Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

ASUHAN KEBIDANAN KEGAWATDARURATAN


OBSTETRI DAN NEONATUS PADA BY. NY. H
NCB SMK USIA 3 HARI DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA
DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG

Disusun Oleh :
Novita Rotua Sari
H522081

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN


FAKULTAS KEBIDANAN
INSTITUT KESEHATAN RAJAWALI
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Obstetri dan Neonatus Pada By. Ny. H
NCB SMK Usia 3 Hari dengan Hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Santo Borromeus
Bandung, telah disahkan oleh Tim Pembimbing pada :
Hari : Rabu
Tanggal : 28 Juni 2023
Tempat : Kampus 2 Institut Kesehatan Rajawali

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Penanggung Jawab


Prodi Pendidikan Profesi Bidan Prodi Pendidikan Profesi Bidan
Fakultas Kebidanan Fakultas Kebidanan
Institut Kesehatan Rajawali Institut Kesehatan Rajawali

Iga Retia M., S.S.T., Bd., M.Kes. Lia Kamila, S.S.T., Bd., M.Keb.
NIK 307.107.005 .NIK 307.102.020
3

KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Kuasa karena atas berkat, rahmat dan kasihNya Penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus Asuhan Kebidanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatus pada
By. H, NCB SMK usia 3 hari dengan hiperbilirubinemia. Laporan ini disusun
untuk memenuhi salah satu syarat hasil pelaksanaan praktik asuhan kebidanan
kegawatdaruratan obstetri dan neonatus Program Studi Pendidikan Profesi Bidan
Fakultas Kebidanan Institut Kesehatan Rajawali.
Penulis menyadari kelemahan serta keterbatasan yang ada, sehingga dalam
menyelesaikan laporan kasus ini memperoleh bantuan dari berbagai pihak. Dalam
kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Tonika Tohri, S. Kp., M. Kes selaku Rektor Institut Kesehatan Rajawali.
2. dr. Chandra Mulyono, Sp.N., selaku Direktur Utama Rumah Sakit Santo
Borromeus Bandung.
3. Erni Hernawati, S.S.T., Bd., M.M., M.Keb., selaku Dekan Fakultas
Kebidanan
Institut Kesehatan Rajawali Bandung.
4. Lia Kamila, S.S.T., Bd., M.Keb., selaku Penanggung Jawab Program Studi
Kebidanan Institut Kesehatan Rajawali Bandung.
5. Iga Retia M., S.S.T., Bd., M.Kes., selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan masukan-masukan positif dalam penyusunan laporan.
6. Ns. Rosalia Susanti, S.Kep., selaku Kepala Biro Pengembangan dan
Pembelajaran yang senantiasa memotivasi Penulis untuk terus berkarya
dan mengembangkan diri melalui pendidikan berkelanjutan.
7. Ns. Nanis Sutatik, S. Kep., M. Kep., selaku Ketua Komite Keperawatan
yang telah banyak mendukung Penulis untuk terus berkarya dan
mengembangkan diri melalui pendidikan berkelanjutan.
8. Apt. Mustika Novi Arini, S. Farm., M. Farm., selaku Ketua Komite
Tenaga Kesehatan Lain yang telah banyak mendukung Penulis untuk terus
berkarya dan mengembangkan diri melalui pendidikan berkelanjutan.
4

9. Ns. Diana Chandra, S. Kep., yang telah banyak mendukung Penulis untuk
terus berkarya dan mengembangkan diri melalui pendidikan berkelanjutan.
10. Meity Widiastuti, Am.Keb., selaku Kepala Bagian Elisabeth 4 Ranap
Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.
11. Dwi Wijayanti, Amd. Keb selaku pembimbing praktik klinik di Elisabeth
4 Rumah Sakit Santo Borromeus yang telah membimbing dan membantu
dalam penyusunan laporan selama pelaksanaan praktik klinik.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat menulis
dengan lebih baik. Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca khususnya dalam pengembangan ilmu kebidanan.

Bandung, Mei 2023

Penulis
5

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Salah satu indikator dalam menilai derajat kesehatan masyarakat adalah
AKI (Angka Kematian Ibu) dan AKB (Angka kematian Bayi). Angka
Kematian Bayi (AKB) merupakan jumlah kematian bayi (0-1bulan) per
1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu tahun. AKB menggambarkan
tingkat permasalahan kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan faktor
penyebab kematian bayi, tingkat pelayanan antenatal, status gizi ibu hamil,
tingkat keberhasilan program KIA dan KB, serta kondisi lingkungan dan
sosial ekonomi.
Menurut Depkes RI (2007), bayi baru lahir normal adalah bayi yang
lahir dengan umur kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu dan berat lahir
2500 gram sampai 4000 gram. Bayi baru lahir mengalami perubahan
lingkungan dalam uterus ke luar uterus , maka bayi memerlukan
penyesuaian fisiologik seperti perubahan metabolik, pernafasan dan
sirkulasi agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Bayi Baru
Lahir memerlukan asuhan yang segera, cepat, tepat, aman dan bersih.
Sebagian besar proses persalinan terfokus pada ibu, tetapi sehubungan
dengan proses pengeluaran hasil kehamilan (bayi) maka penatalaksanaan
persalinan baru dikatakan berhasil jika ibu dan bayinya dalam kondisi yang
optimal. Oleh karena itu, perlu kontribusi dari perawat terkait dengan
pemberian asuhan segera setelah bayi lahir.
Beberapa penyebab kematian bayi baru lahir (BBL) yang terbanyak
disebabkan oleh kegawatdaruratan dan penyulit pada neonatus, trauma lahir,
kelainan kongenital dan hiperbilirubinemia. Selain itu, kurang baiknya
penanganan bayi baru lahir juga akan menyebabkan kelainan-kelainan yang
akan mengakibatkan cacat seumur hidup, bahkan kematian. Misalnya
sebagai akibat hipotermi pada bayi baru lahir yang dapat mengakibatkan
6

cold stress yang selanjutnya dapat mengakibatkan hipoksemia atau


hipoglikemia dan mengakibatkan kerusakan otak. Contoh lain misalnya
kurang baiknya pembersihan jalan nafas waktu lahir dapat menyebabkan
masuknya cairan lambung ke paru-paru yang mengakibatkan kesulitan
pernafasan, kekurangan zat asam, dan apabila hal ini berlangsung terlalu
lama dapat menimbun perdarahan otak, kerusakan otak dan kemudian
keterlambatan tumbuh kembang. Dan yang tidak kalah penting adalah
pencegahan terhadap infeksi yang dapat terjadi melalui tali pusat pada
waktu pemotongan tali pusat (Prawirohardjo, 2006).

1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
Mampu melakukan asuhan kebidanan kehamilan pada By. H NCB
SMK usia 3 hari dengan hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Santo
Borromeus Bandung.

1.2.2. Tujuan Khusus


1. Mampu mengkaji data subjektif pada By. H NCB SMK usia 3
hari dengan hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Santo
Borromeus Bandung.
2. Mampu mengkaji data objektif pada By. H NCB SMK usia 3
hari dengan hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Santo
Borromeus Bandung.
3. Mampu menyusun diagnosa kebidanan By. H NCB SMK usia 3
hari dengan hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Santo
Borromeus Bandung.
4. Mampu melakukan penatalaksanaan asuhan kebidanan pada By.
H NCB SMK usia 3 hari dengan hiperbilirubinemia di Rumah
Sakit Santo Borromeus Bandung.
7

5. Mampu melakukan pendokumentasian kebidanan sesuai SOAP


pada By. H NCB SMK usia 3 hari dengan hiperbilirubinemia di
Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.

1.3. MANFAAT
1. Bagi Intitut Kesehatan Rajawali
Penulisan laporan kasus ini dapat menjadi referensi kepustakaan untuk
menambah ilmu pengetahuan terutama dalam bidang kesehatan
khususnya asuhan kebidanan bayi baru lahir dengan
hyperbilirubinemia.
2. Bagi Penulis
Laporan kasus ini dapat dijadikan referensi bagi penulis untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan praktik klinik mengenai
asuhan kebidanan bayi baru lahir dengan hyperbilirubinemia.
3. Bagi pasien
Pasien mendapatkan asuhan kebidanan yang bermutu pada asuhan
kebidanan bayi baru lahir dengan hyperbilirubinemia.
8

BAB II
TINJAUAN TEORI

1. Konsep Bayi Baru Lahir


1) Definisi
Bayi baru lahir disebut juga neonatus merupakan bayi yang berumur 0
sampai dengan usia 1 bulan sesudah lahir (Muslihatun, 2010).
Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dengan umur
kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu dan berat lahir 2500 gram sampai
4000 gram (Depkes RI, 2007).
Asuhan segera bayi baru lahir adalah asuhan yang diberikan pada bayi
tersebut selama jam pertama setelah kelahiran (Prawiroharjo, 2006).

2) Ciri-Ciri Bayi Baru Lahir Normal


Menurut Dewi (2010), ciri-ciri bayi baru lahir normal adalah sebagai
berikut :
1) Berat badan 2.500-4000 gram
2) Panjang badan 45-55 cm
3) Lingkar dada 30-33 cm
4) Lingkar kepala 32-36,8 cm
5) Bunyi jantung 110-160 x/menit
6) Pernafasan 30-60 x/menit
7) Kulit kemerah-merahan dan licin karena jaringan subkutan cukup
terbentuk dan diliputi vernik caseosa.
8) Rambut kepala biasanya telah sempurna
9) Kuku agak panjang atau melewati jari-jari
10) Genetalia labia mayora sudah menutupi labia minora (pada anak
perempuan), testis sudah turun (pada anak laki-laki).
11) Reflek hisap dan menelan baik
12) Reflek suara sudah baik, bayi bila dikagetkan akan memperlihatkan
9

gerakan memeluk.
13) Reflek menggenggam sudah baik
14) Eliminasi baik, urine dan mekonium akan keluar 24 jam pertama,
mekonium berwarna hitam kecoklatan.

3) Adaptasi Fisiologis Bayi Baru Lahir


Menurut Winkjosastro (2006), segera setelah lahir, bayi baru lahir
harus beradaptasi dari keadaan yang sangat tergantung menjadi mandiri
secara fisiologis. Banyak perubahan yang akan dialami oleh bayi yang
semula berada dalam lingkungan interna (dalam kandungan Ibu) yang
hangat dan segala kebutuhannya terpenuhi ke lingkungan eksterna (diluar
kandungan ibu) yang dingin dan segala kebutuhannya memerlukan
bantuan orang lain untuk memenuhinya. Perubahan yang dialami segera
setelah bayi lahir antara lain :
1) Perubahan metabolik
Kadar gula darah tali pusat yang semula 65 mg/100 ml akan
mengalami penurunan menjadi 50 mg/100 ml. Energi tambahan yang
diperlukan neonatus pada jam-jam pertama sesudah lahir diambil dari
hasil metabolisme asam lemak sehingga kadar gula darah dapat
mencapai 120 mg/100 ml. Jika terjadi gangguan pada metabolisme
asam lemak , tubuh tidak dapat memenuhi kebutuhan neonatus, maka
kemungkinan besar bayi akan menderita hipoglikemia.
2) Perubahan suhu
Sesaat sesudah bayi lahir ia akan berada di tempat yang suhunya
lebih rendah dari dalam kandungan dan dalam keadaan basah. Bila
dibiarkan saja dalam suhu kamar maka bayi akan kehilangan panas.
Kehilangan panas pada bayi baru lahir dapat terjadi melalui 4 cara
yaitu
1) Konveksi : aliran panas mengalir dari permukaan tubuh ke
udara sekeliling yang lebih panas.
2) Radiasi : kehilangan panas dari permukaan badan ke
10

permukaan benda yang lebih dingin dengan kontak secara tidak


langsung.
3) Evaporasi : kehilangan panas yang terjadi ketika cairan
berubah menjadi uap.
4) Konduksi : kehilangan panas dari permukaan tubuh ke
permukaan alat/benda yang dingin dengan kontak secara
langsung.
3) Perubahan sistem pernapasan
Pernapasan pertama pada bayi normal terjadi dalam waktu 30 detik
sesudah kelahiran. Pernapasan ini timbul sebagai akibat aktivitas
normal susunan saraf pusat dan perifer yang dibantu oleh beberapa
ransangan lainnya, seperti kemoreseptor karotis yang sangat peka
terhadap kekurangan oksigen, rangsangan hipoksemia, sentuhan dan
perubahan suhu di dalam uterus dan diluar uterus. Semua ini
menyebabkan perangsangan pusat pernapasan dalam otak yang
melanjutkan rangsangan tersebut untuk menggerakkan diafragma serta
otot-otot pernapasan lainnya.
4) Perubahan sistem sirkulasi
Dengan berkembangnya paru-paru, tekanan oksigen di dalam
alveoli menigkat. Sebaliknya, tekanan karbondioksida turun. Hal-hal
tersebut mengakibatkan turunnya resistensi pembuluh-pembuluh
darah paru, sehingga aliran darah ke alat tersebut meningkat. Ini
menyebabkan darah dari arteri pulmonalis mengalir ke paru-paru dan
duktus arteriosus menutup. Dengan menciutnya arteri dan vena
umbilikalis dan kemudian dipotongnya tali pusat, aliran darah dari
plasenta melalui vena kava inferior dan foramen ovale ke atrium kiri
terhenti. Dengan diterimanya darah oleh atrium kiri dari paru-paru,
tekanan di atrium kiri menjadi lebih tinggi daripada tekanan di atrium
kanan, ini menyebabkan foramen ovale menutup. Sirkulasi janin
sekarang berubah menjadi sirkulasi bayi yang hidup di luar badan ibu.
11

5) Ginjal
Tubuh bayi baru lahir mengandung relatif banyak air dan kadar
Natrium relatif lebih besar daripada kalium. Hal ini menandakan
bahwa ruangan ekstraseluler luas. Fungsi ginjal belum sempurna
karena jumlah nefron matur belum sebanyak orang dewasa dan ada
ketidakseimbangan antara luas permukaan glomerulus dan volume
tubulus proksimal renal blood flow (aliran darah ginjal) pada neonatus
relatif kurang bila dibandingkan dengan orang dewasa.
6) Hepar
Hepar janin pada kehamilan 4 bulan mempunyai peranan dalam
metabolisme karbohidrat. Glikogen mulai disimpan di dalam hepar.
Fungsi hepar janin dalam kandungan segera setelah lahir dalam
keadaan imatur (belum matang). Hal ini dibuktikan dengan
ketidakseimbangan hepar untuk meniadakan bekas penghancuran
darah dari peredaran darah. Enzim hepar belum aktif benar pada
neonatus, misalnya enzim UDPGT (Uridin Disfosfat Glukoride
Transferase) dan enzim G6FD (Glukosa 6 Fosfat Dehidrogenase) yang
berfungsi dalam sintesis bilirubin sering kurang sehingga neonatus
memperlihatkan gejala ikterus fisiologis.
Kadar bilirubin dalam serum tali pusat yang beraksi indirek adalah
1-3 mg/dl/24 jam. Dengan demikian ikterus dapat dilihat pada hari ke
2 sampai hari 3, biasanya berpuncak antara hari ke 2 dan ke 4 dengan
kadar 5-6 mg/dl dan menurun sampai dibawah 2 mg/dl,antara umur
ke 5 dan ke 7. Ikterus yang disertai dengan perubahan- perubahan ini
disebut fisilogis dan disebabkan karena kenaikan produksi bilirubin
pasca pemecahan sel darah merah janin dikombinasi dengan
keterbatasan sementara konjugasi bilirubin oleh hati.
Untuk menentukan kadar bilirubin di dalam darah dan mengetahui
derajat ikterus pada bayi baru lahir dapat dilakukan dengan
pemeriksaan kramer. Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari
12

telunjuk ditempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,


tulang dada, lutut dan lain-lain. Kemudian penilaian kadar bilirubin
dari tiap-tiap nomor disesuaikan dengan angka rata- rata didalam tabel
di bawah ini :

Tabel 2.1 Penilaian Ikterus Menurut Kramer


Daerah Luas ikterus Kadar bilirubin
(mg%)
1 Kepala dan leher 5
2 Daerah 1 + badan bagian 9
atas
3 Daerah 1, 2 + badan bagian 11
bawah dan tungkai
4 Daerah 1,2,3 + lengan dan 12
kaki dibawah tungkai
5 Daerah 1, 2, 3, 4 + tangan dan kaki 16

Dewi (2010)

Untuk perawatan bayi yang mengalami ikterus dap


dilakukan dengan melakukan pencegahan hipotermia,
menjemur bayi di bawah sinar matahari dari jam 07.00 hingga
jam 09.00 pagi selama 10 menit, berikan ASI secara adekuat.
13

7) Imunologi
Pada sistem imunologi Imunoglobulin G dibentuk banyak dalam
bulan kedua setelah bayi dilahirkan. IgA, IgD dan IgE diproduksi
secara lebih bertahap dan kadar maksimum tidak dicapai sampai pada
masa kanak-kanak. Bayi yang menyusu mendapat kekebalan pasif dari
kolostrum dan ASI.
8) Integumen
Kulit bayi baru lahir sangat sensitif dan mudah mengelupas, semua
struktur kulit ada pada saat lahir tetapi tidak matur. Epidermis dan
dermis tidak terikat dengan erat dan sangat tipis, vernik kaseosa juga
bersatu dengan epidermis dan bertindak sebagai tutup pelindung dan
warna kulit merah muda.

4) Penilaian Bayi Waktu Lahir


Menurut Winkjosastro (2006), keadaan bayi dinilai satu menit
setelah lahir dengan penggunaan nilai APGAR. Penilaian ini perlu untuk
mengetahui apakah bayi menderita asfiksia atau tidak. Setiap penilaian
diberi angka 0,1 dan 2. Dari hasil penilaian tersebut dapat diketahui
apakah bayi normal ( vigorous baby = nilai APGAR 7-10), asfiksia
sedang-ringan (nilai APGAR 4-6) atau bayi menderita asfiksia berat
(nilai APGAR 0-3). Bila nilai APGAR 2 menit tidak mencapai nilai 7,
maka harus dilakukan tindakan resusitasi lebih lanjut oleh karena bila
bayi menderita asfiksia lebih dari 5 menit, kemungkinan terjadinya
gejala- gejala neurologik lanjutan di kemudian hari lebih besar.
Berhubungan dengan hal itu, penilaian menurut APGAR dilakukan selain
pada umur 1 menit juga pada umur 5 menit. Berikut ini merupakan tabel
penilaian APGAR :
14

Tabel 2.2 Nilai APGAR


Tanda 0 1 2
Appearance Pucat Badan merah, Seluruh tubuh
(Warna kulit) ekstremitas biru kemerah- merahan
Pulse rate Tidak ada <100 >100
(Frekuensi nadi)
Grimace Tidak ada Sedikit gerakan mimik Batuk/bersin
(Reaksi rangsangan)
Activity Tidak ada Ekstremitas dalam sedikit fleksi Gerakan aktif
(Tonus otot)
Respiration Tidak ada Lemah/tidak Baik/menangis
(Pernapasan) teratur
Winkjosastro (2006)

Catatan :
Nilai APGAR 1 menit ≥ 7 tidak perlu resusitasi
Nilai APGAR 1 menit 4-6 bag dan mask ventlation
Nilai APGAR 1 menit 0-3 lakukan intubasiPenanganan Segera
Bayi Baru Lahir
1) Membersihkan jalan napas
Bayi normal akan menangis spontan segera setelah lahir. Apabila
tidak langsung menangis, penolong segera membersihkan jalan
napas dengan cara sebagai berikut :
1) Letakkan bayi pada posisi telentang di tempat yang keras
dan hangat.
2) Gulung sepotong kain dan letakkan di bawah bahu
sehingga leher bayi lebih lurus dan kepala tidak menekuk.
Posisi kepala diatur lurus sedikit tengadah ke belakang.
3) Bersihkan hidung, rongga mulut dan tenggorokan bayi
dengan jari tangan yang dibungkus kasa steril.
4) Tepuk kedua telapak kaki bayi sebanyak 2-3 kali atau
gosok kulit bayi dengan kain kering dan kasar. Dengan
rangsangan ini biasanya bayi segera menangis.
15

5) Alat penghisap lendir mulut (De Lee) atau alat penghisap


lainnya yang steril, tabung oksigen dengan selangnya
harus sudah ditempat.
6) Segera lakukan usaha menghisap mulut dan hidung
7) Memantau dan mencatat usaha bernapas yang pertama (APGAR
skor), warna kulit, adanya cairan atau mekonium dalam
hidung atau mulut.
2) Memotong dan merawat tali pusat
Tali pusat dipotong sebelum atau sesudah plasenta lahir tidak begitu
menentukan dan tidak akan mempengaruhi bayi, kecuali pada bayi
kurang bulan. Apabila bayi lahir tidak menangis, maka tali pusat
segera dipotong untuk memudahkan melakukan tindakan resusitasi
pada bayi. Tali pusat dipotong 5 cm dari dinding perut bayi dengan
gunting steril dan diikat dengan pengikat steril. Sebelum memotong
tali pusat, dipastikan bahwa tali pusat telah diklem dengan baik,
untuk mencegah terjadinya perdarahan. Association of Woman’s
Health, Obstetric and Neonatal Nurses (AWHONN)
merekomendasikan untuk perawatan tali pusat menggunakan air
steril. Jika puntung tali pusat kotor, bersihkan (hati-hati) dengan air
steril dan segera keringkan secara seksama dengan meggunakan
kain bersih.
3) Mempertahankan suhu tubuh bayi
Pada waktu bayi lahir, bayi belum mampu mengatur tetap suhu
badannya, sehingga membutuhkan pengaturan dari luar untuk
membuatnya tetap hangat. Mengeringkan bayi pada saat lahir
membantu mengurangi hilangnya panas melalui evaporasi. Kontak
antara kulit bayi dan kulit ibu, misalnya meletakkan bayi di atas
perut ibu ketika lahir, dapat menolong bayi mempertahankan panas.
Untuk menghindari kehilangan panas yang berlebihan dapat
dilakukan dengan menyelimuti bayi menggunakan selimut penahan
panas, membedong bayi, atau memakaikan baju yang longgar.
16

Penting sekali untuk menutup kepala bayi, dan topi dengan bahan
penahan panas lebih efektif digunakan dibandingkan dengan topi
rajutan dalam mencegah kehilangan panas. Jangan segera
memandikan bayi. Bayi sebaiknya dimandikan enam jam setelah
lahir. Memandikan bayi dalam beberapa jam pertama setelah lahir
dapat menyebabkan hipotermia yang sangat membahayakan
kesehatan bayi baru lahir.
Praktik memandikan bayi yang dianjurkan adalah :
1) Tunggu sedikitnya 6 jam setelah lahir sebelum memandikan
bayi (lebih lama jika bayi mengalami asfiksia atau hipotermi)
2) Sebelum memandikan bayi, periksa bahwa suhu tubuh stabil
(suhu aksila antara 36,5º C – 37,2º C). Jika suhu tubuh bayi
masih dibawah 36,5º C, selimuti kembali tubuh bayi secara
longgar, tutupi bagian kepala dan tempatkan bersama ibunya
di tempat tidur atau lakukan persentuhan kulit ibu – bayi
dan selimuti keduanya. Tunda memandikan bayi hingga suhu
tubuh bayi tetap stabil dalam waktu (paling sedikit) satu jam.

3) Tunda untuk memandikan bayi yang sedang mengalami


masalah pernapasan
4) Sebelum bayi dimandikan, pastikan ruangan mandinya
hangat dan tidak ada tiupan angin. Siapkan handuk bersih
dan kering untuk mengeringkan tubuh bayi dan siapkan
beberapa lembar kain atau selimut bersih dan kering untuk
menyelimuti tubuh bayi setelah dimandikan.
5) Memandikan bayi secara cepat dengan air bersih dan hangat
6) Segera keringkan bayi dengan menggunakan handuk
bersih dan kering
7) Tempatkan bayi di lingkungan yang hangat

4) Pemberian ASI dini


17

Memberikan ASI dini akan memberikan keuntungan yaitu:


1) Merangsang produksi ASI
Rangsangan isapan bayi pada puting susu ibu akan
diteruskan oleh serabut syaraf ke hipofise anterior untuk
mengeluarkan hormon prolaktin (hormon ini yang
memacu payudara untuk menghasilkan ASI.
2) Memperkuat reflek menghisap
3) Mempererat hubungan batin ibu dan bayi (membina
ikatan emosional dan kehangatan ibu-bayi).
4) Memberikan kekebalan pasif yang segera kepada bayi
melalui kolostrum.
5) Merangsang kontraksi uterus dan mencegah terjadi
perdarahan pada ibu.
5) Memberikan vitamin K
Kejadian perdarahan karena defisiensi vitamin K pada bayi baru
lahir dilaporkan cukup tinggi, berkisar 0,25 - 0,5%. Untuk mencegah
terjadinya perdarahan tersebut, semua bayi baru lahir normal dan
cukup bulan perlu diberi vitamin K.
6) Memberi obat tetes/salep mata
Di beberapa negara perawatan mata bayi baru lahir secara hukum
diharuskan untuk mencegah terjadinya oftalmia neonatorum. Di
daerah dimana prevalensi gonore tinggi, setiap bayi baru lahir perlu
diberi salep mata sesudah 5 jam bayi lahir. Pemberian obat mata
eritomisin 0,5% atau tetrasiklin 1% dianjurkan untuk pencegahan
penyakit mata karena klamidia (penyakit menular seksual).
7) Identifikasi bayi
Apabila bayi dilahirkan di tempat bersalin yang persalinannya
mungkin lebih dari satu persalinan, maka sebuah alat pengenal harus
diberikan kepada setiap bayi baru lahir dan harus tetap di tempatnya
sampai waktu bayi dipulangkan. Alat yang digunakan hendaknya
kebal air dengan tepi yang harus tidak mudah melukai, tidak mudah
18

sobek, dan tidak mudah lepas. Pada alat/gelang identifikasi harus


tercantum nama (bayi/nyonya), tanggal lahir, nomor bayi, jenis
kelamin dan nama ibu. Di setiap tempat tidur harus diberi tanda
dengan mencantumkan nama, tanggal lahir dan nomor identitas
(Prawirohardjo,2006).

2. IKTERUS
1) Pengertian
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit
dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu
bilirubin (Pholman, dkk, 2015: 97).
Ikterus sering kali muncul pada bayi yang baru lahir karena
penumpukan bilirubin yang berlebihan di dalam darah dan jaringan, yaitu
60% pada bayi cukup bulan (aterem) dan 80% pada bayi tidak cukup
bulan (prematur) (Ranuh, 2013: 81).
Ikterus berarti gejala kuning karena penumpukan bilirubin dalam
aliran darah yang menyebabkan pigmentasi kuning pada plasma darah
yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang memperoleh
banyak aliran darah tersebut. Ikterus biasanya baru dapat dilihat kalau
kadar bilirubin serum mencapai 2-3 mg/dl, sedangkan kadar bilirubin
serum normal 0,3-1 mg/dl (Anggraini, 2014: 110).
Ikterus merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi. Ikterus
adalah manifestasi klinis dari hiperbilirubinemia. Sekitar 25-50 % bayi
baru lahir menderita ikterus pada minggu pertama (Faiqah,
Syajaratuddur, 2014: 1355).
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang
paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Hiperbilirubinemia dapat
disebabkan oleh proses fisiologi atau patologi atau kombinasi keduanya
(Lubis, Mardina Bugis, dkk, 2013: 292).

2) Klasifikasi
19

1) Ikterus fisiologi
Ikterus fisiologi adalah warna kekuningan pada kulit yang timbul
yang timbul pada hari ke-2 sampai ke-3 setelah lahir yang tidak
mempunyai dasar patologis dan akan menghilang dengan sendirinya
pada hari ke-10 (Susilaningsih, 2013). Ikterus fisiologi memiliki
tanda-tanda, antara lain sebagai berikut
 Warna kuning akan timbul pada hari kedua atau ketiga setelah
bayi lahir dan tampak jelas pada hari ke-5 sampai ke-6 dan
menghilang sampai hari ke-10.
 Bayi tampak bias, minum baik, berat badan naik biasa.
 Kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari 12
mg/dl dan pada BBLR 10 mg/dl dan akan hilang pada hari ke-14
(Maulida, 2014: 39).
2) Ikterus patologi
Ikterus Patologi adalah ikterus yang mempunyai dasar patologi atau
kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia (Marmi dan Rahardjo, 2012: 277).
Ikterus patologi memiliki tanda-tanda, antara lain sebagai berikut :
 Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan, serum bilirubin
total lebih dari 12 mg/dl.
 Peningkatan bilirubin 5 mg/dl atau lebih dari 24 jam.
 Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg/dl pada bayi < 37
minggu (BBLR) dan 12,5 mg/dl pada bayi cukup bulan.
 Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibiltas darah,
defisiensi enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dan
sepsis.
 Ikterus yang disebabkan oleh bayi kurang dari 2000 gram yang
disebkan karena usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun dan
kehamilan pada remaja, masa gestasi kurang dari 36 minggu,
asfiksia, hipoksia, syndrome gangguan pernapasan, infeksi,
20

hipoglikemia, hiperkopnia dan hiperosmolitas darah sepsis


(Maulida, 2014: 40).

3) Manifestasi Klinik
Adapun tanda dan gejala neonatus dengan hiperbilirubinemia adalah:
1) Kulit jaundice (kuning)
2) Sklera ikterik
3) Peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10 mg % pada neonatus
yang cukup bulan dan 12,5 mg% pada neonatus yang kurang bulan
4) Kehilangan berat badan sampai 5% selam 24 jam yang disebabkan
oleh rendahnya intake kalori
5) Asfiksia
6) Hipoksia
7) Sindrom gangguan pernapasan
8) Pemeriksaan abdomen terjadi bentuk perut yang membuncit
9) Feses berarna seperti dempul dan pemeriksaan neurologis dapat
ditemukan adanya kejang
10) Epistotonus (posisi tubuh bayi melengkung)
11) Terjadi pembesaran hati
12) Tidak mau minum ASI
13) Letargi\Reflex moro lemah atau tidak ada sama sekali (Maryunani,
2014: 104).

D. Etiologi
Etiologi ikterus pada BBL dapat berdiri sendiri ataupun di:sebabkan
oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi itu dapat dibagi
sebagai berikut :
1) Produksi yang berlebihan lebih dari pada kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya misalnya hemolisis yang meningkat pada
21

inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi


enzim G6PD, pyruvate kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2) Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini
dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi biliribun, gangguan fungsi hepar akibat asidosis,
hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil
transferasi (cringgler najjar syndrome). Penyebab lain ialah
defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam
uptake bilirubin ke sel- sel hepar.
3) Gangguan dalam transfortasi bilirubin dalam darah terikat oleh
albumin kemudian diangkut kehepar, ikatan bilirubin dengan
albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat-obatan misalnya salsilitas,
sulfatfurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang
kemudian melekat ke sel otak.
4) Gangguan dalam sekresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat
obstruksi dalam hepar atau diluar hepar biasanya akibat infeksi atau
kerusakan hepar oleh penyebab lain.
5) Obstruksi saluran pencernaan (fungsional atau struktural) dapat
meningkatkan hiperbilirubinemia unconjugated akibat penambahan
dari bilirubin yang berasal dari sirkulasi enterahepatik.
6) Ikterus akibat Air Susu Ibu (ASI). Ikterus akibat asi merupakan
unconjugated hiperbilirubinemia yang mencapai puncaknya
terlambat (biasanya menjelang hari ke 6-14). Dapat dibedakan dari
penyakit lain dengan reduksi kadar bilirubin yang cepat bila
disubstitusi dengan susu formula selama 1-2 hari. Hal ini unruk
membedakan pada bayi disusui ASI selama minggu pertama
kehidupan. Sebagai bahan yang terkandung dalam Air Susu Ibu
(ASI) adalah (beta glucoronidase) akan memecah bilirubin menjadi
bentuk yang larut dalam lemak, sehingga bilirubin indirek akan
22

meningkat, dan kemudian akan direabsorpsi oleh usus. Bayi yang


mendapatkan ASI bila dibandingkan dengan bayi yang mendapat
susu formula, mempunyai kadar bilirubin yang lebih tinggi
berkaitan dengan penurunan asupan beberapa hari pertama
kehidupan. Pengobatannya bukan dengan menghentikan pemberian
ASI melainkan dengan meningkatkan frekuensi pemberian (Marmi
dan Rahardjo, 2012: 278-280).

E. Patofisiologi Ikterus
Sel-sel darah merah yang telah tua dan rusak akan dipecah menjadi
bilirubin, yang oleh hati akan dimetabolisme dan dibuang melalui
feses. Didalam usus juga terdapat banyak bakteri yang mampu
mengubah bilirubin sehingga mudah dikeluarkan oleh feses. Hal ini
terjadi secara normal pada orang dewasa. Pada bayi baru lahir, jumlah
bakteri pemetabolisme bilirubin ini masih belum mencukupi sehingga
ditemukan bilirubin yang masih beredar dalam tubuh tidak dibuang
bersama feses. Begitu pula dalam usus bayi terdapat enzim glukorinil
transferase yang mampu mengubah bilirubin dan menyerap kembali
bilirubin kedalam darah sehingga makin memperparah akumulasi
bilirubin dalam badannya. Akibatnya pigmen tersebut akan disimpan
dibawah kulit, sehingga kulit bayi menjadi kuning. Biasanya dimulai
dari wajah, dada, tungkai dan kaki menjadi kuning. Biasanya
hiperbilirubinemia dan sakit kuning akan menghilang setelah minggu
pertama. Kadar bilirubin yang sangat tinggi biasanya disebabkan
pembentukan yang berlebihan atau gangguan pembuangan bilirubin.
Kadang pada bayi cukup umur yang diberi susu ASI, kadar bilirubin
meningkat secara progresif pada minggu pertama, keadaan ini disebut
jaundice ASI. Penyebabnya tidak diketahui dan hal ini tidak
berbahaya, jika kadar bilirubin sangat tinggi mungkin perlu dilakukan
terapi yaitu terapi sinar dan transfusi tukar (Maryunani, 2014: 103-
104).
23

F. Faktor Resiko
a. Air Susu Ibu (ASI ) yang kurang
Bagi yang mendapat ASI yang cukup saat menyusui dapat
bermasalah karena tidak cukupnya asupan ASI yang masuk ke usus
untuk memproses pembuangan bilirubin dalam tubuh. Hal ini dapat
terjadi pada bayi prematur yang ibunya tidak memproduksi cukup
ASI.
b. Peningkatan jumlah sel darah merah
Peningkatan jumlah sel darah merah dengan penyebab apapun
beresiko untuk terjadinya hiperbilirubinemia. Sebagai contoh, bayi
yang memiliki jenis golongan darah yang berbeda dengan ibunya,
lahir dengan anemia akibat abnormalitas eritrosit atau mendapat
transfusi darah, kesemuanya beresiko tinggi akan mengalami
hiperbilirubinemia.
c. Infeksi/inkompabilitas ABO-Rh
Bermacam infeksi yang dapat terjadi pada bayi atau ditularkan dari
ibu ke janin didalam rahim dapat meningkatkan resiko
hiperbilirubinemia. Kondisi ini dapat meliputi infeksi kongenital
virus herpes, sifilis kongenital, rubella dan sepsis (Maulida, 2014:
39).

G. Komplikasi
a. Kern icterus
b. Kerusakan hepar
c. Gagal ginjal (Maryunani, 2014: 107).

H. Penilaian bayi ikterus


a. Pemeriiksaan fisik
Pengamatan ikterus kadang-kadang agak sulit apalagi dalam
24

cahaya buatan. Paling baik pengamatan dilakukan dalam cahaya


matahari dan dengan menekan sedikit kulit yang akan diamati
untuk menghilangkan warna karena pengaruh sirkulasi darah.
Ada beberapa cara untuk menentukan derajat ikterus yang
merupakan resiko terjadinya kern ikterus dengan cara klinis
(Kramer) yang dilakukan dibawah sinar biasa (daylight) (Marmi
dan Rahardjo, 2012: 280).

Tabel 2.1 Penilaian Ikterus

Gambar 2.1 Penilaian Ikterus

b. Pemeriksaan diagnostic
i. Test coombs pada tali pusat baru lahir : hasil positif test
coombs indirek menandakan adanya antibody Rh-positif,
anti A atau anti B dalam darah ibu. Hasil positif dari test
coombs direk menandakan adanya sensitasi (Rh-positif, anti
A, anti B) SDM dari neonatus.
25

ii. Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi


inkompatibilitas ABO.
iii. Bilirubin total : kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika
melebihi 1,0-1,5 mg/dL, yang mungkin dihubungkan
dengan sepsis. Kadar indirek (tidak terkonjugasi) tidak
boleh melebihi peningkatan 5 mg/dL dalam 24 jam atau
tidak bileh lebih dari 20 mg/dL pada bayi cukup bulan atau
15 mg/dL pada bayi preterm (tergantung pada berat badan).
iv. Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 mg/dL
menandakan penurunan kapsitas ikatan, terutama pada bayi
preterm.
v. Hitung dalam darah lengkap : hemoglobin (HB) mungkin
rendah (kurang dari 14 mg/dL) karena hemolisis hematokrit
(HT) mungkin meningkat (kurang dari 45%) dengan
hemolisis dan anemia berebihan.
vi. Glukosa : kadar dextrosit mungkin kurang dari 45% glukosa
darah lengkap kurang dari 30 mg/dL atau tes glukosa serum
kurang dari 40 mg/dL bila bayi baru lahir hipoglikemia dan
mulai menggunakan simpanan lemak dan melepaskan asam
lemak. (Marmi dan Rahardjo, 2012: 280-281).

I. Penanganan Bayi Ikterus


a. Ikterus fisiologi
i. Pemberitahuan kepada keluarga tentang kondisi bayi.\
ii. Jemur bayi tiap pagi dibawah sinar matahari dengan menutup
mata dan genitalia bayi memakai kertas karbon yang dilapisi
kain kassa, dan tubuh bayi selalu di rubah untuk mencegah
decubitas dan sinar ultraviolet dapat merata ke keseluruhan
tubuh.
iii. Berikan ibu penjelasan pentingnya pemberian minum secara
26

adekuat dan berikan ASI saja dan bantu ibu saat memberi
ASI (Rukiyah dan Yulianti, 2012: 275-276).
b. Ikterus patologi
i. Fototerapi
1. Cara kerja
Cara kerja fototerapi adalah dengan mengubah
bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk
dieksresikan melalui empedu atau urin. Ketika bilirubin
mengabsorpsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu
isomerisasi. Juga terdapat konversi ireversibel menjadi
isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan
cepat dibersihkan dari plasma melalui empedu.
Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin
akibat fototerapi pada manusia. Sejumlah kecil bilirubin
plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya menjadi
dipyrole yang diekskresikan lewat urin. Fotoisomer
bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan
secara langsung bias dieksreksikan melalui empedu.
Hanya produk foto oksidan saja yang bisa diekskresikan
lewat urin.
2. Jenis Lampu
Beberapa studi menunjukkan bahwa lampu
flouresen biru lebih efektif dalam menurunkan bilirubin.
Akan tetapi karena cahaya biru dapat mengubah warna
bayi, maka yang lebih disukai adalah lampu flouresen
cahaya normal dengan spektrum 420 – 460 nm sehingga
asuhan kulit bayi dapat diobservasi baik mengenai
warnanya (jaundis, palor, sianosis) atau kondisi lainnya.
Agar fototerapi efektif,kulit bayi harus terpajang penuh
terhadap sumber cahaya dengan jumlah yang adekuat.
27

Bila kadar bilirubin serum meningkat sangat cepat atau


mencapai kadar kritis, dianjurkan untuk menggunakan
fototerapi dosis ganda atau intensif, teknik ini melibatkan
dengan menggunakan lampu overhead konvensional
sementara itu bayi berbaring dalam selimut fiberoptik.
Warna kulit bayi tidak mempengaruhi efisiensi
pemberian fototerapi.
Hasil terbaik terjadi dalam 24 sampai 48 jam
pertama fototerapi. Fototerapi intensif adalah fototerapi
dengan menggunakan sinar bluegreen spectrum (panjang
gelombang 430-490 nm) dengan kekuatan paling kurang
30 uW/cm2 (diperiksa dengan radio meter,atau
diperkirakan dengan menempatkan bayi langsung di
bawah sumber sinar dan kulit bayi yang terpajang lebih
luas. Bila konsentrasi bilirubin tidak menurun atau
cenderung naik pada bayi – bayi yang mendapat
fototerapi intensif, kemungkinan besar terjadi proses
hemolisis.
3. Jarak
Dosis dan kemanjuran dari fototerapi biasanya
dipengaruhi oleh jarak antara lampu (semakin dekat
sumber cahaya, semakin besar irradiasinya) dan
permukaan kulit yang terkena cahaya, karena itu
dibutuhkan sumber cahaya di bawah bayi pada
fototerapi. Jarak antara kulit bayi dan sumber cahaya.
Dengan lampu neon, jarak harus tidak lebih besar dari 50
cm (20 in). Jarak ini dapat dikurangi sampai 10-20 cm
jika homeostasis suhu dipantau untuk mengurangi resiko
overheating.
4. Berat Badan dan Usia
28

Tabel 2.4. Petunjuk Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia Berdasarkan Berat


Badan Dan Bayi Baru Lahir Yang Relatif Sehat
Kadar Bilirubin Total Serum (mg/dL)
Berat Badan Sehat Sakit
Kurang Bulan Transfusi Transfusi
Fototerapi Fototerapi
Tukar Tukar
<1000g 5-7 Bervariasi 4-6 Bervariasi
1001-1500g 7-10 Bervariasi 6-8 Bervariasi
1501-2000g 10-12 Bervariasi 8-10 Bervariasi
2001-2500g 12-15 Bervariasi 10-12 Bervariasi
Cukup bulan
>2500g 15-18 20-25 12-15 18-20
Sumber : Kosim, dkk, 2012:132

Tabel 2.5 Petunjuk Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia Pada Bayi


Sehat Cukup Bulan
Kadar Bilirubin Total Serum (mg/dL [umol/L])
Usia Transfusi Tukar Transfusi Tukar &
(Jam) Pertimbangan Jika Fototerapi Fototerapi
Fototerapi
Fototerapi Intensif Intensif
25-
48 ≥12 (170) ≥15 (260) ≥20 (340) ≥25 (430)
49-
72 ≥15 (260) ≥18 (310) ≥25 (430) ≥30 (510)
>72 ≥17 (290) ≥20 (340) ≥25 (430) ≥30 (510)

Ikterus yang timbul pada usia 25-48 jam pasca kelahiran, fototerapi
dianjurkan bila kadar bilirubin serum total > 12 mg/dl (170mmol/L).
Fototerapi harus dilaksanakan bila kadar bilirubin serum total ≥ 15
mg/dl (260mmol/L). Bila fototerapi 2 x 24 jam gagal menurunkan
29

kadar
 Luas Permukaan Fototerapi
Hal penting dalam pelaksanaan praktis dari fototerapi termasuk
pengiriman energi dan memaksimalkan luas permukaan yang
tersedia harus mempertimbangkan bahwa bayi harus telanjang
kecuali popok dan mata harus ditutup untuk mengurangi resiko
kerusakan retina. Bila menggunakan lampu sorot, pastikan bahwa
bayi ditempatkan di pusat lingkaran cahaya, karena photoenergy
tetes dari arah perimeter lingkaran. Amati bayi erat untuk
memastikan bahwa bayi tidak bergerak jauh dari daerah energy
tinggi. Lampu sorot mungkin lebih tepat untuk bayi prematur kecil
daripada yang lebih besar jangka dekat bayi.
 Efek Samping Fototerapi
Efek samping ringan yang harus diwaspadai perawat meliputi feses
encer kehijauan, ruam kulit transien, hipertermia, peningkatan
kecepatan metabolisme, seperti hipokalsemia dan priaspismus.
Untuk mencegah atau meminimalkan efek tersebut, suhu dipantau
untuk mendeteksi tanda awal hipotermia atau hipertermia, dan kulit
diobservasi mengenai dehidrasi dan kekeringan, yang dapat
menyebabkan ekskoriasi dan luka (Kosim, 2012: 130-136).

 Transfusi Tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah darah
pasien yang dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor
dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang sampai
sebagian besar darah pasien tertukar. Pada pasien
hiperbilirubinemia, tindakan tersebut bertujuan mencegah
ensefalopati bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek
dari sirkulasi. Pada bayi hiperbilirubinemia karena isoimunisasi,
transfusi tukar mempunyai manfaat lebih karena akan membantu
mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi darah neonatus. Hal
30

tersebut akan mencegah terjadinya hemolisis lebih lanjut dan


memperbaiki kondisi anemianya Beberapa Indikasi dilakukannya
transfusi tukar :
o Gagal dengan intensif fototerapi.

o Ensefalopati bilirubin akut (fase awal, intermediate, lanjut/


advanced) yang ditandai gejala hipertonia, melengkung,
retrocolli, opistotonus, panas, tangis melengking.
Darah yang digunakan sebagai darah pengganti (darah donor)
ditetapkan berdasarkan penyebab hiperbilirubinemia. Adapun darah
donor yang digunakan untuk transfusi tukar :
o Darah yang digunakan golongan O.

o Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood.

o Pada penyakit hemolitik Rhesus, jika darah dipersiapkan


sebelum persalinan harus golongan O dengan Rhesus (-),
lakukan cross match terhadap ibu. Jika darah dipersiapkan
setelah kelahiran, caranya sama, hanya dilakukan cross match
dengan bayinya.
o Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O,
Rhesus (-) atau Rhesus yang sama dengan ibu atau bayinya.
Cross match terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer
rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya memakai eritrosit
golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa
tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
o Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak
boleh berisi antigen tersensitisasi dan harus di-cross match
terhadap ibu.Pada hiperbilirubinemia non imun, lakukan typing
dan cross match darah donor terhadap plasma dan eritrosit
pasien/bayi.
o Transfusi tukar memakai 2 kali volume darah ( 2 kali
31

exchange), yaitu 160 ml/kgBB sehingga akan diperoleh darah


baru pada bayi yang dilakukan transfusi tukar sekitar 87%
(Usman, Ali, 2014: 102-104).

J. Mencegah Ikterus pada Bayi


Ikterus dapat dicegah sejak masa kehamilan, dengan cara
pengawasan kehamilan dengan baik dan teratur, untuk mencegah sedini
mungkin infeksi pada janin dan hipoksia, misalnya karena kesulitan lahir,
lilitan tali pusat dan lain-lain, segera diatasi dengan cepat dan tepat.
Sebaiknya sejak lahir biasakan anak dijemur dibawah sinar matahari pagi
sekitar jam 7-8 pagi setiap hari selama 15 menit dengan membuka
pakaiannya (Manggiasih dan Pongki, 2016: 114).
BAB III
TINJAUAN KASUS

Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Obstetri dan Neonatus pada By.


H, NCB SMK usia 3 hari dengan ikterus patologis (Hiperbilirubinemia)
di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung

Tanggal Masuk : 02-2-2023 Tanggal Pengkajian : 05-3-


2023
Jam Masuk : 18.52 WIB Jam Pengkajian : 10:00
WIB
Tempat : RS. Santo Borromeus Pengkaji :
Novita Rotua Sari
No.Register : 202/33

I. DATA SUBJEKTIF
A. BIODATA
32

1. Identitas Bayi
Nama : By.Ny.HDS
Umur : 5 Hari
Tgl/Jam Lahir : 02-02-2023/18:52 WIB
Jenis Kelamin : Perempuan
BB Lahir : 3000 gram
PB Lahir : 47.5 cm
2. Identitas Orang Tua
Nama Istri : Ny. HDS Nama Suami : Tn. A
Umur : 37 tahun Umur : 40 tahun
Suku : Batak Suku : Batak
Agama : Kristen Agama : Kristen
Pendidikan : Sarjana Pendidikan : Sarjana
No Telepon : 0813210726** No Telepon : 0821281020**
Pekerjaan : Karyawan Swasta Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat rumah : Sambisari A99 Bekasi Alamat rumah : Sambisari A99 Bekasi
Gol darah : O+ Gol Darah : A+

B. ANAMNESA
1. Riwayat Kesehatan Ibu
Riwayat Penyakit yang pernah di derita : Ibu mederita penyakit
outoimun dan bradikardia pada kehamilan.
2. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Penyakit yang diderita dalam keluarga : keluarga tidak
pernah menderita penyakit berat seperti jantung, paru, hipertensi, dll
3. Riwayat Persalinan Sekarang
a. G2P1A0
b. Usia Kehamilan : 36-37 minggu
c. Tanggal/Jam Persalinan : 02-02-2023/18.52 WIB
33

d. Tempat Persalinan : RS Santo Borromeus Bandung


e. Penolong Persalinan : Dokter
f. Jenis Persalinan : Sectio caesarea
g. Komplikasi Persalinan
Pada Ibu : tidak ada
Pada Bayi : tidak ada
h. Ketuban Pecah pada : 1 menit sebelum lahir
i. Keadaan plasenta : normal
j. Tali Pusat : normal
k. Lama Persalinan : 1 jam
l. Jumlah Perdarahan : 400 cc
4. Riwayat Kehamilan
a. Riwayat komplikasi kehamilan : bradikardia
b. Kebiasaan ibu waktu hamil : bekerja seperti biasa
5. Pola kebiasaan pasien
a. Pola nutrisi
Bayi minum ASI eksklusif on demand. Waktu menyusu <15 menit
pada 1 payudara dan perlekatan menyusui masih belum baik
karena ibu masih kesakitan dalam posisi menyusui duduk.
b. Pola eliminasi
Bayi BAB meconium 3x/hari dan BAK 4x/hari
c. Pola aktivitas
Tonus otot kurang aktif
d. Pola kebersihan diri
Bayi mandi 1x/ hari oleh bidan di ruangan

II. DATA OBJEKTIF


1. Antropometri
a. Berat Badan : 2750 gram (penurunan 8% dari BB lahir)
b. Panjang Badan : 47.5 cm
c. Lingkar Kepala : 34 cm
34

d. Lingkar Dada : 33 cm
e. Lingkar Perut (jika ada komplikasi) : -
2. Pemeriksaan Umum
a. Jenis Kelamin : Perempuan
b. Apgar Score : 8/9/10
c. KU Bayi : Baik, pergerakan aktif, menangis kuat
d. Suhu : 37 °C
e. Frekuensi Pernapasan : 48x/mnt, Reguler
f. Frekuensi jantung : 128x/mnt, Reguler
a. Pemeriksaan Fisik Kepala
Fontanel Anterior : normal, tidak ada kelainan
Sutura Sagitalis : normal, sutura teraba tulang kepala terpisah
Caput Succadeneum : tidak ada
Cepal Hematoma : tidak ada
b. Mata
Sekret : sedikit
Kelainan : sklera tampak ikterik
c. Hidung
Sekret : tidak ada
Kelainan : tidak ada
d. Mulut : normal
Bibir : kering, tidak sianosis
Kelainan : tidak ada labio palato skizis
e. Telinga
Bentuk : simetris
Sekret : tidak ada
Kelainan : tidak ada
f. Leher
Pergerakan : normal
35

Kelainan : tidak ada


g. Dada : normal
Bentuk : normal, simetris
Retraksi dinding dada : tidak ada
Kelainan : tidak ada
h. Abdomen
Bentuk : simetris
Tali Pusat : menonjol
Kelainan : tidak ada
i. Punggung
Kelainan : tidak ada
j. Ekstremitas atas dan bawah
Gerakan : normal
Bentuk : simetris
Jumlah jari : lengkap
Warna Kulit : ikterik sampai batas lengan atas dan paha
k. Refleks
Refleks Moro : positif
Refleks Tonick neck : positif
Refleks Rooting : positif
Refleks Sucking : positif
Refleks Swallowing : positif
Refleks Grasping : positif
Refleks Babinski : positif
Refleks Walking : positif

PEMERIKSAAN PENUNJANG :
 Bilirubin total : 16.20 mg/dL
36

 Bilirubin dire : 0.70 mg/dL

 OAE : Pass/Pass

 Golongan darah : A Rh+

 TSH : 3.40

 Hb : 13.80 gr/dL

 Leukosit : 12.57

III. ANALISA
NCB SMK usia 3 hari dengan ikterus patologis (hiperbilirubinemia)
Diagnosa potensial : Kern ikterus
Tindakan segera : Kolaborasi dengan dokter spesialis anak untuk fototerapi
dan pemberian minum bayi

IV. PENATALAKSANAAN
1. Memberitahukan hasil pemeriksaan kepada ibu dan keluarga.
Evaluasi : Ibu mengetahui kondisi bayinya
2. Menjelaskan tentang diagnose hiperbilirubinemia.
Evaluasi : Ibu dan keluarga merasa cemas akan kondisi bayinya tetapi
bersedia menerima saran dari tenaga kesehatan untuk kesehatan
bayinya.
3. Melakukan kolaborasi dengan dokter spesialis anak untuk tindakan
selanjutnya.
Evaluasi : DPJP spesialis anak menyarankan untuk bayi dilakukan
fototerapi selama 2 hari dan pemberian minum ASI 8x40-50 cc
ataupun susu formula jika pemberian ASI tidak memungkinkan.
4. Menjelaskan saran dari DPJP kepada orang tua dan rencana
perawatan selanjutnya
Evaluasi : Ibu dan keluarga setuju akan rencana tindakan dan
meminta pemberian susu formula karena ibu belum dapat mengirim
ASI 8x40-50 cc, tetapi ibu akan terus mencoba dibantu oleh bidan
37

ruang rawat inap.


5. Melakukan prosedur fototerapi, membiarkan tubuh bayi terpapar
fototerapi secara berkelanjutan dan beristirahat setiap 6 jam sekali.
Evaluasi : Bayi tampak tidur tenang di bawah lampu fototerapi.
6. Memonitor suhu dan tanda vital setiap 4 jam dan memonitor efek
samping fototerapi.
Evaluasi : TTV tercatat dan tidak tampak efek samping fototerapi
pada bayi
7. Memfasilitasi ibu untuk menyusui bayi pada jam kunjungan menyusui
dan memfasilitasi Ibu untuk memberikan ASI perah sesuai kebutuhan
bayi.
Evaluasi : Ibu bersedia menyusui di jam kunjungan dan mengirim
ASI perah sesuai kebutuhan bayi.
8. Memantau pola minum bayi dan memberikan bayi minum ASI atau
susu formula 8x40-50 cc.
Evaluasi : bayi minum aktif, tidak mual, tidak muntah.
9. Menjaga kehangatan bayi dan mengoberservasi TTV bayi tiap 4 jam.
Evaluasi : bayi terpasang probe temperature dan oksimetri serta
tercatat dalam lembar observasi.
10. Memantau pola eliminasi bayi.
Evaluasi : bayi BAK >6x dalam 24 jam dan BAB berubah menjadi
hijau kekuningan dalam 24 jam pertama fototerapi.
11. Menjadwalkan jemur bayi pada keesokan hari dan mengikutsertakan
orang tua dalam kelas nifas.
Evaluasi : Orang tua setuju
12. Melakukan pendokumentasian asuhan.
38
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada Bab ini Penulis akan menguraikan pembahasan secara narasi berdasarkan SOAP
dan manajemen asuhan kebidanan dengan menggunakan 7 langkah varney yang dilakukan di
RS Santo Borromeus Bandung. Penulis akan membandingkan antara tinjauan kasus pada By.
H NCB SK usia 3 hari dengan ikterus pagtologis (hyperbilirubinemia) dan teori serta
kewenangan bidan kemudian dibahas berdasarkan pendekatan manajemen asuhan kebidanan
dengan tujuh langkah, yaitu pengumpulan data dasar, identifikasi diagnosa/masalah aktual,
identifikasi diagnos/masalah potensial, melaksanakan tindakan segera/kolaborasi,
merencanakan tindakan asuhan kebidanan, melaksanakan asuhan kebidanan dan
mengevaluasi asuhan kebidanan.
Manajemen Kebidanan adalah pendekatan yang digunakan oleh bidan dalam
menerapkan metode pemecahan masalah secara sistematis, mulai dari pengkajian, analisis
data, diagnosa kebidanan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (Mufdillah dkk, 2012).
Dalam penerapan proses manajemen asuhan kebidanan kehamilan pada By. H dilakukan
melalui tahapan-tahapan sesuai 7 langkah manajemen menurut Helen Varney.

1. Langkah I (Pengumpulan data)


Langkah pertama merupakan awal yang akan menentukan Langkah berikutnya.
Pengumpulan data dasar merupakan proses manajemen asuhan kebidanan yang ditujukan
untuk pengumpulan informasi. Data ini dikumpulkan berdasarkan pengkajian dan
pengevaluasian pasien secara lengkap. Mengumpulkan data adalah menghimpun
informasi tentang klien/orang yang meminta asuhan. Untuk memperoleh data dilakukan
dengan cara
a. Subyektif / anamnesa
Melakukan tanggung jawab untuk memperoleh data meliputi, biodata pasien,
keluhan utama waktu masuk, riwayat penyakit, riwayat kehamilan, persalinan dan
nifas yang lalu dan riwayat operasi. Pada kasus ikterus neonatorum orang tua bayi
akan mengeluh kulit dan mata bayinya terlihat kuning, mungkin juga akan disertai
dengan keluhan lainnya seperti perut membuncit dan tidak mau menyusui.
Pada kasus ini bayi usia 3 hari dan secara fisiologis ikterus dapat juga terjadi
pada minggu pertama kelahiran bayi. Ibu mengeluh bayi mulai malas menyusu dan
kulit tampak mulai kuning serta ibu merasa produksi ASI kurang maksimal walaupun
sudah masuk hari ke-3 melahirkan. Golongan darah ibu dan bayi tidak sama bahkan
termasuk faktor risiko ABO inkompatibilitas
b. Objektif
Keadaan umum pasien, tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik yang dilakukan
secara inspeksi, palpasi dan dilakukan pemeriksaan penunjang bila perlu. Pada kasus
ikterus neonatorum kulit dan sklera bayi terlihat kuning, perut bayi terlihat buncit
atau kembung, terjadi pembesaran hati dan kadar bilirubin dalam darah akan
meningkat. KU baik,
Saat dilakukan pemeriksaan didapatkan hasil bahwa berat badan bayi sudah
turun 8% dari berat badan lahir sehingga kemungkinan yang didapatkan adalah
asupan ASI tidak mencukupi kebutuhan bayi. Serta tonus otot yang mulai lemah.
Pemeriksaan yang sangat jelas yaitu tampak sklera bayi juning dan kulit bayi
menguning sampai dengan lengan atas. Setelah dilakukan pemeriksaan bilirubin
didapatkan hasil Bilirubin total sebesar 16.20 mg/dL, bilirubin direk 0.70 mg/dL.
Yang menandakan bahwa bayi mengalami hyperbilirubinemia.

2. Langkah II (Identifikasi Diagnosa / Masalah Aktual )


Pada langkah ini, dilakukan identifikasi yang benar terhadap diagnosa atau masalah
dan kebutuhan klien berdasarkan interpretasi yang benar atas daat-data yang
dikumpulkan.Data dasar yang sudah dikumpulkan diinterpretasikan sehingga ditemukan
masalah atau diagnosa yang spesifik. Kasus ikterus neonatorum ditetapkan berdasarkan
data dasar yang dikumpulkan bahwa bayi tersebut kulit dan skleranya terlihat kuning,
pembesaran pada perut dan hati dan kadar bilirubin dalam darahnya meningkat.

3. Langkah III (Identifikasi Diagnosa / Masalah Potensial)


Pada langkah ini kita mengidentifikasi masalah atau diagnosa potensial lain
berdasarkan ragkaian masalah dan diagnosa yang sudah diidentifikasi. Langkah ini
membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan dilakukan pencegahan. Sambil mengamati
klien, bidan diharapkan dapat bersiap-siap bila diagnosa/masalah potensial ini benar-
benar terjadi. Pada kasus ikterus neonatorum masalah yang biasa timbul jika ikterus
neonatorum ini tidak dapat diatasi dan kadar bilirubinnya semakin tinggi adalah kern
ikterus bahkan bisa menyebabkan kematian.
4. Langkah IV (Perlunya Tindakan segera / Kolaborasi)
Beberapa data menunjukkan situasi emergensi dimana bidan perlu bertindak segera
demi keselamatan bayi,beberapa data menunjukkan situasi yang memerlukan tindakan
segera sementara menunggu instruksi dokter. Mungkin juga memerlukan konsultasi
dengan tim kesehatan lain.Bidan mengevaluasi situasi setiap pasien untuk menentukan
asuhan pasien yang paling tepat. Langkah ini mencerminkan kesinambungan dari proses
manajemen kebidanan. Pada kasus ikterus neonatorum diperlukan adanya tindakan segera
dan kolaborasi dengan dokter spesialis anak untuk penanganan lebih lanjut.

5. Langkah V (Merencanakan asuhan yang menyeluruh)


Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh, ditentukan oleh langkah-
langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan kelanjutan manajemen terhadap diagnosa
atau masalah yang telah diidentifikasi atau diantisipasi, dan pada langkah ini reformasi /
data dasar yang tidak lengkap dapat dilengkapi. Pada kasus ikterus neonatorum rencana
asuhan yang diberikan adalah mengobservasi keadaan umum dan tanda-tanda vital,
memberikan intake ASI, memeriksa kadal bilirubin dengan pemeriksaan laboratorium,
pada bayi dengan ikterus fisiologi dianjurkan untuk menjemur bayi pada sinar matahari
pagi jam 7-8 pagi selama 15 sampai 30 menit dan pada kasus ikterus patologi melakukan
kolaborasi dengan dokter spesialis anak untuk tindakan fototerapi.

6. Langkah VI (Melaksanakan perencanaan dan penatalaksanaan)


Pada langkah ini, rencana asuhan menyeluruh seperti yang telah diurakan pada
langkah kelima dilaksanakan secara efisien dan aman. Perencanaan ini bisa dilakukan
oleh bidan atau sebagian lagi oleh klien, atau anggota tim kesehatan yang lain.Walaupun
bidan tidak melakukannya sendiri tetapi dia tetap memikul tanggung jawab untuk
mengarahkan pelaksanaanya sehingga dapat meningkatkan mutu dan asuhan pada bayi
dengan ikterus neonatorum.
Perlindungan mata bayi juga harus diperhatikan dalam tahap ini agar tidak
menimbulkan komplikasi / efek samping yang tidak diharapkan dari pelaksanaan
fototerapi. Selain itu pemberian susu formula pada bayi baru lahir juga harus diperhatikan
untuk mencegah tejadinya Necrotizing Enterocolitis (NEC).
7. Langkah VII (Evaluasi)
Pada langkah ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang sudah diberikan,
meliputi pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah benar-benar telah terpenuhi sesuai
dengan sebagaimana telah diidentifikasi dalam masalah dan diagnosis. Rencana tersebut
dapat dianggap efektif jika memang sesuai dengan masalah dan diagnosis klien, juga
benar dalam pelaksanaannya. Disamping melakukan evaluasi terhadap hasil asuhan yang
telah diberikan, bidan juga dapat melakukan evaluasi terhadap proses asuhan yang telah
diberikan. Dengan harapan, hasil evaluasi proses sama dengan hasil evaluasi secara
keseluruhan. Pada kasus ikterus neonatorum diharapkan dapat terlaksana seperti:
kebutuhan terpenuhi, kadar bilirubin menurun, kondisi umum bayi baik, refleks
menghisap dan refleks gerak baik (Mufdillah, dkk, 2012: 111-119).
Pada evaluasi pun dilihat apakah ada efek samping dari penatalaksanaan fototerapi
seperti ruam pada kulit bayi, perubahan warna pada kulit bayi, perubahan pola eliminasi
dan tanda-tanda dehidrasi.
BAB V
PENUTUP

1. Kesimpulan
1. Dalam melakukan pengumpulan data dasar pada bayi “H” dengan ikterus

patologi dilaksanakan dengan mengumpulkan data subyektif yang diperoleh dari

hasil wawancara dimana ibu pasien mengatakan kulit bayinya berwarna kuning,

data objektif diperoleh dari pemeriksaan fisik seperti kulit dan sklera bayi

nampak kuning, refleks isap dan menelan bayi lemah serta data penunjang yang

diperoleh dari pemeriksaan laboratorium yaitu bilirubin total 16,20 gr/dl.

2. Identifikasi diagnosa atau masalah aktual dilakukan dengan pengumpulan data

secara teliti dan akurat, sehingga didapatkan diagnosa kebidanan pada bayi “H”,

NCB SMK dengan ikterus patologi (hyperbilirubinemia) yang disertai dengan

masalah kekurangan cairan.

3. Diagnosa potensial pada kasus ini tidak muncul karena penanganan yang cepat

dan tepat.

4. Perlunya tindakan segera atau kolaborasi dalam langkah ini dilakukan kolaborasi

dengan dokter spesialis anak untuk dilakukan tindakan fototerapi 2 x 24 jam

(fototerapi sinar diberi selama 24 jam dan istirahat 2 jam) dan memenuhi

kebutuhan cairan yaitu 40 cc per 3 jam..

5. Merencanakan asuhan yang menyeluruh, pada kasus ini rencana asuhan yang

dilakukan cuci tangan sebelum dan sesudah memegang bayi, observasi KU bayi

dan tanda-tanda vital tiap 3 jam, berikan intake ASI atau susu formula tiap 3 jam,

jaga kehangatan bayi, melakukan kolaborasi dengan dokter spesialis anak untuk

melakukan tindakan fototerapi, memberikan informasi dan dan penjelasan

tentang hasil pemeriksaan pada keluarga bayi “H” tentang kondisi bayi “H” saat
ini, melakukan informed consent atau persetujuan dengan pihak keluarga untuk

dilakukan tindakan fototerapi, melakukan tindakan fototerapi 2X 24 jam

(fototerapi sinar diberi selama 24 jam dan istirahat 1 jam).

6. Melaksanakan perencanaan dan penatalaksanaan pada bayi “H” merupakan

pelaksanaan dari rencana tindakan.

7. Evaluasi, setalah dilakukan asuhan kebidanan selama 2 hari pada kasus bayi “H”

dengan ikterus patologi didapat hasil KU bayi baik, refleks menghisap dan

menelan kuat, sklera dan kulit bayi sudah tidak kuning, kebutuhan nutrisi

tercukupi, berat badan bayi naik menjadi 2970 gram ( Kembali ke berat badan

lahir) , dan kadar bilirubin menurun (8.73 gr/dL).

2. Saran
1. Bagi rumah Sakit
Diharapkan lebih meningkatkan profesionalisme dalam melaksanakan asuhan pada
bayi agar dapat mempercepat proses penyembuhan khususnya pada bayi dengan
ikterus patologi dan mencegah terjadinya komplikasi.
2. Bagi profesi
Meningkatkan mutu penanganan dan pelayanan bagi bayi dengan ikterus patologi
secara cepat, tepat dan komprehensif.
LAMPIRAN

Identifikasi bayi dan prinsip pencegahan infeksi

Perawatan payudara dan kelas ibu nifas untuk meningkatkan produksi ASI

Pengukuran antropometri bayi baru lahir dan perawatan tali pusar

Fototerapi bayi baru lahir dan kegiatan jemur bayi


DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, Yetti. Hubungan Antara Persalinan Prematur Dengan


Hiperbilirubinemia: Jurnal Kesehatan. Vol.V, No.2, 109-112. Oktober 2014.
CMNRP. Newborn Hyperbilirubinemia. 2015.
Elmeida, Ika Fitria. Asuhan kebidanan neonatus bayi dan balita dan anak pra
sekolah. Trans Info Media: Jakarta Timur. 2015
Faiqah, Syajaratuddur. Hubungan Usia Gestasi dan Jenis Persalinan Dengan Kadar
Bilirubinemia Pada Bayi Ikterus Di RSUP NTB: Jurnal Kesehatan Prima,
Vol 8, .No.2. Agustus 2014.
Herawati dan Maya Indriyati, Pengaruh Pemberian ASI Awal Terhadap Kejadian
Ikterus Pada Baru Lahir 0-7 Hari: Midwife Journal, Vol.3, No. 01. Januari
2017.
Kosim, Yunanto, dkk. Buku Ajar Neonatologi: CV. Agung Seto. Jakarta. Edisi
Pertama. 2012.
Manggiasih, Vdia Atika dan Pongki Jaya. Asuhan Kebidanan Pada Neonatus, Bayi,
Balita dan Anak Pra Sekolah. Trans Info Media: Jakarta. 2016.
Maryunani, Anik. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita, In Media:
Jakarta.2014.
Mathindas, Stevry, dkk. Hiperbilirubimenia Pada Neonatus: Jurnal
Biomedik.MVol.5, No. 1, S4-10. Maret 2013.
Maulida, Luluk Fajria. Ikterus Neonatorum: PROFESI. Vol.10, No.3. September,
2013-Februari 2014.
Maulike, Novie dan Nurjannah Ade. Faktor-Faktor Pada Ibu Bersalin Yang
Berhubungan dengan Kejadian Hiperbilirubin Pada Bayi Baru Lahir: Jurnal
Kesehatan Kartika. Vol.8. No.4 Maret 2013.
Rukiyah, Ai Yeyeh dan Lia Yulianti. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita, Trans
Info Media: Jakarta. Edisi ketiga. 2013.
Sondakh. Asuhan Kebidanan Persalinan & Bayi Baru Lahir. Erlangga: Jakarta.
2013
Walyani, Elisabeth Siwi. Asuhan Persalinan dan Bayi Baru Lahir. Pustaka Baru:
Yogyakarta. 2015.

Anda mungkin juga menyukai