Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis ucapkan Kehadirat Allah SWT, yang telah


memberikan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Studi Kasus yang berjudul
Asuhan Keperawatan Pada Pasien DenganHiperbilirubin Di Ruang Perinatologi
RSUD. Pariaman Tahun 2015 dengan
baik.Shalawat dan salam penulis mohonkan kepada Allah SWT
untuk disampaikan kepadanabi Muhammad SAW yang
telah memberikan suri tauladan bagi manusia untukkeselamatan di dunia dan akhirat.
Dalam menyelesaikan Studi Kasus ini penulis banyak mendapatkan masukan,
bantuan, dukungan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, untuk itu dengan
segala kerendahan hati dan penuh penghargaan penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Ibuk Ns.Hidayatul Hasni, S.Kep selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan
waktu dan memberikan arahan serta masukan untuk penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan Asuhan keperawatan ini.
2. Bapak Ns. Zulham Efendi,M.kep Ketua Prodi S1 Keperawatan STIKes
MERCUBAKTIJAYA Padang.

3. Ibu Hj. Elmiyasna K, S.Kp.MM, Ketua STIKes MERCUBAKTIJAYA Padang.


4. Bapak Jasmarizal S.kp. M Mars, selaku Ketua Yayasan STIkes MERCUBAKTIJAYA
Padang.
5. Bapak dan Ibu dosen yang telah banyak memberikan ilmu yang sangat bermanfaat
bagi penulis.
Kepada Allah SWT, peneliti mohon doa semoga segala bantuan dan partisipasi
dari berbagai pihak mendapat balasan yang berlipat ganda. Amin Ya Rabbalalamin.
Akhir kata semoga askep ini lebih sempurna, dapat diterima dan bermanfaat
bagi kita semua.

Padang, Mei 2015


Penulis

DAFTAR ISI
LEMBARAN PERSETUJUAN
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI .iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Tujuan.....................3
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep dasar
1. Pengertian...5
2. Etiologi...6
3. Anatomi Fisiologi ...7
4. Patofisiologi dan WOC..9
5. Manifestasi Klinis.10
6. Klasifikasi.11
7. Penatalaksanaan12
8. Komplikasi13
9. Pemeriksaan Diagnostik...13

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


1. Pengkajian................16
2. Diagnosa Keperawatan 18
3. Intervensi Keperawatan...............................................................19
4. Implementasi dan Evaluasi..22

BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan.39
B. Saran..40
DAFTAR PUSTAK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka kematian bayi (AKB) dapat didefinisikan sebagai banyaknya yang meninggal
sebelum usia 1 tahun yang dinyatakan dalam 1.000 kelahiran hidup pada tahun yang sama.
AKB merupakan indikator yang biasanya digunakan untuk menentukan derajat kesehatan
masyarakat (SDKI, 2011).
Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi, dilihat dari sisi penyebabnya
kematian bayi ada dua macam yaitu endogen dan eksogen. Faktor yang dapat dikaitkan
dengan kematian bayi endogen dan eksogen adalah kematian endogen atau yang umum
disebut kematian neonatal adalah kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah
dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir yang
diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan. Sedangkan
kematian eksogen atau kematian postnatal adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia 1
bulan sampai menjelang usia 1 tahun yang disebabkan faktor-faktor yang bertalian dengan
pengaruh lingkungan luar akibat dari kurangnya pengetahuan orang tua dalam merawat
bayinya (Depkes, 2007).
Menurut WHO 2009 angka kematian bayi di Negara tetangga tahun 2007 seperti
singapura 3% per 1.000 kelahiran hidup, Malaysia 6,5% per 1.000 kelahiran hidup, Thailand
17% per 1.000 kelahiran hidup, Vietnam 18% per 1.000 kelahiran hidup dan philipina 26%
per 1.000 kelahiran hidup sedangkan angka kematian bayi di Indonesia cukup tinggi yakni
46,5% per 1.000 kelahiran hidup (Depkes, 2011).
Ikterus merupakan salah satu fenomena yang sering ditemukan pada bayi baru lahir,
kejadian ikterus pada bayi baru lahir berkisar antara 25-50% pada bayi cukup bulan 80%
pada bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan
sebagian bersifat patologis (hiperbilirubinemia) yang dapat menimbulkan dampak yang buruk
(SDKI, 2011). Dampak buruk yang diderita bayi seperti : kulit berwarna kuning sampai
jingga, klien tampak lemah, urine menjadi berwarna gelap sampai berwarna coklat dan
apabila penyakit ini tidak ditangani dengan segera maka akan menimbulkan dampak yang
lebih buruk lagi yaitu kernicterus (kerusakan pada otak) yang ditandai dengan bayi tidak mau
menghisap, letargi, gerakan tidak menentu, kejang, tonus otot kaku, leher kaku (Suriadi,
2006).
Peran perawat dalam keperawatan ini sebagai innovator, fasilitator dan pendidik dan
sebagai pemberi pelayanan kesehatan yang sangat dibutuhkan dalam melakukan asuhan
keperawatan kepada klien secara menyeluruh baik biologis, psikologis, social, budaya dan
spiritual yang meliputi beberapa aspek antara lain aspek promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif. Dari aspek promotif adalah dimana perawat berperan sebagai promotor
kesehatan yang perlu memberikan informasi ataupun pendidikan kesehatan tentang
pentingnya hidup sehat dan melakukan pemeriksaan kandungan secara rutin. Perawat sebagai
aspek preventif adalah menganjurkan kepada ibu hamil untuk berhati-hati terhadap
penggunaan obat-obatan dan pemenuhan gizi yang baik untuk bayi. Aspek kuratif perawat
berkolaborasi dalam pemberian terapi (fototherapi,transfuse pengganti, infus albumin dan
therapy obat). Peran perawat sebagai rehabilitatif adalah perawat mengembalikan kondisi
klien setelah mengalami penurunan kadar bilirubin dan menginformasikan kepada ibu
Peran perawat sangatlah penting pada kasus ini. Peran perawat sangat berguna untuk
memberikan asuhan keperawatan dan kode etik dalam menangani pasien dengan diagnosa
hiperbilirubin. Pada kenyataannya kita lihat dilapangan banyak pasien hiperbilirubin yang
pemberian asuhan keperawatan yang kurang maksimal, contohnya pada fototerapi,
seharusnya mempunyai kontrol atau pengawasan, tetapi banyak perawat yang lalai dalam hal
tersebut. Pada saat pengkajian ditemukan tiga dari sepuluh bayi yang di rawat inap
perinatology dengan diagnosa ikterus neonatum, dimana ketiga bayi tersebut sedang di
fototerapi.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan
hiperbilirubin di instalasi rawat inap perinatology di RSUD Pariaman.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu memahami kasus hiperbilirubin di instalasi rawat inap perinatology di RSUD
Pariaman.
b. Mampu menganalisa dan menegakan diagnosa keperawatan pada pasien dengan
hiperbilirubin di instalasi rawat inap perinatology di RSUD Pariaman.
c. Mampu menyusun rencana keperawatan pada pasien dengan hiperbilirubin di instalasi
rawat inap perinatology di RSUD Pariaman.
d. Mampu melaksanakan rencana keperawatan yang telah disusun sesuai dengan rencana
keperawatan pada pasien dengan hiperbilirubin di instalasi rawat inap perinatology di RSUD
Pariaman.
e. Mampu melakukan evaluasi terhadap asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan pada
pasien dengan hiperbilirubin di instalasi rawat inap perinatology di RSUD Pariaman.
f. Mampu melakukan pendokumentasian asuhan keperawatan pada pasien dengan
hiperbilirubin.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Hiperbilirubin adalah warna kuning pada bayi yang ditandai pada kulit, mukosa akibat
akumulasi bilirubin dan diberi istilah jaundice atau ikterus (Bobak, 2004).
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya
lebih dari normal (Suriadi, 2001).
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah mencapai
suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kern icterus kalau tidak ditanggani
dengan baik atau mempunyai hubungan dangan keadaan yang patologis. Brown menetapkan
hiperbilirubin bila kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan dan 15 mg% pada
bayi kurang bulan (Harison, et all, 2000).
Hiperbilirubin adalah istilah yang dipakai untuk icterus neonatorum setelah ada hasil
laboratorium yang menunjukan peningkatan kadar serum bilirubin (Iyan, 2009).
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin mencapai suatu nilai
yang mempunyai potensi menimbulkan kern ikterik bila tidak ditanggulangi dengan baik
(Prawirohardjo, 2005).

2. Etiologi
Menurut Haws Paulette (2007) penyebab hiperbilirubin yaitu :
1. Hemolysis pada inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah
ibu dan anak pada golongan rhesus dan ABO.
2. Gangguan konjugasi bilirubin.
3. Rusaknya sel-sel hepar, obstruksi hepar.
4. Pembentukan bilirubin yang berlebihan.
5. Keracunan obat (hemolysis kimia : salsilat, kortiko steroid, kloramfenikol).
6. Bayi dari ibu diabetes, jaundice ASI.
7. Penyakit hemolitik yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah merah. Disebut
juga icterus hemolitik.
8. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan , misalnya hiperbilirubin
atau karena pengaruh obat-obatan.
9. Bayi imatur, hipoksia, BBLR dan kelainan system syaraf pusat akibat trauma atau infeksi.
10. Gangguan fungsi hati (infeksi) yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin
yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah seperti : infeksi toxoplasma,
shypilis.

3. Anatomi Fisiologi
a. Gambar anatomi hepar
Hati adalah organ yang terbesar yang terletak disebelah kanan atas rongga perut
dibawah diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5% dari berat badan orang dewasa normal. Pada
kondisi hidup berwarna merah tua karena kaya akan persendian darah. Hati terbagi menjadi
lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh ligamentum falciforme. Lobus kanan yang
lebih besar dari lobus kirinya dan mempunyai tiga bagian utama yaitu lobus kanan atas, lobus
caudatus dan lobus quadrates (Price & Wilson, 2005).
Hati disuplai oleh pembuluh darah,yaitu :
1. Vena porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus yang kaya akan nutrient seperti
asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan mineral.
2. Arteri hepatica cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen.
b. Fungsi hati
1. Mengubah zat makanan yang di absorbsi dari usus dan yang disimpan dari suatu tempa
dalam tubuh dikeluarkan sesuai dengan pemakaiannya.
2. Mengubah zat buangan dan bahan racun untuk diekskresikan dalam empedu dan urine.
3. Menghasilkan enzim glikolik glukosa menjadi glukogen.
4. Sekresi empedu, garam empedu dibuat dihati dibentuk dalam retikulo endulium dialirkan
ke empedu
5. Untuk menyimpan berbagai zat seperti mineral (Cu,Fe) serta vitamin yang larut dalam
lemak (vitamin A,D,E,K) glikogen dan berbagai racun yang tidak dapat dikeluarkan dalam
tubuh (seperti peptisida).
6. Untuk fagositosis mikroorganisme, eritrosit dan leukosit yang sudah tua dan rusak.
7. Untuk pembentukan ureum, hati menerima asam amino di ubah menjadi ureum,
dikeluarkan dari darah oleh ginjal dalam bentuk urine.
8. Menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam karbonat dan air.

4. Patofisologi
Terjadinya hiperbilirubin diantaranya yaitu, hemolysis, rusaknya sel-sel hepar,
gangguan konjugasi bilirubin. Setelah pemecahan hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi
akan mengalami gangguan dalam hati dan tidak bisa mengikat bilirubin dan mengakibatkan
peningkatan bilirubin yang terkonjugasi dalam darah yang mengakibatkan warna kuning
pucat pada kulit (Haws Paulette S, 2007).
Bilirubin yang tak terkonjugasi dalam hati tidak mampu diubah oleh enzim glukoronil
transferase yang berfungsi untuk merubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi bilirubin
konjugasi sehingga bilirubin yang tak dapat diubah akan larut dalam lemak dan
mengakibatkan ikterik pada kulit. Bilirubin yang tak terkonjugasi tidak larut dalam air ini
tidak bisa diekskresikan dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Namun demikian terjadi
peningkatan pembentukan urobilinogen (akibat peningkatan bilirubin terhadap hati dan
peningkatan konjugasi serta ekskresi) yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan ekskresi
dalam feses dan urine dan feses berwarna gelap (Price, Sylvia Anderson, 2006).
Oleh sebab itu dengan semakin banyaknya bilirubin yang larut dalam lemak akan
memberikan dampak yang buruk terhadap kerja hepar karna secara terus menerus melakukan
transferase tanpa adanya pembuangan melalui eliminasi, dan jika berlanjut akan
menyebabkan hepatomegaly yang mengakibatkan terjadinya rasa mual muntah, jadi dengan
adanya peningkatan bilirubin didalam darah maka akan menyebabkan terjadinya
hiperbilirubin. apabila bilirubin tak terkonjugasi melampaui 20 mg/dl maka akan terjadi suatu
keadaan yang disebut kernicterus jika tidak dengan segera maka akan dapat mengakibatkan
kejang , tonus otot kaku, spasme otot, reflek hisap lemah (Price, Sylvia Anderson, 2006).

5. Manifestasi klinis
a. Kulit jaundice (kuning)
b. Sklera ikterik
c. Peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dl pada neonatus yang cukup bulan dan 15
mg% pada neonatus yang kurang bulan.
d. Kehilangan berat badan sampai 5% selama 24 jam yang disebabkan oleh rendahnya intake
kalori.
e. Asfiksia
f. Hipoksia
g. Sindrom gangguan nafas
h. Pemeriksaan abdomen terjadi bentuk perut yang membuncit
i. Feses berwarna seperti dempul dan pemeriksaan neurologis dapat ditemukan adanya
kejang
j. Epistotonus (posisi tubuh bayi melengkung)
k. Terjadi pembesaran hati
l. Tidak mau minum ASI
m. Letargi
(AH Markum, 2002)

6. Klasifikasi
Ada 2 macam icterus menurut (Vian Nanny Lia Dewi, 2010) yaitu :
1. Ikterus fisiologi (direks)
a. Timbul pada hari ke-2 atau ke 3
b. kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari 10 mg/dl dan 12 mg/dl pada
bayi kurang bulan
c. Peningkatan kecepatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg/dl per hari
d. Ikterus hilang 10-14 hari
e. Tidak ada mempunyai hubungan dengan patologis
2. Ikterus patologis
a. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan
b. Peningkatan kadar bilirubin 5 mg/dl atau lebih dalam 24 jam
c. Apabila kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari 10 mg/dl dan 10
mg/dl pada bayi kurang bulan
d. Ikterus menetap setelah 2 minggu
e. Mempunyai hubungan dengan hemolitik

7. Penatalaksanaan
Penanganan hiperbilirubin pada bayi baru lahir menurut Varney (2007), antara lain :
1. Memenuhi kebutuhan atau nutrisi
a. Beri minum sesuai kebutuhan, karena bayi malas minum, berikan berulang-ulang, jika
tidak mau menghisap dot berikan pakai sendok. Jika tidak dapat habis berikan melalui sonde.
b. Perhatikan frekuensi buang air besar, mungkin susu tidak cocok (jika bukan ASI) mungkin
perlu ganti susu.
2. Mengenal gejala dini mencegah meningkatnya ikterus
a. Jika bayi terlihat mulai kuning, jemur pada matahari pagi (sekitar pukul 1- 8 selama 30
menit)
b. Periksa darah untuk bilirubin, jika hasilnya masih dibawah7 mg% ulang esok harinya.
c. Berikan banyak minum
d. Perhatikan hasil darah bilirubin, jika hasilnya 7 mg% lebih segara hubungi dokter, bayi
perlu terapi
3. Gangguan rasa aman dan nyaman akibat pengobatan
a. Mengusahakan agar bayi tidak kepanasan atau kedinginan
b. Memelihara kebersihan tempat tidur bayi dan lngkungannya
c. Mencegah terjadinya infeksi ( memperhatikan cara bekerja aseptik).

8. Komplikasi
a. Bilirubin encephalopathy (komplikasi serius).
b. Kernikterus, kerusakan neurologis, cerebral palsy, retardasi mental, hyperaktif, bicara
lambat, tidak ada koordinasi otot dan tangisan melengking.
(Suriadi & Rita Yuliani, 2006)

9. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan pada bayi hiperbilirubin menurut Marilyn E. Dongoes, 2001 yaitu :
a. Tes comb pada tali pusat bayi baru lahir : hasil positif tes comb indirek menandakan
adanya antibody Rh-positif, anti-A, atau anti-B dalam darah ibu. Hasil positif dari tes comb
direk menandakan adanya sentisisasi (Rh-positif, anti-A, anti-B) sel darah merah dari
neonatus.
b. Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
c. Bilirubin total : kadar direk (terkonjugasi bermakna jika melebihi 1,1-1,5 mg/dl, yang
mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek (tak terkonjugasi) tidak boleh melebihi
peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi yang cukup
bulan atau 15 mg/dl pada bayi praterm (tergantung BB bayi).
d. Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 mg/dl menandakan penurunan kapasitas ikatan,
terutama pada bayi paterm.
e. Hitung darah lengkap : hemoglobin mungkin rendah (< 14 mg/dl) karena hemolisis.
Hematokrit mungkin meningkat (> 65%) pada polisitemia, penurunan (< 45%) dengan
hemolisis dan anemia berlebihan.
f. Daya ikat karbondioksida : penurunan kadar menunjukan hemolisis.
g. Meter ikterik transkutan : mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan bilirubin
serum.
h. Jumlah retikulosit : peningkatan retikulosit menandakan peningkatan produksi sel darah
merah dalam respons terhadap hemolisis yang berkenaan dengan penyakit Rh.
i. Smear darah perifer : dapat menunjukan sel darah merah abnormal atau imatur,
eritroblastosis pada penyakit Rh atau sferositis pada inkompabilitas ABO.
j. Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus
neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut.
k. Ultrasonografi, digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan
ekstrahepatic.
l. Biobsy hati, digunakan untuk memastikan terutama untuk pada kasus yang sukar seperti
diagnosa membedakan obstruksi ekstrahepatic dengan intra hepatic selain itu juga untuk
memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hepatis dan hepatoma.
m. Radioisotop scan, digunakan untuk membantu membedakan hepatitis dan atresia billiari.
n. Scanning enzim G6PD untuk menunjukan adanya penurunan bilirubin.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
1. Pengkajian
a. Identitas
meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, umur,jenis kelamin,anak-ke, BB/TB, alamat.
b. Riwayat kesehatan
1. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya keadaan umum lemah , TTV tidak stabil terutama suhu tubuh. Reflek hisap
menurun, BB turun, pemeriksan tonus otot (kejang/tremor). Hidrasi bayi mengalami
penurunan, kulit tampak kunin, sclera mata kuning, perubahan warna pada feses dan urine
(Cecely Lynn Betz, 2009).
2. Riwayat kesehatan keluarga
Kemungkinan ibu dengan rhesus (-) atau golongan darah O dan anak yang mengalami
neonatal icterus yang dini, kemungkinan adanya erytrolastosisfetalis (Rh, ABO,
incompatibilitas lain golongan darah suspect sph). Ada saudara yang menderita penyakit
hemolitik bawaan atau icterus (Haws Paulettet, 2007).
3. Riwayat kehamilan
a. Ketuban pecah dini, kesukaran dengan manipulasi berlebihan merupakan predisposisi
terjadinya infeksi.
b. Pemberian obat anastesi, analgesic yang berlebihan akan mengakibatkan gangguan nafas
(hypoksia), asidosis akan menghambat konjugasi bilirubin.
c. Bayi dengan APGAR score rendah memungkinkan terjadinya (hypoksia), asodosis yang
akan menghambat konjugasi bilirubin
d. Kelahiran premature berhubungan dengan prematuritas organ tubuh hepar.
(Haws Paulette , 2007)
c. Pemeriksaan Fisik
1. KU : biasanya lesu, biasanya letargi coma
2. TTV
TD : -
N : biasanya 120-160x/i
R : biasanya 40x/i
S : biasanya 36,5 37 C
3. Kesadaran : biasanya apatis sampai koma.
4. Kepala, mata dan leher
Kulit kepala tidak terdapat bekas tindakan persalinan seperti : vakum atau terdapat caput.
Biasanya dijumpai ikterus mata (sclera) dan selaput mukosa pada mulut. Dapat juga
diidentifikasi icterus dengan melakukan tekanan langsung pada daerah menonjol untuk bayi
dengan kulit bersih (kuning) (Haws, Paulette S.Hasws, 2007).
5. Hidung : biasanya tampak bersih
6. Mulut : ada lendir atau tidak, ada labiopalatoskisis atau tidak (Hidayat, 2009). Pada kasus
mulut berwarna kuning (Saifuddin, 2002).
7. Telinga : biasanya tidak terdapat serumen.
8. Thorak : Biasanya selain ditemukan tanpak icterus juga dapat ditemukan peningkatan
frekuensi nafas. Biasanya status kardiologi menunjukan adanya tachycardia, khususnya
icterus disebabkan oleh adanya infeksi.
9. Abdomen : Biasanya perut buncit, muntah, mencret merupakan akibat gannguan
metabolism bilirubin enterohepatik.
10. Urogenital : Biasanya feses yang pucat seperti dempul atau kapur akibat gangguan hepar
atau atresia saluran empedu.
11. Ekstremitas : Biasanya tonus otot lemah.
12. Integument : Biasanya tampak ikterik, dehidrasi ditunjukan pada turgor tangan jelek,
elastisitas menurun.

2. Diagnosa Keperawatan
Kemungkinan diagnosa yang mungkin muncul pada klien hiperbilirubin yaitu :
a. Hipertermia b/d paparan lingkungan panas (efek fototerapi), dehidrasi.
b. Resiko deficit volume cairan b/d kehilangan aktif volume cairan (evaporasi).
c. Resiko kerusakan integritas kulit b/d pigmentasi (jaundice), hipertermi, perubahan turgor
kulit, eritema.
d. Resiko terjadi cedera b/d fototerapi atau peningkatan kadar bilirubin.

3. Intervensi Keperawatan
NO. Dx. Keperawatan NOC NIC
1. Hipertermia b/d paparan Thermoregulasi - Monitor suhu minimal tiap 2
lingkungan - Suhu tubuh dalam rentang jam.
panas(fototerapi). normal - Recanakan monitoring suhu
- nadi , RR dalam rentang secara kontinui
normal - Monitor warna dan suhu
- Tidak ada perubahan warna kulit
kulit. - Monitor tanda-tanda
hipertermia & hipotermi.
- Monitor pola pernafasan
abnormal.
- Berikan anti piretik
- tingkatkan sirkulasi udara
- monitor sianosis perifer
Defisit volume cairan b/d Fluid balance Timbang popok jika
kehilangan aktif volume Hydrarin diperlukan
cairan (evaporasi). Nutritional status : food and Pertahankn cacatan intake
fluid intake. & output yang akurat.
Mempertahankan urine Monitor status hidrasi
output sesuai dengan BB, BJ (kelembaban membrane
urine normal, HT normal. mukosa ,nadi adekuat)
Monitor vital sign
3. Resiko kerusakan integritas Tissue integrity : skin and hindari kerutan pada tempat
kulit b/d pigmentasi Mucous membrance tidur.
(jaundice) hipertermi, Suhu tubuh dalam jaga kebersihan kulit agar
perubahan turgor kulit, rentang normal 36 C - 37 tetap bersih dan kering.
eritemia. C. Mobilisasi klien setiap 2
Hidrasi dalam batas jam sekali.
normal Monitor adanya kemerahan.
Keutuhan kulit Oleskan lotin/baby oil pada
Pigmentasi dalam batas daerah yang tertekan.
normal. Mandikan dengan air
hangat.
4. Resiko terjadi cedera b/d Risk control Letakkan bayi dekat
fototerapi atau peningkatan Tidak ada iritas mata cahaya.
kadar bilirubin. Tidak ada tanda-tanda Tutup mata dengan kain
dehidrasi yang dapat menyerap cahaya
Suhu stabil Matikan lampu dan buka
Tidak terjadi kerusakan penutup mata bayi setiap 8
kulit. jam, lakukan inspeksi warna
sclera.
Buk penutup matawaktu
memberi makanan.
Ajak bayi bicara selama
perawatan.
4.Implementasi dan Evaluasi
No. Dx. Keperawatan Implementasi Evaluasi Ttd

1. Hipertermia b/d - Memonitor suhu S :


paparan lingkungan minimal tiap 2 jam. -Keluarga mengatakan kulit klien
panas(fototerapi). - Memonitor warna dan tampak kering dan memerah.
suhu kulit O:
- Memonitor tanda-tanda -Kulit bayi tampak kering dan
hipertermia & hipotermi. memerah.
- Memonitor pola A :
pernafasan abnormal. -Masalah belum teratasi
- Memberikan anti piretik P:
- Mentingkatkan sirkulasi -Intervensi dilanjutkan.
udara
- Memonitor sianosis
perifer
2. Resiko deficit volume 1.Mempertahankan cacatan S : -Ibu mengatakan anaknya di
cairan b/d kehilangan intke dan output yang fototerapi.
aktif volume cairan akurat. - ibu mengatakan anaknya mulai
(evaporasi). 2. memonitor status hidrasi mau menyusu.
(kelembapan membrane O :
mukosa). -Turgor kult bayi tampak jelek.
3. Memonitor masukan - tampak membrane mukosa bayi
cairan. kering.
4. Memantau turgor kulit - Bayi mendapatkan ASI
5. Memonitor BB bayi A:
-Masalah belum teratasi
P:
-Intervensi dilanjutkan
3. Resiko kerusakan 1.Memakaikan pakaian S :
integritas kulit b/d yang longgar -Keluarga pasien mangatakan
pigmentasi (jaundice), 2. Hindari kerutan pada tubuh pasien masih menguning.
hipertermi, perubahan tempat tidur. O:
turgor kulit. 3. Menjaga kebersihan -turgor kulit bayi tampak jelek
kulit agar tetap bersih. - Bayi tampak menguning
4. Memonitor kulit adanya A :
kemerahan. -Masalah belum teratasi
5. Mengoleskan baby oil P :
pada daerah yang tertekan. -Intervensi dilanjutkan
6. Memandikan bayi
dengan air hangat.
4. Resiko terjadinya 1.Mengkaji hiperbilirubin S :
cidera b/d fototerapi 1x 4 jam. -keluarga mengtakan bagian tubuh
(peningkatan kadar 2. Memberikan fototerapi. pasien bertambah kuning.
bilirubin). 3. Meletakkan bayi dekat O :
sumber cahaya -Sclera tampak ikterik
4. Menutup mata dengan -Total bilirubin 23,81 mg/dl.
kain yang menyerap A :
cahaya. -Masalah belum teratasi
5. Mematikan lampu dan P :
buka penutup mata bayi -Intervensi dilanjutkan.
setiap 8 jam

Anda mungkin juga menyukai