Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN AKHIR PRAKTIK KEBIDANAN

KEGAWATDARURATAN NEONATAL
ASUHAN PADA BY NY ”S” USIA 5 HARI NEONATUS ATERM
DENGAN HIPERBILIRUBIN
DI RUANG PERINATOLOGI RSUD KLUNGKUNG

OLEH :
NI WAYAN SUTASNING
P07124222140

KEMENTERIAN KESEHATAN R.I.


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR
JURUSAN KEBIDANAN PRODI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN
JALUR AFILIASI
2023
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN AKHIR PRAKTIK KEBIDANAN


KEGAWATDARURATAN NEONATAL
ASUHAN PADA BY “S” USIA 5 HARI NEONATUS
ATERM DENGAN HIPERBILIRUBIN
DI RUANG PERINATOLOGI RSUD KLUNGKUNG

OLEH

NI WAYAN SUTASNING

Telah disahkan,
Denpasar, 15 Pebruari 2023
Mengetahui,

Pembimbing Institusi

Ni Ketut Somoyani, SST., M.Biomed


NIP. 196904211989032001

Ketua Prodi Sarjana Terapan Kebidanan

Ni Wayan Armini, SST. ,M.Keb


NIP. 19810130 200212 2 001

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
karena atas berkat dan rakhmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Laporan
Akhir Praktik Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal ini dengan baik
dan tepat waktu. Dalam penyusunan laporan ini tidak lupa pula penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
kelancaran pembuatan laporan akhir praktik terintegrasi ini, yakni yang terhormat :
1. DR Ni Nyoman Budiani, M. Biomed selaku Ketua Jurusan Kebidanan
Poltekkes Kemenkes Denpasar yang telah memberikan izin untuk
melaksanakan Praktik Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal
2. IGAA.Novya Dewi,SST.,M.Kes dan Ni Komang Lindayani,SKM.,M.Keb
Selaku Penanggung Jawab Praktik Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal dan
Neonatal
3. Ni Ketut Somoyani,SST.,M.Biomed, Selaku Dosen Pembimbing dalam
Penyusunan Laporan akhir Praktik Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal dan
Neonatal
4. Putu Emy Indrayani, A. Md. Keb, Selaku CI di RSUD Bali Mandara
Dalam laporan akhir Praktik Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal
Neonatal ini penulis menyajikan mengenai kasus terkait dengan Kegawatdaruratan
Neonatal yang didapat di Ruang Perinatologi RSUD Bali Mandara dan diangkat
menjadi kasus kemudian dibahas dan dibandingkan sesuai dengan teori yang ada.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk
itu penulis mengaharapkan kritik dan saran membangun dari para pembaca demi
perbaikan dan kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini bermanfaat bagi
semua pihak.
Denpasar, 26 November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan.................................................................................................i
Prakata......................................................................................................................ii
Daftar Isi…………………………………………………………………………...iii
Bab I Pendahuluan
A.Latar Belakang.......................................................................................................1
B.Tujuan ....................................................................................................................2
C.Waktu dan Tempat.................................................................................................2
D.Manfaat...................................................................................................................2
Bab II Tinjauan Pustaka…………………………………………………………. 3
A.Hiperbilirubin…………………………………………………………………….3
BAB III Tinjauan Kasus…………………………………………………………17
BAB IV Pembahasan……………………………………………………………..35
BAB V Penutup…………………………………………………………………...37
Daftar Pustaka……………………………………………………………………38
Foto Hasil Laboratorium………………………………………………………..39
Foto Dokumentasi……………………………………………………………… .40

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada
masa neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik
agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat dilihat
dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian neonatus. Diperkirakan 2/3
kematian bayi di bawah umur satu tahun terjadi pada masa neonatus. Peralihan
dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan
biokimia dan faali. Dengan terpisahnya bayi dari ibu, maka terjadilah awal
proses fisiologik.
Banyak masalah pada bayi baru lahir salah satunya Ikterus atau
hiperbilirubinemia merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada
masa neonatal. Sebanyak 75% alasan bayi dirawat inap selama periode neonatal
disebabkan hiperbilirubinemia Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru
lahir adalah ensefalopati bilirubin yang merupakan komplikasi ikterus
neonatorum yang paling berat. Ikterus merupakan gambaran klinis berupa
pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena unconjugated bilirubin yang
tinggi. Di Indonesia, insiden ikterus pada bayi cukup bulan di beberapa Rumah
Sakit (RS) salah satunya di RSUD Bali Mandara
Sebagian besar hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir bersifat fisiologis,
namun memiliki potensi meracuni sistem saraf pusat yang dapat menyebabkan
Kernicterus. Tata laksana hiperbilirubinemia bertujuan untuk mencegah agar
kadar bilirubin indirek dalam darah tidak mencapai kadar yang neurotoksik.
Tata laksana terkini, meliputi pemberian air susu ibu (ASI), fototerapi, dan
tranfusi tukar. Penggunaan fototerapi sebagai salah satu terapi
hiperbilirubinemia telah dimulai sejak tahun 1950 dan efektif dalam
menurunkan insiden kerusakan otak (kern ikterus) akibat hiperbilirubinemia.4-6
Keuntungan fototerapi, antara lain, tidak invasif, efektif, tidak mahal, dan
mudah digunakan. Fototerapi mengurangi hiperbilirubinemia melalui proses
fotoisomerisasi dan isomerisasi struktural. laksana hiperbilirubinemia bertujuan
untuk mencegah agar kadar bilirubin indirek dalam darah tidak mencapai kadar

1
yang neurotoksik. Keuntungan fototerapi tidak invasif, efektif, tidak mahal dan
mudah digunakan. Fototerapi mengurangi hiperbilirubinemia melalui tiga
proses yaitu fotoisomerisasi, isomerisasi struktural dan fotooksidasi.
Selama melakukan praktik kebidanan kegawatdaruratan maternal neonatal
dan ginekologi di Ruang Perinatologi RSUD Bali Mandara kami menemukan
beberapa kasus hiperbilirubin pada neonatus sehingga kami tertarik untuk
mengambil kasus terkait dengan hiperbilirubin di Ruang Perinatologi RSUD
Bali Mandara

B. Tujuan
Mata Kuliah ini bertujuan agar mahasiswa dapat memberi asuhan
kebidanan sesuai dengan standar asuhan kebidanan yang meliputi pengkajian,
perumusan diagnosa/masalah kebidanan, perencanaan, implementasi, evaluasi
dan pencatatan asuhan kebidanan pada kasus patologi dan kegawatdaruratan
pada neonatal.

C. Waktu Dan Tempat


Waktu dan tempat pengambilan kasus meliputi :
1. Waktu : 5 Pebruari 2023 Pk 10.00 wita
2. Tempat : Ruang Perinatologi RSUD Klungkung

D. Manfaat Penulisan Laporan


Mahasiswa mampu memberikan Asuhan Kebidanan pada neonatus dalam
kondisi kegawatdaruratan dan Patologis dan mampu mendeteksi neonatus yang
mengarah ke kondisi patologi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Bayi baru lahir atau neonatus meliputi umur 0 – 28 hari. Kehidupan pada masa
neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologis agar bayi
di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya
A. Hiperbilirubinemia
1. Pengertian
Hiperbilirubinemia adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam
darah yang kadar nilainya lebih dari normal (bilirubin > 5 mg/dL).
Peningkatan bilirubin dalam darah disebabkan oleh pembentukan yang
berlebihan atau pengeluaran yang kurang sempurna. Hiperbilirubin ini
dapat terjadi secara normal/fisiologis dan patologis. Ikterus neonatorum
adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada
kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih.
Sekitar 60% bayi yang lahir normal menjadi ikterik pada minggu pertama
kelahiran. Hiperbilirubinemia (indirect) yang tak terkonjugasi terjadi
sebagai hasil dari pembentukan bilirubin yang berlebihan karena hati
neonatus belum dapat membersihkan bilirubin cukup cepat dalam darah.
Walaupun sebagian besar bayi lahir dengan ikterik normal, tapi mereka
butuh monitoring karena bilirubin memiliki potensi meracuni sistem saraf
pusat
2. Batasan Ikterus Patologis
Secara fisiologis, kadar bilirubin akan meningkat setelah lahir, lalu
menetap dan selanjutnya menurun setelah usia 7 hari. Meskipun demikian,
3%-5% neonatus yang mengalami hiperbilirubinemia merupakan proses
patologis yang berisiko tinggi terhadap terjadinya kernikterus. Kernikterus
adalah kerusakan otak akibat toksisitas bilirubin yang dapat dicegah.
Faktor risiko yang paling sering ditemukan adalah kelainan hemolitik
(isoimmunisasi ABO dan sferositosis kongenital) dan komplikasi seperti
dehidrasi, sefalhematoma sepsis, asidosis, dan hipoalbuminemia.

3
a. Ikterus fisiologik
Bentuk ikterus ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan kadar
bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Pada bayi
cukup bulan yang diberi susu formula, kadar bilirubin akan men-capai
puncaknya sekitar 6-8 mg/dl pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan
menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan lambat sebesar 1
mg/dL selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat
ASI, kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14
mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat, bisa terjadi selama 2-4
minggu, bahkan dapat mencapai 6 minggu.
Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan terjadi
peningkatan kadar bilirubun dengan kadar puncak yang lebih tinggi dan
bertahan lebih lama, demikian pula dengan penurunannya bila tidak
diberikan fototerapi pencegahan. Peningkatan kadar billirubin sampai 10-
12 mg/dl masih dalam kisaran fisiologik, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa

disertai kelainan metabolism bilirubin. Frekuensi ikterus pada bayi cukup


bulan dan kurang bulan ialah secara berurut 50-60% dan 80%. Umumnya

fenomena ikterus ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Ikterus

fisiologik tidak disebabkan oleh faktor tunggal tetapi kombinasi dari

berbagai faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologik bayi baru

lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi bayi

baru lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin

dan penurunan klirens bilirubin.

Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari
ketiga serta tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai potensi
menjadi karena ikterus. Adapun tanda-tanda sebagai berikut :
1) Timbul pada hari kedua dan ketiga
2) Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus
cukup bulan.

4
3) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per
hari.
4) Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.
5) Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
6) Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.

b. Ikterus non-fisiologik

Jenis ikterus ini dahulu dikenal sebagai ikterus patologik, yang tidak
mudah dibedakan dengan ikterus fisiologik. Terdapatnya hal-hal di
bawah ini merupakan petunjuk untuk tindak lanjut, yaitu ikterus yang
terjadi sebelum usia 24 jam, setiap peningkatan kadar bilirubin serum
yang memerlukan fototerapi peningkatan kadar bilirubin total serum
>0,5 mg/dL/jam; adanya tanda-tanda penyakit yang mendasar pada
setiap bayi (muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat badan
yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak stabil) ikterus yang
bertahan setelah delapan hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari
pada bayi kurang bulan.
Pada neonatus dengan ikterus patologis terdapat gejala seperti:
a. Timbul 24 jam pertama atau setelah hari ke-3
b. Kuning menetap setelah hari ke-7 (aterm) atau setelah hari ke-14
(preterm)
c. Pemeriksaan laboratorium:
1) Peningkatan bilirubin > 5 mg% per hari
2) Kadar bilirubin bayi aterm > 12,5 mg %
3) Kadar bilirubin bayi premature >10 mg %
Faktor predisposisi
1) Peningkatan produksi :
a) Hemolysis
b) Perdarahan tertutup
c) Ikatan bilirubin dengan protein terganggu
d) Defosensi G6PD/Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase
e) Ikterus ASI yang disebabkan oleh keluarnya pregnan 3 (alfa), 20
(beta), diol (steroid)
5
f) Kurangnya enzim glukoronil
g) Kelainan kongenital
2) Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan
misalnya pada hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu.
3) Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh mikrooganisme atau toksin.
4) Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra hepatic
5) Peningkatan sirkulasi enterohepatik
3. Metabolisme bilirubin
Sebagian besar produksi bilirubin merupakan akibat degradasi
hemoglobin pada sistem retikuloendotelial. Tingkat penghancuran
hemoglobin pada neonatus lebih tinggi daripada bayi yang lebih tua.
Sekitar 1 g hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek, yaitu
bilirubin yang larut dalam lemak tetapi tidak larut dalam air.
Transportasi bilirubin indirek melalui ikatan dengan albumin.
Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit, sedangkan
albumin tidak. Di dalam sel, bilirubin akan terikat pada ligandin, serta
sebagian kecil pada glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini
merupakan proses dua arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas
albumin plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin
yang masuk hepatosit dikonjugasi dan diekskresi ke dalam empedu. Di
dalam sitosol hepatosit, ligandin mengikat biliru-bin sedangkan albumin

tidak.
Di dalam hepatosit terjadi konjugasi lanjut dari bilirubin menjadi
bilirubin diglukoronid. Sebagian kecil bilirubin ter-dapat dalam bentuk
monoglukoronid, yang akan diubah oleh glukoronil-transferase menjadi
diglukorinid. Enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin diglukorinid,
yaitu uridin difosfat-glukoronid transferase (UDPG-T), yang mengatalisis
pembentuk-an bilirubin monoglukoronid. Sintesis dan ekskresi
diglukoronid terjadi di kanalikuli empedu. Isomer bilirubin yang dapat
mem-bentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresi
langsung ke dalam empedu tanpa konjugasi, misalnya isomer yang terjadi
sesudah terapi sinar. Setelah konjugasi bilirubin menjadi bilirubin direk
6
yang larut dalam air, terjadi ekskresi segera ke sistem empedu kemu-dian
ke usus. Di dalam usus, bilirubin direk ini tidak di absorbsi; sebagian
bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorbsi,
siklus ini disebut siklus enterohepatik.

4. Etiologi ikterus
Etiologi ikterus yang sering ditemuskan ialah hiperbilirubinemia
fisiologik, inkompabilitas golongan darah ABO dan Rhesus, breast milk
jaundice, infeksi, bayi dari ibu penyandang diabetes melitus, dan
polisitemia/hiperviskositas.
Etiologi yang jarang ditemukan yaitu: defisiensi G6PD, defisiensi
piruvat kinase, sferositosis kongenital, sindrom Lucey-Driscoll, penyakit
Crigler-Najjar, hipo-tiroid, dan hemoglobinopati.
5. Patofisiologis
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk
akhir dari katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi.
Pada langkah pertama oksidasi, biliverdin terbentuk dari heme melalui
kerja heme oksigenase, dan terjadi pelepasan besi dan karbon monoksida.
Besi dapat digunakan kembali, sedangkan karbon monoksida diekskresikan

melalui paru-paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi


bilirubin yang hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh
karena ikatan hidro-gen intramolekul). Bilirubin tak terkonjuga-si yang

hidrofobik diangkut dalam plasma, terikat erat pada albumin. Bila terjadi
gangguan pada ikatan bilirubin tak ter-konjugasi dengan albumin baik oleh
faktor endogen maupun eksogen (misalnya obat-obatan), bilirubin yang
bebas dapat melewati membran yang mengandung lemak (double lipid
layer), termasuk penghalang darah otak, yang dapat mengarah ke neuro-
toksisitas.
Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut ke dalam hepatosit,
dimana bilirubin terikat ke ligandin. Masuknya bilirubin ke hepatosit akan
meningkat sejalan dengan terjadinya peningkatan konsentrasi ligandin.

7
Konsentrasi ligandin ditemukan rendah pa-da saat lahir namun akan
meningkat pesat selama beberapa minggu kehidupan.
Bilirubin terikat menjadi asam gluku-ronat di retikulum endoplasmik
retikulum melalui reaksi yang dikatalisis oleh uridin difosfoglukuronil
transferase (UDPGT). Konjugasi bilirubin mengubah molekul bilirubin
yang tidak larut air menjadi molekul yang larut air. Setelah diekskresi-kan
kedalam empedu dan masuk ke usus, bilirubin direduksi dan menjadi
tetrapirol yang tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Sebagian
dekonjugasi terjadi di dalam usus kecil proksimal melalui kerja B-
glukuronidase. Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diabsorbsi kembali dan
masuk ke dalam sirkulasi sehingga meningkatkan bilirubin plasma total.
Siklus absorbsi, kon-jugasi, ekskresi, dekonjugasi, dan reabsorb-si ini
disebut sirkulasi enterohepatik. Proses ini berlangsung sangat panjang pada
neo-natus, oleh karena asupan gizi yang terbatas pada hari-hari pertama
kehidupan.
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa
keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia.
Keadaan ini disebabkan oleh gabungan peningkatan katabolisme heme dan
imaturitas fisiologis hepar dalam konjugasi dan ekskresi bilirubin.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar
protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, Asidosis. Keadaan lain
yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonates yang mengalami
gangguan eksresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin Indirek yang
bersifat susah larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin
dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut

8
kernicterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat
tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin Indirek lebih dari
20mg/dl.
6. Faktor risiko
a. ASI yang kurang
Bayi yang tidak mendapat ASI cukup saat menyusui dapat bermasalah
karena tidak cukupnya asupan ASI yang masuk ke usus untuk
memroses pembuangan bilirubin dari dalam tubuh. Hal ini dapat terjadi
pada bayi prematur yang ibunya tidak memroduksi cukup ASI.
b. Peningkatan jumlah sel darah merah
Peningkatan jumlah sel darah merah dengan penyebab apapun berisiko
untuk terjadinya hiperbilirubinemia. Sebagai contoh, bayi yang
memiliki jenis golongan darah yang berbeda dengan ibunya, lahir
dengan anemia akibat abnormalitas eritrosit (antara lain eliptositosis),
atau mendapat transfusi darah; kesemuanya berisiko tinggi akan
mengalami hiperbilirubinemia.
c. Infeksi/ inkompabilitas ABO-Rh
Bermacam infeksi yang dapat terjadi pada bayi atau ditularkan dari ibu
ke janin di dalam rahim dapat meningkatkan risiko hiperbilirubinemia.
Kondisi ini dapat meliputi infeksi kongenital virus herpes, sifilis
kongenital, rubela, dan sepsis.
7. Gejala klinis pada hiperbillirubinemia
Sebagian besar kasus hiperbilirubin-emia tidak berbahaya, tetapi
kadang-kadang kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan
kerusakan otak (Kern icterus). Gejala klinis yang tampak ialah rasa
kantuk, tidak kuat menghisap ASI/susu formula, muntah, opistotonus,
mata terputar-putar keatas, kejang, dan yang paling parah bisa
menyebabkan kematian. Efek jangka panjang Kern icterus ialah retardasi
mental, kelumpuhan serebral, tuli, dan mata tidak dapat digerakkan ke
atas.
a. Pemeriksaan metode visual

9
Semua bayi baru lahir harus secara rutin dilakukan pemeriksaan
visual untuk timbulnya gejala ikterik. Evaluasi ikterik dikerjakan
setiap hari sejak lahir dan dengan cara menekan bagian dahi,
midsternum, atau di lutut/pergelangan kaki untuk memperlihatkan
warna kulit dan jaringan subkutan. Ikterik akan terlihat pada awalnya
di bagian muka dan akan menyebar secara kaudal ke badan dan
ekstremitas. Hasil pemeriksaan dapat dikuantifikasi menjadi grade 1
hingga 5 dengan metode Kramer. Pemeriksaan ini perlu dilakukan
dalam ruangan yang terang atau di siang hari dengan membuka
jendela. Apabila ditemukan bayi kuning secara visual, dianjurkan
untuk melakukan konfirmasi kadar bilirubin, baik secara invasif, non
invasif, maupun kurang invasif seperti yang dipaparkan di bawah ini.
b. Pemeriksaan serum total bilirubin invasif
Pemeriksaan baku emas untuk serum bilirubin adalah
pemeriksaan metode invasif yang memerlukan fasilitas laboratorium
khusus. High Performance Liquid Chromatography (HPLC) adalah
baku emas, tetapi karena teknisnya sangat kompleks maka hanya
digunakan untuk tujuan penelitian. Metode reaksi Diazo atau
spektrofotometri direk adalah baku emas untuk penggunaan klinis.
Setelah diketahui ikterik secara visual, pemeriksaan serum bilirubin
perlu dilakukan. Besaran nilai bilirubin yang didapat lalu diplot
terhadap kurva American Academy of Pediatrics (AAP). Metode
pemeriksaan ini mempunyai beberapa kendala, yaitu membutuhkan
sampel darah 1 ml, dibutuhkan tenaga laboratorium khusus sehingga
waktu tunggu hasil keluar berkisar 4 jam atau lebih.
c. Pemeriksaan bilirubin non-invasif
Metode pemeriksaan bilirubin non invasif yang dikenal saat ini
adalah alat bilirubinometer transkutan (TcB). Alat ini bekerja dengan
prinsip spektrofotometer dan mengukur cahaya yang dipantulkan dari
warma kulit dan diambil dari bagian bawah sternum. Bilirubinometer
transkutan merupakan metode yang akurat dan tidak invasif sehingga
dapat menjadi alternatif pemeriksaan bilirubin neonatus. Kelemahan

10
dari TcB yaitu tidak dapat digunakan ketika pasien dalam fototerapi
atau terpapar sinar matahari. Beberapa penelitian melaporkan hasil
pemeriksaan bilirubin yang tidak akurat dan konsisten apabila
bilirubin total lebih besar dari 15mg/dl. Dengan demikian, secara
umum TcB cukup menjanjikan karena meminimalisir pengambilan
darah, dapat digunakan sebagai pemeriksaan universal, dan tetap
akurat dengan kadar bilirubin di bawah 15mg/dl.

8. Diagnosa
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubnemia pada bayi.
Termasuk anamnesis mengenai riwayat inkompabilitas darah, riwayat
transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya disamping itu faktor
risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini.
Faktor resiko itu antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi,
obat yang diberikan pada ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan
diabetes militus, gawat janin, malnutrisi, intrauterine, infeksi intranatal.
a. Visual

11
Metode visual memiliki angka kesalahan yang cukup tinggi, namun
masih dapat digunakan bila tidak tersedia alat yang memadai.
Pemeriksaan ini sulit di-terapkan pada neonatus kulit berwarna, karena
besarnya bias penilaian. Secara evident base, pemeriksaan metode
visual tidak direkomendasikan, namun bila ter-dapat keterbatasan alat
masih boleh diguna-kan untuk tujuan skrining. Bayi dengan skrining
positif harus segera dirujuk untuk diagnosis dan tata laksana lebih
lanjut.
Panduan WHO mengemukakan cara menentukan ikterus secara
visual, sebagai berikut:
1) Pemeriksaan dilakukan pada pencaha-yaan yang cukup (di siang hari
dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila
dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang.

2) Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui


warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.

3) Keparahan ikterus ditentukan berdasar-kan usia bayi dan bagian


tubuh yang tampak kuning.

b. Bilirubin serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan
diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi
lebih lanjut. Pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin total perlu
dipertimbangkan karena hal ini merupakan tindakan invasif yang

dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus.

c. Bilirubinometer transkutan
Bilirubinometer merupakan instrumen spektrofotometrik dengan
prinsip kerja memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya (panjang
gelombang 450 nm). Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi

warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.


d. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO

12
Bilirubin bebas dapat melewati sawar darah otak secara difusi. Oleh
karena itu, ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin
serum yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar
bilirubin bebas, antara lain dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip
cara ini yaitu berdasar-kan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi
terhadap bilirubin dimana bilirubin menjadi substansi tidak berwarna.
Dengan pen-dekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum
akan lebih terarah.
Pemecahan heme menghasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah
yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO
yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks
produksi bilirubin.
e. Diagnosis banding
Sebagai diagnosis banding dari ikterus yaitu: atresia bilier, breast
milk jaundice, kolestasis, anemia hemolitik pada bayi baru lahir,
hepatitis B, dan hipotiroid.
9. Terapi untuk bayi dengan hiperbilirubinemia
Fototerapi adalah terapi utama untuk hiperbilirubinemia. Panjang
gelombang paling efektif yang digunakan untuk fototerapi adalah antara
(460–490) nm dari spektrum biru. Untuk memaksimalkan iradiasi dan
efektivitas terapi, jarak sumber cahaya dan bayi harus dalam jarak 10-15
cm. Saat ini dikembangkan terapi sinar intensif menggunakan LED
dengan panjang gelombang >30 uW/cm2/nm (430- 490) nm. Terapi sinar
intensif mempercepat proses penurunan bilirubin sehingga terjadi
pengurangan lama penyinaran maupun tindakan transfusi tukar yang
sangat bermakna. Waktu terapi sinar dapat berkurang hingga 12 jam,
durasi perawatan di rumah sakit dan durasi anak terpisah dengan ibu
menjadi jauh berkurang. Di beberapa negara yang tidak memiliki fasilitas
memadai, telah dikembangkan metode alternatif untuk bayi dengan
hiperbilirubinemia ringan. Peneliti di Afrika telah mencoba melakukan
terapi sinar menggunakan paparan sinar matahari tidak langsung.

13
Meskipun belum secara umum digunakan dan direkomendasi oleh AAP,
metaloporfirin, clofibrat dan immunoglobulin intravena juga telah diteliti
sebagai alternatif terapi sinar. Transfusi tukar sudah mulai jarang
dikerjakan di Indonesia karena deteksi hiperbilirubinemia yang lebih
cepat dan penggunaan foto terapi yang sangat luas.
10. Pengobatan
a. Fototerapi
Fototerapi dapat digunakan tunggal atau dikombinasi dengan
transfusi pengganti untuk menurunkan bilirubin. Bila neonatus dipapar
dengan cahaya ber-intensitas tinggi, tindakan ini dapat menurunkan
bilirubin dalam kulit. Secara umum, fototerapi harus diberikan pada
kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl. Neonatus yang sakit dengan berat
badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi bila konsentrasi
bilirubin 5 mg/dl. Beberapa pakar mengarahkan untuk memberikan
fototerapi profilaksis 24 jam pertama pada bayi berisiko tinggi dan

berat badan lahir rendah.

Fototerapi merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah


kadar Total Bilirubin Serum (TSB) meningkat. Uji klinis telah
divalidasi kemanjuran fototerapi dalam mengurangi hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi yang berlebihan, dan implementasinya telah secara
drastis membatasi penggunaan transfusi tukar.
Tujuan fototerapi adalah mengonversi bilirubin menjadi
photoisomers kuning dan produk oksidasi tidak berwarna yang kurang
lipofilik dari bilirubin dan tidak memerlukan konjugasi hepar untuk
ekskresi. Photoisomers diekskresikan terutama dalam empedu dan
produk oksidasi terutama di urin.
Keuntungan fototerapi antara lain, tidak invasif, efektif, tidak
mahal, dan mudah digunakan Fototerapi mengurangi
hiperbilirubinemia melalui proses fotoisomerisasi dan isomerisasi
struktural. Efektivitas fototerapi tergantung pada kualitas cahaya yang

14
dipancarkan lampu (panjang gelombang), intensitas cahaya (iradiasi),
luas permukaan tubuh, jarak lampu fototerapi.
Fototerapi yang intensif seharusnya dapat menurunkan kadar
bilirubin total serum 1-2 mg/dL dalam 4-6 jam karena fototerapi
merupakan prosedur standar dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia
di rumah sakit, namun hasil-hasil penelitian menunjukkan pemberian
fototerapi belum efektif dan ditemukan beberapa efek samping bagi
bayi
Efek samping yang mungkin terjadi diantaranya: diare, dehidrasi,
ruam kulit, gangguan retina, hipertermia, Bronze Baby Syndromme,
bahkan kemandulan pada bayi laki-laki. Fototerapi juga beresiko
memicu stress, selama fototerapi bayi dilingkungan terpisah dari
ibunya, gangguan mental dan emosional dapat terjadi akibat pemisahan
saat fototerapi.
b. Intravena immunoglobulin (IVIG)
Pemberian IVIG digunakan pada kasus yang berhubungan dengan
faktor imunologik. Pada hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh
inkompatibilitas golongan darah ibu dan bayi, pemberian IVIG dapat

menu-runkan kemungkinan dilakukannya trans-fusi tukar.

c. Transfusi pengganti
Transfusi pengganti digunakan untuk mengatasi anemia akibat
eritrosit yang rentan terhadap antibodi erirtosit maternal;
menghilangkan eritrosit yang tersensitisasi; mengeluarkan bilirubin
serum serta meningkatkan albumin yang masih bebas bilirubin dan
meningkatkan keterikatannya dangan bilirubin.
d. Penghentian ASI
Pada hiperbilirubinemia akibat pemberian ASI, penghentian ASI
selama 24-48 jam akan menurunkan bilirubin serum. Mengenai
pengentian pemberian ASI (walaupun hanya sementara) masih terdapat
perbedaan pendapat.

e. Terapi medikamentosa
15
Phenobarbital dapat merangsang hati untuk menghasilkan enzim
yang meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat
ini efektif diberikan pada ibu hamil selama beberapa hari sampai
beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan phenobarbital post
natal masih menjadi pertentangan oleh karena efek sampingnya
(letargi). Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan mengeluar-
kannya melalui urin sehingga dapat menu-runkan kerja siklus
enterohepatika.
Kadar bilirubin adalah kadar bilirubin total darah, yaitu bilirubin
terkonjugasi dan bilirubin tidak terkonjugasi. Metode pengukuran yang
digunakan adalah fotometri atau spektrofotometri yang menguk urintensitas
warna azobilirubin. Satuan yang digunakan mg/dL (skala ratio). Fototerapi
adalah terapi sinar yang dilakukan untuk mengubah bentuk isomer bilirubin
sehingga dapat larut dalam air (skala nominal). Usia pascanatal adalah usia dari
bayi dilahirkan hinggamengalami kuning, dinyatakan dalam satuan hari (skala
ordinal).
11. Penatalaksanaan
a. Ikterus fisiologis tidak memerlukan penanganan khusus dan dapat rawat
jalan dengan nasehat untuk kembali jika ikterus masih
b. Jika bayi dapat menghisap, anjurkan ibu untuk menyusui secara dini dan
ASI eksklusif lebih sering minimal setiap 2 jam.
c. Jika bayi tidak dapat menyusui, ASI dapat diberikan melalui pipa
nasogastrik atau dengan gelas dan sendok.
d. Letakkan bayi ditempat yang cukup mendapat sinar matahari pagi selama
30 menit selama 3-4 hari. Jaga agar bayi tetap hangat.
e. Kelola faktor risiko (asfiksia dan infeksi) karena dapat menimbulkan
ensefalopati biliaris.
f. Setiap ikterus yang timbul sebelum 24 jam pasca kelahiran adalah
patologis dan membutuhkan pemeriksaan laboratorium lanjut ; minimal
kadar bilirubin serum total, pemeriksaan kearah adanya penyakit hemolisis.
g. Pada bayi dengan ikterus kremer III atau lebih perlu dirujuk ke faskes
yang lebih lengkap setelah keadaan bayi stabil.

16
BAB III
TINJAUAN KASUS
Asuhan Kebidanan pada By. Ny.”F”
Usia 10 Hari Neonatus Aterm dengan Hiperbilirubin

Waktu pelayanan :Senin, 9-2-2023 (Pukul 10.00 wita)


Tempat pelayanan : Ruang Perinatologi RSUD Klungkung

A. SUBYEKTIF
1. Identitas
Anak
Nama : By. Ny.”F”
Umur/tanggal lahir : 10 hari / 30-2-2023
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Hindu
Anak ke- :2

Ibu Ayah
Nama : Ny. F Tn. WA
Umur : 30 tahun 30 tahun
Agama : Hindu Hindu
Status perkawinan : Sah Sah
Pendidikan : SMU SMU
Pekerjaan : IRT Swasta
17
Penghasilan : Cukup Cukup
No Telp/HP : 085737xxxxxx
Alamat Rumah : Dsn kaliunda lingkungan Pande
Jaminan kesehatan : BPJS BPJS

2. Keluhan Utama
Ibu mengeluh bayinya kuning dari wajah sampai paha sejak dua hari yang
lalu , minum bagus(+), tidak ada demam.
3. Riwayat prenatal
a. Pemeriksaan ANC
Ibu mengatakan memeriksakan kehamilannya sebanyak 7 kali dan
pemeriksaan USG di Dokter Spesialis Kandungan.
b. Imunisasi TT
Ibu mengatakan kehamilan sebelumnya telah mendapat imunisasi TT 5
c. Obat-obatan yang dikonsumsi ibu
Ibu mengatakan selama hamil mengkonsumsi obat yang diberikan oleh
dokter yaitu Folarin, Fe dan Calk
d. Kebiasaan buruk yang berpengaruh terhadap kondisi kehamilan
Ibu mengatakan tidak ada kebiasaan buruk yang dapat berpengaruh
terhadap kondisi kehamilannya.
e. Penyulit atau komplikasi yang dialami
Ibu mengatakan selama hamil mengalami penyulit atau komplikasi yaitu
oligohidramnion
f. Tindakan pengobatan atau perawatan untuk mengatasi
penyulit/komplikasi : tidak ada

4. Riwayat intranatal (dipetik dari buku kontrol ibu)


a. Masa gestasi saat dilahirkan : 38 minggu

18
1) Ibu melahirkan SC di RSUD Klungkung dengan indikasi
oligohidramnion. Penolong persalinan : dokter Sp.OG
2) Kondisi anak saat dilahirkan : Bayi bernafas spontan, tangis kuat,
gerak aktif.
3) Inisiasi menyusu dini : Tidak dilakukan

5. Riwayat pascanatal
a. Rawat gabung : dilakukan.
b. Antropometri baru lahir: BB 2590 gram, PB 48 cm, LK 33 cm, LD 32
cm (dilihat dari buku periksa yang dibawa ibu) dengan kondisi bayi saat
lahir vigerous baby
c. Kondisi atau penyulit yang dialami
Bayi tidak mengalami penyulit

6. Riwayat imunisasi
Umur Tanggal Jenis Imunisasi yang Efek samping yang dialami
Anak Pemberian didapat
2 jam 04-11-2020 HB0 Tidak ada

7. Data bio-psiko-sosial-spiritual
a. Bernafas : tidak ada kesulitan
b. Nutrisi :
1) Jenis minuman : ASI
2) Frekuensi minum : ASI on demand
3) Jumlah minum : -
4) Makanan lain yang diberikan : tidak ada
c. Eliminasi :
1) Buang air besar
a) Frekuensi dalam sehari : 3-4 kali/hari
b) Konsistensi : lembek
c) Warna feses : kekuningan

19
d) Masalah : tidak ada
2) Buang air kecil
a) Frekuensi dalam sehari : 5-6 kali/hari
b) Konsistensi : cair dan jernih
c) Masalah : tidak ada
d. Istirahat
a) Lama tidur dalam sehari : ±18 jam/hari
b) Masalah : tidak ada
e. Psikologi
1) Penerimaan orang tua terhadap anak : diterima
2) Pengasuhan anak dominan dilakukan oleh : ibu dan suami
3) Pola asuh anak yang dominan : : Ibu menggendong bayinya sambil
menyusui, mengajak berbicara serta mengajak bermain didampingi
suami.

f. Sosial
1) Hubungan intern keluarga : harmonis
2) Pengambilan keputusan dalam keluarga : ibu dan suami
3) Sibling : tidak ada
4) Kebiasaan orang tua yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak :
tidak ada
g. Kepercayaan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan
perkembangan anak : Ibu dan suami beragama Hindu
h. Pengetahuan orang tua tentang :
1. Kurangnya pengetahuan ibu tentang bayi kuning

B. OBJEKTIF
PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan fisik umum
a. Keadaan umum : Baik
b. Warna kulit : kuning (kuning dari wajah sampai paha)
c. Kesadaran : Composmentis
d. Tanda vital : Suhu 36,8 0C, RR 40 x/menit, HR 140 kali per menit

20
2. Pengukuran Antropometri
a. Berat badan: 2650 gram, BB sebelumnya : 2600 gram (tgl 04-2-2023)
b. Panjang badan: 50 cm, PB sebelumnya : 50 cm (04-2-2023)
c. Lingkar kepala: 33 cm, LK sebelumnya : 33 cm (04-2-2023)
3. Pemeriksaan fisik
a. Kepala dan leher
1) Muka : normal. Warna kuning, rambut bersih, tidak mudah dicabut.
Ubun-ubun datar. Sutura normal. Tidak ada kelainan kongenital pada
kepala
2) Mata : normal, Konjungtiva merah muda, Sklera : kekuningan, tidak ada
kelainan kongenital pada mata
3) Hidung : tidak ada nafas cuping hidung dan pengeluaran pada hidung.
Tidak ada kelainan kongenital pada hidung.
4) Mulut : Mukosa mulut lembab, Lidah bersih, Gigi neonatal tidak ada .
tidak ada kelainan kongenital pada mulut
5) Telinga : simetris dan bersih. Tidak ada kelainan kongenital pada
telinga.
6) Leher
a) Tidak ada Pembesaran kelenjar tiroid
b) Tidak ada Pembesaran kelenjar limfe
c) Tidak ada Bendungan vena jugularis
d) Tidak ada kelainan kongenital pada leher.
7) Reflek-reflek
a) Reflek Morrow: Ada
b) Reflek Glabella : Ada
c) Reflek Rooting : Ada
d) Reflek Sucking : Ada
e) Reflek Swallowing : Ada
f) Reflek Tonic Neck : Ada
g) Reflek Gallant : Ada
h) Reflek Grasp : Ada
i) Reflek Stapping: Ada

21
b. Dada dan aksila
1) Tarikan intercostal : tidak ada
2) Suara nafas : normal
3) Payudara : simetris
4) Pengeluaran payudara : tidak ada
5) Pembesaran kelenjar limfe aksila : tidak ada
6) Tidak ada kelainan kongenital pada dada dan aksila
c. Abdomen
1) Bentuk perut : simetris
2) Peristaltic usus : ada
3) Distensi : tidak ada
4) Tali pusat : tali pusat sudah pupus dan daerah pusar kering
5) Tidak ada kelainan kongenital pada abdomen
d. Anogenetalia :
1) Bayi permpuan :
a) Labia mayor: sudah menutupi labia minor
b) Pengeluaran vulva : tidak ada
c) Kelainan pada alat kelamin : tidak ada
2) Lubang anus : ada
e. Ekstremitas
1) Oedema: tidak
2) Kuku : kekuningan
3) Tidak teraba dingin
4) Kelainan pada bentuk kaki: tidak ada

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : tanggal 9 Pebruari 2023
Bilirubin Total : 17,37 mg/dl ( normalnya : < 11,7 mg/dl )
Bilirubin Direk : 0,93 mg/dl ( normalnya : < 1,2 mg/dl )

Golongan Darah Ibu : O


Golongan Darah Bayi : O

22
D. ANALISIS
1. Diagnosis
By. Ny F” Usia 10 Hari Neonatus Aterm dengan Hiperbilirubin
2. Masalah :
 Kurangnya pengetahuan ibu tentang bayi kuning

E. PENATALAKSANAAN ( tanggal 9-2-2023 pk 10.00 wita)


1. Mendampingi dokter menjelaskan hasil pemeriksaan kepada orang tua
bahwa saat ini anaknya mengalami hiperbilirubin, orang tua paham dengan
penjelasan yang diberikan.
2. Mendampingi dokter memberikan penjelasan tentang prosedur fototherapy,
efek samping, akibat bila bayi tidak diberikan forotherapy dan pengambilan
darah setelah pemberian fototherapy kepada orang tua. Efek samping dari
fototherapy antara lain dapat menyebabkan bayi diare, dehidrasi, ruam kulit,
gangguan retina, hipertermia, Bronze Baby Syndrome, juga berisiko memicu
stress. Akibat yang timbul bila bayi tidak di berikan fototherapy antara lain
kejang yang dapat mempengaruhi perkembangan terutama otak. Orang tua
paham dengan penjelasan yang diberikan dan bersedia bayinya diberikan
fototherapy.
3. Mendampingi dokter dan orang tua menandatangani form informed
consent. Form sudah ditandatangani oleh dokter dan orang tua bayi.
4. Melakukan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian therapy:
- Fototherapy single light 1x24 jam dari tanggal 10 /2 /23 pukul 10.00
wita sampai tanggal 11/2/23 pukul 10.00 wita
- Kebutuhan cairan per hari 130 ml/kg/hari +20% ~ minimal 67 ml tiap 3
jam
- Cek laboratorium bilirubin post fototherapy
5. Menginformasikan kepada orang tua bahwa saat fototherapy bayi dalam
kondisi telanjang, hanya menggunakan popok dan penutup mata saja.
Fototherapy di stop saat mengganti popok dan memandikan bayi. Orang tua
paham dengan penjelasan yang diberikan.

23
6. Mengubah posisi bayi setiap 6 jam, posisi bayi telah diubah mulai dari
posisi terlentang, tengkurap, miring kanan dan kiri
7. Menjaga kelembaban kulit bayi selama fototherapy. Menjaga kelembaban
kulit dengan cara pemberian lotion khusus bayi yang hipoalergenik. Kulit
bayi tampak lembab.
8. Menginformasikan kepada ibu bahwa selama fototherapy bayi tidak boleh
diteteki. Ibu mengatakan paham dengan penjelasan yang diberikan.
9. Membimbing ibu memerah ASI. Ibu mampu memerah ASI dengan benar.
10. Memberi bayi minum menggunakan cup feeder sesuai kebutuhan. Bayi
mampu minum habis sesuai kebutuhan, tidak ada muntah atau distensi
abdomen.
11. Mengganti pampers bayi setiap 3 jam bila bayi BAB, popok bayi telah
diganti tidak ada ruam pada pantat.
12. Mengobservasi efek samping pemberian fototherapy. Selama pemberian
foto therapy bayi tidak mengalami diare, hipertermi, ruam kulit, dehidrasi
maupun Bronze Baby Syndrome.

24
F. CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN
Tanggal/jam Catatan Perkembangan Pasien
Tgl 11-2-2023 S/ : Ibu mengatakan hari ini bayinya akan di cek darah.
Pk 10.00 wita O/ : KU baik, kesadaran: composmentis, gerak aktif, tangis kuat,
HR 140 kali per menit, RR 45 kali per menit, Suhu 36,8 C, minum
ASI on demand, muntah tidak ada, distensi abdomen tidak ada,
warna kulit bayi sudah tidak kuning. Bahan pemeriksaan bilirubin
sudak dikirim ke laboratorium.
A/ : By Ny“F” Usia 11 Hari Neonatus Aterm
P/ :
1. Mengobservasi keadaan umum dan tanda vital bayi, hasil
pemeriksaan dalam batas normal
2. Menerima hasil pemeriksaan dari laboratorium :
Bilirubin Total 7,75 mg/dL ( normalnya : < 11,7 mg/dl )
Bilirubin Direk 0,46 mg/dL ( normalnya : < 1,2 mg/dl )
3. Melaporkan hasil laboratorium kepada dokter SpA program
dokter:
- Bayi diperbolehkan pulang
- Kontrol 5 hari lagi (tgl 16-2-2023) ke Poli Anak RSUD
Klungkung
- Tetap menjemur bayinya pagi hari.
- ASI on demand
4. Menjaga kehangatan bayi, bayi memakai pakaian lengkap
5. Membimbing ibu untuk memberikan ASI kepada bayinya.
Perlekatan dan posisi ibu dan bayi benar.

25
6. Memberikan KIE kepada ibu agar menjemur bayinya di pagi
hari selama 15 menit. ibu paham dan bersedia
melakukannya.
7. Menyiapkan administrasi pasien pulang, administrasi sudah
disiapkan

BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Pada kasus By Ny“F” ini merupakan kasus ikterus patologi, dimana By Ny“F”
ini mengalami kuning dengan kenaikan kadar bilirubin yang tinggi. Setiap
peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi peningkatan kadar
bilirubin total serum >0,5 mg/dL/jam; adanya tanda-tanda penyakit yang mendasar
pada setiap bayi (muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang
cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak stabil) ikterus yang bertahan setelah
delapan hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan.
Pada neonatus dengan ikterus patologis terdapat gejala seperti: Timbul 24 jam
pertama + setelah hari ke-3, dan menetap selama 1 minggu atau lebih. Peningkatan
bilirubin > 5 mg% per hari, Kadar bilirubin bayi aterm > 12,5 mg %,Kadar bilirubin
bayi premature >10 mg %., sedangkan yang dikatakan kern ikterus adalah ikterus
yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga serta tidak mempunyai dasar patologi
atau tidak mempunyai potensi menjadi karena ikterus. Adapun tanda-tanda sebagai
berikut Timbul pada hari kedua dan ketiga,Kadar bilirubin indirek tidak melebihi
10 mg% pada neonatus cukup bulan,Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak
melebihi 5% per hari, Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%, Ikterus
menghilang pada 10 hari pertama.
Menurut jurnal,fototerapi bisa menurunkan kadar bilirubin karena Fototerapi
merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah kadar Total Bilirubin Serum
(TSB) meningkat. Uji klinis telah divalidasi kemanjuran fototerapi dalam
mengurangi hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang berlebihan, dan
implementasinya telah secara drastis membatasi penggunaan transfusi tukar.Tujuan

26
fototerapi adalah mengonversi bilirubin menjadi photoisomers kuning dan produk
oksidasi tidak berwarna yang kurang lipofilik dari bilirubin dan tidak memerlukan
konjugasi hepar untuk ekskresi. Photoisomers diekskresikan terutama dalam
empedu dan produk oksidasi terutama di urin. Keuntungan fototerapi, antara lain,
tidak invasif, efektif, tidak mahal,dan mudah digunakan Fototerapi mengurangi
hiperbilirubinemia melalui proses fotoisomerisasi dan isomerisasi struktural.
Efektivitas fototerapi tergantung pada kualitas cahaya yang dipancarkan lampu
(panjang gelombang), intensitas cahaya (radiasi), luas permukaan tubuh, jarak
lampu fototerapi.Fototerapi yang intensif seharusnya dapat menurunkan kadar
bilirubin total serum 1-2 mg/dL dalam 4-6 jam karena fototerapi merupakan
prosedur standar dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia di rumah sakit, namun
hasil-hasil penelitian menunjukkan pemberian fototerapi belum efektif dan
ditemukan beberapa efek samping bagi bayi , teori ini sudah sesuai dengan tindakan
yang dilakukan oleh by Ny“F” dan bilirubin by Ny“F” sudah turun dari 17,37 g/dl
menjadi 7,75 g/dl setelah dilakukannya fototerapi.
Akibat dari tindakan fototerapi tersebut adalah membuat bayi dehidrasi karena
meningkatnya metabolisme sehingga bayi mudah lapar/ haus, hal ini sesuai dengan
by Ny”F”yang lebih sering minum karena sering haus sehingga ibu lebih sering
memberikan ASI kepada anaknya secara on demand. Dan penatalaksanaan pada
kasus by Ny“F” di Ruang Perinatologi RSUD Bali Mandara telah sesuai dengan
teori.

27
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Tanggal 11-2-2023 Mahasiswa Semester VIII Prodi Alih Jenjang
Kebidanan melakukan asuhan pada By Ny“F” di Ruang Perinatologi RSUD
Klungkung. Bayi tersebut lahir SC pada tanggal 30-2-2023 di RSUD
Klungkung. Bayi tersebut dirawat dikarenakan bayi tampak kuning pada kulit
wajah samapi paha, dari hasil laboratorium bayi mengalami hiperbilirubin. By
Ny”F” menjalani fototerapi selama 2x24 jam single light terhitung tanggal 10-2-
2023 sampai dengan 12-2-2023 pk 10.00 wita berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium HVD ( Bilirubin Total dan Direks ) dinyatakan hasilnya normal
dan bayi Ny“F” diperbolehkan pulang dan disarankan kontrol kembali 5 hari lagi
(Tgl 17 -2-2023) oleh dr.SpA ke Poli Anak RSUD Klungkung.

B. SARAN
Tenaga kesehatan khususnya bidan diharapkan lebih meningkatkan
pengetahuan dan skill dalam asuhan kebidanan pada neonatus dengan kondisi
kegawatdaruratan agar asuhan yang diberikan lebih optimal dan berkualitas.
Diharapkan pula dalam memberikan pelayanan mampu berkolaborasi dengan
baik pada pihak yang mampu melakukan penanganan selanjutnya pada
neonatus dengan kondisi kegawatdaruratan.
Bagi mahasiswa kesehatan diharapkan lebih memahami materi tentang
asuhan dan pelayanan kesehatan pada kondisi kegawatdaruratan sehingga bisa
menentukan bagaimana asuhan dan tata laksana yang tepat.

28
DAFTAR PUSTAKA

Ayu Ketut Surya Dewi, dkk. 2016. Efektivitas Fototerapi Terhadap Penurunan
Kadar Bilirubin Total pada Hiperbilirubinemia Neonatal di RSUP Sanglah.
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/
RSUP. Sanglah, Denpasar. Sari Pediatri. Vol. 18, No. 2, Agustus 2016

Novi Novianti, dkk. 2017. Pengaruh Field Massage sebagai Terapi Adjuvan
terhadap Kadar Bilirubin Serum Bayi Hiperbilirubinemia. Fakultas
Keperawatan, Universitas Padjadjaran. JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember
2017

M Sholeh Kosim dkk, 2008. Dampak Lama Fototerapi Terhadap Penurunan


Kadar Bilirubin Total pada Hiperbilirubinemia Neonatal. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK Universitas Diponegoro – RS dr Kariadi, Sari Pediatri,
Vol. 10, No. 3, Oktober 2008

Rinawati Rohsiswatmo, dkk. 2018. Hiperbilirubinemia pada Neonatus >35


Minggu di Indonesia: Pemeriksaan dan Tatalaksana Terkini. Departemen
Kesehatan Anak, FKUI-RSCM. Sari Pediatri, Vol. 20, No. 2, Agustus 2018

Mathindas, Wilar, Wahani. 2013. Hiperbilirubinemia pada neonatus. Jurnal


Biomedik, Volume 5, Nomor 1

Mellisa Kristanti Hosea. 2015. Hyperbilirubinemia Treatment Of Neonatus In Dr.


Soetomo Hospital Surabaya. Medical Doctor Study Program, 2Department of
Pediatrics, Folia Medica Indonesiana Vol. 51 No. 3 July - September 2015

29
Hasil Lab HVD Tanggal 24-11-2020

Hasil Lab HVD Tanggal 25-11-2020

30
Foto Dokumentasi

31

Anda mungkin juga menyukai