Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN HIPERBILIRUBIN


Diajukan Untuk Memenuhi Nilai Tugas Kelompok pada Mata Kuliah
Keperawatan Anak Sehat dan Sakit Akut

DOSEN PENGAMPU: Ns. IGN Kusuma Negara, S.Kep., MNS.

Disusun Oleh:
Kelompok 5

1. I Gusti Agung Ayu Maharani (2114201009)


2. Ni Putu Puja Gayatri (2114201043)
3. Ni Ketut Rai Puspa Dewi (2114201048)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan dan
rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan pada Bayi dengan Hiperbilirubinemia” dalam
rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak, dapat selesai tepat pada
waktunya.
Ucapan terima kasih pula tidak lupa saya ucapkan kepada dosen
pembimbing, karena berkat buah pemikirannya yang kreatif sehingga mendorong
kami untuk menyusun makalah ini guna mengikuti proses belajar mengajar.
Penulis menyadari bahwa mungkin materi ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu kritikan dan saran yang sifatnya membangun penulisan
selanjutnya sangat kami harapkan.

Denpasar, 12 Maret 2023

Penyusun,

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................4
2.1 Konsep Dasar Hiperbilirubinemia............................................................................4
2.1.1 Pengertian Hiperbilirubinemia..........................................................................4
2.1.2 Klasifikasi.........................................................................................................5
2.1.3 Patofisiologi......................................................................................................6
2.1.4 Etiologi..............................................................................................................8
2.1.5 Epidemiologi.....................................................................................................9
2.1.6 Manifestasi Klinis............................................................................................10
2.1.7 Pathway...........................................................................................................11
2.1.8 Komplikasi......................................................................................................12
2.1.9 Pemeriksaan Fisik............................................................................................12
2.1.10 Pemeriksaan Laboratorium............................................................................12
2.1.11 Penatalaksanaan.............................................................................................13
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Hiperbilirubinemia.......................................15
2.2.1 Pengkajian.......................................................................................................15
2.2.2 Diagnosa Keperawatan....................................................................................25
2.2.3 Intervensi Keperawatan...................................................................................25
2.2.4 Implementasi Keperawatan.............................................................................32
2.2.5 Evaluasi...........................................................................................................34
BAB III PENUTUP.........................................................................................................36
3.1 Kesimpulan............................................................................................................36
3.2 Saran......................................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................38

iii
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Kadar bilirubin serum orang normal umumnya kurang lebih 0.8 mg %
(17mmol/l), akan tetapi kira-kira 5% orang normal memiliki kadar yang lebih
tinggi (1-3 mg/dl). Bila penyebabnya bukan karena hemolisis atau penyakit hati
kronik maka kondisi ini biasanya disebabkan oleh kelainan familial metabolism
bilirubin, yang paling sering adalah sindrom gilbert. Sindrom lainnya juga sering
ditemukan, prognasisnya baik. Diagnosis yang akurat terutama pada penyakit hati
kroniksangat penting untuk penatalaksanaan pasien. Adanya riwayat keluarga,
lamanya penyakit serta tidak ditemukan adanya pertanda penyakit hati dan
splenomegali, serum transaminase normal dan bila perlu dilakukan biopsi hati.
(Aru W. sudoyo)

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling


sering ditemukan pada bayi baru lahir. Sekitar 25-50% bayi baru lahir menderita
ikterus pada minggu pertama. Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar
plasma bilirubin, standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan
berdasarkan umur bayi atau lebih dari 90 persen. Dalam perhitungan bilirubin
terdiri dari bilirubin direk dan bilirubin indirek. Peningkatan bilirubin indirek
terjadi akibat produksi bilirubin yang berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin
oleh hati, atau kelainan konjugasi bilirubin. Setiap bayi dengan ikterus harus
mendapat perhatian, terutama ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan
bayi atau bila kadar bilirubin indirek meningkat 5 mg/dL dalam 24 jam dan
bilirubin direk > I mg/dL merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan
adannya ikterus patologis.

Hiperbilirubinemia dianggap patologis apabila waktu muncul, lama, atau


kadar bilirubin serum yang ditentukan berbeda secara bermakna dari ikterus
fisiologis. Gejala paling mudah diidentifikasi adalah ikterus yang didefinisikan

iv
sebagai kulit dan selaput lendir menjadi kuning. Ikterus terjadi apabila terdapat
akumulasi bilirubin dalam darah.

I.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas dapat disusun rumusan masalah, yaitu “Bagaimana
Konsep Penyakit serta Konsep Asuhan Keperawatan pada Anak dengan
Hiperbilirubinemia?”

I.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:
a. Tujuan Umum
Untuk Mengetahui dan memahami konsep penyakit dan konsep asuhan
keperawatan pada anak dengan hiperbilirubinemia.
b. Tujuan Khusus
- Untuk mengetahui apa definisi hiperbilirubinemia
- Untuk mengetahui klasifikasi hiperbilirubinemia
- Untuk mengetahui patofisiologi hiperbilirubinemia
- Untuk mengetahui etiologi hiperbilirubinemia
- Untuk mengetahui epidemiologi hiperbilirubinemia
- Untuk mengetahui manifestasi klinis hiperbilirubinemia
- Untuk mengetahui pathway hiperbilirubinemia
- Untuk mengetahui komplikasi hiperbilirubinemia
- Untuk mengetahui pemeriksaan fisik hiperbilirubinemia
- Untuk mengetahui pemeriksaan laboratorium hiperbilirubinemia
- Untuk mengetahui penatalaksanaan hiperbilirubinemia
- Untuk mengetahui asuhan keperawatan hiperbilirubinemia

I.4 Manfaat Penulisan


1. Teoritis

v
Hasil penulisan laporan tugas akhir ini diharapkan dapat

memberikan informasi dan pengetahuan tentang asuhan

keperawatan anak pada bayi dengan hiperbilirubin.

2. Praktis

a. Instansi Rumah Sakit


Sebagai bahan masukan yang diperlukan dalam pelaksanaan praktik
pelayanan keperawatan khususnya pada keperawatan anak pada bayi
dengan hiperbilirubin.
b. Instansi Pendidikan
Sebagai bahan acuan dalam kegiatan proses belajar mengajar tentang
asuhan keperawatan anak dengan hiperbilirubin.

vi
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Konsep Dasar Hiperbilirubinemia


II.1.1 Pengertian Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum
setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum
bilirubin. Hiperbilirubi-nemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap
tergolong non patologis sehingga disebut Excessive Physiological Jaundice'.
Digolongkan sebagai hiperbillirubenemia patologis (Non Physiological
Jaundice') apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonates >95% menurut
Normogram Bhutani.

Hiperbilirubinemia adalah salah satu masalah paling umum yang


dihadapi dalam jangka bayi yang baru lahir. Secara historis, manajemen berasal
ari studi tentang toksisitas bilirubin pada dengan penyakit hemolitik.
Rekomendasi yang lebih baru mendukung penggunaan terapi yang kurang
intensif dalam jangka bayi yang sehat dengan sakit kuning. (Ely Susan, 2011)

Hiperbilirubinemia merupakan suatu kondisi bayi baru lahir dengan


kadar bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang
ditandai dengan ikterus, yang dikenal dengan ikterus neonatorum patologis.
Hiperbilirubimenia yang merupakan suatu keadaan meningkatnya kadar
bilirubin di dalam jaringan ekstravaskular, sehingga konjungtiva, kulit, dan
mukosa akan berwama kuning. Keadaan tersebut juga bisa berpotensi besar
terjadi ikterus, yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada
otak. Bayi yang mengalami hiperbilirubinemia memiliki ciri sebagai berikut:
adanya ikterus terjadi pada 24 jam pertama, peningkatan konsentrasi bilirubin

vii
serum 10 mg% atau lebih setiap 24 jam, konsentrasi bilirubin serum 10 mg%
pada neonatus yang cukup bulan dan 12,5 mg% pada neonatus yang kurang
bulan, ikterus disertai dengan proses hemolisis kemudian ikterus yang disertai
dengan keadaan berat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi kurang
dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, dan lain-lain.

II.1.2 Klasifikasi
Hiperbilirubin atau ikterus terbagi atas:

1. Ikterus prehepatik
Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis sel
darah merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan konjugasi terbatas
terutama pada disfungsi hati sehingga menyebabkan kenaikan bilirubin
yang tidak terkonjugasi.
2. Ikterus hepatic
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat
kerusakan hati, maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi masuk
ke dalam hati serta gangguan akibat konjugasi bilirubin yang tidak
sempurna dikeluarkan ke dalam doktus hepatikus karena terjadi retensi
dan regurgitasi.
3. Ikterus kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga empedu dan
bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam usus halus.
Akibatnya adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum dan
bilirubin dalam urin, tetapi tidak didapatkan urobilirubin dalam tinja dan
urin.
4. Ikterus fisiologis.
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga
yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar
yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi “kernicterus” dan
tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologik adalah
ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya

viii
mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin. Ikterus pada neonatus
tidak selamanya patologis.
5. Ikterus patologis/hiperbilirubinemia
Disebabkan oleh suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin dalam
darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan
kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai
hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan
hiperbilirubinenia bila kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup
bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg%
dan 15 mg%.
6. Kern ikterus
Disebabkan oleh kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek
pada otak terutama pada korpus striatum, thalamus, nucleus subtalamus.
Hipokampus, nucleus merah, dan nucleus pada dasar ventrikulus IV.
Kern ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada
neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg%)
dan disertai penyakit hemolitik berat dan pada autopsy ditemukan bercak
bilirubin pada otak. Kern ikterus secara klinis berbentuk kelainan syaraf
simpatis yang terjadi secara kronik.

II.1.3 Patofisiologi
a. Saat eritrosit hancur di akhir siklus neonatus, hemoglobin pecah menjadi
fragmen globin (protein) dan heme (besi).
b. Fragmen heme membentuk bilirubin tidak terkonjugasi (indirek), yang
berikatan dengan albumin untuk dibawa ke sel hati agar dapat
berkonjugasi dengan glukuronid, membentuk bilirubin direk.
c. Karena bilirubin terkonjugasi dapat larut dalam lemak dan tidak dapat
dickskresikan di dalam urine atau empedu, bilirubin ini dapat keluar
menuju jaringan ekstravaskular, terutama jaringan lemak dan otak,
mengakibatkan hiperbilirubinemia.
d. Hiperbilirubinemia dapat berkembang ketika:

ix
 Faktor tertentu-tertentu mengganggu konjugasi dan merebut sisi yang
mengikat albumin, termasuk obat (seperti aspirin, penenang, dan
sulfonamide) dan gangguan (seperti hipotermia, anoksia,
hipoglikemia, dan hipoalbuminemia)
 Penurunan fungsi hati yang menyebabkan penurunan konjugasi
bilirubin.
 Peningkatan produksi atau inkompatibilitas Rh atau ABO.
 Obstruksi bilier atau hepatitis mengakibatkan sumbatan pada aliran
empedu yang normal.

Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi


dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain
seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan
hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian
mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan
memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang
disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi,
indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin
untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan
melewati lobulus hati hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan
larutnya air dengan mengikat bilirubin keasam glukoronat (bilirubin terkonjugasi,
direk).

Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk


ke sistem empedu untuk dickskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin
diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah
menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen
direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya
kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam
empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi
sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama
urin.

x
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh
kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan
dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi
hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini,
bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu
(sekitar 2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang
kemudian menjadi kuning.

II.1.4 Etiologi
Penyebab dari hiperbilirubinemia terdapat beberapa faktor. Secara garis besar,
penyebab dari hiperbilirubinemia adalah:

a. Produksi bilirubin yang berlebihan.


Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya
pada emolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan
darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan
sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya
substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis,
hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase
(Sindrom Criggler- Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y
dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke
hepar Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat
misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih
banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi

xi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar
hepar Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan.
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh
penyebab lain.

II.1.5 Epidemiologi
Hiperbilirubinemia neonatal sangat umum karena hampir setiap bayi baru
lahir mengalami tingkat serum bilirubin tak terkonjugasi lebih dari 30 mmol/L
(1,8 mg/dL) selama minggu pertama kehidupan. Angka kejadian sulit untuk
membandingkan karena banyak peneliti berbeda yang tidak menggunakan definisi
yang sama untuk hiperbilirubinemia neonatal signifikan atau penyakit kuning.
Selain itu, identifikasi bayi yang akan diuji tergantung pada pengakuan visual dari
penyakit kuning oleh penyedia layanan kesehatan, yang sangat bervariasi dan
tergantung baik pada perhatian pengamat dan pada karakteristik bayi seperti ras
dan usia kehamilan.

Dalam sebuah studi tahun 2003 di Amerika Serikat, 4,3% dari 47.801 bayi
memiliki total serum bilirubin. dalam rentang di mana fototerapi
direkomendasikan oleh tahun 1994 American Academy of Pediatrics (AAP)
pedoman, dan 2,9% memiliki nilai dalam rentang di mana tahun 1994 AAP
pedoman menyarankan fototerapi mempertimbangkan.

Di dunia insiden bervariasi dengan etnisitas dan geografi. Insidensi lebih


tinggi pada orang Asia Timur dan Indian Amerika dan lebih rendah pada orang
kulit hitam. Yunani yang hidup di Yunani memiliki insiden yang lebih tinggi
daripada yang keturunan Yunani yang tinggal di luar Yunani. Insidensi lebih
tinggi pada penduduk yang tinggal di ketinggian. Pada tahun 1984, Moore dkk
melaporkan 32,7% bayi dengan kadar bilirubin serum lebih dari 205 umol/L (12
mg/dL) pada 3100 m dari ketinggian.

Kernikterus terjadi pada 1,5 dari 100.000 kelahiran di Amerika Serikat.


Kematian dari neonatal jaundice fisiologis sebenarnya tidak harus terjadi.
Kematian dari kernikterus dapat terjadi, terutama di negara-negara kurang

xii
berkembang sistem perawatan medis. Dalam sebuah penelitian kecil dari pedesaan
Nigeria, 31% bayi dengan ikterus klinis diuji memiliki G-6-PD kekurangan, dan
36% bayi dengan G-6-PD kekurangan meninggal dengan kernikterus diduga
dibandingkan dengan hanya 3% dari bayi dengan G-6-PD yang normal skrining
hasil tes.

Insiden penyakit kuning neonatal meningkat pada bayi dari Asia Timur,
Indian, Amerika, dan keturunan Yunani, meskipun yang terakhir tampaknya
hanya berlaku untuk bayi yang lahir di Yunani dan dengan demikian mungkin
lingkungan bukan etnis di asal. Bayi kulit hitam yang terpengaruh lebih sering
dari pada bayi putih. Untuk alasan ini, penyakit kuning yang signifikan dalam
manfaat bayi hitam evaluasi lebih dekat dari kemungkinan penyebab, termasuk G-
6-PD kekurangan.

Risiko pengembangan penyakit kuning neonatal signifikan lebih tinggi pada


bayi laki- laki. Ini tidak muncul terkait dengan tingkat produksi bilirubin, yang
mirip dengan yang ada di bayi perempuan. Risiko penyakit kuning neonatal
signifikan berbanding terbalik dengan usia kehamilan.

II.1.6 Manifestasi Klinis


1. Ikterus terjadi 24 jam.
2. Peningkatan kosentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam.
3. Kosentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonarus kurang bulan
dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
4. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompabilitas darah, defisiensi
enzim G- 6-PD (Glukosa 6 Phosphat Dehydrogenase))
5. Ikterus yang disertai keadaan berikut:
- Berat lahir kurang dari 2000 gram
- Masa gestasi kurang dan 36 minggu
- Infeksi
- Gangguan pernafasan

xiii
II.1.7 Pathway

Gambar 2.1 Pathway Hiperbilirubinemia


Sumber: Suriadi dan Yuliani (2010)

xiv
II.1.8 Komplikasi
1. Bilirubin encephalopathy (komplikasi serius).
2. Kernicterus; kerusakan neurologis; cerebral palsy, retardasi mental,
hyperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi otot, dan tangisan yang
melengking.
3. Gangguan pendengaran dan penglihatan
4. Asfiksia
5. Hipotermi
6. Hipoglikemi
7. Kematian

II.1.9 Pemeriksaan Fisik


Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang
cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat
dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap.
Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi
sinar.

Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis,
mudah dan sederhana adalah dengan penilaian. Caranya dengan jari telunjuk
ditekankan pada tempat- tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,
dada, lutut, dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning.
Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat
dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.

II.1.10 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan scrumbilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau
bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun
pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin,

xv
jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar serum
bilirubin.

Transcutaneous bilirubin (TCB)' dapat digunakan untuk menentukan kadar


scrum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya
valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 µmol/L), dan tidak 'reliable'
pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar.

Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan


penyebab ikterus antara lain:

a. Golongan darah dan 'Coombs test".


b. Darah lengkap dan hapusan darah.
c. Hitung retikulosit, skrining G-6-PD.
d. Bilirubin direk.

Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung
usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur
untuk menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.

II.1.11 Penatalaksanaan
Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut:

a. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini


kerjanya lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya
rendah dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik.
Obat ini sudah jarang dipakai lagi.
b. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme
bilirubin(misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau
(menambahkan albumin untuk memperbaiki transportasi bilirubin).
Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa hipoalbuminemia. Penambahan
albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi bilirubin jaringan ke
dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin plasma meningkat,
tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan dengan

xvi
albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB,
sebelum maupun sesudah terapi tukar.
c. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini.
d. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang
tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam
air.
e. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar.

Pada umumya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:

1. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek < 20 mg%


2. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3 - 1 mg%/jam
3. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung.
4. Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat < 14 mg% dan uji Coombs
direct positif.
f. Menghambat produksi bilirubin. Metalloprotoporfirin merupakan
kompetitor inhibitif terhadap heme oksigenase. Ini masih dalam penelitian
dan belum digunakan secara rutin.
g. Menghambat hemolisis. Immunoglobulin dosis tinggi secara sampai 2
hingga 4 jam telah digunakan untuk mengurangi level bilirubin pada janin
dengan penyakit hemolitik isoimun. Mekanismenya belum diketahui tetapi
secara teori immunoglobulin menempati sel Fe reseptor pada sel
retikuloendotel dengan demikian dapat mencegah lisisnya sel darah merah
yang dilapisi oleh antibody.

Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat di rumah sakit.
Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar, yang perlu diperhatikan sebagai
berikut:

1. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas


mungkin dengan membuka pakaian bayi.

xvii
2. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat
memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel
reproduksi bayi.
3. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak
yang terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.
4. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh
bayi yang terkena cahaya dapat menyeluruh.
5. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
6. Kadar bilirubin bayi diukur seksang-kurangnya tiap 24 jam.
7. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi
dengan hemolisis

II.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Hiperbilirubinemia


II.2.1 Pengkajian
1. Identitas pasien
Identitas pasien berupa: nama, tanggal lahir, usia, jenis kelamin, agama,
pendidikan, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, suku bangsa.
Identitas orang tua berupa: nama ayah dan ibu, usia ayah dan ibu,
pendidikan ayah dan ibu, pekerjaan/sumber penghasilan ayah dan ibu,
agama ayah dan ibu, alamat ayah dan ibu.
Identitas saudara kandung berupa: nama saudara kandung, usia saudara
kandung, hubungan dan status kesehatan saudara kandung.
2. Keluhan utama
Untuk mengetahui alasan utama mengapa klien mencari pertolongan pada
tenaga professional.
3. Riwayat penyakit sekarang
Untuk mengetahui lebih detail hal yang berhubungan dengan keluhan
utama.
a. Munculnya keluhan

xviii
Tanggal munculnya keluhan, waktu munculnya keluhan (gradual/tiba-
tiba), presipitasi/ predisposisi (perubahan emosional, kelelahan, kehamilan,
lingkungan, toksin/allergen, infeksi).
b. Karakteristik
Karakter (kualitas, kuantitas, konsistensi), loksai dan radiasi, timing (terus
menerus/intermiten, durasi setiap kalinya), hal-hal yang
meningkatkan/menghilangkan/mengurangi keluhan, gejala-gejala lain
yang berhubungan.
c. Masalah sejak muncul keluhan
Perkembangannya membaik, memburuk, atau tidak berubah.
4. Riwayat masa lampau
a. Prenatal
Keluhan saat hamil, tempat ANC, kebutuhan nutrisi saat hamil, usia
kehamilan (preterm, aterm, post term), kesehatan saat hamil dan obat
yang diminum.
b. Natal
Tindakan persalinan (normal atau Caesar), tempat bersalin, penolong
persalinan, komplikasi yang dialami ibu pada saat melahirkan, obat-
obatan yang digunakan.
c. Post natal
Kondisi kesehatan, apgar score, Berat badan lahir, Panjang badan
lahir, anomaly kongenital.
d. Penyakit waktu kecil
e. Pernah dirawat di rumah sakit
Penyakit yang diderita, respon emosional
f. Obat-obat yang digunakan (pernah/sedang digunakan)
Nama obat dan dosis, schedule, durasi, alasan penggunaan obat.
g. Allergi
Reaksi yang tidak biasa terhadap makanan, binatang, obat, tanaman,
produk rumah tangga.
h. Imunisasi

xix
Jenis imunisasi seperti: BCG, DPT (I,II,III), Polio (I,II,III,IV),
Campak, Hepatitis. Waktu pemberian, frekuensi, reaksi setelah
pemberian, dan frekuensinya.
5. Riwayat keluarga
Penyakit yang pernah atau sedang diderita oleh keluarga (baik
berhubungan / tidak berhubungan dengan penyakit yang diderita klien),
gambar genogram dengan ketentuan yang berlaku (symbol dan 3 generasi).
6. Riwayat sosial
b. Yang mengasuh anak dan alasannya
c. Pembawaan anak secara umum (periang, pemalu, pendiam, dan
kebiasaan menghisap jari, membawa gombal, ngompol)
d. Lingkungan rumah (kebersihan, keamanan, ancaman, keselamatan
anak, ventilasi, letak barang-barang)
7. Keadaan kesehatan saat ini
Diagnosis medis, tindakan operasi, obat-obatan, tindakan keperawatan,
hasil laboratorium, data tambahan.
8. Pengkajian pola fungsi Gordon
a. Persepsi kesehatan dan manajemen kesehatan
Status kesehatan sejak lahir, pemeriksaan kesehatan secara rutin,
imunisasi, penyakit yang menyebabkan anak absen dari sekolah,
praktek pencegahan kecelakaan (pakaian, menukar popok,dll),
kebiasaan merokok orang tua, keamanan tempat bermain anak dari
kendaraan, praktek keamanan orang tua (produk rumah tangga,
menyimpan obat-obatan,ddl).
b. Nutrisi metabolik
Pemberian ASI / PASI, jumlah minum, kekuatan menghisap, makanan
yang disukai / tidak disukai, makanan dan minuman selama 24 jam,
adakah makanan tambahan/vitamin, kebiasaan makan, BB lahir dan
BB saat ini, masalah dikulit:rash, lesi,dll.
a. Pola eliminasi

xx
Pola defekasi (kesulitan, kebiasaan, ada darah/tidak), mengganti
pakaian dalam / diapers (bayi), pola eliminasi urin (frekuensi ganti
popok basah/hari, kekuatan keluarnya urin, bau, warna).
b. Aktivitas dan pola latihan
Rutinitas mandi (kapan, bagaimana, dimana, sabun yang digunakan),
kebersihan sehari-hari, aktivitas sehari-hari (jenis permainan, lama,
teman bermain, penampilan anak saat bermain, dll), tingkat aktivitas
anak/bayi secara umum, tolerans, persepsi terhadap kekuatan,
kemampuan kemandirian anak (mandi, makan, toileting, berpakaian,
dll.)
c. Pola istirahat tidur
Pola istirahat/tidur anak (jumlahnya), perubahan pola istirahat, mimpi
buruk, nokturia, posisi tidur anak, gerakan tubuh anak.
d. Pola kognitif-persepsi
Responsive secara umum anak, respons anak untuk bicara, suara,
objek sentuhan, apakah anak mengikuti objek dengan matanya, respon
untuk meraih mainan, vocal suara, pola bicara kata-kata, kalimat,
menggunakan stimulasi/tidak, kemampuan untuk mengatakan nama,
waktu, alamat, nomor telepon, kemampuan anak untuk
mengidentifikasi kebutuhan; lapar, haus, nyeri, tidak nyaman.
e. Persepsi diri – pola konsep diri
Status mood bayi / anak (irritabilitas), pemahaman anak terhadap
identitas diri, kompetensi, banyak/tidaknya teman.
f. Pola peran – hubungan
Struktur keluarga, masalah/stressor keluarga, interaksi antara anggota
keluarga dan anak, respon anak/bayi terhadap perpisahan,
ketergantungan anak dengan orang tua.
g. Sexualitas
Perasaan sebagai laki-laki / perempuan (gender), pertanyaan sekitar
sexuality bagaimana respon orang tua.
h. Koping – pola toleransi stress

xxi
Apa yang menyebabkan stress pada anak, tingkat stress, toleransi
stress, pola penanganan masalah, keyakinan agama.
i. Nilai – pola keyakinan
Perkembangan moral anak, pemilihan perilaku, komitmen, keyakinan
akan kesehatan, keyakinan agama.
9. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Kesadaran, postur tubuh, fatigue
b. Tanda – tanda vital
Tekanan darah. Nadi, respirasi, suhu
c. Ukuran anthropometric
Berat badan, panjang badan, lingkar kepala
d. Mata
Konjungtiva, sclera, kelainan mata
e. Hidung
Kebersihan, kelainan
f. Mulut
Kebersihan, bau, mukosa mulut, stomatitis
g. Telinga
Fungsi pendengaran, kelainan, kebersihan
h. Dada
Inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi (jantung, paru-paru)
i. Abdomen
Inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi
j. Punggung
Ada/tidak kelainan
k. Genetalia
Kebersihan, terpasang kateter/tidak, kelainan
l. Ekstremitas
Odema, infuse/transfuse, kontraktor, kelainan.
m. Kulit

xxii
Kebersihan kulit, turgor kulit, lesi, kelainan.
10. Pemeriksaan tumbuh kembang
1) Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
kejadian-kejadian penting; usia anak saat pertama kali mengangkat
kepala, berguling, duduk sendiri, berdiri, berjalan, berbicara/kata-kata
bermakna atau kalimat, gangguan mental perilaku.
2) Pelaksanaan pemeriksaan pertumbuhan
a. Pengukuran Berat badan
b. Pengukuran Tinggi badan
c. Pengukuran lingkar lengan atas
d. Pengukuran lingkar kepala
e. Kecepatan tumbuh
3) Pelaksanaan DDST
Berdasarkan hasil pengkajian melalui DDST (Denver Development
Screening Test) untuk umur 0 – 6 tahun perkembangan anak di atur
dalam 4 kelompok besar yang disebut sektor perkembangan yang
meliputi:
a. Kemandirian dan bergaul
Kemampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan orang lain
seperti:
1. Menatap muka
2. Membalas senyum pemeriksa
3. Tersenyum spontan
4. Mengamati tangannya
5. Berusaha menggapai mainan
6. Makan sendiri
7. Tepuk tangan
8. Menyatakan keinginan
9. Daag-daag dengan tangan
10. Main bola dengan pemeriksa
11. Menirukan kegiatan

xxiii
12. Minum dengan cangkir
13. Membantu di rumah
14. Menggunakan sendok dan garpu
15. Membuka pakaian
16. Menyuapi boneka
17. Memakai baju
18. Gosok gigi dengan bantuan
19. Cuci dan mengeringkan tangan
20. Menyebut nama teman
21. Memakai T-shirt
22. Berpakaian tanpa bantuan
23. Bermain ular tangga / kartu
24. Gosok gigi tanpa bantuan
25. Mengambil makan
b. Motorik halus
Kemampuan anak untuk menggunakan bagian tubuh tertentu dan
dilakukan oleh otot halus sehingga tidak perlu tenaga, namun
perlu koordinasi yang lebih kompleks seperti:
1. Mengikuti ke garis tengah
2. Mengikuti lewat garis tengah
3. Memegang icik-icik
4. Mengikuti 1800
5. Mengamati manik-manik
6. Tangan bersentuhan
7. Meraih
8. Mencari benang
9. Menggaruk manik-manik
10. Memindahkan kubus
11. Mengambil dua buah kubus
12. Memegang dengan ibu jari dan jari
13. Membenturkan 2 kubus

xxiv
14. Menaruh kubus di cangkir
15. Mencoret-coret
16. Ambil manik-manik ditunjukkan
17. Menara dari 2 kubus
18. Menara dari 4 kubus
19. Menara dari 6 kubus
20. Meniru garis vertikal
21. Menara dari kubus
22. Menggoyangkan dari ibu jari
23. Mencontoh O
24. Menggambar dengan 3 bagian
25. Mencontoh (titik)
26. Memilih garis yang lebih panjang
27. Mencontoh O yang ditunjukkan
28. Menggambar orang 6 bagian
29. Mencontoh O
c. Kognitif dan bahasa
Kemampuan mengungkapkan perasaan, keinginan, dan pendapat
melalui pengucapan kata-kata, kemampuan mengerti dan
memahami perkataan orang lain serta berfikir seperti:
1. Bereaksi
2. Bersuara
3. Oooo ? Aaaah
4. Tertawa
5. Berteriak
6. Menoleh ke bunyi icik-icik
7. Menoleh ke arah suara
8. Satu silabel
9. Meniru bunyi kata-kata
10. Papa/mama tidak spesifik
11. Kombinasi silabel

xxv
12. Mengoceh
13. Papa/mama spesifik
14. 1 kata
15. 2 kata
16. 3 kata
17. 6 kata
18. Menunjuk 2 gambar
19. Kombinasi kata
20. menyebut 1 gambar
21. Menyebut bagian badan
22. Menunjuk 4 gambar
23. Bicara dengan dimengerti
24. Menyebut 4 gambar
25. Mengetahui 2 kegiatan
26. Mengerti 2 kata sifat
27. Menyebut satu warna
28. Kegunaan 2 benda
29. Mengetahui
30. Bicara semua dimengerti
31. Mengerti 4 kata depan
32. Menyebut 4 warna
33. Mengartikan 6 kata
34. Mengetahui 3 kata sifat
35. Menghitung 6 kubus
36. Berlawanan 2
37. Mengartikan 7 kata.
d. Motorik kasar
Kemampuan anak untuk menggunakan dan melibatkan sebagian
besar bagian tubuh dan biasanya memerlukan tenaga seperti:
1. Gerakan seimbang.
2. Mengangkat kepala.

xxvi
3. Kepala terangkat ke atas.
4. Duduk kepala tegak.
5. Menumpu badan pada kaki.
6. Dada terangkat menumpu satu lengan.
7. Membalik.
8. Bangkit kepala tegak.
9. Duduk tanpa pegangan.
10. Berdiri tanpa pegangan.
11. Bangkit waktu berdiri.
12. Bangkit terus duduk.
13. Berdiri 2 detik.
14. Berdiri sendiri.
15. Membungkuk kemudian berdiri.
16. Berjalan dengan baik.
17. Berjalan dengan mundur.
18. Lari.
19. Berjalan naik tangga.
20. Menendang bola ke depan.
21. Melompat.
22. Melempar bola, lengan ke atas.
23. Loncat.
24. Berdiri satu kaki 1 detik.
25. Berdiri satu kaki 2 detik.
26. Melompat dengan satu kaki.
27. Berdiri satu kaki 3 detik.
28. Berdiri satu kaki 4 detik.
29. Berjalan tumit ke jari kaki.
30. Berdiri satu kaki 6 detik.
Jika usia > 6 tahun tanyakan tumbuh kembang secara umur
sebagai berikut:

xxvii
a. Berat badan lahir, 1 tahun, dan saat ini
b. Pertumbuhan gigi, usia gigi tumbuh, jumlah gigi, masalah
dengan pertumbuhan gigi
c. Usia saat mulai menegakkan kepala, duduk, berjalan, kata-
kata pertama
d. Perkembangan sekolah, lancer, masalah disekolah
e. Interaksi dengan publik dan orang dewasa
f. Partisipasi dengan kegiatan organisasi (kesenian,
olahraga,dsb)
4) Reaksi Hospitalisasi
a. Pengalaman keluarga tentang sakit dan rawat inap
Seperti: alasan ibu membawa anak ke rumah sakit, apakah dokter
menceritakan tentang kondisi anak, perasaan orang tua saat ini,
apakah orang tua selalu berkunjung ke rumah sakit, yang akan
selalu tinggal dan mendampingi anak.
b. Pemahaman anak tentang sakit dan rawat inap

II.2.2 Diagnosa Keperawatan


1. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan peningkatan
suhu lingkungan dan tubuh akibat fototerapi
2. Resiko ketidakseimbangan volume cairan tubuh berhubungan
dengan peningkatan IWL (insensible water loss) akibat fototerapi
dan kelemahan menyusui.
3. Resiko injury berhubungan dengan masuknya bilirubin dalam
jaringan otak.
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau
radiasi.

II.2.3 Intervensi Keperawatan


No Diagnosa Tujuan dan Intervensi Keperawatan
Keperawatan Kriteria Hasil

xxviii
(SDKI) (SLKI) (SIKI)
1 Ketidakefektifan Setelah dilakukan Konservasi integritas
termoregulasi tindakan keperawatan struktural
berhubungan selama 3 x 24 jam 1. Letakkan bayi dalam
dengan bayi tidak mengalami inkubator untuk
peningkatan instabilitas suhu mempertahankan
suhu dengan kriteria hasil: kestabilan suhu tubuh.
lingkungan dan 1. Suhu aksila 2. Ukur suhu aksila bayi
tubuh akibat 36,5 C – 37,5 secara teratur.
fototerapi C 3. Pantau tanda dan
2. Frekuensi gejala terjadinya
nafas 40-60 hipotermia seperti
kali per menit akral dingin,
3. Denyut peningkatan denyut
jantung 120- jantung, penurunan
180 kali per saturasi oksigen, pucat,
menit dan pengisian kapiler >
4. Warna kulit 3 detik.
bayi coklat 4. Pantau adanya
kemerahan hipertemi.
5. Akral hangat Konservasi Energi
Pengisian kapiler < 3 1. Minimalkan
detik kehilangan kalor
melalui proses
konduksi, konveksi,
evaporasi, dan radiasi.
2. Pantau suhu inkubator
dan lampu fototerapi.
3. Tutup kepala bayi
dengan topi untuk
menghindari

xxix
kehilangan panas
akibat radiasi.
4. Lakukan perawatan
bayi dalam inkubator
bukan radian warmer
karena radian warmer
terjadi kehilangan
panas karena radiasi,
konveksi, peningkatan
IWL pada bayi serta
menimbulkan
dehidrasi.
5. Tingkatkan pemberian
cairan.
Tingkatkan pemberian
ASI.

2. Resiko Setelah dilakukan Konservasi integritas


ketidakseimbangan tindakan keperawatan 3 struktural
volume cairan x 24 jam, menunjukkan 1. Monitor berat
berhubungan keseimbangan cairan badan
dengan dan elektrolit dengan 2. Monitor intake dan
peningkatan IWL kriteria hasil : output
(Insensible Water 1. Turgor kulit 3. Monitor pemberian
Loss) akibat elastis ASI.
fototerapi dan 2. Membran 4. Monitor serum
kelemahan mukosa lembab elektrolit
menyusui. 3. Intake cairan 5. Monitor serum

xxx
normal albumin dan
4. Perfusi jaringan protein total.
baik 6. Monitor tekanan
5. Urien tidak darah, frekuensi
pekat nadi, dan status
6. Tekana darah respirasi.
dalam batas 7. Monitor membran
normal (80/45 mukosa, turgor
mmHg) kulit.
7. Nadi dalam 8. Catat dan hitung
batas normal balance cairan.
(120- 9. Monitor warna dan
160x/menit) jumlah urin
8. Suhu dalam 10. Monitor ketat
batas normal cairan dan
(36,5-37,5ºC) elektrolit jika bayi
Mata tidak cekung. menjalani terapi
yang meningkatkan
IWL seperti
fototerapi,
pemakaian radiant
warmer.
Konservasi Energi
1. Lakukan upaya
untuk
meminimalkan
IWL seperti
penutup plastik
atau meningkatkan
kelembaban.
2. Monitor dan hitung

xxxi
kebutuhan cairan.
Kolaborasi dengan
dokter pemberian cairan
parenteral.
3 Resiko injury Setelah dilakukan Konservasi integritas
berhubungan Tindakan keperawatan struktural
dengan masuknya selama 3 x 24 jam bayi 1. Kaji kulit akan
bilirubin dalam tidakmemperlihatkan adanya tanda-tanda
jaringan otak. tanda peningkatan ikterik yang
tekanan intrakranial atau menandai
perdarahan peningkatan
intraventrikuler dengan bilirubin
kriteia hasil: 2. Pantau kadar
1. Suhu aksila bilirubin total,
36,5-37,5 C direk dan indirek
2. Tidak kejang 3. Lakukan penutupan
3. Bilirubin normal mata pada bayi
< 8 mg/dl 4. Kaji status umum
4. Tidak ikterus, bayi: hipoksia,
kulit merah hipotermi,
normal hipoglikemia dan
Toleransi minum baik asidosis metabolik
untuk
meningkatkan
resiko kerusakan
otak karena
hiperbilirubinemia
5. Tempatkan bayi
dibawah sinar
dengan jarak antara
lampu dengan bayi

xxxii
35-40 cm
6. Pantau suhu tubuh
7. Ubah posisi bayi
dengan sering
terutama selama
beberapa jam
pertama
pengobatan untuk
meningkatkan
pemajanan
permukaan tubuh.
Konservasi Energi
1. Kolaborasi dengan
dokter pemberian
terapi sinar blue
green
2. Pastikan masukan
cairan adekuat untuk
mencegah dehidrasi
3. Monitor pemberian
ASI.
4. Berikan makanan
awal untuk
meningkatkan
eksresi bilirubin
dalam feses
Konservasi integritas
sosial dan personal
Jelaskan kepada orang
tua untuk pemberian
terapi sinar kepada

xxxiii
bayinya.

4 Kerusakan Setelah dilakukan Pressure Management


integritas kulit tindakan keperawatan 1. Anjurkan pasien
berhubungan selama 3 x 24 jam untuk menggunakan
dengan jaundice diharapkan integritas pakaian yang
atau radiasi kulit kembali longgar
baik/normal dengan 2. Hindari kerutan pada
kriteia hasil: tempat tidur
1. Integritas kulit 3. Jaga kebersihan kulit
yang baik bisa agar tetap bersih dan
dipertahankan kering
2. Tidak ada 4. Mobilisasi pasien
luka/lesi pada setiap 2 jam sekali
kulit 5. Monitor kulit akan
3. Perfusi jaringan adanya kemerahan
baik 6. Monitor pemberian
4. Menunjukkan ASI secara adekuat
pemahaman 7. Oleskan lotion/
dalam proses minyak/ baby oil
perbaikan kulit pada daerah yang
dan mencegah tertekan
terjadinya cedera 8. Mandikan pasien
berulang dengan sabun dan air
5. Mampu hangat.
melindungi kulit
dan
mempertahanka
n kelembaban
kulit dan
perawatan alami.

xxxiv
II.2.4 Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah di susun pada tahap perencanaan (Setiadi,
2012). Implementasi keperawatan merupakan komponen dari proses
keperawatan, kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang
diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari
asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter & Perry, 2010)

Implementasi pada bayi dengan hiperbilirubin sesuai dengan


diagnosa yang telah di susun perencanaannya adalah sebagai
berikut:
1. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan
peningkatan suhu lingkungan dan tubuh akibat fototerapi.
Implementasinya adalah:
a. Meletakkan bayi dalam inkubator untuk mempertahankan
kestabilan suhu tubuh.
b. Mengukur suhu aksila bayi secara teratur
c. Memantau tanda dan gejala terjadinya hipotermia seperti
akral dingin, peningkatan denyut jantung, penurunan
saturasi oksigen, pucat, dan pengisian kapiler >3 detik
d. Memantau adanya hipertermi.
e. Memantau suhu incubator dan lampu fototerapi
f. Menutup kepala bayi dengan topi untuk menghindari
kehilangan panas akibat radiasi.
g. Meningkatkan pemberian cairan.
h. Meningkatkan pemberian ASI.
2. Resiko ketidakseimbangan volume cairan tubuh
berhubungan dengan peningkatan IWL (insensible water

xxxv
loss) akibat fototerapi dan kelemahan menyusi.
Implementasinya adalah:
a. Memonitor berat badan
b. Memonitor intake dan output
c. Memonitor pemberian ASI.
d. Memonitor serum elektrolit
e. Memonitor serum albumin dan protein total
f. Memonitor frekuensi nadi dan status respirasi
g. Memonitor membran mukosa, dan turgor kulit
h. Menghitung balance cairan
i. Memonitor warna dan jumlah urin
j. Memberikan cairan parenteral dengan kolaborasi dokter
3. Resiko injury berhubungan dengan masuknya bilirubin
dalam jaringan otak. Implementasinya adalah:
a. Mengkaji kulit akan adanya tanda-tanda ikterik yang
menandai peningkatan bilirubin
b. Memantau kadar bilirubin total, direk, dan indirek
c. Memonitor pemberian ASI.
d. Melakukan penutupan mata pada bayi
e. Mengkaji status umum bayi: hipoksia, hipotermi,
hipoglikemi, dan asidosis metabolic yang dapat
meningkatkan resiko kerusakan otak karena
hiperbilirubinemia
f. Menempatkan bayi dibawah sinar dengan jarak antara
lampu dan bayi 35-40 cm
g. Memantau suhu tubuh
h. Mengubah posisi bayi dengan sering terutama selama
beberapa jam pertama pengobatan untuk meningkatkan
pemajanan permukaan tubuh
i. Memberikan terapi sinar blue green dengan kolaborasi
dokter

xxxvi
j. Memberikan makanan awal untuk meningkatkan eksresi
bilirubin dalam feses
k. Memastikan masuknya cairan adekuat untuh mencegah
dehidrasi.
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice
atau radiasi. Implementasinya adalah:
a. Melonggarkan pakaian pasien
b. Menghindari adanya kerutan pada tempat tidur
c. Menjaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
d. Memobilisasi pasien setiap 2 jam sekali
e. Memonitor kulit akan adanya kemerahan
f. Memonitor pemberian ASI secara adekuat
g. Mengoleskan lotion/ minyak/ baby oil pada daerah yang
tertekan
h. Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat.

II.2.5 Evaluasi
Evaluasi adalah aspek penting proses keperawatan karena
kesimpulan yang ditarik dari evaluasi menentukan apakah
intervensi keperawatan harus diakhiri dilanjutkan, atau diubah
(Kozier, 2011). Evaluasi keperawatan ada dua macam yaitu:
1. Evaluasi formatif
Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses
keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi formatif
ini dilakukan segera setelah perawat mengimplementasikan
rencana keperawatan guna menilai keefektifan tindakan
keperawaatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi
formatif ini meliputi empat komponen yang dikenal dengan
istilah SOAP, yakni subjektif (data berupa keluhan klien),
objektif (data hasil pemeriksaan dan observasi), analisis data
(perbandingan data dengan teori), dan perencanaan.

xxxvii
2. Evaluasi sumatif
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah
semua aktivitas proses keperawatan selesai dilakukan. Evalusi
sumatif ini bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan
keperawatan yang telah diberikan. Metode yang dapat
digunakan pada evaluasi jenis ini adalah melakukan wawancara
pada akhir layanan, menanyakan respon klien dan keluarga
terkait layanan keperawatan, mengadakan pertemuan pada akhir
layanan.
Ada tiga kemungkinan hasil evaluasi yang terkait dengan
pencapaian tujuan keperawatan.

a. Tujuan tercapai jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan


standar yang telah ditentukan.
b. Tujuan tercapai sebagian atau klien masih dalam proses pencapaian
tujuan jika klien menunjukkan perubahan pada sebagian kriteria
yang telah ditetapkan.
c. Tujuan tidak tercapai jika klien hanya menunjukkan sedikit
perubahan dan tidak ada kemajauan sama sekali serta dapat timbul
masalah baru.

xxxviii
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Hiperbilirubinemia merupakan suatu kondisi bayi baru lahir dengan kadar
bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai
dengan ikterus, yang dikenal dengan ikterus neonatorum patologis.
Hiperbilirubimenia yang merupakan suatu keadaan meningkatnya kadar
bilirubin di dalam jaringan ekstravaskular, sehingga konjungtiva, kulit, dan
mukosa akan berwama kuning.

Penyebab dari hiperbilirubinemia terdapat beberapa faktor. Secara garis


besar, penyebab dari hiperbilirubinemia adalah: Produksi bilirubin yang
berlebihan, Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar, Gangguan
transportasi, Gangguan dalam ekskresi.

Dalam pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan


hiperbilirubinemia, hal – hal yang dikaji yaitu Identitas pasien: Pasien dan
penanggungjawab pasien, Riwayat kesehatan: Riwayat kesehatan keluarga;
ANC yang kurang baik, Kelahiran prematur; Apgar skor rendah, Riwayat
persalinan: Prenatal, Natal

Biasanya pada pasien anak dengan hiperbilirubinemia diagnosa


keperawatan yang muncul yaitu Ikterik neonatus b.d usia kurang dari 7 hari,
Ansietas b.d krisis situasional, Resiko gangguan integritas kulit b.d suhu
lingkungan yang ekstrem, Defisit pengetahuan (ikterik neonates) b.d kurang
terpapar informasi

III.2 Saran
Setelah membaca makalah ini, diharapkan para pembaca mengetahui serta
memahami konsep penyakit serta konsep asuhan keperawatan pada anak
dengan hiperbilirubinemia.

xxxix
Demikian sekiranya makalah ini kami buat. Apabila dalam penulisan isi dan
pembahasan terdapat banyaj kekurangan, kami mohon maaf. Semoga dengan
dibuatnya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

xl
DAFTAR PUSTAKA

Amna A. Ramdan 1, Nafina H. Refat2 & Amal A. Mobarak3. (2019). Assessment


of Nursing Practice Regarding Neonates with Hyperbilirubinemia. Assiut
Scientific Nursing Journal, 7(19), (52-60)
Robin L. Watson RN, MN, CCRN. (2009). Hyperbilirubinemia. Critical Care
Nursing Clinics of North America, 21(1), (97-120)
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Kamus versi online/daring (Dalam
Jaringan). di akses pada 12 Maret. 2023. https://kbbi.web.id/didik
Schwoebel, Ann RNC, MSN, CRNP; Gennaro, Susan DSN, RN, FAAN. (2006).
Neonatal Hyperbilirubinemia. The Journal of Perinatal & Neonatal
Nursing, 20(1), (103-107)
Zikri Ihsan. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Neonatus Dengan
Hiperbilirubinemia Di Ruang Perinatologi IRNA Kebidanan Dan Anak
RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017. Politeknik Kesehatan Kemenkes
Padang:  Padang.

xli

Anda mungkin juga menyukai