L).Bila fototerapi 2 x 24 jam gagal menurunkan

kadar bilirubin serum total < 20 untuk dilakukan tranfusi

tukar.

6) Jika kadar bilirubin serum total sudah mencapai > 20 mg/dl

(340mmol/L) maka dilakukan fototerapi sambil

mempersiapkan tindakan tranfusi tukar. Bila kadar bilirubin

serum total > 25 mg/dl (> 430 mmol/L) pada usia>72 jam

16
pasca kelahiran, masih dianjurkan untuk pemeriksaan

laboratorium ke arah penyakit hemolisis.

3. Transfusi Tukar

Berdasarkan jurnal penelitian (Hartina, 2017) Transfusi

tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah darah pasien

yang dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam

jumlah yang sama dan dilakukan berulang-ulang sampai sebagian

besar darah pasien tertukar. Pada pasien dengan ikterus, tindakan

tersebut bertujuan untuk mencegah ensefalopati bilirubin dengan

mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi icterus

karena isoimunisasi, transfusi tukar mempunyai manfaat lebih

karena akan membantu mengeluarkan antibodi maternal dari

sirkulasi darah neonatus.Hal tersebut akan mencegah terjadinya

hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki kondisi anemianya

(Usman, 2014).

I. Pencegahan Hiperbilirubinemia (Kurva Botani)

1. Pencegahan primer

Memberi masukan kepada ibu dan memeriksa bayi apakah mereka

mendapat ASI yang cukup dengan beberapa pertanyaan:

1) Apakah bayi minum 8-12x per hari?

2) Apakah BAB > 3x per hari?

3) Apakah BAK > 6x per hari?

17
4) Apakah BB bayi tidak turun > 10% dalam 5 hari pertama kehidupan?

5) Apakah bayi demam?

Peringkat bukti IIIA, Derajat rekomendasi C

Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air

pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

Peringkat bukti IIA, Derajat rekomendasi B

2. Pencegahan Sekunder

Dilakukan penilaian secara berkesinambungan untuk risiko terjadinya

hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal.Tata cara melakukan

penilaian ini dimulai dengan pemeriksaan secara visual untuk

progresivitas hiperbilirubinemia secara sefalokaudal yang diikuti dengan

pemeriksaan TcB /TSB.

a. Pemeriksaan golongan darah

Melakukan komunikasi dengan dokter obstetrik dan ginekologi

atau bidan untuk melakukan pemeriksaan ABO dan Rh(D) pada

setiap wanita hamil.

Peringkat bukti IIA, Derajat rekomendasi B

Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif,

dilakukan pemeriksaan antibody direk (tes Coombs), golongan

darah dan tipe Rh(D) darah tali pusat bayi.

Peringkat bukti IIA, Derajat rekomendasi B

Bila golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk

dilakukan tes golongan darah dan tes Coombs pada darah tali pusat

18
bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jika dilakukan pengawasan,

penilaian terhadap risiko sebelum keluar Rumah Sakit (RS) dan

tidak lanjut yang memadai.

Peringkat bukti IIIA, Derajat rekomendasi C

b. Penilaian klinis

Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor

terhadap timbulnya progresivitas ikterus dan menetapkan protocol

terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda

vital bayi.

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

Protokol untuk penilaian ikterus harus diketahui oleh seluruh staf

perawatan, jika sarana untuk pemeriksaan TcB dan/atau TSB tidak

tersedia di layanan kesehatan, harus dilakukan rujukan untuk

pemeriksaan kadar bilirubin

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

c. Evaluasi laboratorium

TcB atau TSB diperiksa jika bayi tampak kuning di 24 jam

pertama kehidupan. Kemudian hasil diplot di bilinorm

apakah masuk dalam indikasi fototerapi atau transfusi

tukar. Aplikasi bilinorm dapat diunduh di Apps store atau

Playstore.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

19
Pemeriksaan TcB dan/atau TSB harus dilakukan jika bayi tampak

ikterus. Jika terdapat alat TcB, maka pengukuran kadar bilirubin

dilakukan tiap 24 jam untuk melihat progresivitas ikterus

berdasarkan usia postnatal. Tentukan pula ambang batas fototerapi

setiap harinya. Jika kadar TcB yang terukur ± 2-3mg/dL atau 70%

dari ambang batas fototerapi, maka perlu dilakukan pemeriksaan

TSB.

Peringkat bukti IIa, Derajat rekomendasi C

Pemeriksaan estimasi secara visual tidak dapat digunakan untuk

menentukan derajat ikterus, terutama pada bayi dengan kulit gelap.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur

bayi dalam jam

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

20
Penentuan faktor risiko untuk menjadi hiperbilirubinemia berat

pada bayi dengan usia kehamilan ≥ 36 minggu dengan berat lahir ≥

2000 gram, atau dengan usia kehamilan 35-36 minggu dengan berat

lahir ≥ 2500 gram berdasarkan kadar bilirubin serum sesuai dengan

usia (dalam jam)

d. Penyebab ikterus

Melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mencari

kemungkinan penyebab ikterus pada bayi yang menerima

fototerapi atau TSB meningkat cepat dan tidak dapat

dijelaskan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau

konjugasi harus dilakukan analisis dan kultur urin. Pemeriksaan

laboratorium tambahan untuk mengevaluasi sepsis harus dilakukan

bila terdapat indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Bayi sakit dan ikterus pada atau umur lebih 3 minggu harus

dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk atau bilirubin

konjugasi untuk mengidentifikasi adanya kolestasis. Selain itu,

dapat dilakukan pemeriksaan tiroid dan galaktosemia. Penyebab

dari peningkatan direk bilirubin dapat diidentifikasi denga

pemeriksaan FT4, TSH, dan screening inborn error metabolism

(paper test).

21
Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

Bila kadar bilirubin direk atau bilirubin konjugasi meningkat,

dilakukan evaluasi tambahan untuk mencari penyebab kolestasis.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

Pemeriksaan terhadap kadar glucose-6-phospatase dehydrogenase

(G6PD) direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat

fototerapi dan dengan riwayat keluarga atau etnis/asal geografis

yang menunjukkan kecenderungan defisiensi G6PD atau pada bayi

dengan respon terhadap fototerapi yang buruk.

Peringkat bukti IIIa, Derajat rekomendasi C

22
Tabel 2. Evaluasi laboratorium pada bayi ikterus dengan usia gestasi ≥
35 minggu

23
e. Pemeriksaan klinis sebelum pulang dari rumah sakit

Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap

risiko berkembangnya hiperbilirubinemia berat, dan semua

perawatan harus menerapkan protocol untuk menilai risiko ini.

Penilaian ini sangat penting pada bayi yang pulang sebelum umur

72 jam.Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus

diperiksa TcB atau TSB dan diplot di kurva yang sesuai. Untuk

yang belum masuk dalam kriteria fototerapi, disarankan untuk

kontrol menemui petugas kesehatan maksimal 2x24 jam.

Peringkat bukti IIIA, Derajat rekomendasi C

Ada dua pilihan rekomendasi klinis yaitu:

1) Pengukuran kadar bilirubin transkutaneus atau kadar bilirubin

serum total sebelum keluar RS, secara individual atau

kombinasi untuk pengukuran yang sistimatis terhadap risiko.

2) Penilaian faktor risiko klinis.

Peringkat buktiIIIA, Derajat rekomendasi C

f. Kebijakan dan prosedur rumah sakit

Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orang tua,

serta memperagakan bagaimana cara melakukan pemeriksaan

ikterus dan evaluasi perkembangannya. Cara memeriksa ikterus

adalah:

1) Memucatkan kulit bayi dengan cara menarik kulit pada bagian

yang diperiksa ke arah samping kanan dan kiri dengan

24
menggunakan kedua ibu jari pada bagian dahi, dada, perut,

kaki, dan telapak kaki.

2) Evaluasi ikterus dan perkembangannya dilakukan setiap hari

pada pencahayaan yang cukup dan natural menggunakan sinar

matahari.

3) Evaluasi perkembangan ikterus adalah sefalokaudal.

4) Jika orang tua mendapati kuning pada bagian telapak kaki

dikategorikan sebagai ikterus yang berat dan harus segera

menemui petugas kesehatan.

Peringkat buktiIV, Derajat rekomendasi C

g. Tindak lanjut

Semua bayi harus diperiksan oleh petugas kesehatan

professional yang berkualitas beberapa hari setelah keluar

RS untuk menilai keadaan bayi dan ada tidaknya kuning.

Waktu dan tempat untuk melakukan penilaian ditentukan

berdasarkan lamanya perawatan, ada atau tidaknya faktor risiko

untuk hiperbilirubinemia dan risiko masalah neonatal

lainnya.Penilaian yang harus dilakukan pada saat tindak lanjut

berikutnya adalah:

1) Perkembangan ikterus

2) Kecukupan ASI

3) Ada tidaknya dehidrasi

25
4) Ada tidaknya faktor risiko masalah neonatal yang lain

Peringkat buktiIIIA, Derajat rekomendasi C

h. Jadwal kunjungan ulang

Untuk bayi yang pulang dari rumah sakit, kunjungan

tindak lanjut dilakukan dalam kurun waktu paling tidak

2-3 hari setelah bayi dipulangkan. Hal ini berguna untuk

melihat progresivitas ikterus dan kadar puncak bilirubin

serum yang sering terlihat pada usia 4-6 hari setelah

kelahiran.

Peringkat buktiIIIA, Derajat rekomendasi C

Tabel 2.2 Jadwal Kunjungan Ulang

4. Terapi

a. Fototerapi dan transfusi tukar

Rekomendasi terapi terdapat pada tabel 4, gambar 4, dan gambar 5.

Jika kadar bilirubin total serum tidak menurun atau terus

meningkat, maka lakukan evaluasi apakah intensitas lampu

26
fototerapi sudah cukup (30μW/cm2/nm). Peringkat buktiIIIA,

Derajat rekomendasiC Intensitas dapat ditingkatkan dengan cara:

1) Menggunakan fototerapi ganda.

2) Mendekatkan jarak bayi dengan lampu fototerapi

Dua hal diatas ini beresiko untuk terjadi hipertermia dan

dehidrasi pada bayi. Faktor risiko ini bertambah apabila

menggunakan lampu tipe fluoresensi dan halogen. Namun risiko

berkurang jika menggunakan lampu LED.Praktek lama

menggunakan korden memberikan perubahan intensitas yang tidak

menentu. Penggunaan korden disarankan dengan menggunakan

warna yang terang atau menggunakan material reflektor.Dianjurkan

melakukan pemeriksaan intensitas lampu fototerapi sebelum dan

sesudah modifikasi upaya peningkatan intensitas untuk melihat

apakah intensitas yang ada sudah memenuhi kriteria intensif

fototerapi. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan intensity

meter(contoh intensity meter pada gambar 6).Jika terjadi hemolisis

ketika diberikan fototerapi dan transfusi tukar, lakukan pemeriksaan

retikulosit, coomb test, ABO, dan Rh(D) ibu dan bayi.

27
Gambar6.Bilirubin blanket meter II (intensity meter)(OHMEDA

Medical).

Untuk menentukan bayi memerlukan fototerapi atau transfusi

tukar, maka kadar bilirubin yang diplot di normogram adalah total

serum bilirubin.Penghentian fototerapi dilakukan pada kondisi

dimana kadar bilirubin direk 50% atau lebih dari bilirubin total,

segera rujuk ke NICU level 3.

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

Semua fasilitas perawatan dan pelayanan bayi harus memiliki

peralatan untuk fototerapi intensif yang dilengkapi dengan

intensitimeter untuk mengukur secara periodik lampu fototerapi yang

dimiliki minimal 1 bulan sekali.

Peringkat bukti IIIA, Derajat rekomendasi C

Jika kadar bilirubin total serum berada pada angka untuk rekomendasi

dilakukan transfusi tukar atau jika kadar bilirubin total sebesar

28
25mg/dL atau lebih tinggi pada setiap waktu, hal ini merupakan

keadaan emergensi dan bayi harus segera masuk dan mendapatkan

perawatan fototerapi intensif. Bayi-bayi ini tidak harus dirujuk melalui

bagian emergensi karena hal ini dapat menunda terapi (penjelasan

lebih lengkap lihat di bagian transfusi tukar).

Peringkat bukti III A, Derajat rekomendasi C

Transfusi tukar harus dilakukan hanya oleh personel yang terlatih di

ruangan NICU dengan observasi ketat dan mampu melakukan

resusitasi.

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

Pada penyakit isoimun hemolitik, pemberian intravenous

immunoglobulin (0.5-1g/kgBB) direkomendasikan jika kadar bilirubin

total serum meningkat walaupun telah mendapat fototerapi intensif

atau kadar TSB berkisar 2-3mg/dL dari kadar transfusi tukar. Jika

diperlukan dosis ini dapat diulang dalam 12 jam.

Peringkat bukti IIA, Derajat rekomendasi B

a. Kadar serum albumin dan rasio bilirubin/albumin

Disarankan untuk melakukan pemeriksaan kadar serum albumin.

Kadar albumin yang kurang dari 3 mg/dL meningkatkan risiko

terjadinya bilirubin ensefalopati akut sehingga ambang batas

fototerapi untuk bayi tersebut harus diturunkan (kelompok risiko

tinggi).

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

29
Jika dipertimbangkan transfusi ganti, kadar albumin serum

harus diukur dan digunakan rasio bilirubin/albumin yang

berkaitan dengan kadar bilirubin total serum dan faktor-faktor

lainnya yang menentukan dilakukannya transfusi tukar.

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

a. Bilirubin ensefalopati akut

Direkomendasikan untuk segera melakukan transfusi tukar

pada setiap bayi hiperbilirubinemia dengan tanda hemolisis

disertai manifestasi akut bilirubin ensefalopati (hipertonia,

arching, retrocollis, opistotonus, demam, menangis,

menangis melengking) meskipun kadar bilirubin total serum

masih di bawah batas transfusi tukar.

Peringkat bukti IV, Derajat rekomendasi C

b. Manajemen rawat jalan bayi dengan breastfeeding

jaundice Pada bayi yang menyusu yang memerlukan

fototerapi, AAP merekomendasikan bahwa, jika

memungkinkan, menyusui harus diteruskan. Hal ini dapat

mengurangi kadar bilirubin dan atau meningkatkan

efektifitas fototerapi. Pada bayi ASI eksklusif yang

mendapat fototerapi, suplementasi dengan pemberian ASI

perah atau formula adalah pilihan yang tepat terutama jika

asupan bayi dirasa tidak adekuat, berat badan turun

30
berlebihan, atau bayi tampak dehidrasi. Peringkat bukti III

A, Derajat rekomendasi C

Tabel 4. Contoh langkah klinis untuk manajemen bayi baru

lahir yang masuk kembali ke rumah sakit untuk

mendapatkan fototerapi atau transfusi tukar

31
33
Gambar 4. Panduan untuk fototerapi pada bayi dengan usia

gestasi ≥ 35 minggu.

Keterangan :

1) Gunakan TSB. Jangan mengurangi TSB dengan bilirubin

direk.

2) Faktor risiko: isoimmune hemolytic disease, defisiensi

G6PD, asfiksia, letargis, suhu tubuh yang tidak stabil, sepsis,

asidosis, atau kadar albumin <3g/dl

3) Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu

diperbolehkan untuk melakukan fototerapi pada kadar

bilirubin total sekitar medium risk line. Merupakan pilihan

untuk melakukan intervensi pada kadar bilirubin total serum

yang lebih rendah untuk bayi-bayi yang mendekati usia 35

34
minggu dan dengan kadar bilirubin total serum yang lebih

tinggi untuk bayi yang berusia mendekati 37 6/7 minggu.

4) Diperbolehkan melakukan fototerapi dengan dosis standard

(8-10 μW/cm2 per nm) baik di rumah sakit atau di rumah

pada kadar bilirubin total 2-3 mg/dL di bawah garis yang

ditunjukkan, namun pada bayi-bayi yang memiliki faktor

risiko fototerapi sebaiknya tidak dilakukan di rumah.

Panduan ini berdasarkan bukti yang terbatas dan kadar yang

ditunjukkan adalah perkiraan. Panduan ini mengacu pada

penggunaan fototerapi intensif yang mana harus digunakan

ketika kadar TSB melewati garis yang diindikasikan untuk

tiap kategori. Bayi dikategorikan sebagai risiko tinggi karena

adanya efek potensial negatif dari kondisi yang tercatat pada

ikatan albumin bilirubin, sawar darah otak, dan kerentanan

sel otak terhadap bilirubin.

Fototerapi intensif adalah fototerapi dengan menggunakan

sinar blue-green spectrum (panjang gelombang kira-kira 430-

490 nm) dengan kekuatan minimal 30 μW/cm2 per nm

(diukur pada kulit bayi secara langsung dibawah titik tengah

dari unit fototerapi) dan dipancarkan sebanyak mungkin pada

permukaan tubuh bayi. Perlu dicatat bahwa radiasi yang

diukur dibawah titik tengah dari submer cahaya lebih tinggi

daripada yang diukur di perifer. Pengukuran harus dilakukan

35
dengan radiometer spesifik sesuai dengan pabrikan sistem

fototerapi. Jika kadar TSB mendekati atau melewati batas

transfusi tukar (gambar 4), maka sisi dari keranjang bayi,

inkubator, atau infant warmer dapat dilapisi dengan

aluminium foil atau material reflektor. Hal ini akan

meningkatkan luas permukaan paparan sehingga

meningkatkan efikasi fototerapi.Bila kadar TSB tidak

menurun atau tetap meningkat pada bayi yang sedang

mendapatkan fototerapi intensif, maka diduga kuat adanya

hemolisis. Bayi yang mendapatkan fototerapi dan mengalami

peningkatan kadar bilirubin direk atau bilirubin terkonjugasi

(kolestasis) bisa berkembang menjadi bronze-baby syndrome.

Pada panduan ini dilampirkan aplikasi yang dapat membantu

klinisi untuk memutuskan bayi perlu mendapatkan fototerapi

atau pertimbangan transfusi tukar (aplikasi bilinorm). Pada

aplikasi bilinorm untuk kategori bayi ≥ 35 minggu

menggunakan kurva AAP yang dimodifikasi untuk

penyederhanaan. Penyederhanaan dilakukan pada kelompok

bayi yang risiko rendah (infants at lower risk). Pada aplikasi

bilinorm, kelompok ini ditiadakan. Kelompok bayi risiko

sedang (infants at medium risk) pada grafik AAP dijadikan

kelompok standart risk (>38 minggu). Sedangkan kelompok

risiko tinggi (≥35 minggu dan > 38 minggu dengan faktor

36
risiko)(infants at high risk) tetap sebagai kelompok risiko

tinggi (high risk).

37
Gambar 5. Panduan untuk transfusi tukar pada bayi dengan usia gestasi ≥ 35

minggu. Keterangan :

1) Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukkan keadaan

tanpa patokan pasti karena terdapat pertimbangan klinis yang luas

dan tergantung respon terhadap fototerapi.

2) Direkomendasikan transfusi tukar segera bila bayi menunjukkan

gejala ensefalopati akut (hipertoni, arching, retrocollis,

opistotonus, high pitch cry, demam) atau bila kadar bilirubin total ≥

5 mg/dL diatas garis patokan.

3) Faktor risiko: penyakit hemolitik autoimun, defisiensi G6PD,

asfiksia, letargis, suhu tidak stabil, sepsis, asidosis.

4) Periksa kadar albumin dan hitung rasio bilirubin total / albumin.

5) Gunakan TSB. Jangan mengurangkan dengan bilirubin direk atau

bilirubin terkonjugasi

39
6) Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 6/7 minggu (risiko

sedang) transfusi tukar yang hendak dilakukan bersifat individual

berdasarkan usia kehamilan saat ini.

Perlu diingat bahwa kadar yang disarankan merepresentasikan

konsensus dari sebagian besar komite namun berdasarkan bukti

yang terbatas, dan kadar yang ditunjukkan adalah perkiraan. Lihat

referensi 3 untuk risiko dan komplikasi dari transfusi tukar. Pada

saat dirawat inap lahir, transfusi tukar direkomendasikan jika kadar

TSB meningkat hingga tingkatan ini meskipun dilakukan fototerapi

intensif. Untuk bayi yang masuk kembali, jika kadar TSB diatas

tingkatan transfusi tukar, pemeriksaan ulangan TSB tiap 2-3 jam

dan pertimbangkan transfusi tukar jika kadar TSB tetap diatas

kadar yang diindikasikan setelah fototerapi intensif selama 6 jam.

40
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, Yetti. 2014. Hubungan Antara Persalinan Prematur dengan


Hiperbilirubin pada Neonatus. Jurnal kesehatan. Vol 5, No. 2 Oktober
2014: 109-112

Anitasari, Ratriyuli. 2012. Asuhan Kebidanan pada Bayi Baru Lahir By. Ny. N
dengan Hiperbilirubin Derajat III Di RSU Assalam Gemolong. Surakarta:
Stikes Kusuma Husada

Lubis, dkk. 2013. Rasio Bilirubin Albumin pada Neonatus dengan


Hiperbilirubinemia. Sari Pediatri. Vol 14, No 5. 292-297.

Mala, Viya Yanti. 2015. Analisa Penyebab Angka Kematian Bayi (AKB)
Intervensi program KKB dalam mencapai sasaran MDG’s. Jurnal Penelitian
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Prov. Sumsel

Mathindas, Stefry, dkk. Hipebilirubinemia Pada Neonatus : Jurnal Biomedik Vol.


5, No. 1, S4-10. Maret 2013.

Maryunani, dkk. 2013. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal.


Jakarta : Trans Info Media

Maulida, L.F. Ikterus Neonatorum. Media Publikasi Penelitian. 2014. 10(1): 39-
43

WHO. World Health Statistics 2015: World Health Organization. 2015.

Yanti, Riyantini. 2014. “ Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Pengetahuan


Sikap dan Keterampilan Ibu serta Kejadian Hiperbilirubinemia pada Bayi
Baru Lahir di RSAB Harapan Kita Jakarta “. Tesis: UI

41

Anda mungkin juga menyukai