Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH ASUHAN KEBIDANAN NEONATUS

Asuhan Kebidanan Bayi Resiko Tinggi

Dosen pengampuh :

Dian Hanifah, SST., M.Keb

Disusun Oleh :

Nama Kelompok

ALVIO NITHA TRI KUMALA BOB0201808

DILLA SANDI PURBAYANI BOB0201809

ENJELLY BOB0201810

FEBBY FEBRI ANTRE BOB0201811

STIKes Kendedes Malang Prodi DIII Kebidanan

Jl. Raden Panji Suroso No.6, Polowijen, Kec. Blimbing, Kota Malang, Jawa
Timur 65126

Tahun Ajaran 2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang hingga saat ini masih
melimpahkan nikmat kepada kita semua, baik nikmat iman, kesehatan dan
kesempatan untuk menuntut ilmu. Allah SWT berjanji akan meninggikan derajat
orang – orang yang berilmu, semoga kita termasuk dalam golongan tersebut. Serta
berkatNya juga makalah yang berjudul “Asuhan Kebidanan Bayi Resiko Tinggi "
ini dapat terselesaikan. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta pengikut pengikutnya
hingga akhir zaman.

Makalah ini disusun sebagai tugas dari dosen, yang bertujuan untuk
menambah pengetahuan serta dapat mengimplementasikannya di dalam dunia
kerja. karena dengan semakin majunya normasi dan Teknologi serta tingginya
rasa ingin tau manusia yang mengakibatkan persaingan dunia kesehatan dan
kompetensi dalam rekrutmen tenaga kerja menjadi semakin ketat. Terima kasih
kepada Ibu Dian Hanifah, SST., M.Keb. Selaku Dosen pengajar pada mata kuliah
“Asuhan Persalinan” yang senantiasa memberikan bimbingan dan arahan kepada
penyusun dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya, dan para pembaca pada umumnya. Penulis
menyadari makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan,
untuk itu, penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak. dan semoga makalah ini dirahmati,diridhoi dan dirahimi oleh llahi
rabbi.

Selasa, 22 November 2021

Penyusun

Kelompok 1

i
ii
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. iii

A. Latar Belakang ..................................................................................... iii


B. Rumusan Masalah ................................................................................ iii
C. Tujuan Pembahasan ............................................................................. iv

BAB II TINJAUAN TEORI ......................................................................... 1

1. BBLR ................................................................................................... 1
2. Syndrome Gangguan Pernafasan ......................................................... 11
3. Ikterus .................................................................................................. 19

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 26

1. Kesimpulan .......................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 27

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) diartikan sebagai bayi yang
lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram. BBLR merupakan
prediktor tertinggi angka kematian bayi, terutama dalam satu bulan
pertama kehidupan (Kemenkes RI,2015). Bayi BBLR mempunyai risiko
kematian 20 kali lipat lebih besar di bandingkan dengan bayi yang lahir
dengan berat badan normal. Lebih dari 20 juta bayi di seluruh dunia lahir
dengan BBLR dan 95.6% bayi BBLR lahir di negara yang sedang
berkembang, contohnya di Indonesia. Survey Demografi dan Kesehatan
Indonesia tahun 2014-2015, angka prevalensi BBLR di Indonesia masih
tergolong tinggi yaitu 9% dengan sebaran yang cukup bervariasi pada
masing-masing provinsi.Angka terendah tercatat di Bali (5,8%) dan
tertinggi di Papua (27%),sedangkan di Provinsi Jawa Tengah berkisar 7%
(Kemenkes RI,2015).
BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) diartikan sebagai bayi yang
lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram. BBLR merupakan
prediktor tertinggi angka kematian bayi, terutama dalam satu bulan
pertama kehidupan (Kemenkes RI,2015). Bayi BBLR mempunyai risiko
kematian 20 kali lipat lebih besar di bandingkan dengan bayi yang lahir
dengan berat badan normal. Lebih dari 20 juta bayi di seluruh dunia lahir
dengan BBLR dan 95.6% bayi BBLR lahir di negara yang sedang
berkembang, contohnya di Indonesia. Survey Demografi dan Kesehatan
Indonesia tahun 2014-2015, angka prevalensi BBLR di Indonesia masih
tergolong tinggi yaitu 9% dengan sebaran yang cukup bervariasi pada
masing-masing provinsi.Angka terendah tercatat di Bali (5,8%) dan
tertinggi di Papua (27%),sedangkan di Provinsi Jawa Tengah berkisar 7%
(Kemenkes RI,2015).

iv
Ikterus neonatorum adalah kondisi perubahan warna kuning pada
kulit, mukosa dan sklera karena kadar serum bilirubin dalam darah
mengalami peningkatan > 85 µmol/L atau > 5mg/dl, Bilirubin terbentuk
ketika komponen heme sel darah merah dipecah dilimpa menjadi
biliverdin dengan istilah lain adalah bilirubin tak terkojugasi, kondisi
terjadinya peningkatan tersebut menyebabkan muncul tanda dan gejala
kuning pada bayi (Brits et al, 2017). Kejadian ikterus fisiologis terjadi
pada 40 - 60% bayi cukup bulan sedangkan ikterus patologis terjadi sekitar
80% pada bayi dengan diagnosa sekunder seperti berat bayi lahir rendah
dan lain-lain (Seriana, Yusrawat & Lubis, 2015).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana BBLR
2. Bagaimana Syndrom gangguan pernafasan
3. Bagaimana icterus pada bayi baru lahir
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk Mengetahui Bagaimana BBLR
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Syndrom gangguan pernafasan
3. Untuk Mengetahui Bagaimana icterus pada bayi baru lahir

v
BAB II

TINJAUAN TEORI

I. BBLR ( BAYI BERAT BADAN LAHIR RENDAH )


1. Definisi BBLR
Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan bayi baru
lahir yang saat dilahirkan memiliki berat badan senilai < 2500
gram tanpa menilai masa gestasi. (Sholeh, 2014).
Pada tahun 1961 oleh World Health Organization (WHO)
semua bayi yang telah lahir dengan berat badan saat lahir kurang
dari 2.500 gram disebut Low Birth Weight Infants atau Bayi Berat
Lahir Rendah (BBLR).
Banyak yang masih beranggapan apabila BBLR hanya
terjadi pada bayi prematur atau bayi tidak cukup bulan. Tapi,
BBLR tidak hanya bisa terjadi pada bayi prematur, bisa juga terjadi
pada bayi cukup bulan yang mengalami proses hambatan dalam
pertumbuhannya selama kehamilan (Profil Kesehatan Dasar
Indonesia, 2014).
2. Klasifikasi BBLR
Bayi BBLR dapat di klasifikasikan berdasarkan gestasinya,
Bayi bblr dapat digolongkan sebagai berikut :
1) Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) prematuritas murni,
yaitu BBLR yang mengalami masa gestasi kurang dari 37
minggu. Berat badan pada masa gestasi itu pada umumnya
biasa disebut neonatus kurang bulan untuk masa kehamilan
(Saputra, 2014).
2) Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dismatur, Yaitu
BBLR yang memiliki berat badan yang kurang dari seharusnya
pada masa kehamilan. BBLR dismatur dapat lahir pada masa
kehamilan preterm atau kurang bulan-kecil masa kehamilan,
masa kehamilan term atau cukup bulan-kecil masa kehamilan,
dan masa kehamilan post-term atau lebih bulan-kecil masa
kehamilan (Saputra, 2014).
3. Etiologi BBLR
Etiologi dari BBLR dapat dilihat dari faktor maternal dan
faktor fetus. Etiologi dari maternal dapat dibagi menjadi dua yaitu
prematur dan IUGR (Intrauterine Growth Restriction). Yang
termasuk prematur dari faktor maternal yaitu Preeklamsia, penyakit
kronis, infeksi, penggunaan obat, KPD, polihidramnion, iatrogenic,
disfungsi plasenta, plasenta previa, solusio plasenta, inkompeten
serviks, atau malformasi uterin. Sedangkan yang termasuk IUGR
(Intrauterine Growth Restriction) dari faktor maternal yaitu
Anemia, hipertensi, penyakit ginjal, penyakit kronis, atau pecandu
alcohol atau narkortika. Selain etiologi dari faktor maternal juga
ada etiologi dari faktor fetus. Yang termasuk prematur dari faktor
fetus yaitu Gestasi multipel atau malformasi. Sedangkan, yang
termasuk IUGR (Intrauterine Growth Restriction) dari faktor fetus
yaitu Gangguan kromosom, infeksi intrauterin (TORCH),
kongenital anomali, atau gestasi multipel (Bansal, Agrawal, dan
Sukumaran, 2013).
Selain itu ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan
bayi dengan berat badan lahir rendah atau biasa disebut BBLR
(Proverawati dan Ismawati, 2010) :
A. Faktor ibu :
1) Penyakit Penyakit kronik adalah penyakit yang sangat lama
terjadi dan biasanya kejadiannya bisa penyakit berat yang
dialami ibu pada saat ibu hamil ataupun pada saat
melahirkan. Penyakit kronik pada ibu yang dapat
menyebabkan terjadinya BBLR adalah hipertensi kronik,
Preeklampsia, diabetes melitus dan jantung (England,
2014).

2
a. Adanya komplkasi - komplikasi kehamilan, seperti
anemia, perdarahan antepartum, preekelamsi berat,
eklamsia, infeksi kandung kemih.
b. Menderita penyakit seperti malaria, infeksi menular
seksual, hipertensi atau darah tinggi, HIV/AIDS,
TORCH, penyakit jantung.
c. Salah guna obat, merokok, konsumsi alkohol.
2) Ibu (geografis)
a. Usia ibu saat kehamilan tertinggi adalah kehamilan
pada usia < 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
b. Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau pendek dari anak
satu ke anak yang akan dilahirkan (kurang dari 1 tahun).
c. Paritas yang dapat menyebabkan BBLR pada ibu yang
paling sering terjadi yaitu paritas pertama dan paritas
lebih dari 4.
d. Mempunyai riwayat BBLR yang pernah diderita
sebelumnya.
3) Keadaan sosial ekonomi
a. Kejadian yang paling sering terjadi yaitu pada keadaan
sosial ekonomi yang kurang. Karena pengawasan dan
perawatan kehamilan yang sangat kurang.
b. Aktivitas fisik yang berlebihan dapat juga
mempengaruhi keadaan bayi. diusahakan apabila
sedang hamil tidak melakukan aktivitas yang ekstrim.
c. Perkawinan yang tidak sah juga dapat mempengaruhi
fisik serta mental.
B. Faktor janin
Faktor janin juga bisa menjadi salah satu faktor bayi BBLR
disebabkan oleh : kelainan kromosom, infeksi janin kronik
(inklusi sitomegali, rubella bawaan, gawat janin, dan kehamilan
kembar).

3
C. Faktor plasenta
Faktor plasenta yang dapat menyebabkan bayi BBLR juga
dapat menjadi salah satu faktor. Kelainan plasenta dapat
disebabkan oeh : hidramnion, plasenta previa, solutio plasenta,
sindrom tranfusi bayi kembar (sindrom parabiotik), ketuban
pecah dini.
D. Faktor lingkungan
Banyak masyarakat yang menganggap remeh adanya faktor
lingkungan ini. Faktor lingku ngan yang dapat menyebabkan
BBLR, yaitu : tempat tinggal di dataran tinggi, terkena radiasi,
serta terpapar zat beracun (England, 2014).

4. Factor Resiko
Menurut maryani,(2012:169) faktor yaeng mempengaruhi
terjadinya BBLR terdiri dari faktor ibu yang meliputi penyakit ibu,
usia ibu, keadaan sosial ekonomi, dan sebab lain berupa kebiasaan
ibu, faktor janin dan faktor lingkungan. BBLR dengan faktor
paritas terjadi karena sistem reproduksi ibu telah mengalami
penipisan akibat sering melahirkan , hal ini disebabkan oleh

4
semakin tinggi paritas ibu , kualitas endometriumakan semakin
menurun. Kehamilan yang berulang – ulang akan mempengaruhi
aliran nutrisi ke janin dimana jumlah nutrsi akan berkurang
dibandingkan dengan kehamilan sebelumnya (Mahayana et
al.,2015:669).
Menurut Samuel S gidding dalam amiruddun & Hasmi
(2014;85- 86) mekanisme pajanan asapa rokok terhadap kejadian
BBLR dan berat plasenta dengan beberapa mekanisme Yaitu
kandungan tembakau seperti nikotin,CO,dan polysiklik
hydrokarbon, diketahui dapat menembus plasenta.
Carbonmonoksida mempunyai afnitas berkaitan dengan
hemoglobin membentuk karboksihemoglobin, yang menurunkan
kapasitas darah yang mengangkut oksigen ke janin, sedangkan
nikotin menyebabkan vasokontriksi arteri umbilikal dan menekan
aliran darah ke plasenta. Kombinasi hypoxia intrauterine dan
plasenta yang tidak sempurna mengalirkan darah diyakini menjadi
penghambat pertumbuhan janin.
Faktor yang juga memepngarhui kejadian BBLR adaalah
penyakit pada ibu hamil. Anemia pada ibu hamil dapat
menyebabkan penurunan suplai oksigen ke jaringan, selain itu juga
dapat meruabah struktur vaskularisasi plasenta, hal ini akan
menggangu paertumbuhan janin sehingga akan memperkuat resiko
terjadinya persalinan prematur dan kelahiran bayi dengan berat
badan rendah terutama untuk kadar hemoglobin yang rendah mulai
trimester awal kehamilan. Sealin anemia implantasi plasenta
abnormal seperti plasenta previa berakibat terbatasnya plasenta
untuk tumbuh,sehingga akan memepengaruhi luas permukaanya,
pada keadaan ini lepasnya tepi plasenta disertai perdarahan dan
terbentuknya jaringan parut sering terjadi,sehingga meningkatkan
resiko untuk terjadi perdarahan antepartum. Apabila perdarahan
banyak dan kehilan tidak dapat dipertahankan, maka terminasi

5
kehamilan akan dilakukan pada usia kehamilan berapapun, hal ini
mneyebakan tingginya kejadian prematuritas yang memiliki berat
badan lahir rendah disertai dengan mortalitas dan mordibitas
tinngi.
Keadaan sosial ekonomi secara tidak langsung
mempengaruhi kejadian BBLR, karena pada umumnya ibu dengan
keadaan sosial ekonomi yang rendah akan mempunya intake
makanan yang lebih rendah baik secara kualitas maupun kuantitas,
yang berakibat kepada rendahnya status gizi pada ibu hamil. Selain
itu gangguan psikologis selama kehamilan berhubungan dengan
terjadinya peningkatan indeks resistensi arteri uterina, hal ini
disebabkan karen aterajinya peningkatan konsentrasi noradrenalin
dalam plasma, sehingga liran darah ke uterus menurun dan uterus
sangat sensitif terhadapa noradrenalin sehingga menimbulakn efek
vasokontriksi, mekanisme inilah yang mengakibatkan
terhambatnya proses pertumbuhan dan perkembangan janin intra
uteru sehingga terjadi BBLR.
Menurut Maryanti (2012;169) penyebab BBLR dapat
berasal dari janin berupa hidramnion atau polihidramnion,
kehamilan ganda,dan kelainan kromosom. Hidramnion merupakan
kehamilan dengan jumlah air ketuban lebih dari 2 lite. Produksi air
ketuban berlebih dapat merangsang persalinan sebelum kehamilan
28 minggu, sehingga dapat menyebabkan kehamilan prematur dan
dapat meningkatkan kejadian BBLR. Pada kehamilan ganda berat
badan kedua janin pada kehamilan tidak sama, dapat berbeda 500-
1000 gram, hal ini terjadi karena pembagian darah pada plasenta
untk kedua janin tidak sama, pada kehmilan kembar distensi
(peregangan) uterus berlebihan, sehingga melewati batas normal
toleransi dan sering terjadi persalinan prematur. Menurut Saifudin
dalam Amiruddin & Hasmi (2013;110-111) kelainan kongenital
atau cacat bawaan merupakan kelainan dalam pertumbuhan

6
struktur yang timbul sejak kehidupan awal konsepsi sel telur. Bayi
lahir dengan kelainan kongenital umunya akan dilahirkan sebagai
BBLR.
Pada BBLR ditemukan tanda dan gejala berupa disproporsi
berat badan dibandingkan dengan panjang dan lingkar kepala,kulit
kering pecah 20 pecah dan terkelupas serta tidak adanya jaringan
subkutas, karena suplai lemak subkuta terbatas dan area kulit yang
besar engan berat badan bayi menyebabkan bayi mudah
mengahantarkan panas pada lingkungan, sehngga bayi mudah
kehilangan panas tubuh dan menjadi hipotermi. Selain itu tipisnya
lemak subkuta menyebabkan struktur kulit belum matang dan
rapuh. Sensitivitas akan memudahkan terjadinya kerusakan
integritas kulit terutama pada daerah yang sering tertekan dalam
waktu yang lama. Pada bayi BBLR juga mudah sekali terkena
infeksi, karena daya than tubuh yang masih lemah, Kamampuan
leukosit masih kurang dan pemebntukan antibodi belum sempurna.
Alat pencernaan bayi BBLR masih belum matur, lambung
kecil, enzim pencernaan belum matang, selain itu jaringan lemak
subkutan yang tipis menyebabkan cadangan energi berkurang yang
menyebabkan malnutrisi dan hipoglikemi, akibat fungsi organ
organ belum baik terutama pada otak dapat menyebabkan
imaturitas pada sentrum – sentrum vital yang menyebabkan reflek
menelan belum sempurna danreflek menghisap lemah,
menyebabkan bayi dapat mengalami gangguan pemenuhan nutrisi.
5. Tanda dan Gejala BBLR
Secara umum, gambaran klinis dari bayi BBLR adalah sebagai
berikut:
1) Berat kurang dari 2500 gram
2) Panjang kurang dari 45 cm
3) Lingkar dada kurang dari 30 cm
4) Lingkar kepala kurang dari 33 cm

7
5) Umur kehamilan kurang dari 37 minggu
6) Kepala bayi lebih besar dari badan, Kepala tidak mampu tegak,
rambut kepala tipis dan halus, elastisitas daun telinga
7) Integumen: Kulit tipis,transparan, rambut lanugo banyak,
jaringan subkutan sedikit
8) Otot hipotonik lemah
9) Dada: dinding thorax elastis, putting susu belum terbentuk,
pernafasan tidak teratur, dapat terjadi apnea, Pernafasan 40-50
kali/menit, Nadi 100-140 kali / menit
10) Ekstremitas: paha abduksi,sendi lutut/kaki fleksi-lurus, kadang
terjadi oedem, garis telapak kaki sedikit, telapak kaki halus,
tumit mengkilat
11) Genetalia: pada bayi laki-laki skrotum kecil dan testis tidak
teraba (belum turun), dan pada bayi perempuan klitoris
menonjol serta labia mayora belum menutupi labia minora
(labia mayora hampir tidak ada).

BBLR menunjukkan belum sempurnanya fungsi organ tubuh


dengan keadaannya lemah, yaitu sebagai berikut :

1) Tanda-tanda bayi kurang bulan (KB)


a. Kulit tipis dan mengkilap
b. Tulang rawan telinga sangat lunak,karena belum terbentuk
dengan sempurna
c. Lanugo (rambut halus/lembut) masih banyak ditemukan
terutama pada punggung
d. Jaringan payudara belum terlihat,putting masih berupa titik
e. Pada bayi perempuan, labia mayora belum menutupi labia
minora
f. Pada bayi laki-laki, skrotum belum banyak lipatan,testis
kadang belum turun

8
g. Rajah telapak tangan kurang dari 1/3 bagian atau belum
terbentuk
h. Kadang disertai dengan pernafasan yang tidak teratur
i. Aktivitas dan tangisnya lemah
j. Reflek menghisap dan menelan tidak efektif atau lemah
2) Tanda-tanda bayi Kecil Untuk Masa Kehamilan (KMK) :
a. Gerakannya cukup aktif,tangis cukup kuat
b. Kulit keriput,lemak bawah kulit tipis
c. Bila kurang bulan jaringan payudara kecil,puting kecil. Bila
cukup bulan payudara dan putting sesuai masa kehamilan
d. Bayi perempuan bila cukup bulan labia mayora menutupi
labia minora
e. Bayi laki-laki testis mungkin telah turun
f. Rajah telapak kaki lebih dari 1/3 bagian
g. Menghisap cukup kuat (Proverawati, 2010)
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Umum BBLR
1) Mempertahankan suhu tubuh bayi
Bayi prematur akan cepat mengalami kehilangan panas
badan dan menjadi hipotermia,karena pusat pengaturan panas
badan belum berfungsi dengan baik,metabolismenya rendah
dan permukaan badan relatif luas. Oleh karena itu bayi
prematur harus dirawat di dalam incubator sehingga panas
badannya mendekati rahim. Bila belum memiliki
inkubator,bayi prematur dapat di bungkus dengan kain dan
disampingnya ditaruh botol yang berisi air panas atau
menggunakan metode kangguru yaitu perawatan bayi baru lahir
seperti bayi kanguru dalam kantung ibunya (Proverawati,
2010).
2) Pengaturan dan pengawasan intake nutrisi

9
Pengaturan dan pengawasan intake nutrisi dalam hal ini
adalah menentukan pilihan susu, cara pemberian dan jadwal
pemberian yang sesuai dengan kebutuhan bayi BBLR. ASI (Air
Susu Ibu ) merupakan pilihan pertama jika bayi mampu
mengisap.Permulaan pemberian cairan yang diberikan sekitar
200cc/kg/BB/hari. Cara pemberian makanan BBLR harus
diikuti tindakan pencegahan khusus untuk mencegah terjadinya
regurgitasi dan masuknya udara dalam usus (Proverawati.dkk,
2010).
3) Pencegahan infeksi
Infeksi adalah masuknya bibit penyakit atau kuman
kedalam tubuh,khususnya mikroba. Bayi BBLR sangat mudah
mendapat infeksi.Infeksi terutama disebabkan oleh infeksi
nosokomial. Rentang terhadap infeksi ini disebabkan oleh
kadar immunoglobulin serum pada bayi BBLR masih
rendah,aktivitas bakterisidal neotrofil,efek sitotoksik limfosit
juga masih rendah dan fungsi imun belum berpengalaman.
Fungsi perawatan disini adalah memberi perlindungan terhadap
bayi BBLR dari bahaya infeksi. Oleh karena itu bayi BBLR
tidak boleh kontak dengan penderita infeksi dalam bentuk
apapun. Digunakan masker dan baju khusus dalam penanganan
bayi,perawatan luka tali pusat, perawatan mata, hidung, kulit,
tindakan aseptis dan antiseptic alatalat yang digunakan,isolasi
pasien, jumlah pasien dibatasi,rasio perawat pasien
ideal,mengatur kunjungan,menghindari perawatan yang terlalu
lama, mencegah timbulnya asfiksia dan pemberian antibiotic
yang tepat (Sudarti, 2012). Bayi prematur mudah sekali terkena
infeksi, karena daya tahan tubuh yang masih
lemah,kemampuan leukosit masih kurang, dan pembentukan
antibodi belum sempurna. Oleh karena itu upaya preventif

10
dapat dilakukan sejak pengawasan antenatal sehingga tidak
terjadi persalinan prematuritas/BBLR.
4) Penimbangan berat badan
Perubahan berat badan mencerminkan kondisi gizi atau
nutrisi bayi dan erat kaitannya dengan daya tahan tubuh,oleh
sebab itu penimbangan berat badan harus dilakukan dengan
ketat. e. Kenaikan berat badan pada bayi Bayi BBLR dengan
berat badan biasanya tercapai kembali, kenaikan berat badan
selama 3 bulan. Kenaikan berat badan bayi BBLR dengan berat
badan aspirasi. Dengan tindakan ini dapat dicegah sekaligus
mengatasi asfiksia sehingga memperkecil kematian bayi BBLR
(Proverawati, 2010)
7. Asuhan Kebidanan
Asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan Berat Bayi Lahir
Rendah atau BBLR sesuai dengan manajemen kebidanan dan tidak
ada komplikasi yang terjadi pada ibu maupun bayi. Simpulan
Asuhan Kebidanan sesuai dengan standar menjaga kehangatan
bayinya dengan menganti popok ketika basah, membedong bayi,
tidak berada didekat jendela dan benda-benda dingin dan juga
memenuhi nutrisi bayi dengan menyusui bayinya seseringmungkin
dan bila bayi menginginkan sehingga dapat mencegah dan
menangani kemungkinan komplikasi yang akan terjadi. Saran
untuk ibu yaitu untuk tetep menjaga kehangatan bayinya dan
memenuhi kebutuhan nutrisi pada bayi.

II. Sindroma Gangguan Pernafasan


1. Definisi Syndrom Gangguan Pernafasan
Respirasi Distress Syndrome (RDS) atau Sindrom Distres
Pernapasan adalah sindrom gawat napas yang disebabkan
defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang baru lahir dengan
masa gestasi kurang (Malloy, 2009). Sindrom distres pernapasan

11
adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernapasan atau
tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan
sebagai hyalin membrane diseaser (Suriadi & Yulianni, 2010).
Sindrom distres pernapasan adalah sekumpulan temuan
klinis, radiologis, dan histologis yang terjadi terutama akibat
ketidakmaturan paru dengan unit pernapasan yang kecil dan sulit
mengembang dan tidak menyisakan udara diantara usaha napas
(Bobak, 2009). Respiratory
distress syndrome adalah suatu bentuk gagal nafas yang
ditandai dengan hipoksemia, penurunan compliance paru, dispnea,
edema pulmonal bilateral tanpa gagal jantung dan infiltrat yang
menyebar (Somantri, 2009). Respiratory distress syndrome (RDS)
merupakan kumpulan gejala yang terdiri atas dispnea, frekuensi
pernafasan yang lebih dari 60 kali permenit, adanya sianosis,
adanya rintihan pada saat ekspirasi (ekspiratory grunting), serta
adanya retraksi suprasternal, interkostal, dan epigastrium saat
inspirasi. Penyakit ini adalah penyakit membran hialin, dimana
terjadi perubahan atau berkurangnya komponen surfaktan
pulmonal (zat aktif alveoli yang dapat mencegah kolaps paru dan
mampu menahan sisa udara pada akhir ekspirasi) (Hidayat, 2008).
Jadi berdasarkan dari beberapa sumber dapat disimpulkan bahwa
RDS adalah penyakit yang disebabkan oleh ketidakmaturan dan
ketidak mampuan sel untuk menghasilkan surfaktan yang
memadai.
2. Etiologi
Faktor predisposisi terjadinya sindrom gawat napas pada
bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit
berkembang. Pengembangan kurang sempurna karena dinding
thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna.
Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus
sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan

12
perubahan fisiologis paru sehingga daya pengembangan paru
menurun 25% dari normal, pernapasan menjadi berat, shunting
intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat,
hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah
diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10%
protein, lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan
dan menjaga agar alveoli tetap mengembang (Hasan, 2010).
Sindrom gawat napas biasanya terjadi jika tidak cukup
terdapat suatu substansi dalam paru-paru yang disebut surfaktan.
Surfaktan adalah suatu substansi molekul yang aktif dipermukaan
alveolus paru dan diproduksi oleh sel-sel tipe II paru-paru.
Surfaktan berguna untuk menurunkan tahanan permukaan paru.
Surfaktan terbentuk mulai pada usia kehamilan 24 minggu dan
dapat ditemukan pada cairan ketuban. Pada usia kehamilan 35
minggu, sebagian besar bayi telah memiliki jumlah surfaktan yang
cukup (Maryunani, 2009).
Menurut Suriadi dan Yulianni (2010) etiologi dari RDS
yaitu:
1) Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka.
2) Alveoli masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang
dan pengembangan kurang sempurna. Fungsi surfaktan untuk
menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi
udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih
belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru
kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas.
3) Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang
tertangkap dalam proteinaceous filtrat serum (saringan serum
protein), di fagosit oleh makrofag.
4) Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram.
5) Adanya kelainan di dalam dan di luar paru. Kelainan dalam
paru yang menunjukan sindrom ini adalah

13
pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin
(PMH).
6) Bayi prematur atau kurang bulan. Diakibatkan oleh kurangnya
produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak
kehamilan minggu ke-22, semakin muda usia kehamilan, maka
semakin besar pula kemungkinan terjadi RDS.
3. Factor Resiko
Factor - faktor Yang Mempengaruhi Respirasi Distress Syndrome
(RDS) antara lain (Marfuah, 2013):
1) Kehamilan ganda
Ada hubungan kehamilan ganda dengan kegawatan nafas
neonatus, dan kehamilan ganda mempunyai peluang lebih besar
untuk mengalami gawat nafas dibandingkan bayi tunggal.
Kehamilan ganda menjadi faktor risiko meningkatkan
kegawatan nafas neonatus telah terbukti pada penelitian
Neilsen (2007) yang membandingkan antara kehamilan tunggal
dan gemelli pada usia kehamilan 24-26 minggu, 27 – 29
minggu dan 30 - 32 minggu dengan hasil bahwa bayi dengan
kehamilan multipel atau ganda untuk terjadinya kegawatan
nafas jumlah hampir sama, namun pada umur kehamilan 30–32
minggu terjadinya kegawatan nafas lebih banyak pada
kehamilan multipel.
Penelitian lain dilakukan Mieth et al (2011) juga
menjelaskan bahwa insiden kehamilan ganda semua bayi
terlahir secara prematur dengan usia 28 – 32 minggu, dan
angka morbiditas dan mortalitis disebabkan karena kegawatan
nafas. Indiarti (2009) menyatakan bahwa teori persalinan yang
salah satunya adalah teori distensi abdomen kapasitas
elastisitas uterus atau abdomen lebih rendah pada saat
menampung jumlah janin 2 atau lebih, sehingga sebagian besar
bayi yang lahir kembar baik gemelli, tripel atau lebih dalam

14
usia kehamilan 28 – 32 minggu atau prematur, sehingga sistem
pernafasan immatur, sehingga terjadi defiensi surfaktan yang
menyebabkan paru bayi tidak mampu mengembang dan
penyakit membran hialin sebagai penyebab utama gawat nafas
banyak terjadi pada bayi prematur. Untuk itu kehamilan ganda
berisiko untuk lahir prematur sehingga mempunyai risiko
gawat nafas lebih besar.
2) Asfiksia
Penelitian Lee et al (2009) menjelaskan bahwa nilai Apgar
Skor < 7 pada menit pertama mempunyai hubungan yang
bermakna dengan Respiratory Distress Syndrome (RDS)
neonatus dan AS < 7 pada menit ke-5 juga mempunyai
hubungan yang bermakna antara AS< 7 menit ke-5 dengan
terjadinya RDS neonatus. Asfiksia adalah keadaan bayi tidak
bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir atau
beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan keadaan PaO2
di dalam darah rendah (hipoksemia), hiperkarbia (PaCO2
meningkat) dan asidosis (Sylviati, et al., 2008). Seringkali bayi
yang sebelumnya mengalami gawat janin akan mengalami
asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan
dengan keadaan ibu, tali pusat, atau masalah pada bayi selama
atau sesudah persalinan (Hermiyanti, et al., 2011).Beberapa
keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia adalah keadaan pada
ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui plasenta
berkurang, sehingga aliran oksigen ke janin berkurang,
akibatnya terjadi gawat janin. Selain itu juga akibat penurunan
aliran darah dan oksigen melalui tali pusat ke bayi, sehingga
bayi mungkin mengalami asfiksia atau dari kondisi bayi
tersebut yang sudah mengalami asfiksi di dalam kehamilan
seperti kehamilan ganda, prematur, aspirasi mekonium
(Hermiyanti, et al., 2011).

15
Asfiksia dimulai periode apneu disertai dengan penurunan
frekuensi jantung, selanjutnya bayi menunjukkan usaha
bernafas (gasping) yang kemudian diikuti dengan pernafasan
teratur, namun pada asfiksi berat, usaha bernafas tidak tampak
dan bayi selanjutnya berada dalam periode apneu kedua dan
jika terlambat dilakukan resusitasi, maka gawat nafas dapat
terjadi (Hasan, et al., 2007).
3) Usia Kehamilan
Penelitian Meith et al (2011) menjelaskan bahwa risiko
kegawatan nafas terjadi pada bayi <38 minggu, yaitu pada usia
kehamilan <26 minggu risiko kegawatan nafas sebanyak
200/287 (69,7%), usia kehamilan 26–28 minggu terjadi
kegawatan nafas 6/6 (100%), usia kehamilan 29–31 minggu
sebanyak 28/28 (100%) dan usia kehamilan 32–36 minggu
sebanyak 64/69 (92,8%). Pada bayi yang lahir dengan usia
kehamilan <38 minggu, maka bayi lahir dalam keadaan
prematur, dan terjadi immaturitas paru dimana paru-paru bayi
belum cukup untuk berkembang dengan penuh, ini terjadi
kekurangan substansi perlindungan yang disebut surfaktan,
yang membantu paru mengembang karena udara dan
melindungi kantong udara dari kollap paru sehingga terjadi
kegawatan nafas neonatus, tersering kasus pada bayi lahir
kurang 28 minggu, dan sangat jarang pada bayi yang lahir
aterm atau 40 minggu (Cloherty, 2008). Clair, et al., (2008)
menjelaskan bahwa pada bayi tanpa RDS, rata-rata ratio
L/S(lechitin/Sphiomyelin) lebih tinggi pada bayi dengan RDS.
Ini menunjukkan bahwa resiko terjadinya RDS karena
rendahnya kadar rasio lechitin dan sphingomyelin yang banyak
terjadi pada bayi prematur dan usia kehamilan yang kurang
bulan.
4) Paritas

16
Penelitian yang dilakukan oleh Ziadeh (2012) dengan
retrospektif pada nullipara dengan umur > 35 tahun, didapatkan
wanita nullipara > 35 tahun dan usia antara 25 – 29 tahun.
Korelasi nullipara dengan komplikasi kehamilan dan kelahiran
yaitu pada usia kehamilan, berat lahir, prematur, SGA, BBLR,
fetal distress, AS rendah atau asfiksia. Ini menunjukkan bahwa
risiko kegawatan nafas terjadi pada nullipara lebih besar
daripada multipara.
Penelitian Beydoun et al (2009) menjelaskan bahwa ibu
nullipara, 5,4% melahirkan bayi prematur dan 5,2% dengan
kondisi berat badan lahir rendah.
5) Hipertensi pada ibu
Teori yang dikemukakan oleh UCSF (2009) bahwa stress
intra uteri yang kronik seperti hipertensi pada ibu atau
toksemia, ketuban pecah dini dan agen tokolitik merupakan
faktor yang menurunkan kegawatan nafas. Begitu juga
pendapat yang dijelaskan oleh Lee et al (2009) bahwa
hipertensi sebagai faktor terjadinya kegawatan nafas masih
menjadi kontroversial, karena dijelaskan secara tradisional
bahwa stress kronik intra uteri termasuk preeclampsia dan
ketuban pecah dini yang berkepanjangan dapat mempercepat
maturitas paru janin.
Menurut penelitian Chiswick (2008) menjelaskan bahwa
kegawatan nafas neonatus (RDS) signifikan pada bayi dengan
ibu hipertensi sebelum dikoreksi efek dan variabel confounding
atau perancu. Ibu hamil dengan hipertensi dan menjadi pre
eklampsia menyebabkan vasospasme pada pembuluh darah
sehingga aliran darah menjadi tidak baik dan mengganggu
sirkulasi darah termasuk sirkulasi uteroplasentra, sehingga
perfusi ke janin berkurang sehingga beresiko untuk terjadi
gawat nafas seperti asfiksia dan TTN. Selain itu pada pre

17
eklampsia cenderung dilakukan SC emergensi untuk
penyelamatan bayi atau ibu, sedangkan pada persalinan SC
tidak ada penekanan pada dinding dada dan jalan nafas tidak
ada rangsangan oleh kompresi dinding dada sebagaimana pada
persalinan pervagina, dan juga dapat terjadi aspirasi cairan
ketuban dari muntah yang berisi cairan lambung. Namun jika
hipertensi yang diderita terjadi sejak sebelum kehamilan dan
hipertensi kehamilan telah dikoreksi dengan mendapat terapi
kortikosteroid selama hipertensi kehamilan, maka dapat
mempercepat maturitas paru, sehingga dapat menurunkan
kejadian kegawatan neonatus. Faktor risiko yang menurunkan
kegawatan nafas neonatus adalah stress intra uteri kronik,
PROM, hipertensi maternal atau toksemia, penggunaan
kortikosteroid, agen tokolitik, penyakit hemolitik karena hal
tersebut diatas menyebabkan paru bayi matur lebih awal
(UCSF Children’s Hospital, 2009)
4. Tanda dan Gejalah
Tanda dan gejala sindrom gangguan pernapasan sering disertai
riwayat asfeksia pada waktu lahir atau gawat janin pada akhir
kehamilan. Adapun tanda dan gejalanya adalah :
a. Timbul setelah 6-8 jam setelah lahir
b. Pernapasan cepat/hiperapnea atau dispnea dengan frekuensi
pernapasan lebih dari 60 kali/menit
c. Retraksi interkostal, epigastrium atau suprasternal pada
inspirasi
d. Sianosis
e. Grunting (terdengar seperti suara rintihan) pada saat
ekspirasi
f. Takikardia yaitu nadi 170 kali/menit
5. Penatalaksanaan

18
Penatalaksanaan RDS atau Sindrom gangguan napas adalah
sebagai berikut :
a. Mersihkan jalan nafas dengan menggunakan penghisap
lendir dan kasa steril
b. Pertahankan suhu tubuh bayi dengan membungkus bayi
dengan kaki hangat
c. Atur posisi bayi dengan kepala ekstensi agar bayi dapat
bernafas dengan leluasa
d. Apabila terjadi apnue lakukan nafas buatan dari mulut ke
mulut
e. Longgarkan pakaian bayi
f. Beri penjelasan pada keluarga bahwa bayi harus dirujuk ke
rumah sakit
g. Bayi rujuk segera ke rumah sakit

Penatalaksanaan medik maka tindakan yang perlu dilakukan


adalah sebagsai berikut :

a. Memberikan lingkungan yang optimal


b. Pemberian oksigen, tidak lebih dari 40% sampai gejala
sianosis menghilang
c. Pemberian cairan dan elektrolit (glukosa 5% atau 10%)
disesuaikan dengan berat badan ( ml/kgbb/hari) sangat
diperlukan untuk mempertahankan homeostatis dan
menghindarkan dehidrasi
d. Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder
e. Pemberian surfaktan oksigen
6. Asuhan Kebidanan
Asuhan Kebidanan pada Sindrome Ganguan Pernapasan
Bidan sebagai tenaga medis di lini terdepan diharapkan peka
terhadap pertolongan persalinan sehingga dapat mencapai well

19
born baby dan well health mother. Oleh karena itu bekal utama
sebagai Bidan adalah :
a. Melakukan pengawasan selama hamil
b. Melakukan pertolongan hamil resiko rendah dengan
memsnfaatkan partograf WHO
c. Melakukan perawatan Ibu dan janin baru lahir Berdasarkan
kriteria nilai APGAR maka bidan dapat melakukan
penilaian untuk mengambil tindakan yang tepat diantaranya
melakukan rujukan medik sehingga keselamatan bayi dapat
ditingkatkan.

III. Ikterus Neonatorum


1. Definisi Ikterus Neonatorum
Pengertian Ikterus Neonatorum Ikterus atau jaundice atau
sakit kuning adalah warna kuning pada sklera mata, mukosa dan
kulit karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Istilah
jaundice berasal dari Bahasa Perancis yakni jaune yang artinya
kuning. Dalam keadaan normal kadar bilirubin dalam darah tidak
melebihi 1 mg/dL (17 µmol/L) dan bila kadar bilirubin dalam
darah melebihi 1.8 mg/dL (30 µmol/L) akan menimbulkan ikterus.
Ikterus adalah warna kuning yang dapat terlihat pada
sklera, selaput lender, kulit atau organ lain akibat penumpukan
bilirubin. Bila kadar bilirubin darah melebihi 2 mg%, maka ikterus
akan terlihat, namun pada neonatus ikterus masih belum terlihat
meskipun kadar bilirubin darah sudah melampaui 5 mg%. Ikterus
terjadi karena peninggian kadar bilirubin indirek (unconjugated)
dan atau kadar bilirubin direk (conjugated).
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang
ditandai dengan pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat
akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara
klinis mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah

20
5-7 mg/dL. Jadi dapat disimpulkan bahwa ikterus adalah kondisi
dimana bilirubin dalam darah mengalami peningkatan yang
mencapai kadar tertentu dan menimbulkan efek patologis pada
neonatus yang ditandai dengan pewarnaan kuning pada sklera
mata, kulit, membran mukosa dan cairan tubuh serta kelainan
bawaan juga dapat menyebabkan ikterus.
2. Etiologi Ikterus
Etiologi ikterus pada bayi baru lahir dapa berdiri sendiri
ataupun disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar
etiologi itu dapat dibagi sebagai berikut :
1) Produksi yang berlebihan, lebih daripada kemampuan bayi
untuk mengeluarkannya, misalnyahemolisi yang meningkat
pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain,
defisiensi enzim C6PD, pyruvate kinase, perdarahan tertutup
dan sepsis.
2) Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar gangguan
ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat
untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar akibat
asidosis, hipoksia,dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim
glukorinil transferase (criggler najjar syndrome). Penyebab lain
ialah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting
dalam uptake bilirubin ke sel-sel heapar.
3) Gangguan dalam transportasi bilirubin dalam darah terikat oleh
albumin kemudian diangkut ke hepar, ikatan bilirubin dengan
albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat-obatan misalnya
salisilat, sulfatfurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih
banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah
yang mudah melekat ke sel otak Gangguan dalam sekresi,
gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau
diluar hepar, biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh
penyebab lain.

21
4) Obstruksi saluran pencernaan (fungsional atau struktural) dapat
mengakibatkan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi akibat
penambahan dari bilirubin yang berasal dari sirkulais
enterahepatik.
5) Ikterus akibat air susu ibu (ASI) merupakan hiperbilirubinemia
tidak terkonjugasi yang mencapai puncaknya terlambat
(biasanya menjelang hari ke 6-14). Dapat dibedakan dari
penyebab lain dengan reduksi kadar bilirubin yang cepat bila
disubstitusi dengan susu formula selama 1-2 hari. Hal ini untuk
membedakan ikterus pada bayi yang disusui ASI selama
minggu pertama kehidupan. Sebagian bahan yang terkandung
dalam ASI (beta glucoronidase) akan memecah bilirubin
menjadi bentuk yang larut dalam lemak sehingga bilirubin
indirek akan meningkat dan kemudian akan diresorbsi oleh
usus. Bayi yang mendapat ASI bila dibandingkan dengan bayi
yang mendapat susu formula, mempunyai kadar bilirubin yang
lebih tinggi berkaitan dengan penurunan asupan pada beberapa
hari pertama kehidupan. Pengobatannya bukan dengan
menghentikan pemberian ASI melainkan dengan meningkatkan
frekuensi pemberian.
3. Factor Resiko
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat disebabkan atau
diperberat oleh setiap faktor yang menambah beban bilirubin untuk
dimetabolisme oleh hati (anemia hemolitik, wkatu hidup sel darah
menjadi pendek akibat imaturitas atau akibat sel yang
ditransfusikan, penambahan sirkulasi interohepatik, dan infeksi),
dapat menciderai atau mengurangi aktivitas enzim transferase
(hipoksia, infeksi, kemungkinan hipotermi dan defisiensi tiroid)
dapat berkompetisi dengan atau memblokade enzim transferase
(obat-obat dan bahan-bahan lain yang memerlukan konjugasi asam
glukuronat untuk ekskresi) atau dapat menyebabkan tidak adanya

22
atau berkurangnya jumlah enzim yang diambil atau menyebabkan
pengurangan reduksi bilirubin oleh sel hepar (cacat genetik dan
prematuritas).
Risiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin
tak terkonjugasi dalam serum menjadi bertambah dengan adanya
faktor-faktor yang mengurangi retensi bilirubin dalam sirkulasi
(hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya
pada albumin karena ikatan kompetitif obat-obatan, seperti
sulfisoksazole dan moksalaktam, asidosis, kenaikan sekunder kadar
asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan atau hipotermia)
atau oleh faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas sawar
darah otak atau membran sel saraf terhadap bilirubin atau 22
kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya, seperti asfiksia,
prematuritas, hiperosmolalitas dan infeksi. Pemberian amakan
yang awal menurunkan kadar bilirubin serum, sedangkan dehidrasi
menaikkan kadar bilirubin serum. Mekonium mengandung 1 mg
bilirubin/dl dan dapat turut menyebabkan ikterus melalui sirkulasi
enterohepatik pasca konjugasi oleh glukoronidase usus. Obat-obat
seperti oksitosin dan bahan kimia yang dalam ruang perawatan
seperti detergen fenol dapat juga menyebabkan hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi.
4. Tanda Gejalah
Gejala pada bayi yang mengalami ikterik neonatorum yaitu
warna kulit pada bayi menjadi warna kuning atau yang sering
disebut dengan bayi kuning. Warna kadang-kadang
dimulai pada wajah dan kemudian menyebar ke dada, perut, kaki,
dan telapak kaki. Terkadang, bayi dengan ikterus parah bertubuh
lemah dan tidak mau menyusu.
5. Penatalaksanaan
1) Ikterus fisiologis

23
a. Ikterus Fisiologis yang mmpunyai warna kuning di daerah 1
dan 2 (menurut rumus Kremer), dan timbul pada hari ke 3
atau lebih serta memiliki kadar bilirubin sebesar 5-9 mg%
maka penanganan yang dapat dilakukan yaitu bayi dijemur
di bawah sinar matahari pagi sekitar pukul 7-9 pagi selama
10 menit dengan keadaan bayi telanjang dan mata ditutup.
Kemudian bayi tetap diberikan ASI lebih sering dari
biasanya.
b. Ikterus fisiologis yang memiliki warna kuning di daerah 1
sampai 4 (berdasarkan rumus Kremer) yang timbulnya pada
hari ke 3 atau lebih dan memiliki kadar bilirubin 11-15 mg
% maka penanganan yang dapat dilakukan bila di bidan
atau puskesmas yaitu menjemur bayi dengan cara telanjang
27 dan mata ditutup di bawah sinar matahari sekitar jam 7-9
pagi selama 10 menit, memberikan ASI lebih sering
dibandingkan biasanya. Bila dirawat di rumah sakit maka
penanganan yang dapat dilakukan yaitu terapi sinar,
melakukan pemeriksaan golongan darah ibu dan bayi serta
melakukan pemeriksaan kadar bilirubin.
2) Ikterus Patologis
a. Ikterus patologis yang memiliki warna kuning di daerah 1
sampai 5 yang timbul nya pada hari ke 3 atau lebih dan
kadar bilirubin >5-20 mg% maka penanganan yang dapat
dilakukan bila di bidan atau puskesmas yaitu menjemur
bayi dengan cara telanjang dan mata ditutup di bawah sinar
matahari sekitar jam 7-9 pagi selama 10 menit, memberikan
ASI lebih sering dibandingkan biasanya. Bila dirawat di
rumah sakit maka penanganan yang dapat dilakukan yaitu
terapi sinar, melakukan pemeriksaan golongan darah ibu
dan bayi serta melakukan pemeriksaan kadar bilirubin,

24
waspadai bila kadar bilirubin nail > 0,5 mg/jam, coomb’s
test.
b. Ikterus patologis yang memiliki warna kuning di daerah 1
sampai 5 yang timbul nya pada hari ke 3 atau lebih dan
kadar bilirubin >20 mg% maka penanganan yang dapat
dilakukan bila di bidan atau puskesmas yaitu rujuk ke 28
rumah sakit dan anjurkan untuk tetap memberikan ASI
lebih sering dibandingkan biasanya. Bila dirawat di rumah
sakit maka penanganan yang dapat dilakukan yaitu
melakukan pemeriksaan golongan darah ibu dan bayi serta
melakukan pemeriksaan kadar bilirubin, tukar darah.
6. Asuhan Kebidanan
Memberikan KIE untuk menyusui bayinya secara on
demand yaitu setiap 2-3 jam, memberikan KIE tentang ASI
Eksklusif, memberikan KIE ibu cara menjemur bayinya di bawah
sinar matahari pagi mulai dari pukul 07.00 wita dan jangan lewat
dari pukul 09.00 agar bayi tidak kuning kembali, memberikan KIE
pada ibu tentang hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi dengan
riwayat hiperbilirubinemia, mengingatkan ibu tanda bahaya pada
bayi, memberikan KIE pada ibu cara menjaga kehangatan bayi.
Hasil dari kunjungan rumah keadaan umum bayi baik, tangis bayi
kuat, gerak aktif, warna kulit kemerahan, berat badan bayi naik
menjadi 3500 gram, dan bayi sudah BAB dengan warna kuning
kecoklatan (konsistensi lembek) dan BAK dengan warna jernih.

25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan bayi baru lahir
yang saat dilahirkan memiliki berat badan senilai < 2500 gram tanpa
menilai masa gestasi. (Sholeh, 2014). Pada tahun 1961 oleh World Health
Organization (WHO) semua bayi yang telah lahir dengan berat badan saat
lahir kurang dari 2.500 gram disebut Low Birth Weight Infants atau Bayi
Berat Lahir Rendah (BBLR).
Respirasi Distress Syndrome (RDS) atau Sindrom Distres
Pernapasan adalah sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi
surfaktan terutama pada bayi yang baru lahir dengan masa gestasi kurang
(Malloy, 2009). Sindrom distres pernapasan adalah perkembangan yang
imatur pada sistem pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan
dalam paru. RDS dikatakan sebagai hyalin membrane diseaser (Suriadi &
Yulianni, 2010).
Pengertian Ikterus Neonatorum Ikterus atau jaundice atau sakit
kuning adalah warna kuning pada sklera mata, mukosa dan kulit karena
peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Istilah jaundice berasal dari
Bahasa Perancis yakni jaune yang artinya kuning. Dalam keadaan normal
kadar bilirubin dalam darah tidak melebihi 1 mg/dL (17 µmol/L) dan bila
kadar bilirubin dalam darah melebihi 1.8 mg/dL (30 µmol/L) akan
menimbulkan ikterus

26
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.ums.ac.id/62622/3/BAB%20I.pdf

https://repository.unair.ac.id/97894/4/4.%20BAB
%201%20PENDAHULUAN.pdf

http://repository.unjaya.ac.id/3360/3/Bab%20I.pdf

http://eprints.umpo.ac.id/6181/3/bab%202.pdf

http://repository.poltekkes-smg.ac.id//index.php?p=show_detail&id=19567

http://repository.ump.ac.id/8164/3/Feptriyanto%20BAB%20II.pdf

https://docplayer.info/34150517-Sindrom-gangguan-pernafasan.html

27

Anda mungkin juga menyukai