Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PRAKTIK

ASUHAN KEBIDANAN PRANIKAH PADA CALON PENGANTIN


DENGAN KEKURANGAN ENERGI KRONIK DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS PRANGGANG KABUPATEN KEDIRI

OLEH :

LAILATUL HASANAH

NIM 201908052

PROGRAM STUDI PROFESI KEBIDANAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA KEDIRI

2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sustainable Development Goals (SDG’s) merupakan cara baru untuk

menanggulangi masalah kesehatan. SDG’s ini memiliki 17 tujuan, salah

satunya adalah poin ke-2 tentang menanggulangi kelaparan yang berkaitan

dengan kekurangan gizi. Sebagai masalah kesehatan masyarakat, gizi yang

optimal sangat penting untuk kesehatan reproduksi yang normal. Setiap kali

kebutuhan energi tidak terpenuhi dalam jangka panjang, maka menghasilkan

energi yang sedikit, menyebabkan kekurangan energi kronis. Pada wanita

hamil dan wanita menyusui, kekurangan energi kronis memiliki dampak

terburuk (Prawita, 2015)

Dalam Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2015 disebutkan

penyebab utama kematian ibu adalah eklampsia, perdarahan, penyakit

jantung, dan infeksi. Salah satu faktor risiko eklampsia adalah kehamilan pertama atau

primipara (Prawirohardjo, 2010). Kehamilan pertama merupakan pengalaman

pembentukan kehidupan yang membawa perubahan sosial dan psikologis

yang besar bagi seorang perempuan. Menurut Newman (2006), beberapa

perempuan merasa sangat senang menghadapi kehamilan, sedangkan yang

lain mengalami kecemasan. Kemampuan seorang perempuan untuk

beradaptasi saat kehamilan pertama tergantung pada kesiapan yang

dimilikinya. Apabila seorang perempuan belum siap menghadapi kehamilan,

dapat menyebabkan kecemasan lebih lanjut sehingga meningkatkan hormon

adrenalin yang kemungkinan berdampak buruk pada outcome persalinan

(Wulandari, 2006). Outcome persalinan yang dimaksud diantaranya


dijelaskan dalam penelitian Tudiver (2008), bahwa kegagalan dalam adaptasi

dan persiapan sebelum hamil dapat mempersulit masa kehamilan dan

persalinan, menyebabkan depresi post partum, serta meningkatkan perilaku

kekerasan pada anak yang dilahirkan.

Menurut Varney (2007) menyebutkan bahwa apabila pelayanan

kesehatan dan persiapan dilakukan setelah masa konsepsi, kemungkinan akan

mengakibatkan keterlambatan dalam mencegah kecacatan janin, kejadian

bayi berat lahir rendah, dan kematian janin. Berbagai penelitian sudah sejak

lama membuktikan mengenai manfaat persiapan pranikah dalam membantu

pasangan membangun hubungan jangka panjang yang sehat dan

meningkatkan kesejahteraan anak (Hawkins, et al, 2015). Kesiapan menikah

terdiri atas kesiapan emosi, sosial, spiritual, peran, usia, seksual, dan finansial

(Sari, dkk, 2013). Salah satu indikasi bahwa calon pengantin yang sehat

adalah dengan kesehatan reproduksinya berada pada kondisi yang baik

(Kemenkes, 2015).

Dengan kesehatan reproduksi yang telah disiapkan semenjak pranikah

dapat menurunkan kehamilan tidak diinginkan dan juga mengurangi adanya

kelainan yang terjadi pada saat hamil, bersalin, maupun nifas. Oleh karena

itu, program persiapan pranikah menjadi penting dalam perencanaan

kehamilan. Dengan demikan, bidan sebagai ujung tombak kesehatan ibu dan

anak memiliki peran penting dalam memberikan edukasi tetang perencanaan

kehamilan pada calon pengantin dalam asuhan kebidanan pranikah. Masalah

gizi di Indonesia pada umumnya masih didominasi oleh masalah

gizi kurang. Masalah gizi kurang pada kelompok wanita mempengaruhi status
gizi pada periode siklus kehidupan berikutnya (intergenation impact). Salah

satu periode status gizi yang paling menentukan adalah status gizi pada masa

pranikah atau yang biasa disebut masa prakonsepsi. Berdasarkan data

Indikator Kesejahteraan Rakyat Tahun 2014, ratarata usia menikah wanita di

Indonesia yaitu berkisar usia 19-24 tahun dengan presentase 43,95%.

Menurut Cetin dkk. (2009), status gizi prakonsepsi merupakan salah

satu faktor yang dapat mempengaruhi kondisi kehamilan dan kesejahteraan

bayi. Keadaan kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan jauh

sebelumnya, yaitu pada masa remaja dan dewasa sebelum hamil atau selama

menjadi Wanita Usia Subur (WUS). Status gizi dan kesehatan WUS golongan

remaja belum banyak diperhatikan, contohnya yaitu Kurang Energi Kronis

(KEK). KEK dapat diketahui dengan cara pengukuran lingkar lengan atas

(LILA) dengan ambang batas (cut off point) kurang dari 23,5 cm. Pengukuran

mid-upper-arm circumference (MUAC) atau yang lebih dikenal dengan LILA

dapat melihat perubahan secara paralel massa otot, sehingga bermanfaat

untuk mendiagnosis kekurangan gizi (Gibson, 2005).

Secara nasional prevalensi KEK pada WUS dengan usia 15-49 tahun

(tidak hamil) adalah 20,8%. Prevalensi wanita tidak hamil kelompok usia 15-

19 tahun mengalami peningkatan paling tinggi dibandingkan kelompok usia

lainnya yaitu naik sebesar 15,7%. Data Dinas Kesehatan pada tingkat

Provinsi Jawa Barat tahun 2013 menunjukkan prevalensi WUS dengan KEK

sebesar 21,6% (Riskesdas, 2013). KEK dapat memberikan dampak buruk

bagi ibu dan janin. Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat mempengaruhi

proses pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan keguguran, abortus, bayi


lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi, asfiksia intra

partum (mati dalam kandungan) dan lahir dengan berat badan lahir rendah

(BBLR). Efek jangka pendek KEK diantaranya yaitu anemia, perkembangan

organ tidak optimal dan pertumbuhan fisik kurang, sehingga mengakibatkan

kurang produktifnya seseorang. Sehingga perlu ada pencegahan terhadap

kejadian KEK (Waryono, 2010).

Menurut jurnal Sutarsih (2018) Faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi kejadian KEK diantaranya terdapat faktor penyebab langsung

dan tidak langsung. Faktor penyebab langsung yaitu tingkat konsumsi energi,

tingkat konsumsi protein, penyakit infeksi dan usia menarche. Sedangkan

faktor penyebab tidak langsung yaitu pengetahuan tentang gizi prakonsepsi

dan aktifitas fisik (Achadi, 2013) KEK merupakan akibat seseorang

menderita kekurangan zat gizi terutama energi dan protein yang berlangsung

dalam jangka waktu lama atau menahun. Penelitian Sirajuddin (2010) di

Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan asupan energi dan

protein pada wanita yang KEK dan tidak KEK.

1.1.1 Tujuan Khusus

1.1.1.1 Bagi Penulis

1) Melakukan pengkajian data dasar secara lengkap dan

sistematis pada Nn. X dengan KEK

2) Menginterpretasi data serta menemukan diagnosa

kebidanan, masalah dan kebutuhan pada Nn. X dengan

KEK
3) Mengidentifikasi diagnosa potensial pada Nn. X dengan

KEK

4) Melakukan antisipasi pada Nn. X dengan KEK

5) Mengidentifikasi rencana tindakan asuhan kebidanan atau

intervensi segera pada Nn. X dengan KEK

6) Melaksanakan rencana tindakan pada Nn. X dengan

gangguan sistem reproduksi KEK

7) Mengevaluasi hasil asuhan kebidanan pada Nn. X dengan

KEK

1.1.1.2 Penulis mampu menganalisa kesenjangan antara teori dan kasus

nyata di lapangan pada kasus Nn. X dengan KEK

1.1.1.3 Penulis mampu memberikan alternatif pemecahan masalah pada

kasus Nn. X dengan KEK

1.1.2 Tujuan umum

1.1.2.1 Bagi Penulis

Menambah pengetahuan dan pengalaman penulis

tentang penatalaksanaan asuhan kebidanan pranikah pada

Nn.X dengan KEK dan dapat menerapkan teori dan praktik

kebidanan KEK

1.1.2.2 Bagi Profesi

Sebagai salah satu masukan bagi bidan sebagai upaya

meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang optimal

berupa pemantauan, memberikan asuhan kebidanan,pranikah

pada calon pengantin khususnya kasus Nn. X dengan KEK


1.1.2.3 Bagi Instansi dan Institusi

Bagi pendidikan dapat menambah buku referensi dan

sumber bacaan di perpustakaan, untuk meningkatkan kualitas

pendidikan khususnya asuhan kebidanan pranikah calon

pengantin pada Nn. X dengan KEK.


BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Konsep Dasar Pranikah (Calon Pengantin)

2.1.1. Definisi pranikah

Kata dasar dari pranikah ialah “nikah” yang merupakan ikatan

(akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum

dan ajaran agama. Imbuhan kata pra yang memiliki makna sebelum,

sehingga arti dari pranikah adalah sebelum menikah atau sebelum

adanyanya ikatan perkawinan (lahir batin) antara seorang pria dan

wanita sebagai suami istri (Setiawan, 2017).

2.1.2. Tujuan asuhan pranikah

Menurut Kemenkes (2014), penyelenggaraan pelayanan

kesehatan masa sebelum hamil (prakonsepsi) atau pranikah bertujuan

untuk:

2.1.2.1 Menjamin kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan

generasi yang sehat dan berkualitas;

2.1.2.2 Mengurangi angka kesakitan dan angka kematian ibu dan

bayi baru lahir;

2.1.2.3 Menjamin tercapainya kualitas hidup dan pemenuhan hak-

hak reproduksi; dan

2.1.2.4 Mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanan

kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang bermutu, aman, dan

bermanfaat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi.

2.1.3. Persiapan pranikah


Dalam Pelatihan Peer Konselor Kota Depok (2011) dan

Kemenkes (2015), persiapan pernikahan meliputi kesiapan fisik,

kesiapan mental/psikologis dan kesiapan sosial ekonomi.

2.1.3.1 Kesiapan Fisik

Secara umum, seorang individu dikatakan siap secara

fisik apabila telah selesai fase pertumbuhan tubuh yaitu

sekitar usia 20 tahun. Persiapan fisik pranikah meliputi

pemeriksaan status kesehatan, status gizi, dan laboratorium

(darah rutin dan yang dianjurkan).

2.1.3.2 Kesiapan Mental/Psikologis

Dalam sebuah pernikahan, individu diharapkan suda

merasa siap untuk mempunyai anak dan siap menjadi orang

tua termasuk mengasuh dan mendidik anak.

2.1.3.3 Kesiapan Sosial Ekonomi

Dalam menjalankan sebuah keluarga, anak yang

dilahirkan tidak hanya membutuhkan kasih sayang orang tua

namun juga sarana yang baik untuk membuatnya tumbuh dan

berkembang dengan baik. Status sosial ekonomi juga dapat

mempengaruhi status gizi calon ibu, seperti status sosial

ekonomi yang kurang dapat meningkatkan risiko terjadi KEK

dan anemia.

Masa pranikah dapat dikaitkan dengan masa prakonsepsi,

karena setelah menikah wanita akan segera menjalani proses konsepsi.

Masa prakonsepsi merupakan masa sebelum kehamilan. Periode


prakonsepsi adalah rentang waktu dari tiga bulan hingga satu tahun

sebelum konsepsi dan idealnya harus mencakup waktu saat ovum dan

sperma matur, yaitu sekitar 100 hari sebelum konsepsi. Status gizi

WUS atau wanita pranikah selama tiga sampai enam bulan pada masa

prakonsepsi akan menentukan kondisi bayi yang dilahirkan.

Prasayarat gizi sempurna pada masa prakonsepsi merupakan kunci

kelahiran bayi normal dan sehat (Susilowati dkk. 2016).

Adapun pentingnya menjaga kecukupan gizi bagi wanita

pranikah sebelum kehamilan disebabkan karena gizi yang baik akan

menunjang fungsi optimal alat-alat reproduksi seperti lancarnya

proses pematangan telur, produksi sel telur dengan kualitas baik, dan

proses pembuahan yang sempurna. Gizi yang baik juga dapat berperan

penting dalam penyediaan cadangan gizi untuk tumbuh-kembang

janin. Bagi calon ibu, gizi yang cukup dan seimbang akan

memengaruhi kondisi kesehatan secara menyeluruh pada masa

konsepsi dan kehamilan serta akan dapat memutuskan mata rantai

masalah kekurangan gizi pada masa kehamilan (Susilowati dkk.

2016).

Kurang energi kronik (KEK) masih merupakan masalah gizi

utama yang sering menimpa WUS. Seseorang dapat dikatakan KEK

apabila hasil dari pengukuran lingkar lengan atas (LILA) dibawah

23,5 cm. Prevalensi KEK pada WUS di Indonesia menurut Indeks

Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2013


menunjukkan angka sebesar 20,97% sementara untuk provinsi

Sumatera Utara sendiri sebesar 17,61% (IPKM, 2013)

Dampak dari wanita pranikah yang menderita KEK antara lain

dapat mengakibatkan terjadinya anemia, kematian pada ibu pada saat

melahirkan, kematian janin, bayi berat lahir rendah (BBLR), kelahiran

prematur, lahir cacat hingga kematian pada bayi (Stephanie dkk.

2016). Di Indonesia Angka Kematian Ibu (AKI) masih tergolong

besar yaitu 228 ibu per 100.000 kelahiran demikian juga

dengan Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 34 bayi per 1.000

kelahiran (Bappenas, 2010). Menurut World Health Organization

(WHO) mendefinisikan bahwa bayi yang dikatakan BBLR adalah bayi

yang terlahir dengan berat kurang dari 2500 gram (WHO, 2014). Di

Indonesia sendiri prevalensi BBLR pada tahun 2013 mencapai 10,2%

(Riskesdas, 2013).

Bayi yang mengalami gangguan pertumbuhan selama masa

janin, berwujud kecil untuk masa kehamilan (small for gestational

age), beresiko tinggi untuk mengalami gagal tumbuh dalam 2 tahun

pertama kehidupan. Diestimasi sekitar 20% yang mengalami stunting

ditandai oleh gangguan pertumbuhan selama masa janin. Gangguan

pertumbuhan janin dan pertumbuhan yang buruk di masa bayi saat ini

diakui sebagai determinan penting dari kematian neonatal dan bayi,

stunting, berat badan lebih dan obesitas pada masa kanakkanak dan

usia dewasa. Oleh karena itu, intervensi gizi harus ditekankan pada

masa sebelum hamil dan selama hamil (Black, et al dalam Patimah


2017). Berbagai faktor dapat mempengaruhi status gizi wanita

pranikah sebelum kehamilan. Faktor-faktor yang mempengaruh

adalah umur, pendidikan, dan status gizi. Sedangkan selama

kehamilan beberapa faktor yang mempengaruhi adalah frekuensi

kehamilan, derajat aktivitas fisik, komplikasi penyakit saat hamil,

kondisi psikologis dan asupan pangan (Badriah dalam Fauziyah

2012).

Pengetahuan mengenai gizi berperan penting dalam

pemenuhan kecukupan gizi seseorang. Tingkat pengetahuan akan

mendorong seseorang memiliki kemampuan yang optimal berupa

pengetahuan dan sikap. Kurangnya pengetahuan terhadap gizi akan

mempengaruhi seseorang dalam memahami konsep dan perinsip serta

informasi yang berhubungan dengan gizi (Siwi, 2009). Upaya

peningkatan pengetahuan dapat dilakukan dengan cara memberikan

pendidikan gizi (Supariasa, 2014).

Pendidikan gizi mendorong seseorang berupa pengetahuan,

dan perubahan sikap (Notoadmojo, 2012). Hal ini disebutkan dalam

hasil penelitian Sineke dkk. tahun (2013) di wilayah puskesmas

Likupang Kecamatan Likupang Timur Kabupaten Minahasa Utara

menunjukkan terjadi perubahan pengetahuan ibu nifas setelah

diberikan penyuluhan. Dimana sebelum penyuluhan rata-rata

pengetahuan ibu nifas adalah 13,8 setelah penyuluhan mengalami

peningkat rata-rata pengetahuan menjadi sebesar 21,1. Apabila secara

dini mereka telah memiliki pengetahuan tentang tanda bahaya


kehamilan, maka diharapkan kewaspadaan mereka pada saat hamil

dapat ditingkatkan. Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh

Rahim dkk tahun (2013) di Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar

menunjukkan terjadi perubahan pengetahuan mengenai gizi dan

kesehatan reproduksi setelah diberikan Kursus Calon Pengantin

(Suscatin) kepada wanita prakonsepsi. Dimana sebelum Suscatin

hanya 70,4% responden yang berpengetahuan cukup dan 29,6% yang

berpengetahuan kurang. Setelah dilakukan Suscatin mengalami

peningkatan dimana semua responden berpengetahuan cukup yaitu

sebesar 100% dan tidak ada lagi yang berpengetahuan kurang.

Saptawati (2012) mengungkapkan bahwa pengetahuan

mengenai pentingnya gizi bagi calon ibu dapat meningkatkan

kesadaran akan pemenuhan gizi sebelum ia hamil. Hal ini sejalan

dengan hasil penelitian Fauziyah (2012) di Kota Tegal yang

menunjukkan ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang nutrisi

prakonsepsi dimana terdapat kenaikan skor pengetahuan dan

sikap sebelum dan sesudah intervensi. Pada skor pengetahuan terdapat

kenaikan dari kurang baik menjadi baik sebesar 24,2%, dan pada skor

sikap terdapat kenaikan dari kurang baik menjadi baik sebesar 36,45%

setelah diberikan intervensi. Berdasarkan Bappenas (2013)

menyatakan bahwa sasaran intervensif harus dilakukan oleh

masyarakat umum dengan lintas sektoral, termasuk sektor agama.

KUA sebagai lembaga keagamaan biasanya akan memberikan

konseling mengenai keagamaan dan kerukunan berumah


tangga bagi calon pengantin. Namun sayangnya jarang sekali pihak

KUA menyampaikan konseling mengenai kesehatan khususnya

pentingnya gizi prakonsepsi bagi wanita pranikah.

2.1.4. Pelayanan kesehatan pranikah

Pelayanan kesehatan sebelum hamil di Indonesia telah diatur

dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK No. 97 tahun 2014) dan

telah tertulis dalam buku saku kesehatan reproduksi dan seksual bagi

calon pengantin maupun bagi penyuluhnya yang dikeluarkan oleh

Kemenkes RI. Pemerintah baik daerah provinsi maupun

kabupaten/kota telah menjamin ketersediaan sumber daya kesehatan,

sarana, prasarana, dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebelum

hamil sesuai standar yang telah ditentukan. Di Surabaya telah diatur

dalam Surat Edaran Walikota Surabaya perihal Gerakan Masyarakat

Hidup Sehat (GERMAS), beberapa kegiatan program pendampingan

1000 HPK yang berkaitan dengan pranikah adalah dengan

pemeriksaan kesehatan calon pengantin meliputi pemeriksaan fisik

dan laboratorium, serta penyuluhan kesehatan reproduksi calon

pengantin (Puspitasari,2018)

Pelayanan kesehatan masa sebelum hamil dilakukan untuk

mempersiapkan perempuan dalam menjalani kehamilan dan

persalinan yang sehat dan selamat serta memperoleh bayi yang sehat.

Pelayanan kesehatan masa sebelum hami sebagaimana yang dimaksud


dilakukan pada remaja, calon pengantin, dan pasangan usia subur

(PMK No. 97 tahun 2014).

Menurut Kemernkes (2015) dan PMK No. 97 tahun 2014,

salah satu kegiatan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil atau

persiapan pranikah yaitu pemeriksaan fisik yang dilakukan minimal

meliputi pemeriksaan tanda vital (tekanan darah, suhu, nadi, dan laju

nafas) dan pemeriksaan status gizi (menanggulangi masalah kurang

energi kronis (KEK) dan pemeriksaan status anemia). Penilaian status

gizi seseorang dapat ditentukan dengan menghitung Indeks Masa

Tubuh (IMT) berdasarkan PMK RI Nomor 41 Tahun 2014 tentang

Pedoman Gizi Seimbang, sebagai berikut:

𝐵𝐵 (𝑘𝑔)
𝐼𝑀𝑇 =
[𝑇𝐵 (𝑚)]2

Keterangan:

BB = Berat Badan (kg)

TB = Tinggi Badan (m)

Dari hasil perhitungan tersebut dapat diklasifikasikan status gizinya

sebagai berikut:

Tabel 2.1 Klasifikasi Status Gizi berdasarkan IMT

Kategori IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0

Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,4

Normal 18,5 – 25,0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1 – 27,0


Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0

Sumber: Depkes, 2011; Supariasa, dkk, 2014.

Jika seseorang termasuk kategori :

Jika IMT < 17,0: keadaan orang tersebut disebut kurus dengan kekurangan

berat badan tingkat berat atau Kurang Energi Kronis (KEK) berat. Apabila

IMT 17,0 – 18,4: keadaan orang tersebut disebut kurus dengan kekurangan

berat badan tingkat ringan atau KEK ringan (Depkes, 2011).

Menurut Supariasa, dkk (2014), pengukuran LLA pada kelompok

Wanita Usia Subur (usia 15 – 45 tahun) adalah salah satu deteksi dini yang

mudah untuk mengetahui kelompok berisiko Kekurangan Energi Kronis

(KEK). Ambang batas LLA WUS dengan risiko KEK di Indonesia adalah

23,5 cm. Apabila LLA < 23,5 cm atau dibagian merah pita LLA, artinya

wanita tersebut mempunyai risiko KEK, dan diperkirakan akan melahirkan

berat bayi lahir rendah (BBLR), BBLR mempunyai risiko kematian, gizi

kurang, gangguan pertumbuhan, dan perkembangan anak (Supariasa, dkk,

2014).

2.2 Konsep kekurangan energy kronik (KEK)

2.2.1 Pengertian KEK

Kekurangan Energi Kronik (KEK) adalah salah satu keadaan

malnutrisi. Dimana keadaan ibu menderita kekurangan makanan yang

berlangsung menahun (kronik) yang mengakibatkan timbulnya

gangguan kesehatan pada ibu secara relative atau absolut satu atau

lebih zat gizi (Helena, 2013).


Menurut Depkes RI (2002) menyatakan bahwa kurang energi

kronis merupakan keadaan dimana ibu penderita kekurangan makanan

yang berlangsung pada wanita usia subur (WUS) dan pada ibu hamil.

Kurang gizi akut disebabkan oleh tidak mengkonsumsi makanan

dalam jumlah yang cukup atau makanan yang baik (dari segi

kandungan gizi) untuk satu periode tertentu untuk mendapatkan

tambahan kalori dan protein (untuk melawan) muntah dan mencret

(muntaber) dan infeksi lainnya. Gizi kurang kronik disebabkan karena

tidak mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang cukup atau

makanan yang baik dalam periode/kurun waktu yang lama untuk

mendapatkan kalori dan protein dalam jumlah yang cukup, atau

disebabkan menderita muntaber atau penyakit kronis lainnya.

Menurut Depkes RI (1994) pengukuran LILA pada kelompok

wanita usia subur adalah salah satu cara untuk mendeteksi dini yang

mudah dan dapat dilaksanakan oleh masyarakat awam, untuk

mengetahui kelompok berisiko Kekurangan Energi Kronis (KEK).

Kurang Energi Kronis (KEK) pada ibu hamil adalah kekurangan gizi

pada ibu hamil yang berlangsung lama (beberapa bulan atau tahun)

(DepKes RI, 1999).

Risiko Kekurangan Energi Kronis (KEK) adalah keadaan

dimana remaja putri/wanita mempunyai kecenderungan menderita

KEK ( Arismas,2009). Ibu KEK adalah ibu yang ukuran LILAnya <

23,5 cm dan dengan salah satu atau beberapa kriteria sebagai berikut :

a.Berat badan ibu sebelum hamil < 42 kg. b.Tinggi badan ibu < 145
cm. c.Berat badan ibu pada kehamilan trimester III < 45 kg. d.Indeks

masa tubuh (IMT) sebelum hamil < 17,00 e.Ibu menderita anemia (Hb

< 11 gr %) (Weni, 2010).

2.2.2 Etiologi

Keadaan KEK terjadi karena tubuh kekurangan satu atau

beberapa jenis zat gizi yang dibutuhkan. Beberapa hal yang dapat

menyebabkan tubuh kekurangan zat gizi antara lain: jumlah zat gizi

yang dikonsumsi kurang, mutunya rendah atau keduanya. Zat gizi

yang dikonsumsi juga mungkin gagal untuk diserap dan digunakan

untuk tubuh (Helena, 2013).

Akibat KEK saat kehamilan dapat berakibat pada ibu maupun

janin yang dikandungnya yaitu meliputi:

2.2.2.1 Akibat KEK pada ibu hamil yaitu :

a) Terus menerus merasa letih

b) Kesemutan

c) Muka tampak pucat

d) Kesulitan sewaktu melahirkan

e) Air susu yang keluar tidak cukup untuk memenuhi

kebutuhan bayi, sehingga bayi akan kekurangan air

susu ibu pada waktu menyusui.

2.2.2.2 Akibat KEK saat kehamilan terhadap janin yang dikandung

antara lain :

a) Keguguran
b) Pertumbuhan janin terganggu hingga bayi lahir dengan

berat lahir rendah (BBLR)

c) Perkembangan otak janin terlambat, hingga

kemungkinan nantinya kecerdasaan anak kurang, bayi

lahir sebelum waktunya (Prematur)

d) Kematian bayi (Helena, 2013).

2.2.3 Lingkar Lengkar Atas

Jenis antropometri yang digunakan untuk mengukur risiko

KEK kronis pada wanita usia subur (WUS) / ibu hamil adalah lingkar

lengan atas (LILA). Sasarannya adalah wanita pada usia 15 sampai 45

tahun yang terdiri dari remaja, ibu hamil, menyusui dan pasangan usia

subur (PUS). Ambang batas LILA WUS dengan resiko KEK adalah

23,5 cm. Apabila LILA kurang dari 23,5 cm artinya wanita tersebut

mempunyai resiko KEK dan diperkirakan akan melahirkan BBLR

(Supriasa, 2002). Cara mengetahui resiko Kekurangan Energi Kronis

(KEK) dengan menggunakan pengukuran LILA adalah :

2.2.3.1 Pengukuran lingkar lengan atas (LILA) adalah suatu cara

untuk mengetahui resiko Kekurangan Energi Kronis (KEK)

wanita usia subur termasuk remaja putri. Pengukuran LILA

tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi

dalam jangka pendek.

2.2.3.2 Pengukuran dilakukan dengan pita LILA dan ditandai dengan

sentimeter, dengan batas ambang 23,5 cm (batas antara

merah dan putih). Apabila tidak tersedia pita LILA dapat


digunakan pita sentimeter/metlin yang biasa dipakai penjahit

pakaian. Apabila ukuran LILA kurang dari 23,5 cm atau

dibagian merah pita LILA, artinya remaja putri mempunyai

resiko KEK. Bila remaja putri menderita resiko KEK segera

dirujuk ke Puskesmas/sarana kesehatan lain untuk

mengetahui apakah remaja putri tersebut menderita KEK

dengan mengukur IMT. Selain itu remaja putri tersebut harus

meningkatkan konsumsi makanan yang beraneka ragam

(Supriasa, 2002).

Ada beberapa cara untuk dapat digunakan untuk

mengetahui status gizi ibu hamil antara lain memantau

pertambahan berat badan selama hamil, mengukur LILA,

mengukur kadar Hb. Bentuk adan ukuran masa jaringan adala masa

tubuh. Contoh ukuran masa jaringan adala LILA, berat badan, dan

tebal lemak. Apabila ukuran ini rendah atau kecil, menunjukan

keadaan gizi kurang akibat kekurangan energi dan protein yang

diderita pada waktu pengukuran dilakukan. Pertambahan otot dan

lemak di lengan berlangsung cepat selama tahun pertama

kehidupan (Arisman,2009).

Lingkaran Lengan Atas (LILA) mencerminkan tumbuh

kembang jaringan lemak dan otot yang tidak berpengaruh banyak

oleh cairan tubuh. Pengukuran ini berguna untuk skrining

malnutrisi protein yang biasanya digunakan oleh DepKes untuk

mendeteksi ibu hamil dengan resiko melahirkan BBLR bila LILA


< 23,5 cm (Wirjatmadi B, 2007). Pengukuran LILA dimaksudkan

untuk mengetahui apakah seseorang menderita Kurang Energi

Kronis. Ambang batas LILA WUS dengan risiko KEK di

Indonesia adalah 23.5 cm. Apabila ukuran kurang dari 23.5 cm

atau dibagian merah pita LILA, artinya wanita tersebut mempunyai

risiko KEK, dan diperkirakan akan melahirkan berat bayi lahir

rendah ( Arisman, 2007)

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalan pengukuran LILA

a) Pengukuran dilakukan dibagian tengah antara bahu dan siku

lengan kiri.

b) Lengan harus dalam posisi bebas.

c) Lengan baju dan otot lengan dalam keadaan tidak tegang atau

kencang.

d) Alat pengukur dalam keadaan baik dalam arti tidak kusut atau

sudah dilipat-lipat sehingga permukaannya tidak rata (Arisman,

2007).

Cara Mengukur LILA

a) Tetapkan posisi bahu dan siku

b) Letakkan pita antara bahu dan siku.

c) Tentukan titik tengah lengan.

d) Lingkaran pita LILA pada tengah lengan.

e) Pita jangan telalu ketat.

f) Pita jangan terlalu longgar.

g) Cara pembacaan skala yang benar. (Arisman, 2007)


2.2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kekurangan Energi Kronik

(KEK)

Faktor-faktor yang mempengaruhi Kekurangan Energi Kronik (KEK)

Menurut (Djamaliah, 2008) antara lain : jumlah asupan energi, umur,

beban kerja ibu hamil, penyakit/infeksi, pengetahuan ibu tentang gizi

dan pendapatan keluarga. Adapun penjelasannya :

2.2.4.1 Jumlah asupan makanan

Kebutuhan makanan bagi ibu hamil lebih banyak dari

pada kebutuhan wanita yang tidak hamil. Upaya mencapai

gizi masyarakat yang baik atau optimal dimulai dengan

penyedian pangan yang cukup. Penyediaan pangan dalam

negeri yaitu : upaya pertanian dalam menghasilkan bahan

makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah-buahan.

Pengukuran konsumsi makanan sangat penting untuk

mengetahui kenyataan apa yang dimakan oleh masyarakat

dan hal ini dapat berguna untuk mengukur gizi dan

menemukan faktor diet yang menyebabkan malnutrisi.

2.2.4.2 Usia ibu hamil

Semakin muda dan semakin tua umur seseorang ibu

yang sedang hamil akan berpengaruh terhadap kebutuhan gizi

yang diperlukan. Umur muda perlu tambahan gizi yang

banyak karena selain digunakan pertumbuhan dan

perkembangan dirinya sendiri, juga harus berbagi dengan

janin yang sedang dikandung. Sedangkan untuk umur tua


perlu energi yang besar juga karena fungsi organ yang

melemah dan diharuskan untuk bekerja maksimal, maka

memerlukan tambahan energi yang cukup guna mendukung

kehamilan yang sedang berlangsung. Sehingga usia yang

paling baik adalah lebih dari 20 tahun dan kurang dari 35

tahun, dengan diharapkan gizi ibu hamil akan lebih baik.

2.2.4.3 Beban kerja/Aktifitas

Aktifitas dan gerakan seseorang berbeda-beda,

seorang dengan gerak yang otomatis memerlukan energi yang

lebih besar dari pada mereka yang hanya duduk diam saja.

Setiap aktifitas memerlukan energi, maka apabila semakin

banyak aktifitas yang dilakukan, energi yang dibutuhkan juga

semakin banyak. Namun pada seorang ibu hamil kebutuhan

zat gizi berbeda karena zat-zat gizi yang dikonsumsi selain

untuk aktifitas/ kerja zat-zat gizi juga digunakan untuk

perkembangan janin yang ada dikandungan ibu hamil

tersebut. Kebutuhan energi rata-rata pada saat hamil dapat

ditentukan sebesar 203 sampai 263 kkal/hari, yang

mengasumsikan pertambahan berat badan 10-12 kg dan tidak

ada perubahan tingkat kegiatan.

2.2.4.4 Penyakit /infeksi

Malnutrisi dapat mempermudah tubuh terkena

penyakit infeksi dan juga infeksi akan mempermudah status

gizi dan mempercepat malnutrisi, mekanismenya yaitu :


a) Penurunan asupan gizi akibat kurang nafsu makan,

menurunnya absorbsi dan kebiasaan mengurangi

makanan pada waktu sakit.

b) Peningkatan kehilangan cairan atau zat gizi akibat diare,

mual, muntah dan perdarahan yang terus menerus.

c) Meningkatnya kebutuhan, baik dari peningkatan

kebutuhan akibat sakit atau parasit yang terdapat pada

tubuh.

2.2.4.5 Pengetahuan ibu tentang Gizi

Pemilihan makanan dan kebiasaan diet dipengaruhi

oleh pengetahuan, sikap terhadap makanan dan praktek/

perilaku pengetahuan tentang nutrisi melandasi pemilihan

makanan. Pendidikan formal dari ibu rumah tangga sering

kali mempunyai asosiasi yang positif dengan pengembangan

pola-pola konsumsi makanan dalam keluarga. Beberapa studi

menunjukkan bahwa jika tingkat pendidikan dari ibu

meningkat maka pengetahuan nutrisi dan praktek nutrisi

bartambah baik. Usaha-usaha untuk memilih makanan yang

bernilai nutrisi semakin meningkat, ibu-ibu rumah tangga

yang mempunyai pengetahuan nutrisi akan memilih makanan

yang lebih bergizi dari pada yang kurang bergizi.

2.2.4.6 Pendapatan keluarga

Pendapatan merupakan faktor yang menentukan

kualitas dan kuantitas makanan. Pada rumah tangga


berpendapatan rendah, sebanyak 60 persen hingga 80 persen

dari pendapatan riilnya dibelanjakan untuk membeli

makanan. Artinya pendapatan tersebut 70-80 persen energi

dipenuhi oleh karbohidrat (beras dan penggantinya) dan

hanya 20 persen dipenuhi oleh sumber energy lainnya seperti

lemak dan protein. Pendapatan yang meningkat akan

menyebabkan semakin besarnya total pengeluaran termasuk

besarnya pengeluaran untuk pangan.

2.2.4.7 Pemerkaan Kehamian ( Perawatan Ante Natal)

Dalam memantau status gizi ibu hamil, seorang ibu

harus melakukan kunjungan ketenaga kesehatan. Karena

pemeriksaan kenaikan berat badan perlu dilakukan dengan

teliti, jangan sampai wanita hamil terlalu gemuk untuk

menghindarkan kesulitan melahirkan dan bahkan jangan

terlalu kurus karena dapat membahayakan keselamatan

dirinya dan janin yang dikandungannya (Sjahmien Moehji,

2003)

2.2.5 Gizi pada ibu hamil

Kebutuhan zat gizi pada ibu hamil secara garis besar adalah sebagai

berikut :

2.2.5.1 Asam folat

Menurut konsep evidence bahwa pemakaian asam

folat pada masa pre dan perikonsepsi menurunkan resiko

kerusakan otak, kelainan neural, spina bifida dan


anensepalus, baik pada ibu hamil yang normal maupun

beresiko. Pemberian suplemen asam folat dimulai dari 2

bulan sebelum konsepsi dan berlanjut hingga 3 bulan pertama

kehamilan.

2.2.5.2 Energy

Diet pada ibu hamil tidak hanya difokuskan pada

tinggi protein saja tetapi pada susunan gizi seimbang energy

juga protein. Hal ini juga efektif untuk menurunkan kejadian

BBLR dan kematian perinatal. Kebutuhan energy ibu hamil

adalah 285 kalori untuk proses tumbuh kembang janin dan

perubahan pada tubuh ibu.

2.2.5.3 Protein

Pembentukan jaringan baru dari janin dan untuk tubuh

ibu dibutukan protein sebesa 910 gram dalam 6 bullan

terakhir kehamilan. Dibutuhkan tambahan 12 gram protein

sehari untuk ibu hamil.

2.2.5.4 Zat besi (FE)

Pemberian suplemen tablet tambah darah atau zat besi

secara rutin adalah untuk membangun cadangan besi, sintesa

sel darah merah, dan sinesa darah otot. Kenaikan volume

darah selama kehamilan akan meningkatkan kebutuhan zat

besi. Jumlah zat besi yang diperlukan ibu untuk mencegah

anemia akibat meningkatnya volume darah adalah 500 mg.

2.2.5.5 Kalsium
Untuk pembentukan tulang dan gigi bayi. Kebutuhan

kalsium ibu hamil adalah sebesar 500 mg sehari.

2.2.5.6 Pemberian suplemen vitamin

Vitamin D terutama pada kelompok beresiko penyakit

seksual dan di negara dengan musim dingin yang panjang

2.2.5.7 Pemberian yodium pada daerah dengan endemic kretinisme

(Kusmiyati, 2008)

2.2.6 Penilaian Status Gizi Ibu Hamil

2.2.6.1 Berat badan dilihat dari quatelet atau body massa index

(Index Masa Tubuh = IMT)

Ibu hamil dengan berat badan dibawah normal sering

dihubungkan dengan abnormalitas kehamilan, berat bada

lahir rendah. Sedangkan berat badan overweight

meningkatkan resiko atau komplikasi dalam kehamilan

seperti hipertensi, janin besar sehingga terjadi kesulitan

dalam persalinan.

2.2.6.2 Ukuran Lingkar Lengann Atas (LILA)

Standar minimal untuk ukuran lingkar lengan atas

pada wanita dewasa adalah 23,5 cm. Jika ukuran LILA

kurang dari 23,5 cm maka interprestasinya adalah Kurang

Energi Kronis (KEK).

2.2.6.3 Kadar Hemoglobin (Hb)

Ibu hamil yang mempunyai Hb kurang dari 10,0 akan

mengalami anemia. (Kusmiyati, 2008).

Anda mungkin juga menyukai