Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN KESEHATAN REPRODUKSI

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN MATERNITAS

Koordinator Mata Ajar : Fenti Hasnani S.Kep., MA.Kes

Dosen Pembimbing : Dinny Atin Amanah. S.kep., Ners

Disusun oleh :

Rini Cahyani (P17120016032)

Tingkat III A

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN JAKARTA I

12 November 2018
KONSEP KESEHATAN REPRODUKSI

A. Pengertian Kesehatan Reproduksi Perempuan


Berdasarkan Konferensi Wanita sedunia ke IV di Beijing pada tahun 1995 dan
Konferensi Kependudukan dan Pembangunan di Cairo tahun 1994 sudah disepakati
perihal hak-hak reproduksi tersebut. Dalam hal ini (Cholil, 1996 dalam Savitri, 2003)
menyimpulkan bahwa terkandung empat hal pokok dalam reproduksi wanita yaitu
kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive and sexual health), penentuan dalam
keputusan reproduksi (reproductive decision making), kesetaraan pria dan wanita
(equality and equity for men and women) dan keamanan reproduksi dan seksual (sexual
and reproductive security).
Reproduksi adalah suatu istilah yang masih asing di telinga masyarakat, terlebih
lagi perempuan pedesaan. Bagaimanapun semua perempuan dewasa telah mengalami
sendiri proses dari reproduksi, mulai dari mentruasi, hubungan seksual, hamil,
melahirkan dan menopouse. Ironisnya, tidak semua orang mengetahui bagaimana
menciptakan suatu kondisi reproduksi yang sehat termasuk pada perempuan pedesaan.
Maka dari itu untuk mengetahui bagaimana menciptakan suatu keadaan yang baik dan
sehat diperlukan suatu perawatan terhadap reproduksi perempuan termasuk organ-organ
reproduksi (Imamah, 2009).
Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial
yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecatatan, dalam segala aspek yang
behubungan dengan sistem reproduksi (Wahid, 1996: 14). Agar dapat melaksanakan
fungsi rerproduksinya secara sehat, dalam pengertian fisik, mental maupun sosial,
diperlukan beberapa prasyarat, yakni: pertama, agar tidak ada kelainan anatomis dan
fisiologis. Kedua, agar perkembangan emosinya berlangsung dengan baik maka
diperlukan landasan psikis yang memadai. Ketiga, setiap orang hendaknya terbebas dari
kelainan atau penyakit yang langsung maupun tidak langsung mengenai organ
reproduksinya. Keempat, seorang perempuan hamil memerlukan jaminan bahwa ia akan
dapat melewati rasa tersebut dengan aman.
B. Sejarah Perkembangan Kesehatan Reproduksi
1. Konferensi di Wina, 1993
Mendiskusikan HAM dalam perspektif gender dan isu kontroversial mengenai hak
reproduksi. Mendeklarasikan “HAP dan anak perempuan adalah mutlak, terpadu dan
merupakan bagian dari HAM (Dewi, 2012).
2. ICPD (International Conference on Population Development)
Disponsori oleh PBB yang dihadiri oleh 180 negara dan bertempat di Cairo Mesir,
yang menghasilkan kebijakan program kependudukan (Program Aksi 20 tahun) yang
menyerukan agar setiap negara meningkatkan status kesehatan, pendidikan dan hak
individu khususnya perempuan dan anak, mengintegrasikan program KB kedalam
agenda kesehatan perempuan yang lebih luas (Wallstam, 1977).
3. Konferensi perempuan sedunia ke 4 di Beijing (Fourth World Conference on
Women) 1995
Menghasilkan platform 12th Critical Area of concern yang dianggap sebagai
penghambat utama kemajuan kaum perempuan.

C. Ruang lingkup kesehatan reproduksi


Dalam penerapan kesehatan reproduksi pada pelayanan kesehat an dasar diprioritaskan
suatu paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Essensial (PKRE), yang meliputi:
1. Kesehatan Ibu dan Anak Baru Lahir (Safe Motherhood)
Upaya peningkatan derajat kesehatan ibu, bayi (kesehatan ibu dan bayi baru lahir)
dan anak dipengaruhi oleh kesadaran dalam perawatan dan pengasuh anak. Sebagian
besar kematian ibu disebabkan oleh faktor kesehatan-kesehatan, antara lain
a. Perdarahan saat melahirkan.
b. Eklamsia.
c. Infeksi.
d. Persalinan macet.
e. Keguguran.
Sedangkan faktor non kesehatan antara lain kurangnya pengetahuan ibu yang
berkaitan dengan kesehatan termasuk pola makan dan kebersihan diri.
2. Keluarga Berencana., Keluarga Berencana dalam hal ini adalah penggunaan alat
kontrasepsi. Seperti kita ketahui selama ini ada anggapan bahwa KB adalah identik
dengan urusan perempuan.
3. Penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk HIV/AIDS.
Dari berbagai jenis PMS yang dikenal, dampak yang sangat berat dirasakan oleh
perempuan, yaitu berupa rasa sakit yang hebat pada kemaluan, panggul dan vagina,
sampai pada komplikasi dengan akibat kemandulan, kehamilan diluar kandungan
serta kanker mulut rahim.Infertilitas adalah suatu keadaan dimana pasangan yang
telah menikah dan ingin punya anak tetapi tidak dapat mewujudkannya karena ada
masalah kesehatan reproduksi baik pada suami maupun istri atau keduanya.
a. Infertilitas primer.
b. Infertilitas sekunder.
c. Infertilitas idiopatik.

4. Kesehatan Reproduksi Remaja.


Lembar fakta yang diterbitkan oleh PKBI, United Nations Population Fund
(UNFPA) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
menyebutkan bahwa setiap tahun terdapat sekitar 15 juta remaja berusia 15-19 tahun
melahirkan. Setiap tahun, masih menurut lembar fakta tersebut, sekitar2,3 juta kasus
aborsi juga terjadi di Indonesia dan 20 persen nya dilakukan oleh remaja.
Disamping itu dikenal pula paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif
(PKRK), yaitu PKRE yang dilengkapi dengan Pelayanan Kesehatan Reproduksi
pada Usia Lanjut.

5. Kesehatan Reproduki Lanjut Usia


Kesehatan reproduksi meliputi kesehatan fisik dan mental setiap individu sepanjang
siklus kehidupannya sehingga pemeliharaan kesehatan pasca reproduksi (sering juga
disebut dengan kesehatan lansia) juga perlu mendapat perhatian kita bersama. Masa
pasca reproduksi ini ditandai dengan terjadinya penurunan berbagai fungsi
alat/organ tubuh (Endang, 2008).
Lansia atau Lanjut usia, menurut WHO : Pra lansia 45–54 tahun, Lansia 55–64
tahun, Aging people 65 tahun keatas. Menurut BKKBN Lansia adalah 60 tahun ke
atas.
6. Hak-Hak Reproduksi
Hak adalah kewenangan yang melekat pada diri untuk melakukan atau tidak
melakukan, memperoleh atau tidak memperoleh sesuatu (Sanusi, 2005).
Hak dan kesehatan reproduksi menjadi dua konsep yang tidak terbatas pada
persoalan medis organ reproduksi saja (Sanusi, 2005).
Konferensi internasional kependudukan dan pembangunan, disepakati hal-hal
reproduksi yang bertujuan untuk mewujudkan kesehatan bagi individu secara utuh,
baik kesehatan rohani dan jasmani, meliputi :
a. Hak mendapat informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi.
b. Hak mendapat pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi.
c. Hak kebebasan berfikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi.
d. Hak dilindungi dan kematian karena kehamilan.
e. Hak untuk menentukan jumlah dan jarak kehamilan.
f. Hak atas kebebasan dan keamanan yang berkaitan dengan kehidupan
reproduksinya
g. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuK
perlindungan dari pelecehan, perkosaan, kekerasan, penyiksaan seksual.
h. Hak mendapatkan manfaat kemajuan ilmu penetahuan yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksi.
i. Hak atas pelayanan dan kehidupan reproduksinya.
j. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.
k. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam berkeluarga dan
kehidupan kesehatan reproduksi.
l. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan
dengan kesehatan reproduksi.

Menurut BKKBN tahun 2000, kebijakan teknis operasional di Indonesia untuk


mewujdkan pemenuhan hak-hak reproduksi :

a. Promosi hak-hak kesehatan reproduksi.


b. Advokasi hak-hak kesehatan reproduksi
c. KIE hak-hak kesehatan reproduksi.
d. System pelayanan hak-hak reproduksi (Diah, 2012).
Hak asasi manusia yang penting untuk kesehatan reproduksi termasuk :

a. Hak untuk hidup.


b. Hak atas keamanan seseorang.
c. Hak untuk memutuskan jumlah, jarak dan waktu memiliki anak.
d. Hak atas non-diskriminasi dan kesetaraan.
e. Hak atas privasi.
f. Hak atas kesehatan.
g. Hak untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi.
h. Hak untuk bebas dari perlakuan yang kejam, merendahkan dan tidak
manusiawi.
i. Hak atas bantuan.
j. Hak atas manfaat kemajuan ilmiah (Widyaiswara, 2009).

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan reproduksi


Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan reproduksi secara garis besar
dapat dikelompokkan empat golongan yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan
reproduksi.
a. Faktor sosial ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat
pendidikan yang rendah dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual
dan proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil);
b. Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang
berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak
banyak rejeki, informasi tentang fungsi reproduksi yang membingungkan
anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan yang lain, dan
sebagainya);
c. Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi
karena ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap
pria yang membeli kebebasannya secara materi, dan sebagainya)
d. Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca
penyakit menular seksual, dan sebagainya).
Pengaruh dari semua faktor diatas dapat dikurangi dengan strategi intervensi yang
tepat guna, terfokus pada penerapan hak reproduksi wanita dan pria dengan
dukungan disemua tingkat administrasi, sehingga dapat diintegrasikan kedalam
berbagai program kesehatan, pendidikan, sosial dan pelayanan non kesehatan lain
yang terkait dalam pencegahan dan penanggulangan masalah kesehatan reproduksi.
Sehubungan dengan fakta bahwa fungsi dan proses reproduksi harus didahului oleh
hubungan seksual, tujuan utama program kesehatan reproduksi adalah meningkatkan
kesadaran kemandirian perempuan dalam mengatur fungsi dan proses
reproduksinya, termasuk kehidupan seksualitasnya, sehingga hak-hak reproduksinya
dapat terpenuhi, yang pada akhirnya menuju peningkatan kualitas hidupnya. Dari
tujuan umum tersebut dapat dijabarkan empat tujuan khusus yaitu :
a. Meningkatnya kemandirian perempuan dalam memutuskan peran dan fungsi
reproduksinya.
b. Meningkatnya hak dan tanggung jawab sosial perempuan dalam menentukan
kapan hamil, jumlah dan jarak kehamilan
c. Meningkatnya peran dan tanggung jawab sosial pria terhadap akibat dari
perilaku seksual dan fertilitasnya kepada kesehatan dan kesejahteraan
pasangan dan anak-anaknya.
d. Dukungan yang menunjang perempuan untuk membuat keputusan yang
berkaitan dengan proses reproduksi, berupa pengadaan informasi dan
pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan untuk mencapai kesehatan
reproduksi secara optimal.

Tujuan diatas ditunjang oleh undang-undang No. 23/1992, bab II pasal 3 yang
menyatakan: “penyelenggaraan upaya kesehatan bertujuan untuk meningkatkan
derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat”, dalam bab III pasal 4 “ setiap
orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang
optimal”.

8. Indikator Permasalahan Kesehatan Reproduksi Perempuan


Dalam pengertian kesehatan reproduksi secara lebih mendalam, bukan semata-mata
sebagai pengertian klinis (kedokteran) saja tetapi juga mencakup pengertian sosial
(masyarakat). Intinya goal kesehatan secara menyeluruh bahwa kualitas hidupnya
sangat baik. Namun, kondisi sosial dan ekonomi terutama di negara-negara
berkembang yang kualitas hidup dan kemiskinan memburuk, secara tidak langsung
memperburuk pula kesehatan reproduksi wanita.
Indikator-indikator permasalahan kesehatan reproduksi perempuan antara lain:
a. Gender
Gender adalah peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan jenis
kelamin menurut budaya yang berbeda-beda. Gender sebagai suatu kontruksi
sosial mempengaruhi tingkat kesehatan, dan karena peran gender berbeda
dalam konteks cross cultural berarti tingkat kesehatan wanita juga berbeda-
beda.
b. Kemiskinan, antara lain mengakibatkan: makanan yang tidak cukup atau
makanan yang kurang gizi dan tidak mendapatkan pelayanan yang baik.
c. Pendidikan yang rendah
Kemiskinan mempengaruhi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan.
Kesempatan untuk sekolah tidak sama untuk semua tetapi tergantung dari
kemampuan membiayai. Dalam situasi kesulitan biaya biasanya anak laki-
laki lebih diutamakan karena laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah
utama dalam keluarga. Dalam hal ini bukan indikator kemiskinan saja yang
berpengaruh tetapi juga jender berpengaruh pula terhadap pendidikan.
Tingkat pendidikan ini mempengaruhi tingkat kesehatan. Orang yang
berpendidikan biasanya mempunyai pengertian yang lebih besar terhadap
masalah-masalah kesehatan dan pencegahannya. Minimal dengan
mempunyai pendidikan yang memadai seseorang dapat mencari uang,
merawat diri sendiri, dan ikut serta dalam mengambil keputusan dalam
keluarga dan masyarakat.
d. Kawin muda
Di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada wanita masih
banyak terjadi (biasanya di bawah usia 18 tahun). Hal ini banyak kebudayaan
yang menganggap kalau belum menikah di usia tertentu dianggap tidak laku.
Ada juga karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-cepat mengawinkan
anaknya agar lepas tanggung jawabnya dan diserahkan anak wanita tersebut
kepada suaminya. Ini berarti wanita muda hamil mempunyai resiko tinggi
pada saat persalinan. Di samping itu resiko tingkat kematian dua kali lebih
besar dari wanita yang menikah di usia 20 tahunan. Dampak lain, mereka
putus sekolah, pada akhirnya akan bergantung kepada suami baik dalam
ekonomi dan pengambilan keputusan.
e. Kekurangan gizi dan kesehatan yang buruk
Menurut WHO di negara berkembang terrnasuk Indonesia diperkirakan 450
juta wanita tumbuh tidak sempurna karena kurang gizi pada masa kanak-
kanak, akibat kemiskinan. Jika pun berkecukupan, budaya menentukan
bahwa suami dan anak laki-laki mendapat porsi yang banyak dan terbaik dan
terakhir sang ibu memakan sisa yang ada. Wanita sejak ia mengalami
menstruasi akan membutuhkan gizi yang lebih banyak dari pria untuk
mengganti darah yang keluar. Zat yang sangat dibutuhkan adalah zat besi
yaitu 3 kali lebih besar dari kebutuhan pria. Di samping itu wanita juga
membutuhkan zat yodium lebih banyak dari pria, kekurangan zat ini akan
menyebabkan gondok yang membahayakan perkembangan janin baik fisik
maupun mental. Wanita juga sangat rawan terhadap beberapa penyakit,
termasuk penyakit menular seksual, karena pekerjaan mereka atau tubuh
mereka yang berbeda dengan pria. Salah satu situasi yang rawan adalah,
pekerjaan wanita yang selalu berhubungan dengan air, misalnya mencuci,
memasak, dan sebagainya. Seperti diketahui air adalah media yang cukup
berbahaya dalam penularan bakteri penyakit.
f. Beban Kerja yang berat.
Wanita bekerja jauh lebih lama dari pada pria, berbagai penelitian yang telah
dilakukan di seluruh dunia rata-rata wanita bekerja 3 jam lebih lama.
Akibatnya wanita mempunyai sedikit waktu istirahat, lebih lanjut terjadinya
kelelahan kronis, stress, dan sebagainya. Kesehatan wanita tidak hanya
dipengaruhi oleh waktu kerja, tetapi juga jenis pekerjaan yang berat, kotor
dan monoton bahkan membahayakan. Di India banyak kasus keguguran atau
kelahiran sebelum waktunya pada musim panen karena wanita terus-terusan
bekerja keras. Di bidang pertanian baik pria maupun wanita dapat terserang
efek dari zat kimia (peptisida), tetapi akan lebih berbahaya jika wanita dalam
keadaan hamil, karena akan berpengaruh terhadap janin dalam
kandungannya. Resiko-resiko yang harus dialami bila wanita bekerja di
industri-industri misalnya panas yang berlebih-lebihan, berisik, dan cahaya
yang menyilaukan, bahan kimia, atau radiasi. Peran jender yang menganggap
status wanita yang rendah berakumulasi dengan indikator-indikator lain
seperti kemiskinan, pendidikan, kawin muda dan beban kerja yang berat
mengakibatkan wanita juga kekurangan waktu, informasi, untuk
memperhatikan kesehatan reproduksinya (Juliandi : 2003).

9. Gambaran Masalah Kesehatan Reproduksi Wanita


a. Isu penanganan masalah sosial perempuan merupakan bagian, dari kelima isu
yang ditangani di bidang perlindungan perempuan seperti yang sudah
diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 RPJMN 2010-
2014.
b. Isu penanganan masalah sosial perempuan meliputi isu terkait dengan
penanganan masalah sosial perempuan di daerah rawan konflik dan bencana
alam, perempuan lanjut usia, perempuan penyandang disabilitas , dan
pornografi.
c. Isu penanganan masalah sosial perempuan adalah isu yang penanganannya
dilaksanakan secara lintas sector dan lintas bidang (cross-cutting issues) dan
diselenggarakan secara terkoordinasi.
DAFTAR PUSTAKA

Diah Widyatun (2012). Konsep Dasar Kesehatan Reproduksi.


Semarang.www.blogspot.com (16/04/13)

Imamah. 2009. Perempuan dan Kesehatan Reproduksi. Surabaya. Jurnal Kesetaraan dan
Keadilan Gender, Pusat Studi. Vol. IV Nomor 2 ( Hal 199-206)

Juliandi Harahap. 2003. Kesehatan Reproduksi. Sumatera Utara. www repository.usu.ac.id


(17/04/13)

Rahmi Yulia.2012. Gender Based Violence in Internation. www.academia.edu (16/04/13)

Riska Asri Puspita Dewi (2012). Kesehatan Reproduksi Surabayawww. id.scribd.


com (16/04/13)

Sri Rahayu Sanusi (2005). Hak Kesehatan Reproduksi, Definisi, Tujuan, Permasalahan, dan
Faktor-faktor Penghambatnya. Sumatra Utara www.usu.ac.id(16/04/13)

Anda mungkin juga menyukai