Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN ILMIAH

KEGAWATDARURATAN NEONATAL DENGAN


HIPERBILIRUMINEMIA DI RUANG NRT
RSUP DR. KARIYADI SEMARANG

Oleh:
ALFIAH MARIKA NURHANAFI M
P1337424820005

PROGAM STUDI PROFESI BIDAN


JURUSAN KEBIDANAN SEMARANG
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES
SEMARANG
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Ilmiah Kegawatdaruratan Neonatal dengan Hiperbilirubinemia di


Ruang NRT RSUP Dr. Kariyadi Semarang pada 22 Maret 2021 hingga 3 April
2021 ini telah diperiksa dan disetujui untuk memenuhi Tugas Praktik Klinik Stase
Gadar Maternal dan Neonatal Program Studi Profesi Bidan Politeknik Kesehatan
Kemenkes Semarang, pada:
Hari :
Tanggal :

Pembimbing Institusi Pembimbing Lahan

Erna Widyastuti, S.SiT, M.Kes Nur Hidayah, S.Kep.Ns.


NIP. 19771003 200212 2 001 NIP. 197407101998032001
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
bimbingan-Nya saya dapat menyelesaikan Laporan Ilmiah dengan judul “Laporan
Ilmiah Kegawatdaruratan Neonatal dengan Hiperbilirubinemia di Ruang NRT
RSUP Dr. Kariyadi Semarang”. Laporan ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Bidan (Bd) pada Program Studi Profesi Bidan Politeknik
Kesehatan Kemenkes Semarang.
Penulis menyadari sepenuhnya hanya dengan ketelitian, kesabaran serta
bantuan dari berbagai pihak penulis dapat menyelesaikan Laporan Ilmiah ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya dengan hati yang tulus kepada:
1. Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang yang telah memberikan
kesempatan dan fasilitas kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan program studi kebidanan.
2. Ibu Sri Rahayu, S.Kp.Ns., S.Tr.Keb, M.Kes selaku Ketua Jurusan Program
Studi Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang.
3. Ibu Ida Ariyanti, S.SiT, M.Kes selaku Ketua Program Studi S1 Terapan
Kebidanan dan Profesi Bidan Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang.
4. Ibu Erna Widyastuti, S.SiT, M.Kes selaku pembimbing institusi yang telah
memberikan bimbingan, arahan dan masukannya dalam penyusunan laporan.
5. Ibu Nur Hidayah, S.Kep.Ns selaku pembimbing lahan yang telah memberikan
bimbingan, arahan dan masukannya dalam penyusunan laporan ini.
6. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini, yang
tidak ias saya sebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas budi baik semua pihak yang telah
mendukung dan membantu dalam menyelesaikan laporan ini. Harapan saya
semoga laporan ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk para
pembaca.
Semarang, Maret 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi per 1000
kelahiran hidup (Shetty dan Sraddha, 2014). Angka Kematian Bayi
(AKB) merupakan salah satu indikator status kesehatan masyarakat yang
terkait dengan berbagai indikator kesehatan dan indikator pembangunan
lainnya. Angka Kematian Bayi (AKB) tidak hanya menggambarkan
keberhasilan pembangunan sektor kesehatan, tetapi juga terkait langsung
dengan angka rata-rata harapan hidup penduduk disuatu daerah (Mala, 2015).
Angka Kematian Bayi (AKB) pada Negara ASEAN (Association of
South East Asia Nations) seperti di Singapura sebanyak 3 per 1000 kelahiran
hidup, Malaysia 5,5 per 1000 kelahiran hidup, Thailand 17 per 1000 kelahiran
hidup, Vietnam 18 per 1000 kelahiran hidup, dan Indonesia 27 per 1000
kelahiran hidup. Angka Kematian Bayi di Indonesia masih tinggi dari negara
ASEAN lainnya, jika dibandingkan dengan target dari MDGs (Millenium
Development Goals) pada tahun 2015 yaitu 23 per 1000 kelahiran hidup
(World Health Organization, 2015).
Beberapa penyelidikan kematian neonatal di beberapa rumah sakit di
Indonesia menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kematian
neonatal adalah adalah faktor ibu yang mempertinggi kematian neonatal atau
perinatal (High Risk Mother) dan faktor bayi yang mempertinggi kematian
neonatal atau perinatal (High Risk Infant) diantaranya adalah BBLR, asfiksia
dan ikterus neonatorum (Herawati dan Indriati, 2017).
Penurunan AKN menjadi perhatian karena kematian neonatal
menyumbang 59% dari kematian bayi. Kematian bayi yang utama di
Indonesia disebabkan karena BBLR 26%, ikterus 9%, hipoglikemia 0,8% dan
infeksi neonatorum 1,8%. Prevalensi kejadian ikterus neonatorum di dunia
masih cukup tinggi. Di Amerika Serikat, 65% dari 4 juta neonatus yang lahir
setiap tahunnya mengalami ikterus neonatorum dalam minggu pertama
kehidupannya. Di Indonesia, menurut data di salah satu Rumah Sakit yaitu
RSUD Dr. Soetomo menunjukkan peningkatan kejadian ikterus neonatorum,
pada tahun 2012 sebanyak 380 kasus, dan pada tahun 2013 terdapat sebanyak
392 kasus ikterus neonatorum, dan pada tahun 2018, terdapat 395 kasus
ikterus neonatorum.
Ikterus Neonatorum merupakan salah satu fenomena klinis yang
paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup
bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan
oleh keadaan ini. Bayi dengan hiperbilirubinemia tampak kuning akibat
akumulasi pigmen bilirubin yang berwama kuning pada sklera dan kulit
(Mathindas, 2014). Bilirubin adalah produk dari pemecahan sebagian
hemoglobin yang terjadi saat darah merah sel-sel hancur. Biasanya, bilirubin
diekskresikan melalui tubuh setelah melewati hati, limpa, ginjal dan saluran
gastrointestinal. Pengobatan ikterus neonatorum pada umumnya dilakukan
dengan fototerapi dan minoritas kecil memerlukan transfusi tukar (Shetty dan
Binoop, 2014).
Ikterus neonatorum tidak selamanya fisiologis, akan tetapi bila tidak
segera ditangani dengan baik akan menimbulkan cacat seumur hidup atau
bahkan kematian. Demikian juga ikterus patologi yaitu ikterus yang timbul
apabila kadar bilirubin total melebihi 12 mg/dl, apabila tidak ditangani
dengan baik akan menimbulkan komplikasi yang membahayakan karena
bilirubin dapat menumpuk diotak yang disebut dengan kem ikterus yang
merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat.
Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan
gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia
dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup (Herawati dan Indriati,
2017).

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada neonatus
hiperbilirubinemia dengan menerapkan pola pikir melalui pendekatan
manajemen kebidanan kompetensi bidan di Indonesia dan
pendokumentasian menggunakan SOAP.
2. Tujuan khusus
Diharapkan mahasiswa Pendidikan Profesi Bidan Politeknik Kesehatan
Kemenkes Semarang mampu:
a. Mahasiswa diharapkan dapat melakukan pengumpulan data fokus
secara subjektif dan objektif
b. Mahasiswa diharapkan dapat menginterprestasikan data sesuai dengan
data yang telah dikumpulkan
c. Mahasiswa diharapkan dapat mengidentifikasi diagnosa dan masalah
potensial sesuai dengan interprestasi data yang ada
d. Mahasiswa diharapkan dapat mengidentifikasi kebutuhan tindakan
untuk mengantisipasi masalah potensial
e. Mahasiswa diharapkan dapat merencanakan asuhan kebidanan secara
menyeluruh
f. Mahasiswa diharapkan dapat melaksanakan asuhan kebidanan secara
komprehensif dan menyeluruh
g. Mahasiswa diharapkan dapar mengevaluasi asuhan kebidanan yang
telah dilakukan
h. Mahasiswa diharapkan dapat melakukan dokumentasi asuhan
kebidanan pada kegawatdaruratan neonatal dengan hiperbilirubinemia
sesuai dengan SOAP
i. Mahasiswa mampu menganalisa dan membahas kasus.

C. Manfaat
1. Manfaat bagi Mahasiswa
Mahasiswa mampu mengaplikasikan teori yang telah dipelajari kepada
pasien dan mampu memberikan asuhan kebidanan secara komprehensif.
2. Klien
Klien mendapatkan asuhan kebidanan yang komprehensif dan terhindar
dari komplikasi yang tidak diinginkan.
3. Institusi pendidikan dan petugas kesehatan
Diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat untuk
pengembangan ilmu manajemen asuhan kebidanan pada Neonatus
dengan hiperbilirubinemia
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Kegawat Daruratan Neonatal


1. Definisi
Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi
secara tiba-tiba, seringkali merupakan kejadian yang berbahaya.
Kegawatdaruratan dapat juga didefinisikan sebagai situasi serius dan
kadang kala berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan
membutuhkan tindakan segera guna menyelamatkan jiwa/nyawa
(Setyarini, 2016).
Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan
evaluasi dan manajemen yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit (≤ usia
28 hari) membutuhkan pengetahuan yang dalam mengenali perubahan
psikologis dan konsisi patologis yang mengancam jiwa yang bisa saja
timbul sewaktu-waktu (Setyarini, 2016).
Kegawatdaruratan neonatal adalah pasien yang perlu pertolongan
tepat, cermat dan cepat untuk mencegah kematian/kecacatan. Ukuran
keberhasilan dari pertolongan ini adalah waktu tanggap (respon time) dari
penolong. Pengertian lain dari penderita gawat darurat adalah penderita
yang bila tidak ditolong segera akan meninggal atau menjadi cacat,
sehingga diperlukan tindakan diagnosis dan penanggulangan segera.
Karena waktu yang terbatas tersebut, tindakan pertolongan harus
dilakukan secara sistematis dengan menempatkan prioritas pada fungsi
vital sesuai dengan urutan ABC yaitu :
A (Air Way) : membersihkan jalan nafas dan menjamin nafas bebas
hambatan
B (Breathing) : menjamin ventilasi lancar
C (Circulation) : melakukan pemantauan peredaran darah
2. Faktor-Faktor Penyebab Kegawatdaruratan pada Neonatus
Beberapa faktor berikut dapat menyebabkan kegawatdaruratan pada
neonatus. Faktor tersebut antara lain, faktor kehamilan yaitu kehamilan
kurang bulan, kehamilan dengan penyakit DM, kehamilan dengan gawat
janin, kehamilan dengan penyakit kronis ibu, kehamilan dengan
pertumbuhan janin terhambat dan infertilitas. Faktor lain adalah faktor
pada saat persalinan yaitu persalinan dengan infeksi intrapartum dan
persalinan dengan penggunaan obat sedative. Sedangkan faktor bayi yang
menyebabkan kegawatdaruratan neonatus adalah Skor apgar yang rendah,
BBLR, bayi kurang bulan, berat lahir lebih dari 4000 gr, cacat bawaan,
dan frekuensi pernafasan dengan 2x observasi lebih dari 60/menit
(Setyarini, 2016).
3. Kondisi yang Menyebabkan Kegawatdaruratan Neonatus
a. Hipotermia
Hipotermia adalah kondisi dimana suhu tubuh <36 oC atau kedua
kaki dan tangan teraba dingin. Untuk mengukur suhu tubuh pada
hipotermia diperlukan termometer ukuran rendah (low reading
termometer) sampai 25oC. Disamping sebagai suatu gejala, hipotermia
dapat merupakan awal penyakit yang berakhir dengan kematian.
Akibat hipotermia adalah meningkatnya konsumsi oksigen
(terjadi hipoksia), terjadinya metabolik asidosis sebagai konsekuensi
glikolisis anaerobik, dan menurunnya simpanan glikogen dengan
akibat hipoglikemia. Hilangnya kalori tampak dengan turunnya berat
badan yang dapat ditanggulangi dengan meningkatkan intake kalori.
Etiologi dan faktor predisposisi dari hipotermia antara lain:
prematuritas, asfiksia, sepsis, kondisi neurologik seperti meningitis
dan perdarahan cerebral, pengeringan yang tidak adekuat setelah
kelahiran dan eksposure suhu lingkungan yang dingin. Penanganan
hipotermia ditujukan pada:
1) Mencegah Hipotermia
2) Mengenal bayi dengan hipotermia
3) Mengenal resiko hipotermia
4) Tindakan pada hipotermia
Tanda klinis hipotermia
1) Hipotermia sedang (suhu tubuh 32oC - <36oC), tanda-tandanya
antara lain: kaki teraba dingin, kemampuan menghisap lemah,
tangisan lemah dan kulit berwarna tidak rata atau disebut kutis
marmorata.
2) Hipotermia berat (suhu tubuh <32oC), tanda-tandanya antara lain:
sama dengan hipotermia sedang, dan disertai dengan pernafasan
lambat tidak teratur, bunyi jantung lambat, terkadang disertai
hipoglikemi dan asidosis metabolik
3) Stadium lanjut hipotermia, tanda-tandanya antara lain: muka,
ujung kaki dan tangan berwarna merah terang, bagian tubuh
lainnya pucat, kulit mengeras, merah dan timbul edema terutama
pada punggung, kaki dan tangan (sklerema)
b. Hipertermia
Hipertermia adalah kondisi suhu tubuh tinggi karena kegagalan
termoregulasi. Hipertermia terjadi ketika tubuh menghasilkan atau
menyerap lebih banyak panas daripada mengeluarkan panas. Ketika
suhu tubuh cukup tinggi, hipertermia menjadi keadaan darurat medis
dan membutuhkan perawatan segera untuk mencegah kecacatan dan
kematian.
Tanda dan gejala:
Panas, kulit kering, kulit menjadi merah dan teraba panas,
pelebaran pembuluh darah dalam upaya untuk meningkatkan
pembuangan panas, bibir bengkak. Tanda-tanda dan gejala bervariasi
tergantung pada penyebabnya. Dehidrasi yang terkait dengan serangan
panas dapat menghasilkan mual, muntah, sakit kepala, dan tekanan
darah rendah. Hal ini dapat menyebabkan pingsan atau pusing,
terutama jika orang berdiri tiba-tiba. Tachycardia dan tachypnea dapat
juga muncul sebagai akibat penurunan tekanan darah dan jantung.
Penurunan tekanan darah dapat menyebabkan pembuluh darah
menyempit, mengakibatkan kulit pucat atau warna kebiru-biruan
dalam kasus-kasus lanjutan stroke panas. Beberapa korban, terutama
anak-anak kecil, mungkin kejang-kejang. Akhirnya, berbagai organ
tubuh mulai gagal, ketidaksadaran dan koma.
c. Hiperglikemia
Hiperglikemia atau gula darah tinggi adalah suatu kondisi
dimana jumlah glukosa dalam plasma darah berlebihan. Hiperglikemia
disebabkan oleh diabetes mellitus. Pada diabetes melitus,
hiperglikemia biasanya disebabkan karena kadar insulin yang rendah
dan atau oleh resistensi insulin pada sel. Kadar insulin rendah dan/atau
resistensi insulin tubuh disebabkan karena kegagalan tubuh
mengkonversi glukosa menjadi glikogen, pada akhirnya membuat sulit
atau tidak mungkin untuk menghilangkan kelebihan glukosa dari
darah.
Gejala hiperglikemia antara lain: polifagi (sering kelaparan),
polidipsi (sering haus), poliuri (sering buang air kecil), penglihatan
kabur, kelelahan, berat badan menurun, sulit terjadi penyembuhan
luka, mulut kering, kulit kering atau gatal, impotensi (pria), infeksi
berulang, kusmaul hiperventilasi, arhythmia, pingsan, dan koma.
d. Tetanus Neonatorum
Tetanus neonaturum adalah penyakit tetanus yang diderita oleh
bayi baru lahir yang disebabkan karena basil klostridium tetani.
Tanda-tanda klinis antara lain: bayi tiba-tiba panas dan tidak mau
minum, mulut mencucu seperti mulut ikan, mudah terangsang, gelisah
(kadang-kadang menangis) dan sering kejang disertai sianosis, kaku
kuduk sampai opistotonus, ekstremitas terulur dan kaku, dahi
berkerut, alis mata terangkat, sudut mulut tertarik ke bawah, muka
rhisus sardonikus. Penatalaksanaan yang dapat diberikan:
1) Bersihkan jalan napas
2) Longgarkan atau buka pakaian bayi
3) Masukkan sendok atau tong spatel yang dibungkus kasa ke dalam
mulut bayi
4) Ciptakan lingkungan yang tenang
5) Berikan ASI sedikit demi sedikit saat bayi tidak kejang
e. Penyakit-penyakit pada ibu hamil
Penyakit penyakit pada kehamilan Trimester I dan II, yaitu:
anemia kehamilan, hiperemesis gravidarum, abortus, kehamilan
ektopik terganggu (implantasi diluar rongga uterus), molahidatidosa
(proliferasi abnormal dari vili khorialis).
Penyakit penyakit pada kehamilan Trimester III, yaitu:
kehamilan dengan hipertensi (hipertensi essensial, pre eklampsi,
eklampsi), perdarahan antepartum seperti solusio plasenta (lepasnya
plasenta dari tempat implantasi), plasenta previa (implantasi plasenta
terletak antara atau pada daerah serviks), insertio velamentosa, ruptur
sinus marginalis, plasenta sirkumvalata.
f. Sindrom Gawat Nafas Neonatus
Sindrom gawat nafas neonatus merupakan kumpulan gejala
yang terdiri dari dispnea atau hiperapnea dengan frekuensi pernafasan
lebih dari 60 kali per menit, sianosis, merintih, waktu ekspirasi dan
retraksi di daerah epigastrium, dan interkostal pada saat inspirasi.
Resusitasi merupakan sebuah upaya menyediakan oksigen ke
otak, jantung dan organ-organ vital lainnya melalui sebuah tindakan
yang meliputi pemijatan jantung dan menjamin ventilasi yang
adekuat. Tindakan ini merupakan tindakan kritis yang dilakukan pada
saat terjadi kegawatdaruratan terutama pada sistem pernafasan dan
sistem kardiovaskuler. Kegawatdaruratan pada kedua sistem tubuh ini
dapat menimbulkan kematian dalam waktu yang singkat (sekitar 4-6
menit) (Setyarini, 2016).

B. Konsep Dasar Hiperbilirubin


1. Definisi
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir biasanya tampak pada 24 jam
setelah lahir, dan ditandai dengan peningkatan cepat bilirubin serum total
85-125 µmol/L (5-7 mg/dl) dengan progresi sefalo-kaudal saat kadarnya
meningkat (Fraser and Cooper, 2011).
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin
mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kern ikterus
kalau tidak ditanggulangi dengan baik (Prawirohardjo, 2014).
Ikterus (jaundice) berasal dari bahasa Perancis yaitu jaune yang
artinya kuning. Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau
jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena
pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah.
Bilirubin merupakan produk utama pemecahan sel darah merah oleh
sistem retikuloendotelial. Kadar bilirubin serum normal pada bayi
baru lahir < 2 mg/dl. Pada konsentrasi > 5 mg/dl bilirubin maka akan
tampak secara klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan membran
mukosa yang disebut ikterus. Ikterus akan ditemukan dalam minggu
pertama kehidupan. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat
pada 50% bayi cukup bulan (aterm) dan 75% bayi kurang bulan
(preterm) (Winkjosastro, 2014).
2. Etiologi
Terdapat empat aspek yang melatarbelakangi terjadinya
hiperbilirubinemia yaitu gangguan pada produksi, transport, konjugasi,
atau ekskresi bilirubin. Penyakit atau gangguan yang meningkatkan
produksi bilirubin atau yang mengganggu transport atau metabolisme
bilirubin bertumpang tindih dengan ikterus fisiologis normal (Fraser and
Cooper, 2011).
a. Gangguan produksi
Faktor yang meningkatkan penghancuran hemoglobin juga
meningkatkan kadar bilirubin. Penyebab peningkatan hemolisis
meliputi:
1) Inkompabilitas tipe/ golongan darah – Rhesus anti-D, anti-A, anti-
B, dan anti-Kell, juga ABO
2) Hemoglobinopati – penyakit sel sabit dan talasemia (diderita oleh
bayi Afrika dan keturunan Mediterania)
3) Defisiensi enzim – glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD)
memelihara integritas membrane sel SDM, dan defisiensi
menyebabkan hemolisis (defisiensi ini adalah penyakit genetic
terkait-X yang merupakan bawaan wanita yang diderita oleh bayi
laki-laki Afrika, Asia, dan keturunan Mediterania)
4) Sferositosis – membrane SDM rapuh
5) Ekstravasasi darah – sefalhematoma dan memar
6) Sepsis – dapat menyababkan peningkatan pemecahan hemoglobin
7) Polisitemia – darah mengandung terlalu banyak sel darah merah
seperti pada transfusi maternofetal atau kembar-ke-kembar.
b. Gangguan transpor
Faktor yang menurunkan kadar albumin darah atau menurunkan
kemampuan mengikat albumin meliputi:
1) Hipotermia, asidosis, atau hipoksia dapat menganggu kemampuan
mengikat albumin.
2) Obat yang bersaing dengan bilirubin memperebutkan tempat
mengikat albumin (misalnya: aspirin, sulfonamide, dan
ampisilin).
3) Gangguan konjugasi
Seperti halnya imaturitas system enzim pada neonates, faktor lain
dapat mengganggu konjugasi bilirubin di hati yang meliputi:
a. Dehidrasi, kelaparan, hipoksia, dan sepsis (oksigen dan glukosa
diperlukan untuk konjugasi)
b. Infeksi TORCH (toksoplasmosis, lain-lain, rubella, sitomegalovirus,
herpes)
c. Infeksi virus lain (misalnya: hepatitis virus pada neonatus)
d. Infeksi bacteria lain, terutama yang disebabkan oleh E.coli
e. Gangguan metabolic dan endokrin yang mengubah aktivitas enzim
UDP-GT (misalnya: penyakit Crigler-Najjar dan sindrom Gilbert)
f. Gangguan metabolic lain, seperti gangguan ekskresi
Faktor yang dapat mengganggu ekskresi bilirubin meliputi:
a. Obstruksi hepatic yang disebabkan oleh anomali congenital, seperti
atresia bilier ekstrahepatik
b. Obstruksi akibat ‘sumbat empedu’ karena peningkatan viskositas
empedu (misalnya: fibrosis kistik, nutrisi parenteral total, gangguan
hemolitik, dan dehidrasi)
c. Saturasi pembawa protein yang diperlukan untuk mengeksresi
bilirubin terkonjugasi ke dalam system bilier.
d. Infeksi, kelainan congenital lain, dan hepatitis neonatal idiopatik, yang
juga dapat menyebabkan bilirubin terkonjugasi berlebihan (Fraser and
Cooper, 2011).
3. Klasifikasi
Menurut Prawirahardjo (2014) klasifikasi hiperbilirubinemia
berdasarkan macamnya dibagi menjadi 2 yaitu Hiperbilirubin fisiologis
dan Hiperbilirubin patologis.
a. Hiperbilirubin fisiologis
1) Timbulnya pada hari kedua atau ketiga pada bayi cukup bulan dan
hari ketiga atau keempat pada bayi kurang bulan
2) Kadar tertinggi bilirubin indirek adalah 10-12 mg/dL pada bayi
cukup bulan dan 15 mg/dL pada bayi kurang bulan, masing-masing
tercapai pada waktu 2-3 hari dan 6-8 hari.
3) Rerata peningkatan <5mg/dL/hari
4) Ikterus hilang pada umur 4-5 hari pada bayi cukup bulan dan 7-9
hari pada bayi kurang bulan.
5) Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik
b. Hiperbilirubin patologis
1) Hiperbilirubin yag terjadi pada 24 jam pertama setelah lahir
apabila kadar bilirubin meningkat melebihi 15 mg%
2) Peningkatan kadar bilirubin 5mg% atau lebih setiap 24 jam
3) Bilirubin serum total >200 μmol/L (12,9 mg/dL).
4) Bilirubin terkonjugasi (reaksi langsung) >25 μmol/L (1,5-2
mg/dL).
5) Persistensi ikterus klinis selama 7-10 hari pada bayi aterm atau 2
minggu pada bayi prematur.
6) Hiperbilirubin yang diseratai hemolysis
7) Hiperbilirubin yang disertai BBL ≤ 2000 gr, masa gestasi < 36
minggu, asfiksia, hipoksia, infeksi (Fraser and Cooper, 2011)
Klasifikasi hiperbilirubinemia berdasarkan jenisnya yaitu
Hiperbilirubin hemolitik, Hiperbilirubin obstruktiva, Hiperbilirubin karena
sebab lainnya, dan kern-hiperbilirubin.
a. Hiperbilurbin hemolitik
Biasanya disebabkan inkompabilitas golongan darah ibu dan bayi
seperti:
1) Inkompabilitas RH
2) Inkompabilitas ABO
3) Inkompabilitas golongan darah lain
4) Kelainan eritrosit kongenital
5) Defisiensi G6PD
b. Hiperbilirubin obstruktiva
Hiperbilirubin yang terjadi karena sumbatan penyaluran empedu baik
dalam hati maupun diluar hati yang mengakibatkan terjadi
penumpukan bilirubin tidak langsung.
c. Hiperbilirubin yang disebabkan lain seperti:
1) Pengaruh hormone atau obat yang mengurangi kesanggupan hepar
untuk konjugasi bilirubin
2) Hipoalbumin
3) Adanya obat atau zat kimia yang mengurangi iktan bilirubin tidak
langsung pada albumin misalnya salsilat, sulfafurazole dan heparin
4) Sindrom griger-najur yakni penyakit akibat tidak terdapat atau
kekurangan G6PD
5) Asidosi metabolik
6) Icterus karena late feeding
7) Pemakaian vitamin K melebih dosis 20 mg
d. Kern-hiperbilirubin
Terdapat penumpukan bilirubin tak terkonjuasi di dalam sel – sel
otak. Pada permulaan tanda klinis tidak jelas dapat disebutkan seperti:
1) Letargi
2) Layuh dan malas minum
3) Hipertonik
4) Opistotonus
5) Tangisan melengking
6) Kejang (American Academy of Pediatrics, 2014)
4. Faktor risiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian
hiperbilirubinemia berat, yaitu:
a. Faktor risiko major
1) Kadar bilirubin total atau bilirubin transkutaneus terletak pada
daerah resiko tinggi
2) Ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama
3) Inkompabilitas golongan darah dengan tes antiglobulin direk yang
positif atau penyakit hemolitik lainnya (defisiensi G6PD,
peningkatan ETCO) karena adanya peningkatan produksi bilirubin
dikarenakan meningkatnya proses penghancuran hemoglobin
4) Umur kehamilan 35-36 minggu karena adanya defisiensi fisiologis
dari enzim uridine diphosphate glucuronosyltransferase (UDPGT)
yang berfungsi untuk mengkonversi bilirubin tak terkonjugasi ke
bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam air.
5) Riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi
6) Sefalhematom atau memar yang bermakna yang meningkatkan
peningkatan penghancuran hemoglobin
7) ASI eksklusif dengan perawatan yang tidak baik dan kehilangan
berat badan yang berlebihan (peningkatan sirkulasi enterohepatic)
8) Ras Asia Timur. Hal ini berkaitan dengan defisiensi G6PD yang
merupakan penyakit genetik terkait-X yang merupakan bawaan
wanita yang diderita oleh bayi laki-laki Afrika, Asia, dan
keturunan Mediterania (Blackburn, 2011).
b. Faktor risiko minor
1) Kadar bilirubin total atau bilirubin transkutaneus terletak pada
daerah resiko sedang
2) Umur kehamilan 37-38 minggu
3) Sebelum pulang bayi tampak kuning
4) Riwayat anak sebelumnya tampak kuning
5) Bayi makrosomia dari ibu DM
6) Umur ibu ≥ 25
7) Laki-laki (defisiensi G6PD adalah penyakik genetik terkait-X yang
merupakan bawaan wanita yang diderita oleh bayi laki-laki)
c. Faktor risiko kurang (faktor ini berhubungan dengan menurunnya
risiko ikterus yang signifikan, besarnya risiko sesuai dengan urutan
penulisan, semakin kebawah risiko semakin rendah)
1) Kadar bilirubin total atau bilirubin transkutaneus terletak pada
daerah resiko rendah
2) Umur kehamilan ≥ 41 minggu
3) Bayi mendapat susu formula penuh
4) Kulit hitam
5) Bayi dipulangkan setelah 72 jam (American Academy of
Pediatrics, 2014).
5. Patofisiologi
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah
Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut
dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari
besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan
Albumin (Albumin binding site). Pada bayi yang normal dan sehat serta
cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil
Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai
tingkat patologis.
Bilirubin adalah produk sisa pemecahan hem, yang sebagian besar
ditemukan dalam sel darah merah. Sel darah merah yang sudah tua,
imatur, malformasi dibuang dari sirkulasi dan dipecah dalam sistem
retikuloendotelial (hati, limfa, makrofag), dan hemoglobin dipecah
menjadi produk sia hem, globin, dan zat besi. Hem dikonversi menjadi
biliverdin dan kemudian menjadi bilirubin tak terkonjugasi. Dua bentuk
utama bilirubin di tubuh yaitu:
a. Bilirubin tak terkonjugasi, larut dalam lemak dan tidak dapat
diekskresi secara mudah, baik dalam empedu maupun urine.
b. Bilirubin terkonjugasi, larut dalam air, melalui hati dapat
diekskresikan, melalui urine.
Metabolisme bilirubin mempunyai tahapan sebagai berikut:
a. Transportasi
Bilirubin tak terkonjugasi ditransfor dalam plasma ke hati berikatan
dengan albumin protein plasma. Jika tidak melekat di albumin, bilirubin
tak terkonjugasi dapat disimpan di lemak ekstravaskuler dan jaringan
saraf tubuh. Pencemaran kulit (ikterus) dan otak merupakan dua tempat
yang paling umum.
b. Konjugasi
Sesampainya di hati, bilirubin dilepaskan dari albumin dan ditransfor
oleh protein pembawa Y dan Z di intraseluler menuju retikulum
endoplasmik halus hati. Bilirubin kemudian dikombinasi dengan
glukosa dan asam glukoronat, dan konjugasi terjadi bila ada oksigen.
Uridin difosfoglokuronil transferase (UDP-GT atau glukorinil
transferase adalah enzim utama yang terlibat dalam konjugasi bilirubin.
Bilirubin terkonjugasi sekarang larut dalam air dan siap untuk ekskresi.
c. Ekskresi
Bilirubin terkonjugasi diekskresi melalui sistem biliaris ke dalam usus
halus, tempat bilirubin ini dikatabolisasi oleh bakteria usus normal
untuk membentuk urobilinogen, kemudian dioksidasi menjadi urobilin
berwarna jingga. Sebagian besar bilirubin terkonjugasi diekskresi dalam
feses, tetapi sejumlah kecil dalam urine (Fraser and Cooper, 2011).
Gambar 1.1 Metabolisme bilirubin

Gambar 1.2 Patofisiologi hiperbilirubinemia


6. Diagnosis hiperbilirubinemia
a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisis harus difokuskan pada identifikasi dari salah
satu penyebab ikterus patologis. Gejala yang dapat mengindikasikan
perlunya evaluasi medis yang lebih luas adalah: muntah, letargi,
pemberian makan yang buruk dan dehidrasi, hepatosplenomegali,
penurunan berat badan yang berlebihan, apnea, ketidakstabilan suhu,
takipnea, urin berwarna gelap atau urin positif mengandung bilirubin,
feses berwarna terang, petekie, ekstravasasi darah, memar kulit
berlebihan, maupun menangis dengan nada tinggi.
Pada kern-ikterus, gejala klinik pada permulaan tidak jelas, antara
lain bayi tidak mau mengisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan
tidak menentu (involutary movements), kejang, tonus otot meninggi,
leher kaku, dan akhirnya opistotonus.
Semua bayi baru lahir harus secara rutin dilakukan pemeriksaan
visual untuk timbulnya gejala ikterik. Evaluasi ikterik dikerjakan
setiap hari sejak lahir dan dengan cara menekan bagian dahi,
midsternum, atau di lutut/pergelangan kaki untuk memperlihatkan
warna kulit dan jaringan subkutan. Ikterik akan terlihat pada awalnya
di bagian muka dan akan menyebar secara kaudal ke badan dan
ekstremitas (Saifuddin, 2012).
Berikut ini merupakan penilaian hiperbilirubinemia menggunakan
rumus Kramer (Dewi, 2010) :

Daerah Luas Ikterus Kadar Bilirubin


(mg%)
1 Kepala dan leher 5 mg
2 Daerah 1 + badan bagian atas 9
3 Daerah 1,2 + badan bagian bawah dan 11
tungkai
4 Daerah 1,2,3 + lengan dan kaki 12
dibawah tungkai
5 Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16

b. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium, sampel yang digunakan adalah
darah yang diambil melalui tusukan pada tumit bayi. Pemeriksaan ini
meliputi:
1) Bilirubin serum untuk menentukan kadar dan apakah bilirubin tak
terkonjugasi atau terkonjugasi. Guna mengantisipasi komplikasi
yang mungkin timbul, maka perlu diketahui daerah letak kadar
bilirubin serum total seperti dalam grafik berikut.
2) Uji Coombs direk untuk mendeteksi adanya antibodi maternal
pada SDM janin.
3) Uji Coombs indirek untuk mendeteksi adanya antibodi maternal
dalam serum.
4) Hitung retikulosit-meningkat akibat hemolisis saat SDM baru
diproduksi.
5) Golongan darah ABO dan tipe Rhesus terhadap kemungkinan
inkompatibilitas.
6) Taksiran hemoglobin/hematokrit untuk melihat adanya sel anemia.
7) Apusan darah perifer-struktur SDM untuk melihat adanya sel
abnormal.
8) Hitung sel darah putih untuk mendeteksi infeksi.
9) Sampel serum untuk imunoglobulin spesifik guna melihat adanya
infeksi TORCH.
10) Assay Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase (G6PD)
11) Zat dalam urin, misalnya galaktosa (Fraser and Cooper, 2011).
7. Penatalakasanaan
a. Penatalaksanaan awal
1) Memberikan ASI sesering mungkin
2) Menjemur bayi dibawah sinar matahari pada pukul 06.00-07.00
WIB dengan kondisi telanjang selama 30 menit, 15 menit dalam
posisi terlentang dan 15 menit sisanya dalam posisi tengkurap.
Berdasarkan penelitian Cheremisinoff dan Regino (1978) yang
menguji tentang kekuatan radiasi sinar matahari yang dilakukan
selama 1 x 24 jam yang berhasil menemukan bahwa antara pukul
06.00-07.00 radiasi sinar matahari hampir tidak ada sama sekali
atau nol persen.
3) Memberikan asupan makanan bergizi tinggi pada ibu dan
menganjurkan ibu untuk tidak minum jamu
4) Menganjurkan ibu dan keluarga untuk segera merujuk bayinya
apabila keadaan bayi bertambah parah serta mengeluarkan feses
berwarna putih keabu-abuan dan liat seperti dempul (Dewi, 2010).
b. Terapi sinar (fototerapi)
1) Definisi
Terapi sinar (light therapy) bertujuan untuk memecah bilirubin
menjadi senyawa dipirol yang nontoksik dan dikeluarkan melalui
urin dan feses (Dewi, 2010). Indikasinya adalah jika kadar bilirubin
dalam darah ≥10 mg% dan setelah atau sebelum dilakukannya
tranfusi tukar (Dewi, 2010).
Foto terapi intensif adalah fototerapi dengan menggunakan sinar
blue-green spectrum (panjang gelombang 430-490 nm) dengan
kekuatan paling kurang 30 uW/cm2 (diperiksa dengan radiometer,
atau diperkirakan dengan menempatkan bayi langsung dibawah
sumber sinar dan kulit bayi yang terpajan lebih luas)
2) Cara
a) Pakaian bayi dibuka agar seluruh bagian tubuh bayi kena sinar
b) Kedua mata dan gonad ditutup dengan penutup yang
memantulkan cahaya
c) Jarak bayi dan lampu ±40 cm
d) Posisi bayi sebaiknya diubah setiap 6 jam sekali
e) Lakukan pengukuran suhu setiap 4-6 jam
f) Periksa kadar bilirubin setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya
sekali dalam 24 jam
g) Lakukan pemeriksaan hemoglobin secara berkala terutama pada
pasien yang mengalami hemolisis
h) Lakukan observasi dan catat lamanya terapi sinar
i) Berikan atau sediakan lampu masing-masing 20 watt sebanyak
8-10 buah yang disusun sevara paralel
j) Berikan air susu ibu yang cukup. Pada saat memberikan ASI
bayi dikeluarkan dari tempat terapi dan dipangku (posisi
menyusui), penutup mata dibuka, serta diobservasi ada tidaknya
iritasi (Vita,2020)
3) Efek samping
a) Perubahan suhu dan metabolik lainnya (peningkatan suhu
lingkungan dan tubuh, peningkatan konsumsi oksigen,
peningkatan laju respirasi, peningkatan aliran darah ke kulit)
b) Perubahan kardiovaskuler (perubahan sementara curah jantung
dan penurunan curah ventrikel kiri)
c) Status cairan (peningkatan aliran darah perifer dan peningkatan
insensible water loss)
d) Fungsi saluran cerna (peningkatan jumlah dan frekuensi buang
air besar, feses cair dan berwarna hijau kecoklatan, penurunan
waktu transit usus, penurunan absorbsi, retensi nitrogen, air dan
elektrolit, serta perubahan aktivitas laktosa)
e) Perubahan aktivitas (letargi, rewel, gelisah)
f) Perubahan berat badan (penurunan nafsu makan)
g) Perubahan kulit (tanning, rashes, burns dan bronze baby
syndrome)
h) Perubahan endokrin (perubahan kadar gonadotropin serum,
peningkatan LH dan FSH)
i) Perubahan hematologi (peningkatan turn over trombosit, cedera
pada sel darah merah dalam sirkulasi dengan penurunan kalium
dan peningkatan aktivitas ATP)
j) Perhatian terhadap perilaku psikologis (isolasi, perubahan
status organisasi dan manajemen perilaku)
4) Indikasi Fototerapi Pada Neonatus Berdasarkan Rekomnedasi
AAP
Tabel 1. Rekomendasi American Academy of Pediatrics Tahun
2004 untuk Penanganan Hiperbilirubin pada Neonaus Sehat dan
Cukup Bulan
Total Serum Bilirubin (mg/dl)
Usia Pertimbangan Fototerapi Transfusi tukar Transfusi
Fototerapi jika fototerapi tukar dan
intensif gagal fototerapi
intensif
≤ 24 jam - - - -
25-48 ≥ 12 ≥ 15 ≥ 20 ≥ 25
49-72 ≥ 15 ≥ 18 ≥ 25 ≥ 30
> 72 ≥ 17 ≥ 20 ≥ 25 ≥ 30

Tabel 2. Rekomendasi American Academy of Pediatrics Tahun


2004 untuk Penanganan Hiperbilirubin pada Neonaus Prematur
(Sehat dan Sakit)
Total Serum Bilirubin (mg/dl)
Neonatus Sehat Neonatus Sakit
Berat Badan Fototerapi Transfusi Fototerapi Transfusi
Tukar Tukar
< 1500 gr 5-8 13-16 4-7 10-14
1500-2000 gr 8-12 16-18 7-10 14-16
2000-2500 gr 12-15 18-20 10-12 16-18
> 2500 gr Sesuaikan Sesuaikan 13-15 18-22
dengan dengan
penanganan penanganan
hiperbilirubin hiperbilirubi
berdasarkan n
usia berdasarkan
usia
Tabel 3. Rekomendasi American Academy of Pediatrics Tahun
2004 Untuk Pedoman Fototerapi Pada Neonatus Dengan Usia
Kehamilan Saat Lahir ≥ 35 Minggu

C. Managemen Asuhan Bayi Hiperbilirubinemia


1. Pengkajian
a. Data subjektif
1) Identitas bayi
Umur: Ikterus fisiologis tampak kira-kira 48 jam setelah
kelahiran dan biasanya menetap dalam 10-12 hari (Fraser and
Cooper, 2011). Ikterus fisiologis timbul pada hari kedua atau
ketiga pada bayi cukup bulan dan hari ketiga atau keempat pada
bayi kurang bulan. Ikterus patologis terjadi pada 24 jam pertama
setelah bayi lahir. Persistensi ikterus klinis selama 7-10 hari pada
bayi aterm atau 2 minggu pada bayi premature (Prawirohardjo,
2014).
2) Jenis kelamin
Bayi laki-laki dengan hiperbilirubinemia hampir terus
menerus berjumlah dua kali lebih banyak dari pada bayi
perempuan (Bergman et al., 2012)
3) Usia orang tua
Usia reproduktif atau usia wanita reproduksi sehat diketahui
bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-35
tahun. Usia reproduktif untuk menjalankan proses kehamilan
karena sistem reproduksi (siklus reproduksi sudah teratur) dan
organ reproduksi sudah matang (endometrium) sudah sempurna
dalam menjalankan fungsinya.
Usia <20 tahun merupakan usia yang masih terlalu dini
karena organ reproduksi belum matang, sedangkan usia >35 tahun
merupakan usia lanjut yang memiliki risiko komplikasi lebih tinggi
karena terjadinya penurunanfungsi organ tubuh. Secara fisik alat
reproduksi pada usia 35 tahun risiko terjadinya komplikasi
kehamilan juga meningkat yang berdampak pada morbiditas dan
mortalitas bayi yang akan dilahirkan (Krisnadi, 2014).
4) Keluhan utama
Ikterus biasanya muncul pertama kali pada wajah dan
berlanjut ke arah caudal menuju badan dan ekstremitas. Ikterus
ditandai dengan pewarnaan kuning pada sklera, mukosa mulut, dan
kulit. Pada fase akut ensefalopati bilirubin, beberapa bayi dengan
ikterus neonatorum akan menunjukkan gejala letargis, hipotoni,
dan malas menyusu. Jika keadaan ini tidak segera ditangani dengan
baik, akan berlanjut pada keadaan kronik yang disebut dengan
kernikterus. Beberapa gejalanya antara lain hipertoni, demam, dan
disertai tangisan yang melengking (Bhutani, 2011).
5) Riwayat prenatal, natal, postnatal
a) Riwayat prenatal
Semakin muda usia gestasional saat lahir, semakin tinggi
level serum bilirubin, sehingga bayi prematur cenderung
mengalami ikterus berat jika dibandingkan dengan bayi cukup
bulan (Hermansen, 2015). Sebaliknya, usia gestasi lebih dari 41
minggu menurunkan risiko ikterus yang signifikan (Kosim,
2014). Ibu hiperbilirubinemia pada kehamilan, ibu dengan
Diabetes Melitus Gestasional, kebiasaan ibu ketika hamil seperti
mengkonsumsi obat-obatan atau hormon, infeksi (bakteri, virus,
protozoa) yang merupakan etiologi dan faktor risiko terjadinya
hiperbilirubinemia.
b) Riwayat natal
Prevalensi hiperbilirubinemia lebih tinggi pada bayi yang
lahir dengan sectio caesarea. Persalinan normal dengan
tindakan, seperti penggunaan vakum atau forceps juga dapat
mengakibatkan sefalhematom. Kondisi ini merupakan salah satu
faktor hiperbilirubinemia pada bayi. Pemberian oksitosin
berlebih saat persalinan dapat meningkatkan metabolisme
bilirubin. Anestesi spinal maupun epidural memberikan efek
level total bilirubin serum yang lebih rendah dibandingkan jenis
anestesi yang lain (Garosi et al., 2016).
Persalinan secara SC terbukti meningkatkan ketahanan
hidup (survival) pada bayi imatur dan menurunkan kematian
neonatus. Hal ini terjadi karena SC diduga berhubungan dengan
stress dan trauma janin yang dapat berkurang bila dibandingkan
dengan persalinan per vaginam (Hartini et al., 2014).
c) Riwayat postnatal
Bayi dengan berat lahir rendah juga berpotensi
mengalami ikterus berat (Hermansen, 2015). Waktu inisiasi
menyusu juga berdampak pada waktu pengeluaran mekonium
pada bayi baru lahir. Semakin dini bayi mendapatkan
kolostrum, semakin cepat waktu pengeluaran mekonium. Hal
ini dapat menurunkan insiden hiperbilirubinemia (Bilgin et al.,
2013).
6) Riwayat kesehatan
Bayi yang memiliki ibu dengan golongan darah ‘O’ dan ayah
dengan golongan darah A atau B berpotensi mengalami ikterus
(Patel et al., 2017). Bayi makrosomia dari ibu yang mengalami
diabetes mellitus merupakan salah satu faktor risiko minor dari
hiperbilirubinemia berat pada bayi (Kosim et al., 2014). Bayi yang
memiliki saudara kandung dengan riwayat hiperbilirubinemia
cenderung mengalami hal serupa (Dhaniyata et al., 2017).
7) Pola fungsional kesehatan
a) Nutrisi:
Bayi dengan ASI eksklusif memiliki kadar serum bilirubin
yang lebih tinggi daripada bayi yang diberi susu formula. Bayi
baru lahir yang menyusu tidak adekuat akan berdampak pada
dehidrasi yang akan meningkatkan sirkulasi enterohepatik.
Akibatnya, kadar bilirubin dalam darah pun meningkat (Kosim,
2016).
b) Eliminasi:
Bayi yang disusui pada tiga jam pertama kehidupan akan
mengeluarkan mekonium pertamanya pada empat jam
selanjutnya (Bilgin et al., 2013). Pada bayi yang mendapat
nutrisi cukup, feses akan berubah dari mekonium menjadi
warna kekuningan pada hari ketiga hingga keempat. Bayi yang
mendapatkan fototerapi cenderung mengalami diare sebagai
efek sampingnya (Muchowski, 2014).
c) Pola aktivitas
Pada bayi baru lahir (BBL) yang menderita
hiperbilirubinemia akan mengalami kelemahan otot sehingga
bayi kurang aktif dan pergerakannya lemah. Pada ikterus bayi
dapat menjadi lesu/lemah, pada ikterus patologi bayi rewel dan
mengangis dengan nada yang tinggi karena mengalami
dehidrasi (Yuliana, 2020)
d) Personal hygiene
Bayi dengan premature, BBLR, RRDS, dan ikterus
mudah sekali terkena infeksi karena daya tahan tubuh belum
sempurna. Oleh karena itu, perlu dilakukan perawatan yang
terjamin kebersihannya seperti kulit dan tali pusat dibersihkan
sebaik-baiknya, memandikan bayi di tempat tidur bayi
itusendiri untuk mencegah hipotermi, dan setiap bayi
disarankan memiliki perlengkapan sendiri (Saifuddin, 2016).
b. Data objektif
1) Keadaan umum: tampak lemah, pucat dan aktivitas menurun.
Tangisan yang melengking ditemukan pada bayi dengan kelainan
neurologis, sedangkan tangisan yang lemah atau merintih terdapat
pada bayi yang kesulitan bernapas (Kosim et. al., 2012).
2) Kesadaran: keadaan umum lemah, tanda-tanda vital tidak stabil
terutama suhu tubuh (hipo/hipertermi), reflek hisap menurun, BB
turun, kulit tampak kuning dan mengelupas (skin rush), sclera mata
tampak kuning, terjadi perubahan warna pada urin dan fases
(Yuliana, 2020)
3) Antopometri
Persentase penurunan berat badan yang berlebih pada bayi juga
merupakan faktor predisposisi ikterus (Almeida & Draque, 2016).
(a) Lingkar kepala : normalnya 30-38 cm, pada bayi BBLR <33
cm
(b) Lingkar dada : normalnya 333-35cm, pada bayi BBLR, <30 cm
(c) Panjang badan : normalnya 48-51 cm, pada bayi BBLR, <45
cm
(d) Berat badan : normalnya 2500-4000gram, pada bayi BBLR
<2500 gram
4) Tanda-tanda vital
(a) Suhu : normalnya antara 36,5°C – 37,5°C, hipertermi yaitu
suhu >37°C dan hipotermia yaitu suhu < 36,5°C. Pada ikterus
fisiologis biasanya suhunya noemal yapi pada ikterus patologis
mengalami ketidakstabilan suhu karena adanya aktivitas
uridine diphosphoglucoronil
(b) Nadi : normalnya 120-160x/menit, takikardi > 160 x/menit,
bradikardi < 120 x/menit
(c) RR : Pernafasan tidak teratur, takipnea > 60 kali/menit pada
bayi prematur dapat terjadi sindrom gawat napas yaitu dengan
keadaan dyspnea (pernapasan < 30 kali per menit) atau
hiperpnea (> 60 kali per menit) atau kadang juga terjadi apnea
(henti napas > 20 detik). Pada ikterus fisiologis nafas noemal
akan tetapi pada ikterus patologi ditandai dengan adanya upnea
dan takipnea (Yuliana, 2020)
5) Pemeriksaan fisik
Kepala : tidak terdapat caput succedaneum, tidak ada cephal
hematoma, UUB datar, UUK belum menutup. Pada
kulit kepala bayi ikterus berwarna kuning
Wajah : tidak edema, dan biasanya membiru (sianosis)
Kulit : warna kulit sama seperti bayi normal lainnya
Mata : simetris, conjungtiva tidak pucat, sklera kuning/ikterus,
adanya secret berlebihan atau kelainan lain
Hidung : Pernafasan cuping hidung, retraksi dinding dada,
takipnea (RR > 60X/mnt). Pada bayi yang mengalami
ikterus kebanyakan hidung terlihat datar dan sering
adanya memar, ada/tidak sumbatan/gangguan
pernafasan pada hidung yang bisa menyebabkan
asfiksia
Telinga : berjumlah 2, sepasang, simetris. Bayi ikterus biasanya
tulang kartilagi belum tumbuh dengan sempurna serta
lembut dan lunak, juga berwarna kuning
Mulut : warna bibir pucat kebiruan, mukosa kering
Leher : Pada leher biasanya tidak ditemukan pembesaran
KGB. Bayi ikterus biasanya didapati leher berwarna
kuning yang menandakan batas kramer 1
Dada : Terdapat retraksi dada, dan sistem pernapasan yang
tidak teratur. Pada bayi ikterus warna dada kuning.
Abdomen : Pada abdomen bayi ikterus biasanya perut menonjol
dan warna kuning
Punggung : tidak ada kelainan bentuk tulang belakang maupun
spina bifida.
Genitalia : Vagina berlubang, labia mayora menutupi labia minora
pada perempuan.
Anus : ada lubang anus
Ekstremitas : - Atas : jari tangan lengkap, tidak polidaktili/sindaktili
dan akral teraba hangat.
- Bawah: jari tangan lengkap, tidak
polidaktili/sindaktili dan akral teraba hangat.

6) Pemeriksaan neurologis
(a) Reflek moro/terkejut
Apabila bayi diberi sentuhan mendadak terutama dengan jari
dan tangan maka akan menimbulkan gerak terkejut.
(b) Reflek mengenggam
Apabila telapak tangan disentuh dengan jari pemeriksa maka
akan berusaha mengenggam jari pemeriksa.
(c) Reflek rooting/mencari
Apabila pipi disentuh oleh jari pemeriksa maka ia akan
menoleh dan mencari sentuhan itu.
(d) Reflek menghisap/sucking reflek
Apabila bayi diberi dot/putting maka ia berusaha untuk
menghisap.

(e) Glabella reflek


Bayi disentuh pada daerah os glabella dengan jari tangan
pemeriksa maka ia akan mengerutkan keningnya dan
mengedipkan matanya (Yuliana, 2020).
7) Pemeriksaan penunjang
a) Darah: DL, Uji Coombs direk dan indirek, bilirubin serum,
golongan darah, apusan darah perifer.
b) Skrining Ikterus melalui metode Kramer
2. Interpretasi data
Langkah awal dari perumusan diagnosa atau masalah adalah
pengolahan data dan analisa dengan menggabungkan data satu dengan
yang lainnya sehingga tergambar fakta (Varney, 2017).
a. Diagnosa kebidanan
Diagnosa yang dapat ditegakkan adalah Diagnosa : Neonatus / preterm
/ Berat Badan (BBLR, BBLSR, BBLER) / massa kehamilan (KMK,
SMK, BMK) usia …… dengan hiperbillirubin
b. Masalah
Masalah yang timbul berdasarkan pernyataan pasien, ditemukan dari
hasil pengkajian atau yang menyertai diagnosa. Masalah mengalami
refleks rooting, sucking, dan swllowing yang lemah, letargis, malas
menyusu
c. Kebutuhan
Kebutuhan yang diperlukan adalah untung menyelesaikan masalah.
Kebutuhan yang diberikan pada neonatus hiperbilirubin adalah
pemenuhan kebutuhan nutrisi, personal hygiene, dan kolaborasi
dengan dokter spesialis anak untuk pengobatan.
3. Diagnosa potensial
Pada langkah ini Bidan menganalisa data dasar yang diperoleh pada
langkah Pada kasus ibu pertama, menginterpretasikan secara logis
sehingga dapat dirumuskan diagnosa dan masalah.
1) Hipotermia: suhu tubuh di bawah normal, kulit dingin, akral dingin,
sianosis.
2) Sindrom gawat napas: pernapasan cepat, sianosis perioral, merintih
waktu ekspirasi, retraksi substernal dan intercostal.
3) Hipoglikemia: gemetar atau tremor, sianosis, apatis, kejang, apnea
intermiten, tangisan lemah atau melengking, kelumpuhan atau letargi,
kesulitan minum, terdapat gerakan putar mata, keringat dingin,
hipotermia, gagal jantung dan henti jantung (sering berbagai gejala
muncul bersama-sama).
4) Kern ikterus: kulit bayi kuning, terdapat pada wajah, dada, perut,
tangan, kaki, ada nya hyperbilirubinemia.
5) Perdarahan intrakanial: kegagalan umum untuk bergerak normal,
reflek moro menurun atau tidak ada, tonus otot menurun, letargi, pucat
atau sianosis, apnea, kegagalan menetek dengan baik, muntah yang
kuat, tangisan bernada tinggi dan tajam, kejang, kelumpuhan, fontanela
mayor mungkin tegang atau cembung, pada sebagian kecil penderita
mungkin tidak ditemukan manifestasi klinik satu pun.
4. Kebutuhan tindakan segera
Tahap ini dilakukan bidan dengan melakukan identifikasi perlunya
tindakan segera untuk mengatasi kondisi yang mengancam nyawa
(Varney, 2017).
1) Mandiri dengan melakukan pembebasan jalan napas, pemberian
oksigen, pengatura termoregulasi
2) Kolaborasi dengan dokter spesialis obestetri dan pediatric untuk
menegakkan diagnosis dan terapi (medikamentosa) atau
penatalaksanaan lebih lanjut
5. Perencanaan
Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh ditentukan
oleh langkah-langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan kelanjutan
manajemen terhadap masalah atau diagnosis yang telah diidentifikasi atau
diantisipasi.
1) Menjelaskan hasil pemeriksaan dan kondisi bayi pada ibu dan keluarga
R/: ibu dan keluarga mengetahui tentang kondisi bayinya.
2) Observasi keadaan umum, tanda-tanda vital serta gejala kekurangan
cairan.
R/: Keadaan umum dan tanda-tanda vital merupakan indikator
perubahan fisiologi tubuh. Periksa dan catat BJ urine tiap 4 jam atau
sesuai advis.

3) Jaga kehangatan dengan menempatkan bayi pada inkubator atau


dengan metode kaguru
R/ Bayi hiperbilirubinemia dengan berat badan lahir rendah mudah
mengalami hipotermi, oleh sebab itu suhu tubuhnya harus
dipertahankan dengan ketat.
4) Berikan kecukupan nutrisi melalui pengawasan nutrisi/ASI yang baik
R/ nutrisi yang adekuat dapat meningkatkan berat badan bayi, Refleks
menelan bayi prematur belum sempurna, oleh sebab itu pemberian
nutrisi harus dilakukan dengan cermat
5) Lakukan pencegahan infeksi untuk mencegah infeksi silang pada bayi
R/ Bayi prematur sangat rentan dengan infeksi, perhatikan prinsip-
prinsip pencegahan infeksi termasuk mencuci tangan sebelum
memegang bayi dan untuk mencegah komplikasi
6) Pantau berat badan setiap 7 hari dalam diagram Fenton
R/ Perubahan berat badan mencerminkan kondisi gizi/nutrisi bayi dan
erat kaitannya dengan daya tahan tubuh, oleh sebab itu
penimbangan berat badan harus dilakukan dengan ketat.
7) Perawatan Tali pusat setiap hari
R/ Tali pusat merupakan salah satu sumber masuknya infeksi.
8) Kolaborasi dengan dokter spesialis dan melakukan asuhan kebidanan
sesuai instruksi dokter spesialis.
R/ Untuk menentukan terapi yang tepat kepada bayi sesuai kebutuhan
9) Berikan KIE ibu untuk memberikan nutrisi yang adekuat
R/: Kolaborasi dengan berbagai bidang dilakukan untuk mencegah
dan mengatasi kegawatdaruratan yang terjadi. Pada kasus
hiperbilirubin, pencegahan dititik beratkan pada pemberian minum
sesegera mungkin dengan frekuensi menyusui paling sedikit 8-12 kali
perhari serta tidak memberikan cairan tambahan seperti air gula
(dekstrose) atau air putih pada bayi yang tidak dehidrasi.
Pada bayi dengan hiperbilirubinemia memberikan ASI harus sesering
mungkin (Dewi,2010), namun dengan tetap memperhatikan frekuensi
napas bayi. Pada ikterus dini dan ikterus karena ASI diperlukan
manajemen ASI yang benar. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan
tanpa diberikan apa-apa selain ASI. Pemberian ASI ekslusif akan
berhasil bila terdapat perlekatan yang erat, bayi disusui segera setelah
lahir, sering menyusui dan memerah ASI
6. Implementasi
Langkah ini berisi tentang asuhan yang telah diberikan kepada klien
berdasarkan rencana yang telah disusun sebelumnya untuk menangani
diagnosa/ masalah yang telah terindentifikasi.
7. Evaluasi
Melakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang sudah diberikan
meliputi pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah benar-benar telah
terpenuhi sesuai kebutuhan yang telah diidentifikasi dalam diagnosa dan
masalah. Dapat ditulis di catatan perkembangan dan evaluasi dengan
dokumentasi:
S: (Data subjektif, data yang didapat dari pasien melalui anamnesa)
O: (Data objektif, hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
yang dibutuhkan)
A: (Hasil analisis diagnosa masalah)
P: (Penatalaksanaan yang dilakukan)
Evaluasi rencana didalamnya termasuk :
a. Asuhan mandiri
b. Kolaborasi
c. Test diagnostik/ laboratorium
d. Konseling
e. Follow up
Kriteria evaluasi
1) Ibu dapat melahirkan dengan aman
2) Ibu dan bayi selamat

DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatrics. 2014. Subcommitte on hyperbilirubinemia.
Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks
of gestation, Clinical Practice Guidelines. Pediatrics.

Bergman AD, Dkk. 2012. ‘Practice parameter: Management of


hyperbilirubinemia in the healthy term newborn’. American Academy of
Pediatric,

Bhutani, V. 2011. Phototherapyto Prevent Severe Neonatal Hyperbilirubinemia in


the Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestational. Journal of the
American Academy of Pediatrics, Vol. 128
http://pediatrics.aappublications.org/content/128/4/e1046

Bilgin, B.S., Koroglu, O.A., Yalaz, M., Karaman, S., Kultursay, N., 2013. Factors
Affecting Bilirubin Levels during First 48 Hours of Life in Healthy Infants.
BioMed Research International. http://dx.doi.org/10.1155/2013/316430

Blackburn, S.T. 2011. Bilirubin Metabolism; Maternal, Fetal & Neonatal


Physiology, A Clinical Perspective. Edisi Ketiga. Saunders. Missouri.

Chen YJ, Chen WC, Chen CM. 2012. Risk Factors for Hyperbilirubinemia in
Breastfed Term Neonates. European Journal of Pediatrics.

Dewi, V. N. L. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Salemba Medika.
Jakarta.

Fraser, D.M. & Cooper, M.A. (2011). Myles Buku Ajar Bidan (Edisi 14). Jakarta:
EGC.

Garosi E, Mohammadi F, Ranjkesh F. 2016. The Relationship between Neonatal


Jaundice and Maternal and Neonatal Factors. Iranian Journal of
Neonatology.

Hartini, K. 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mortalitas Pasien ARDS di


Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Jakarta: Indonesian Journal of
Clininical and Emergency Medicine.

Hermansen, C. L. and Mahajan, A. A. 2015. Newborn Respiratory Distress.


American Family Physician. Lancastar USA: Pubmed.

Kosim, M. S. 2010. Gangguan Napas pada Bayi Baru Lahir dalam Buku Ajar
Neonatologi. Jakarta: IDI.

Kosim, M. S., Soetandio, R. and Sakundarno, M. 2016. Dampak Lama Fototerapi


Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin Total pada Hiperbilirubinemia
Neonatal. Jakarta: Sari Pediatri. doi: 10.14238/sp10.3.2008.201-6.

Krisnadi, S.R, dkk. 2014. Prematuritas. (Sub Bagian Kedokteran Fetomaternal


Bagian Obsteri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran
RS Dr. Hasan Sadikin)
Marmi dan Kukuh Rahardjo. 2012. Asuhan Neonatus Bayi, Balita dan Anak
Prasekolah. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Maryunani, Anik. 2014. Asuhan Neonatus Bayt dan Anak Balita, In Media:
Jakarta.

Maulida, Luluk Fajria. Ikterus Neonatorum: PROFESI. Vol.10, No.3.


September 2013-Februari 2014

Maulike, Novie dan Nurjannah Ade. Faktor-Faktor Pada Ibu Bersalin Yang
Berhubungan dengan Kejadian Hiperbilirubin Pada Bayi Baru Lahir:
Jurnal Kesehatan Kartika. Vol.8. No.4 Maret 2013

Muchowski, K. E., Hospital, N., Pendleton, C., Medicine, F., Program, R., &
Pendleton, C. 2014. Evaluation and Treatment of Neonatal
Hyperbilirubinemia. Am Fam Physician.

Mufdillah, dkk. 2012. Konsep Kebidanan. Nuha Medika: Yogyakarta.

Patel, A.S., Desai, D.A., Patel, A.R., 2017. Association of ABO and Rh
incompatibility with neonatal hyperbilirubinaemia. International Journal of
Reproduction, Contraception, Obstetrics and Gynecology.
http://dx.doi.org/10.18203/2320-1770.ijrcog20171393.

Prawirohardjo, S. 2014. lmu Kebidanan. 4th edn. Jakarta: PT Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo.

Saifuddin, A B. 2012. Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo. Jakarta.

Setyarini, Didien Ika, Suprapti. 2016. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan


Maternal Neonatal. Jakarta: Kemenkes RI.

Varney, Helen. 2017. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 2. Jakarta:
EGC.

Wiknjosastro H. 2014. Ilmu Kebidanan Ed.4 Cetakan ke-2. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Yuliana, Vita. 2020. Studi Literatur: Asuhan Keperawatan Pada Bayi


Hiperbilirubinemia Post Fototerapi dengan Masalah Keperawatan
Hipertermi. Ponorogo: Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Thesis

Anda mungkin juga menyukai