Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN HIPERBILIRUBIN

Makalah ini bertujuan untuk pemenuhan penugasan mata kuliah keperawatan


anak II

TINGKAT 3A

Kelompok 5:
1. Anisa Rahmawati (18003)
2. Devita Tania Revianti (18013)
3. Nerisa Arviana (18043)
4. Prilia Maharani Mustopa (18049)
5. Rini Ameliansyah (18056)
6. Shean Agatha Manullang (18062)

AKADEMI KEPERAWATAN HERMINA MANGGALA HUSADA


JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah yang maha kuasa, atas limpahan
nikmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang
“ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN HIPERBILIRUBIN”.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Anak II.
Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ns. Suryani Hartati, M.Kep.,Sp.Kep.Mat, selaku Direktur Akademi


Keperawatan Hermina Manggala Husada.
2. Ns. Ajeng Dwi Retnani, M.Kep.,Sp.Kep.An, selaku Koordinator mata
kuliah Keperawatan Anak II.
3. Ns. Metha Kemala, M.Kep.,Sp.Kep.An dan Ns. Ajeng Dwi Retnani,
M.Kep.,Sp.Kep.An, selaku Dosen Pengampu mata kuliah Keperawatan
Anak II.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, baik
dari segi penyusunan, bahasa, ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik yang membangun, khususnya dari koordinator dan dosen
mata kuliah Keperawatan Anak II guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman
kami untuk lebih baik di masa yang akan datang.

Jakarta, 11 Maret 2021

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 1
1.3 Tujuan ............................................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN TEORI ......................................................................................... 3
2.1 Pengertian Hiperbilirubin ............................................................................. 3
2.2 Faktor Risiko Hiperbilirubin ........................................................................ 3
2.3 Etiologi Hiperbilirubin .................................................................................. 4
2.4 Klasifikasi Hiperbilirubin.............................................................................. 5
2.5 Patofisiologi Hiperbilirubin ........................................................................... 6
2.6 Manifestasi Klinis Hiperbilirubin ................................................................. 7
2.7 Pemeriksaan Penunjang Hiperbilirubin ....................................................... 8
2.8 Penatalaksanaan Medis Hiperbilirubin ........................................................ 9
2.9 Penatalaksanaan Keperawatan Hiperbilirubin .......................................... 11
2.10 Komplikasi Hiperbilirubin .......................................................................... 11
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN ....................................................................... 12
3.1 Pengkajian Keperawatan ............................................................................ 12
3.2 Diagnosa Keperawatan ................................................................................ 13
3.3 Intervensi Keperawatan .............................................................................. 13
3.4 Implementasi Keperawatan ......................................................................... 16
3.5 Evaluasi Keperawatan ................................................................................. 17
BAB IV PENUTUP ..................................................................................................... 20
4.1 Kesimpulan .................................................................................................. 20
4.2 Saran ............................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hiperbilirubin adalah kejadian yang banyak menimpa bayi di seluruh
dunia dan biasanya tidak berbahaya. Meski demikian, kadar bilirubin yang
terlalu tinggi dapat meracuni bayi sehingga mereka akan perlu terus
diawasi agar kondisinya tidak semakin parah. Meski jarang terjadi,
hiperbilirubinemia yang tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan
kompikasi berupa kerusakan otak pada bayi atau kernikterus
Hiperbilirubinemia terjadi ketika kadar bilirubin dalam darah bayi terlalu
tinggi. Bilirubin adalah zat limbah yang terbentuk dari proses pemecahan
sel darah merah. Kondisi ini dapat disebabkan proses fisiologis, patologis,
atau kombinasi keduanya. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat
berwarna kuning.

1.2 Rumusan Masalah


A. Apa pengertian dari hiperbilirubin?
B. Apa saja faktor risiko dari hiperbilirubin?
C. Apa etiologi dari hiperbilirubin?
D. Apa saja klasifikasi dari hiperbilirubin?
E. Bagaimana patofisiologi dari hiperbilirubin?
F. Apa saja manifestasi klinis dari hiperbilirubin?
G. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk mendeteksi hiperbilirubin?
H. Bagaimana penatalaksanaan medis dari hiperbilirubin?
I. Bagaimana penatalaksanaan keperawatan dari hiperbilirubin?
J. Apa saja komplikasi dari hiperbilirubin?

1.3 Tujuan
A. Mahasiwa dapat memahami pengertian dari hiperbilirubin.
B. Mahasiwa dapat memahami apa saja faktor risiko dari hiperbilirubin.

1
C. Mahasiwa dapat memahami apa etiologi dari hiperbilirubin.
D. Mahasiwa dapat memahami apa saja klasifikasi dari hiperbilirubin.
E. Mahasiwa dapat memahami bagaimana patofisiologi dari
hiperbilirubin.
F. Mahasiwa dapat memahami apa saja manifestasi klinis dari
hiperbilirubin.
G. Mahasiwa dapat memahami apa saja pemeriksaan penunjang untuk
mendeteksi hiperbilirubin.
H. Mahasiwa dapat memahami Bagaimana penatalaksanaan medis dari
hiperbilirubin.
I. Mahasiwa dapat memahami bagaimana penatalaksanaan keperawatan
dari hiperbilirubin.
J. Mahasiwa dapat memahami apa saja komplikasi dari hiperbilirubin.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Hiperbilirubin


Hiperbilirubin merupakan keadaan bayi baru lahir, dimana kadar bilirubin
serum total lebih dari 10 mg/dl pada minggu pertama yang ditandai berupa
warna kekuningan pada bayi atau di sebut dengan ikterus. keadaan ini
terjadi pada bayi baru lahir yang sering disebut ikterus neonatarum yang
bersifat patologis atau yang lebih dikenal dengan hiperbilirubinemia.
Hiperbilirubinemia merupakan suatu keadaan meningkatnya kadar
bilirubin dalam jaringan ekstravaskuler sehingga konjungtiva, kulit, dan
mukosa akan berwarna kuning. Keadaan tersebut yang berpotensi
menyebabkan kern ikterus yang merupakan kerusakaan otak akibat
perlengketan bilirubin indirek di otak (Hidayat, 2005).
Hiperbilirubinemia adalah suatu istilah yang mengacu terhadap kelainan
akumulasi bilirubin dalam darah. Karakteristik dari hiperbilirubinemia
adalah jaundice dan ikterus (Wong, 2007).
Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma Bilirubin 2
standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan Berdasarkan umur
bayi atau lebih dari 90%. Ikterus neonatarum adalah Keadaan klinis pada
bayi yang ditandai pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat
akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus akan secara
klinis tanpak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin dalam darah 5-
6mg/dl (Soleh, 2010).

2.2 Faktor Risiko Hiperbilirubin


American Academic of Pediatric (AAP) mengelompokkan faktor resiko
menjadi 3 kelompok:
A. Risiko Mayor
1) Kadar TSB/TCB pada zona / daerah risiko tinggi
2) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama.
3) Usia kehamilan 35-36 minggu

3
4) Saudara sebelumnya mendapat terapi sama.
5) Sefalhematom atau memar hebat.
6) ASI eksklusif, terutaa bila perawatan tak baik dan terjadi
penurunan berat badan.
7) Ras Asia Timur
B. Risiko Minor
1) Bayi laki-laki
2) Usia ibu ≥ 25 tahun
3) Bayi makrosomia dari ibu DM
4) Saudara sekandung sebelumnya ikterus
5) Usia kehamilan 37-38 minggu.
6) Kadar TSB/TCB pada “area high intermediate risk”
C. Faktor Risiko yang Menurun (lemah)
1) Kadar TSB/TCB pada tingkat area zona low risk.
2) Kahamilan ≥ 41 minggu
3) PASI/ formula
4) Ras kulit hitam
5) Pulang dari RS setelah usia 3 hari.

2.3 Etiologi Hiperbilirubin


Menurut Price (2005) pembentukan bilirubin yang berlebih atau
hiperbilirubinemia disebabkan Peningkatan hemolitik atau peningkatan
laju destruksi eritrosit yang merupakan penyebab tersering dari
pembentukan bilirubin yang berlebih.Ikterus yang sering timbul disebut
sebagai ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu
berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui
kemampuan hati. Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin tak
terkonjugasi dalam darah. Meskipun demikian, pada penderita hemolitik
berat, kadar bilirubin serum jarang melebihi 5 mg/dl dan ikterus yang
timbul bersifat ringan serta bersifat kuning pucat. Bilirubin tak
terkonjugasi tidak larut dalam air, sehingga tidak dapat diekskresikan
melalui urine dan tidak terjadi bilirubinuria.Namun demikian terjadi

4
peningkatan pembentukan urobilinogen (akibat peningkatan beban
bilirubin terhadap hati dan akibat peningkatan beban bilirubin terhadap
hati dan peningkatan konjugasi serta ekskresi), yang selanjutnya
mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam feses dan urine. Urine dan
feses akan berwarna lebih gelap.

2.4 Klasifikasi Hiperbilirubin


Hiperbilirubin atau ikterus terbagi atas:
1. Ikterus Prehepatik
Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis
sel darah merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan konjugasi
terbatas terutama pada disfungsi hati sehingga menyebabkan kenaikan
bilirubin yang tidak terkonjugasi.
2. Ikterus Hepatic
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat
kerusakan hati maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi
masuk kedalam hati serta gangguan akibat konjugasi bilirubin yang
tidak sempurna dikeluarkan kedalam doktus hepatikus karena terjadi
retensi dan regurgitasi.
3. Ikterus Kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga empedu
dan bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan kedalam usus halus.
Akibatnya adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum dan
bilirubin dalam urin, tetapi tidak didapatkan urobilirubin dalam tinja
dan urin.
4. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan
ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak
melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi
menjadi “Kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada
bayi. Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis

5
atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubin. Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis.
5. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia
Disebabkan oleh suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin
dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk
menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau
mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Ikterus terjadi
24 jam pertama Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar
bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg% pada bayi
kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
6. Kern Ikterus
Disebabkan oleh kerusakan otak akibat pelengketan bilirubin indirek
pada otak terutama pada korpus striatum, thalamus, nucleus
subtalamus. Hipokampus, nucleus merah, dan nucleus pada dasar
ventrikulus IV. Kern ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya
ditemukan pada neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin
lebih dari 20 mg%) dan disertai penyakit hemolitik berat dan pada
autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak. Kern ikterus secara
klinis berbentuk kelainan syaraf simpatis yang terjadi secara kronik.

2.5 Patofisiologi Hiperbilirubin


Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Keadaan yang sering ditemukan adalah apabila terjadi penambahan beban
bilirubin pada sel hepar yang berlebihan hal ini dapat ditemukan bila
terjadi peningkatan penghancuran eritrosit, polistemia (Maryanti 2011).
Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah
rusak. Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar
dengan cara berikatan dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi)
kemudian diekskresikan melalui traktus gastrointestinal. Bayi memiliki
usus yang belum sempurna, karna belum terdapat bakteri pemecah,
sehingga pemecahan bilirubin tidak berhasil dan menjadi bilirubin indirek

6
yang kemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin terus
bersirkulasi (Atika dan Jaya, 2016).
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar
protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain
yang memperhatikan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami
gangguan ekskresi, misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat
tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas terutama ditemukan ada bilirubin indirek yang bersifat sukar
larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak, sifat ini memungkinkan efek
patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus darah otak.
Kelainan yang terjadi pada otak disebut kernikterus, pada umumnya
dianggap bahwa kelainan dalam syaraf pusat tersebut mungkin akan
timbul apabila kadar bilirubin melewati darah otak ternyata tidak hanya
tergantung pada kenyataan neonatus, bilirubin indirek akan mudah
melewati darah otak apabila bayi terdapat keadaan berat badan lahir
rendah,hipoksia, dan hipoglikemia (Maryanti 2011).
Warna kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen bilirubin yang
larut lemak, tak terkonjugasi, non polar (bereaksi indirek). Pada bayi
dengan hiperbilirubinemia kemungkinan merupakan hasil dari defisiensi
atau tidak aktifnya glukoronil transferase. Rendahnya pengambilan dalam
hepatik kemungkinan karena penurunan protein hepatik sejalan dengan
penurunan darah hepatik (Suriadi dan Yuliani 2010)

2.6 Manifestasi Klinis Hiperbilirubin


1. Tampak ikterus atau kekuningan pada sclera, kuku atau kulit dan
membrane mukosa.
2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh
penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan
diabetic atau infeksi.

7
3. Jaundice tampak pada hari kedua atau ketiga, dan mencapai puncak
pada hari ketiga sampai hari keempat dan menurun pada hari kelima
sampai hari ketujuh yang biasanya jaudince fisiologis.
4. Muntah, anoreksia, fatigue, warna urin gelap dan tinja pucat seperti
dempul.
5. Dampak permulaan tidak jelas tampak mata berputar-putar.
6. Perut membuncit, pembesaran pada hati.
7. Letargik (lemas), kejang.
8. Nafsu makan berkurang
9. Reflek hisap menghilang (Maryanti, 2011).

Menurut Ridha (2014) bayi baru lahir dikatakan mengalami


hiperbilirubinemia apabila tampak tanda-tanda sebagai berikut :

A. Sklera, selaput lendir, kulit atau organ lain tampak kuning akibat
penumpukan bilirubin.
B. Terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.
C. Peningkatan konsentasi bilirubin 5mg/dL atau lebih setelah 24 jam.
D. Konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dL pada neonatus cukup bulan
dan 12,5 mg/dL pada neonatus kurang bulan.
E. Ikterik yang disertai proses hemolisis.
F. Ikterik yang disertai berat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa
gestasi kurang dari 36 minggu, hipoksia, sindrom gangguan.

2.7 Pemeriksaan Penunjang Hiperbilirubin


Pemeriksaan penunjang yang perlukan adalah (Huda, 2015) :
A. Kadar bilirubin serum (total). Kadar bilirubin serum direk dianjurkan
untuk diperiksa, bila dijumpai bayi kuning dengan usia kurang lebih
dari 10 hari dan tau dicurigai adanya suatu kolestatis.
B. Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat
morfologi eritrosit dan hitumg retikulosit
C. Penentuan golongan darah dan factor Rh dari ibu dan bayi. Bayi yang
berasal dari ibu dengan Rh negative harus dilakukan pemeriksaan

8
golongan darah, faktor Rh uji coombs pada saat bayi dilahirkan, kadar
hemoglobin dan bilirubin tali pusat juga diperiksa (Normal bila Hb
>14mg/dl dan bilirubin Tali Pusat , < 4 mg/dl ).
D. Pemeriksaan enzim G-6-PD (glukuronil transferase )
E. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah,
dan pemeriksaan C reaktif protein (CRP).

2.8 Penatalaksanaan Medis Hiperbilirubin


Penatalaksanaan medis pada ikterik neonatus menurut (Marmi , 2015):
A. Mempercepat metabolisme dan pengeluaran bilirubin
1. Menyusui bayi dengan ASI, bilirubin dapat pecah jika bayi banyak
mengeluarkan feses dan urine, untuk itu bayi harus mendapatkan
cukup ASI. Seperti yang diketahui ASi memiliki zat zat terbaik
yang dapat memperlancar BAB dan BAK
2. Pemberian fenobarbital, fenobarbital berfungsi untuk mengadakan
induksi enzim mikrosoma, sehingga konjungsi bilirubin
berlangsung dengan cepat
B. Fototerapi
Fototerapi diberikan jika kadar bilirubin dari suatu senyawa tetrapirol
yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut
dalam air, dan dikeluarkan melalui urine, tinja, sehingga kadar
bilirubin menurun.
1. Cara Kerja Fototerapi
Foto terapi dapat menimbulkan dekomposisi bilirubin dari suatu
senyawa tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa
dipirol yang mudah larut dalam air dan cairan empedu duodenum
dan menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu
kedalam usus sehingga peristaltic usus menngkat dan bilirubin
akan keluar dalam feses.
2. Komplikasi Fototerapi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada fototerapi adalah:

9
a) Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan
mengakibatkan peningkatan Insensible Water Loss (penguapan
cairan). Pada BBLR kehilangan cairan dapat meningkat 2-3
kali lebih besar.
b) Frekuensi defekasi meningkat sebagai akibat meningkatnya
bilirubin indirek dalam cairan empedu dan meningkatkan
peristaltic usus.
c) Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena
sinar (berupa kulit kemerahan) tetapi akan hilang jika fototerapi
selesai.
d) Gangguan pada retina jika mata tidak ditutup.
e) Kenaikan suhu akibat sinar lampu, jika hal ini terjadi sebagian
lampu dimatikan, tetapi diteruskan dan jika suhu terus naik,
lampu semua dimatikan sementara, dan berikan ekstra minum
kepada bayi.
C. Transfusi Tukar
Transfusi Tukar dilakukan pada keadaan hyperbilirubinemia yang
tidak dapat diatasi dengan tindakan lain, misalnya telah diberikan
fototerapi kadar bilirubin tetap tinggi. Pada umumnya transfuse tukar
dildisebabkan hemolisis yang terdapat pada ketidakselarasan rhesus
ABO, defisiensi enzim glukuronil transferase G-6-PD, infeksi
toksoplasmosis dan sebagainya. Indikasi untuk melakukan transfusi
tukar adalah kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg%, peningkatan
kadar bilirubin indirek cepat yaitu 0,3-1 mg% per-jam, anemia berat
pada neunatus dengan gejala gagal jantung, bayi dengan kadar
hemoglobin tali pusat kurang dari 14 mg% dan uji comb positif.
Tujuan transfuse tukar adalah mengganti ertitrosit yang dapat menjadi
hemolisis, membuang antibody yang menyebabkan hemolisis,
menurunkan kadar bilirubin indirek dan memperbaiki anemia.

10
2.9 Penatalaksanaan Keperawatan Hiperbilirubin
1. Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) pada waktu hamil,
mencegah trauma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru
lahir yang dapat menimbulkan ikterus, infeksi dan dehidrasi.
2. Pemberian ASI atau makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori
yang sesuai dengan kebutuhan bayi baru lahir.
3. Imunisasi yang cukup baik di tempat bayi dirawat.

Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan


Hiperbilirubin diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari
Hiperbilirubin. Pengobatan mempunyai tujuan :

- Menghilangkan Anemia
- Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
- Meningkatkan Badan Serum Albumin
- Menurunkan Serum Bilirubin

2.10 Komplikasi Hiperbilirubin


Hiperbilirubin pada bayi baru lahir apabila tidak segera diatasi dapat
mengakibatkan bilirubin encephalopathy (komplikasi serius). Pada
keadaan lebih fatal, hiperbilirubinemia pada neonatus 20 dapat
menyebabkan kern ikterus, yaitu kerusakan neurologis, cerebral palsy, dan
dapat menyebabkan retardasi mental, hiperaktivitas, bicara lambat, tidak
dapat mengoordinasikan otot dengan baik, serta tangisan yang melengking
(Suriadi dan Yuliani, 2010).

11
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian Keperawatan


1. Pengkajian
a. Aktivitas / istirahat
Letargi, malas.
b. Sirkulasi
 Mungkin pucat, menandakan anemia.
 Bertempat tinggal di atas ketinggian 5000 ft.
c. Eliminasi
 Bising usus hipoaktif.
 Pasase mekonium mungkin lambat.
 Feses mungkin lunak / coklat kehijauan selama pengeluaran
bilirubin.
 Urin gelap pekat; hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
d. Makanan / cairan
 Riwayat pelambatan / makan oral buruk, lebih mungkin
disusui disusui botol.
 Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran limpa,
hepar.
e. Neurosensori
 Sefalhematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua
tulang parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran /
kelahiran ekstraksi vakum.
 Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis
mungkin ada dengan inkompatibilitas Rh berat.
 Kehilangan refleks Moro mungkin terlihat.
 Opistotonus dengan kekakuan lengkung punggung, fontanel
menonjol, menangis lirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
f. Pernapasan

12
 Riwayat asfiksia.
 Krekel, mukus bercak merah muda (edema pleural, hemoragi
pulmonal).
g. Keamanan
 Riwayat positif infeksi / sepsis neonatus.
 Dapat mengalami ekimosis berlebihan, petekie, perdarahan
intrakranial.
 Dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah dan pada
bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi
bronze) sebagai efek samping fototerapi.
h. Seksualitas
 Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi
dengan retardasi growth intrauterus (IUGR), atau bayi besar
usia gestasi (LGA), seperti bayi dengan ibu diabetes.
 Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stres dingin,
asfiksia, hipoksia, asidosis, hipoglikemia, hipoproteinemia.
 Terjadi lebih sering pada pria atau wanita-wanita.

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Ikterik Neonatus berhubungan dengan Usia kurang dari 7 hari,
kesulitan transisi ke kehidupan ekstra uterin
2. Hipotermia berhubungan dengan Kekurangan lemak subkutan,
Transfer panas
3. Risiko Hipovolemia dibuktikan dengan Gangguan absorbsi cairan,
Evaporasi
4. Risiko Gangguan Integritas Kulit dibuktikan dengan Terapi radiasi,
Perubahan pigmentasi
3.3 Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil

1. Ikterik Setelah dilakukan 1. Monitor ikterik pada

13
Neonatus b.d tindakan keperawatan sklera dan kulit bayi
Usia kurang selama 3 x 24 jam 2. Siapkan lampu
dari 7 hari, diharapkan integritas fototerapi dan
kesulitan kulit dan jaringan ikubator
transisi ke meningkat dengan 3. Lepaskan pakaian
kehidupan kriteria hasil : bayi dan popok
ekstra uterin 4. Berikan penutup
1. Pigmentasi
mata pada bayi)
abnormal
5. Ukur jarak antara
menurun
lampu dan
2. Kerusakan
permukaan kulit
lapisan kulit
bayi
menurun
6. Biarkan tubuh bayi
3. Tekstur
terpapar sinat
membaik
fototerapi
7. Anjurkan ibu
menyusui sekitar
20-30 menit
8. Anjurkan ibu
menyusui sesering
mungkin
9. Kolaborasi
pemeriksaan darah
vena bilirubin direk
dan indirek
2. Hipotermia b.d Setelah dilakukan 1. Monitor suhu tubuh
Kekurangan tindakan keperawatan 2. Monitor tanda dan
lemak selama 3 x 24 jam gejala anemia
subkutan, diharapkan 3. Sediakan
Transfer panas termoregulasi lingkungan yang
neonatus membaik hangat (inkubator)
dengan kriteria hasil : 4. Lakukan

14
1. Suhu tubuh penghangatan aktif
meningkat eksternal (metode
2. Menggigil kangguru)
menurun
3. Frekuensi nadi
meningkat
3. Risiko Setelah dilakukan 1. Periksa tanda dan
Hipovolemia tindakan keperawatan gejala hipovolemia
d.d Gangguan selama 3 x 24 jam 2. Monitor intake dan
absorpsi cairan, diharapkan status output cairan
Evaporasi caoran membaik 3. Monitor berat badan
dengan kriteria hasil : bayi
4. Hitung kebutuhan
1. Membran
cairan
mukosa
5. Anjurkan
membaik
memperbanyak
2. Berat badan
cairan oral
membaik
6. Kolaborasi
3. Turgor kulit
pemberian cairan IV
meningkat
4. Risiko Setelah dilakukan 1. Identifikasi
Gangguan tindakan keperawatan penyebab gangguan
Integritas Kulit selama 3 x 24 jam intergritas kulit
d.d Terapi diharapkan integritas 2. Ubah posisi setiap 2
radiasi, kulit meningkat jam sekali selama
Perubahan dengan kriteria hasil : fototherapi
pigmentasi 3. Gunakan produk
1. Kerusakan
berbahan
lapisan kulit
ringan/alami dan
menurun
hipoalergik pada
2. Pigmentasi
kulit sensitif
abnormal
4. Anjurkan ibu
menurun

15
3. Tekstur menyusui sesering
membaik mungkin

3.4 Implementasi Keperawatan

No Hari, Diagnosa Implementasi TTD


Tanggal, Keperawatan
Jam

1 Ikterik Neonatus 1. Memonitor ikterik pada


b.d Usia kurang sklera dan kulit bayi
dari 7 hari, 2. Menyiapkan lampu fototerapi
kesulitan transisi dan ikubator
ke kehidupan 3. Melepaskan pakaian bayi dan
ekstra uterin popok
4. Memberikan penutup mata
pada bayi)
5. Mengkur jarak antara lampu
dan permukaan kulit bayi
6. Membiarkan tubuh bayi
terpapar sinat fototerapi
7. Menganjurkan ibu menyusui
sekitar 20-30 menit
8. Menganjurkan ibu menyusui
sesering mungkin
9. Kolaborasi pemeriksaan
darah vena bilirubin direk
dan indirek
2 Hipotermia b.d 1. Memonitor suhu tubuh
Kekurangan 2. Memonitor tanda dan gejala
lemak subkutan, anemia
Transfer panas 3. Menyediakan lingkungan
yang hangat (inkubator)

16
4. Melakukan penghangatan
aktif eksternal (metode
kangguru)
Risiko 1. Memeriksa tanda dan gejala
Hipovolemia d.d hipovolemia
Gangguan 2. Memonitor intake dan output
absorpsi cairan, cairan
Evaporasi 3. Memonitor berat badan bayi
4. Menghitung kebutuhan
cairan
5. Menganjurkan
memperbanyak cairan oral
6. Kolaborasi pemberian cairan
IV
4 Risiko Gangguan 1. Mengidentifikasi penyebab
Integritas Kulit gangguan intergritas kulit
d.d Terapi 2. Mengubah posisi setiap 2
radiasi, jam sekali selama fototherapi
Perubahan 3. Menggunakan produk
pigmentasi berbahan ringan/alami dan
hipoalergik pada kulit sensitif
4. Mengnjurkan ibu menyusui
sesering mungkin

3.5 Evaluasi Keperawatan


No. Diagnosa Keperawatan Evaluasi Keperawatan

1. Ikterik Neonatus b.d Usia S : Ibu mengatakan kulit bayu


kurang dari 7 hari, kesulitan sudah tidak kuning lagi
transisi ke kehidupan ekstra
O : Kuning pada kulit sudah tidak
uterin
ditemukan, kulit bayi terlihat
membaik dan turgor kulit elastis

17
A : Masalah ikterik neonatus
teratasi

P : Intervensi dihentikan

2. Hipotermia b.d Kekurangan S : Ibu mengatakan suhu tubuh


lemak subkutan, Transfer panas bayi sudah meningkat dan bayi
tidak menggigil

O : Suhu tubuh normal (36,5 –


370C)

A : Masalah hipotermia teratasi

P : Intervensi dihentikan

3. Risiko Hipovolemia d.d S : Ibu mengatakan bayi sudah


Gangguan absorpsi cairan, aktif menyusui
Evaporasi
O : Turgor kulit elastis dan
mukosa lembab

A : Masalah risiko hipovolemia


teratasi

P : Intervensi dihentikan

4. Risiko Gangguan Integritas S : Ibu mengatakan sudah tidak


Kulit d.d Terapi radiasi, terlihat adanya ruam atau luka
Perubahan pigmentasi lecet pada bayi

O : Turgor kulit elastis,


kelembaban kulit bayi baik dan
tidak terlihat adanya luka lecet
atau ruam pada bayi

A : Masalah risiko gangguan


integritas kulit teratasi

18
P : Intervensi dihentikan

19
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Hiperbilirubinemia merupakan peningkatan kadar plasma Bilirubin dengan
yang ditandai pewarnaan ikterus (kekuningan) pada kulit dan sklera. Pada
keadaan lebih fatal, hiperbilirubinemia pada neonatus 20 dapat
menyebabkan kerusakan neurologis, cerebral palsy, dan retardasi mental,
hiperaktivitas, bicara lambat, tidak dapat mengoordinasikan otot dengan
baik, serta tangisan yang melengking.
4.2 Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan hendaknya kita memahami apa itu
hiperbilirubin dan dapat melakukan asuhan keperawatan pada anak dengan
hiperbilirubin sesuai dengan proses keperawatan dan standar operasional
prosedur (SOP) yang berlaku.

20
DAFTAR PUSTAKA

Atika, Vidia dan Pongki Jaya. 2016. Asuhan kebidanan pada Neonatus, Bayi,
Balita dan Anak Pra Sekolah. Jakarta : Trans Info Media.
Kementrian Kesehatan. 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Maryanti, dkk. 2011. Buku Ajar Neonatus Bayi dan Balita. Jakarta : Penerbit
Trans Info Media.
Sukadi A. 2010. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A,
penyunting. Buku Ajar Neonatologi (Edisi Ke-1). Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2010; p. 147-53. 12.
Supriyantoro. 2014. Profil Kesehatan Indonesia 2013. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI.
Suriadi, Yuliani Rita. 2010. Asuhan Keperawatan pada Anak Edisi 2. Jakarta :
CV. Sagung Seto.

Tim Pokja. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan


Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan


Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

21

Anda mungkin juga menyukai