Anda di halaman 1dari 37

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI SAKIT

HIPERBILIRUBINEMIA

Disusun Oleh:

Rizqiani Dwi Lestari (201701013)

Anisa Zahida (201701027)

Sabila Ainingrum (201701030)

Vebrika Hendri (201701038)

Sari Zulhiqmah (201701045)

Ratna Sari (201701058)

Mega Ayu Lestari (201701070)

Tingkat : II B
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MITRA KELUARGA
PRODI DIII KEPERAWATAN
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat illahi


rabbi yang telah melimpahkan karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas yang menjadi kewajiban kami yang telah diberikan
bapak/ibu dosen dengan baik.
Makalah ini disusun secara sistematis mengenai uraian singkat tentang
“Asuhan Keperawatan Pada Bayi Sakit Hiperbilirubinemia”. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak.
Kami berharap makalah ini berguna di saat ini, esok, atau di masa
mendatang bagi pembelajaran kita semua. Kemudian dapat menambah
wawasan atau ilmu pengetahuan bagi para pembaca dan menggunakannya
secara baik dan benar sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada.
Pada akhirnya kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam
penulisan maupun informasi yang kami kemukakan. Hal ini telah menjadi
pertimbangan kami sebelumnya. Kami mengharapkan kritik dan saran bapak/
ibu dosen agar kami dapat memperbaiki kesalahan yang kami perbuat.

Bekasi 9 Maret 2019

Kelompok

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................. 4
B. Tujuan...........................................................................................................5
C. Metode Penulisan......................................................................................... 6
D. Sistematika Penulisan................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Konsep penyakit
1. Tumbuh kembang neonatus..................................................................... 7
2. Definisi.....................................................................................................8
3. Klasifikasi Hiperbilirubin........................................................................ 8
4. Etiologi.....................................................................................................9
5. Patofisiologi........................................................................................... 11
6. Patoflowdiagram................................................................................... 13
7. Manifestasi Klinis................................................................................. 15
8. Komplikasi............................................................................................ 16
9. Penatalaksanaan Medis......................................................................... 16
10. Pemeriksaan Diagnostik.......................................................................18
11. Penanganan Hiperbilirubin................................................................ 19
12. Pencegahan Hiperbilirubin...................................................................20
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian..............................................................................................21
2. Diagnosa................................................................................................ 21
3. Intervensi................................................................................................21
4. Implementasi..........................................................................................22
5. Perencanaan pulang...............................................................................23
6. Dampak Hospitalisasi............................................................................ 24
2
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................. 34
B. Saran............................................................................................................ 34

3
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hiperbilirubinemia adalah berlebihnya kadar bilirubin dalam darah lebih
dari 10 mg% pada minggu pertama yang mengakibatkan jaundice, warna
kuning yang terlihat jelas pada kulit, mukosa, skela dan urin, serta organ lain,
sedangkan pada bayi normal kadar bilirubin serum totalnya 5 mg%
(Sembiring, 2017).
JaundiceIk/ ikterus dapat muncul saat lahir atau dapat muncul setiap saat
selama masa neonatus, tergantung pada keadaan yang menyebabkannya.
Penyebab ikterus pada neonatus dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Pada masa neonatus, fungsi hepar belum
berfungsi dengan optimal sehingga proses tidak terjadi secara maksimal atau
jika terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat kekurangan glukosa,
keadaan ini dapat menyebabkan kadar bilirubin indirek dalam darah dapat
meningkat. (Wiknjosastro, 2007).
Di Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus yang lahir setiap tahunnya,
sekitar 65% mengalami ikterus. Di Indonesia, didapatkan data ikterus
neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross
sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional
Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan data tentang ikterus
pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin diatas 5 mg/dl dan
29,3% dengan kadar bilirubin diatas 12 mg/dl pada minggu pertama
kehidupan. Di RSUD Dr. Muwardi, di mana ikterus pada tahun 2003 hanya
sebesar 13,7% dan 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya
ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%.
Didapatkan juga data ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi
kurang bulan 22,8% (Martin : 2003).
Tindakan yang dapat dilakukan pada Hiperbilirubinemia adalah terapi
sinar (FotoTerapi), Terapi Tranfusi, Terapi obat-obatan, Menyusui bayi dengan
ASI, Terapi sinar matahari. Hiperbilirubinemia dapat terjadi sebagai
komplikasi dari berbagai penyakit diantaranya penyakit kernikterus, paralisisn
serebral, epilepsies atau retardasi mental, distabilitas perseptual motorik dan
gangguan dalam belajar (Huda,2017).
Perawat memiliki peran penting dalam pemberian Asuhan Keperawatan
yang tepat. Disamping pemberian obat, penerapan proses keperawatan yang
tepat memegang peran yang sangat penting dalam proses penyembuhan dan
pencegahan, guna mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat
hiperbilirubinemia.
Berdasarkan makalah tersebut, kami sebagai mahasiswa keperawatan
tertarik untuk menulis makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan pada
Pasien Hiperbilirubinemia”

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah Penulis mampu
menerapkan asuhan keperawatan dengan hiperbilirubinemia.
2. Tujuan Khusus :
a. Mahasiswa mampu mengetahui Definisi dari Hiperbilirubinemia
b. Mahasiswa mampu mengetahui Anatomi Fisiologi
Hiperbilirubinemia
c. Mahasiswa mampu mengetahui Etiologi Hiperbilirubinemia
d. Mahasiswa mampu mengetahui Patofisioologi Hiperbilirubinemia
e. Mahasiswa mampu mengetahui Patoflow Diagram
Hiperbilirubinemia
f. Mahasiswa mampu mengetahui manifestasi Klinis
Hiperbilirubinemia
g. Mahasiswa mampu mengetahui Komplikasi Hiperbilirubinemia
h. Mahasiswa mampu mengetahui Pemeriksaan Diagnostik
Hiperbilirubinemia
i. Mahasiswa mampu mengetahui Penatalaksanaan Medis
Hiperbilirubinemia
j. Mahasiswa mampu menegtahui tentang proses Asuhan Keperawatan
Pada Hiperbilirubinemia

C. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu dengan metode
deskripsi yang berfokuskan pada studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah
suatu metode pengumpulan data dengan cara mencari, mengumpulkan, dan
mempelajari materi-materi dari buku maupun dari media informasi lainnya
dalam hal ini yang berkaitan dengan Hiperbilirubinemia.

D. Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan terdiri dari :
 Bab I Pendahuluan
Terdiri dari Latar Belakang, Tujuan, Metode Penulisan dan Sistematika
Penulisan.
 Bab II Tinjauan Teori
Terdiri dari Konsep Penyakit dan Proses Keperawatan.
 Bab III Penutup
Terdiri dari Kesimpulan dan Saran
 Daftar Pustaka
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep penyakit
1. Tumbuh kembang neonatus
Masa neonatal usia 0-28 hari :

a. Neonatal dini ( perinatal ) yaitu 0-7 hari

b. Neonatal lanjut yaitu8-28 hai

Pada masa ini terjadi adaptasi terhadap lingkungan, perubahan sirkulasi


darah, serta mulai berfungsinya organ-organ tubuh. Saat lahir, berat badan
normal dari bayi yang sehat berkisar 3000-3500 gram, tinggi badan sekitar
50 cm, dan berat otak seitar 350 gram. Selama sepuluh hari pertama
biasanya terdapat penurunan berat badan sekitar 10% dari berat badan lahir,
kemudian berat badan bayi akan berangsur-angsur mengalami kenaikan.

Pada maka neonatal ini, refleks-refleks primitif yang bersifat fisiologis


akan muncul. Diantaranya adalah refleks moro, yaitu refleks merangkul, yang
akan menghilang pada usia 3-5 bulan, menghisap (sucking refleks), refleks
menoleh (rooting refleks), refleks mempertahankan posisi leher/kepala
(tonick neck refleks), dan refleks memegang (palmar graps refleks) yang
akan menghilang 6-8 bulan. Refleks-refleks tersebut terjadi secara simetris
dan seiring dengan bertambagnya usia refleks-refleks itu akan menghilang.
Fungsi pendengaran dan penglihatan pada masa neonatal ini juga sudah
mulai berkembang.
Terdapat beberapa tahap perkembangan pada anak umur 0-3 bulan, yaitu
sebagai berikut (Depkes RI, 2015).

a. Mengangkat kepala 45°.


b. Menggerakan kepala dari kiri/kanan ke tengah.
c. Melihat/menatap wajah.
d. Mengoceh spontan/bereaksi dengan mengoceh.
e. Tertawa keras.
f. Terkejut/bereaksi terhadap suara keras.
g. Membalas tersenyum.
h. Mengenal ibu dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, kontak.

2. Definisi
Hiperbilirubinemia adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah
yang kadar nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2010).

Hiperbilirubinemia adalah menignkatnya kadar bilirubin dalam darah


yang kadar nilainya lebih dari normal, biasanya terjadi pada bayi baru lahir.
Nilai normal bilirubin, yaitu bilirubin indrek 0,3 – 1,1 mg/dL, bilirubin direk
0,1 - 0,4 mg/dL

3. Klasifikasi Hiperbilirubin
a. Fisiologi
1) Ikterik fisiologis adalah ikterik yang normal yang dialami oleh bayi
baru lahir, tidak mempunyai dasar patologis sehingga tidak
berpotensi menjadi kern ikterus.
2) Timbul pada hari kedua dan ketiga setelah bayi baru lahir.
3) Kadar bilirubin indirect tidak lebih dari 10mg% pada neonatus
cukup bulan dan 12 mg% pada neonatus kurang bulan.
4) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak lebih dari 5 mg% per
hari.
5) Kadar bilirubin direct tidak lebih dari 1 mg%. Ikterus menghilang
pada 10 hari pertama.
6) Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.

b. Patologi
Ikterik patologis adalah ikterus yang memunyai dasar patologis
dengan kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia. Ikterik patologi memiliki tanda dan gejala sebagai
berikut :
1) Ikterik terjadi 24 jam pertama.
2) Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau
melebihi 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan.
3) Peningkatan bilirubin melebihi 5 mg% per hari.
4) Ikterik menetap sesudah 2 minggu pertama.
5) Kadar bilirubin direc lebih dari 1 mg%.
6) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik

c. Bilirubin terkonjugasi / Direk


Bilirubin bebas yang bersifat larut dalam air. Sehingga dalam
pemeriksaan mudah bereaksi. Bilirubin terkonjugasi (bilirubin
glukoronida/hepatobilirubin) masuk ke saluran empedu dan di
ekskresikan ke usus. Selanjutnya flora usus akan mengubahnya menjadi
urobilinogen. Bilirubin terkonjugasi bereaksi cepat dengan asam
sulfanilat yang terdiazotasi membentuk azobilirubin. Peningkatan kadar
bilirubin terkonjugasi disebabkan oleh gangguan ekskresi bilirubin
intrahepatik antara lain sindroma bubin johson dan rotor, recurrent
(benign) intrahepatik cholestasis, dekrosis hepatoseluler, obstruksi
saluran empedu..
d. Bilirubin tak terkonjugasi / Indirek
Bilirubin tak terkonjugasi (hematobilirubin) merupakan bilirubin
bebas yang terikat albumin, bilirubin yang sukar larut dalam air
sehingga untuk memudahkan bereaksi dalam pemeriksaan harus lebih
dulu dicampur dengan alcohol, kafein/pelarut lain sebelum dapat
bereaksi. Peningkatan kadar bilirubin indirek karena payah jantung
akibat gangguan dari delivery bilirubin ke dalam peredaran darah.
Tanda-tandanya payah jantung, hemolisis/eritropoesis yang tidak
sempurna.

Klasifikasi hiperbilirubinemia menurut (Elsi Ermalinda, 2014), yaitu:


a. Derajat I : Daerah kepala dan leher, perkiraan kadar bilirubin 5,0
mg %
b. Derajat II : Sampai badan atas, perkiraan kadar bilirubin 9,0 mg %
c. Derajat III : Sampai badan bawah hingga tungkai, bilirubin 11,4 mg
%
d. Derajat IV : Sampai daerah lengan, kaki bawah, lutut, bilirubin 12,4
mg %
e. Derajat V : Sampai daerah telapak tangan dan kaki, bilirubin 16,0
mg %

10
4. Etiologi
Hiperilirubin pada bayi baru lahir paling sering timbul karena fungsi hati
masih belum sempurna untuk membuang bilirubin dari aliran darah.
Hiperbilirubin juga bisa terjadi karena beberapa kondisi klinik, diantaranya
(Elsi Ermalinda, 2014) :
a. Ikterus fisiologis merupakan bentuk yang paling sering terjadi pada bayi
baru lahir :
1) Jenis bilirubin yang menyebabkan pewarnaan kuning pada ikterus
disebut bilirubin tidak terkonjugasi, merupakan jenis yang tidak
mudah di buang dari tubuh bayi.
2) Hati bayi akan mengubah bilirubin ini menjadi bilirubin
terkonjugasi yang lebih mudah di buang oleh tubuh.
3) Hati bayi baru lahir masih belum matang sehingga masih belum
mampu untuk melakukan pengubahan ini dengan baik sehingga
akan terjadi peningkatan kadar bilirubin dalam darah yang ditandai
sebagai pewarna kuning pada kulit bayi.
4) Bila kuning tersebut murni disebabkan oleh faktor ini maka disebut
sebagai fisiologis.
b. Breastfeeding jaundice :
1) Keadaan ini dapat terjadi pada bayi yang mendapat air susu ibu
(ASI) eksklusif.
2) Terjadi akibat kekurangan ASI yang biasanya timbul pada hari
kedua atau ketiga pada waktu ASI belum banyak dan biasanya tidak
memerlukan pengobatan.
c. Ikterus ASI (breastmilk jaundice) :
1) Ikterus berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang ibu
tertentu dan biasanya akan timbul pada setiap bayi yang di
susukannya bergantung pada kemampuan bayi tersebut mengubah
bilirubin indirek.

11
2) Jarang mengancam jiwa dan timbul setelah 4 – 7 hari pertama dan
berlangsung lebih lama dari ikterus fisiologis, yaitu 3 – 12 minggu.
d. Ikterus pada bayi baru lahir akan terjadi pada kasus ketidakcocokan
golongan darah (inkompatibilitas ABO) dan rhesus (inkompatibilitas
rhesus) ibu dan janin :
1) Tubuh ibu akan memproduksi antibodi yang akan menyerang sel
darah merah janin.
2) Kondisi tersebut akan menyebabkan pecahnya sel darah merah
sehingga akan meningkatkan pelepasan bilirubin dari sel darah
merah.
e. Lebam pada kulit kepala bayi yang disebut dengan sefalhematom dapat
timbul dalam proses persalinan :
1) Lebam terjadi karena penumpukan darah beku di bawah kulit
kepala.
2) Secara alamiah tubuh akan menghancurkan bekuan ini sehingga
bilirubin juga akan keluar yang mungkin saja terlalu banyak untuk
dapat ditangani oleh hati sehingga timbul kuning.
f. Ibu yang menderita diabetes dapat mengakibatkan bayi menjadi kuning.

5. Patofisiologi
Menurut (Suriadi, 2010)., patofisiologi hiperbilirubin sebagai berikut :
Pigmen kuning ditemukan dalam empedu yang terbentuk dari
pemecahan hemoglobin oleh kerja heme oksigenase, biliverdin reduktase,
dan agen oereduksi nonenzimatik dalam sistem retikuloendotelia. Setelah
pemecahan hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh protein
intraselular “Y protein” dalam hati, pengambilan tergantung pada aliran
darah hepatik dan adanya ikatan protein. Bilirubin yang tak terkonjugasi
dalam hati diubah atau terkonjugasi oleh enzim asam uridin
difosfoglukuronat uridin diphosphoglucuronic acid (UPGA) glukoronil

12
transferase menjadi bilirubin mono dab diglucuronida yang polar, larut dalam
air (bereaksi direk).
Bilirubin yang terkonjugasi yang larut dalam air dapat dieliminasi
melalui ginjal. Dengan konjugasi, bilirubin masuk dalam empedu melalui
membran kanalikular. Kemudian ke sistem gastrointestinal dengan diaktikan
oleh bakteri menjadi urobilinogen dalam tinja dan urine. Beberapa bilirubin
diabsorpsi kembali melalui sirkulasi enterohepatik.Warna kuning dalam kulit
akibet dari akumulatif pigmen bilirubin yang larut lemak, tak terkonjugasi,
non polar (bereaksi indirek). Pada bayi dengan hyperbilirubinemia
kemungkinan merupakan hasil dari difisensi atau tidak aktinya glukoronil
transferase. Rendahnya pengambilan dalam hepatik kemungkian penurunan
protein hepeatik sejalan dengan penurunan aliran darah hepetik.
Jaundice yang terkait dengan pemberian ASI merupakan jasil dari
hambatan kerja glukoronil transferase oleh pregnanediolatau asam lemak
bebas yang terdapat dalam ASI. Terjadi 4 sampai 7 hari setelah lahir.
Dimana terapat kenaikan bilirubin tak terkonjugasi dengan kadar 25 sampai
30 mg/dl selama minggu ke 2 sampak ke 3. biasany adapat mencapai uasia 4
minggu dan menurun 10 minggu. Jika pemberian ASI dilanjutkan,
hyperbilirubinemia akaN menurun berangsur-angsur dapat menetap selama 3
sampai 10 minggu pada kadar yang lebih rendah. Jika pemberian ASI
dihentikan kadar bilirubin serum akan turun dengan cepat, biasanya
mencapai normal dala beberapa hari. Penghentian ASI selama 1-2 hari dan
penggantian ASI dengan formula mengakibatkan penurunan bilirubin serum
dengan cepat, sesudahnya pemberian ASI dapat dimulai lagi dan
hyperbilirubinemia tidak kembali ke kadar yang tinggi seperti sebelumnya.
Bilirubin yang patologis tampak ada kenaikan bilirbin dalam 24 jam
pertama kelahiran. Sedangkan untuk bayi dengan ikterus fisiologi muncul
antara 3 sampai 5 hari sesudah kelahiran.

13
6. Patoflowdiagram

Hemoglobin

Hemo Globio
e n

Feco Biliverdin

Peningkatan destruksi eritrosit Hb


dan eritrosit abnormal Pemecahan
bilirubin

Suplai bilirubin
melebihi
tampungan hepar

Hepar tidak mampu


melakukan
konjugasi

Ikterik Neonatus Peningkatan bilirubin Sebagian masuk


kembali ke siklus

Ikterus pada sklera leher


dari badan, peningkatan
bilirubin indirect > 12
mg/dL

14

Kerusakan Integritas Indikasi fototerap


kulit
Gangguan suhu tubuh Sinar dengan Resiko cidera
intensitas tinggi

Ketidakefektifan Kurangnya volume


termoregulasi cairan tubuh

7. Manifestasi Klinis
Menurut (Elsi Ermalinda, 2014), tanda dan gejala yang ditemukan pada
bayi dengan hiperbilirubin :

a. Ketika kadar bilirubin meningkat dalam adarah maka warna kuning akan
di mulai dari kepala kemudian turu ke lengan, badan, dan akhirnya kaki

b. Jika kadar bilirubin sudah cukup tinggi, bayi akan tampak kuning hingga
dibawah lutut serta telapak tangan

c. Cara mudah untuk memeriksa warna kuning ini adalah dengan menekan
jari pada kulit yang diamati dan sebaiknya dilakukan di bawah
cahaya/sinar matahari

d. Pada anak yang lebih tua dan orang dewasa warna kuning pada kulit akan
timbul jika juumlah bilirubin pada darah 2mg/dl

e. Hal ini penting untuk mengenali dan menangani ikterus pada bayi baru
lahirakan tampak kuning jika kadar bilirubin 5mg/dl

f. Hal ini pentinguntuk mengenali dan menangani ikterus pada bayi baru
lahir karena kadar bilirubin yang sangat tiggi akan menyebabkan
kerusakan yang permanen pada otak disebut kern ikterus

g. Kuning sendiri tidak akan menunjukkan gejala klinis tetapi penyakit lain
yang menyertai memungkinkan suatu gejala seperti keadaan bayi tampak
sakit demam, dan malas minim.
15
8. Komplikasi
Menurut Elsi, 2014
a. Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi kadang
kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak
(keadaan disebut kern ikterus).
b. Kern ikterus :
1) Kern ikterus adalah suatu keadaan dimana terjadi penimbunan
bilirubin dalam otak, sehingga terjadi kerusakan otak.
2) Efek jangka panjang dari kren ikterus adalah keterbelakangan
mental, kelumpuhan serebral (pengontrolan otot yang abnormal
cerebral palsy), tuli dan mata tidak dapat digerakan ke atas.
c. Bilirubin ensefalopati dan kren ikterus :
1) Istilah biirubin ensafalopati lebih menunjukan kepada manifestasi
klinik yang mungkin timbul akibat efek toksis bilirubin pada system
saraf pusat yaitu basal ganglia dan pada berbagai nuclei batang otak.
2) Sedangkan istilah kren ikterus adalah perubahan neuropatologi yang
ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah otak
terutama di ganglia basalis, pons, dan sereblum.

9. Penatalaksanaan Medis
Menurut Elsi, 2014
a. Segera hubungi pelayanan kesehatan bila bayi tampak kuning
1) Timbul segera dalam 24 jam pertama kelahiran.
2) Kuning menetap lebih dari 8 hari pada bayi cukup bulan dan lebih
dari 14 hari pada bayi premature.
3) Pada observasi dirumah bayi tampak kuning yang sudah menyebar
sampai ke lutu / siku atau lebih.
4) Tinja berwarna pucat.

16
b. Segera bawa bayi ke unit gawat darurat rumah sakit bila :
1) Jika ibu / pengasuh melihat bayi tampak sakit (menolak untuk
minum, tidur berlebihan, atau lengan dan kaki lemas) atau suhu
lebih dari 37,5 oC
2) Jika bayi mengalami kesulitan bernafas.
Penatalaksanaan Terapeutik (Suriadi, 2010)
a. Fototerapi
Dilakukan apabila ditegakkan hiperbilirubin patologis dan berfungsi
untuk menurunkan bilitubin dalam kulit melalui tinja dan urine dengan
oksidasi foto pada bilirubin dan biliverdin. Walaupun cahaya biru
memberikan panjang gelombang yang tepat untuk fotoaktivasi bilirubin
bebas, cahaya hijau dapat memengaruhi lotoreaksi bilirubin yang terikat
albumin. Cahaya menyebabkan reaksi lolokimia dalam kulit
(fotoisomerasasi) yang mengubah bilirubin tak terkonjugasi kedalam
fotobilirubin, yang manan diekresikan dalam hati kemudian ke empedu.
Kemudian produk akhir reaksi adalah reversible dan dieksresikan ke
dalam empedu tanpa merlu konjugasi.
b. Fenobarbital
Dapat diekresikan bilirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi.
Meningkatkan sintesisi hepatic glukoronil tranfaranse yang mana dapat
meningkatkan bilirubin konjugasi dan clearance hepatic pada pigmen
dalam empedu, sistesis protein dimana dapat meningkatkan albumin
untuk meningkat bilirubin. Fenobarbital tidak begitu sering dianjurkan.
c. Antibiotik: Apabila terkait dengan infeksi.
d. Transfusi tukar: Apabila sudah tidak dapat ditangani dengan fototerapi.

17
10. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pada beberapa kasus, pemeriksaaan fisik yang lengkap sangat
diperlukan, pemeriksaaan darah dan mungkin diperlukan untuk
mengetahui :
1) Kadar bilirubin total, berdasarkan pemeriksaan ini dokter akan
minta pemriksaan tambahan serepti tes Coombs untuk memeriksa
antibody yang mnghancurkan sel darah merah bayi. Pemeriksaan
darah lengkap, pemeriksaan hitung retikulosit untuk melihat apakah
bayi memproduksi sel darah merah yang baru.
2) Golongan darah dan rhesus ibu dan bayi.
3) Pada beberapa kasusu mungkin perlu untuk pemeriksaan darah
untuk melihat suatu kondisi yang disebut sebgai defisiensi C6PD
(Glukosa 6 Fosfat Dehidrogenase).
b. Pemeriksaan bilirubin serum Pada bayi cukup bulan bilirubin
mencapai puncak kira – kira 6 mg/dl, antara 2 dan 4 hari kehidupan.
Apabila nilainya diatas 10 mg/dl, tidak fisiologis. Pada bayi dengan
premature kadar bilirubin mencapai puncaknya 10 – 12 mg /dl, diantara
5 dan 7 hari kehidupan. Kadar bilirubin yang lebih dari 14 mg/dl adalah
tidak fisiologis. Dari Brown AK dalam textbooks of Pediatrics 1996 :
ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan bilirubin indirek munculnya
ikterus 2 sampai 3 hari dan hilang 4 sampai 5 hari dengan kadar bilirbin
yang mencapai puncak 10 -12 mg/dl. Sedangkan pada bayi yang
prematur, bilirubin indirek munclnya 3 sampai 4 hari dan hilangnya 7
sampai 9 hari dengan kadar bilirubin indirek kurang dari 5 mg/dl/hari.
Pada ikterus patologis meningkatnya bilirubin lebih dari 5 mg/dl/hari,
dan kadar bilirubin direk 1 dari 1 mg/dl. (Suriadi, 2010).
c. Ultrasound untk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
(Suriadi, 2010).
d. Radioisotope scan dapat digunakan untuk membantu membedakan
hepatitis dengan atresia biliary.- (Suriadi, 2010).
18
11. Penanganan Hiperbilirubin
Menurut Elsi, 2014 :
Adapun dua situasi untuk penanganan hiperbilirubin pada BBL, yaitu
penanganan sendiri dirumah dan penanganan terapi medis, yang masing –
masing diperjalas sebagai berikut :
a. Penanganan sendiri dirumah
1) Beikan ASI yang cukup (8 -12 kali sehari).
2) Sinar matahari dapat membantu memecah bilirubin sehingga lebih
mudah diproses oleh hati. Tempatkan bayi dekat dengan jendela
terbuka untuk mendapatkan sinar matahari pagi antara jam 7 – 8
pagi agar bayi tidak kepanasan, atur posisi kepala agar wajah tidak
menghadap matahari langsung. Laikan penyinaran selama 30 menit,
15 menit terlentang dan 15 menit tengkurap usahakan kontak sinar
dengan kulit seluas mungkin, oleh kerena itu bayi tidak memakai
pakaian (terlanjang) tetapi hati – hati jangan sampai kedinginan.
b. Terapi medis
1) Petugas kesehatan akan memutuskan untk melakukan terapi sinar
(phototherapy) sesuai dengan peningkatan kadar bilirubin pada nilai
tertentu berdasarkan usia bayi dan apakah bayi lahir cukup bulan
atau prematr. Bayi akan ditempatkan dibawah sinar khusus. Sinar
ini akan mampu untuk menembus kult bayi dan mengubah bilirubin
menjadi lumirubin yang lebih mudah diubah oleh tubuh bayi.
Selama terapi sinar penutup khusus akan dibuat untuk melindungi
mata.
2) Jika terapi sinar standar tidak menolong untuk menurunkan kadar
bilirubin, maka bayi akan ditempatkan pada selimut fiber optic atau
terapi sinar ganda / triple akan dilaukan (double/ triple light
trerapy).
3) Jika gagal dengan terapi sinar maka dilakukan transfuse tukar yaitu
pengganti darah bayi dengan donor darah. Ini adalah prosedur
19
sangat khusus dan dilakuakan pada fasilitas yang mendukung untuk
merawat bayi dengan sangat kritis, namun secara keseluruhan,
hanya sedikit bayi yang akan membutuhkan transfusi tukar.

12. Pencegahan Hiperbilirubin


a. Pengantar :
1) Pada kebanyakan kasus, kuninga pada bayi tidak bisa dicegah.
2) Cara terbaik untuk menghindari kuning yang fisiologis adalah
dengan memberi bayi cukup minum lebih baik lagi jika diberi ASI.
3) Pencegahan dibagi menjadi dua, yaitu pencegahan primer dan
pencegahan sekunder, yang masing – masing di uraikan secara
terpisah berikut ini.
b. Pencegahan primer :
1) Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling lama sedikit 8 –
12 kali sehari untuk beberapa hari peratama.
2) Tidak memberikan cairan tambahan pada bayi yang mendapat ASI
dan tidak mengalami dehidrasi.
c. Pencegahan sekunder :
1) Semua wanita hamil diperiksa golongan darah ABO dan rhesus
serta menyaring serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.
2) Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor
terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan ptotokol terhadap
penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda – tanda
vital bayi, tetepi tida kurang dari 8 – 12 jam.

20
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pemeriksaan fisik
b. Inspeksi: warna pada sclera, konjungtiva, membrane mukosa mulut,
kulit, urine, dan tinja
c. Pemeriksaan bilirubin menunjukan adanya peningkatan
d. Tanyakan berapa lama jaundice muncul dan sejak kapan
e. Tanyakan apakah bayi mengalami demam
f. Bagaimana kebutuhan pola makan
g. Riwayat keluarga
h. Apakah anak sudah mendapatkan imunisasi hepatitis B

2. Diagnosa
a. Resiko injury (internal) berhubungandengan peningkatan serum
bilirubin sekunder dari pemecahan sel darah merah dan gangguan
ekskresi bilirubin
b. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya air
(insensible water loss) tanpa disadari sekunder dari fototerapi
c. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan kondisi bayi
dangguan bonding
d. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pengalaman
orang tua

3. Intervensi
a. Bayi terbebas dari injury yang ditandai dengan serum bilirubin menurun,
tidak ada jaundice, reflex moro normal, tidak terdapat sepsis, reflex
hisap dan menelan baik
b. Bayi tidak menunjukan tanda – tanda dehidrasi yang ditandai dengan
urine output (pengeluaran urine) kurang dari 1 – 3 ml/jam, membrane
mukosa normal, ubun –ubun tidak cekung, temperatur dalam batas
normal
21
c. Bayi tidak menunjukan tanda iritasi kulit yang ditandai dengan tidak
adanya rash dan ruam macular eritemosa
d. Orang tua tidak tampak cemas ditandai dengan kemampuan
mengekspresikan perasaan dan perhatian pada bayi secara aktif dalam
partisipasi merawat bayi
e. Orang tua memahami kondisi bayi dan alasan pengobatan: orang tua
juga berpartisipasi dalam perawatan bayi (pemberian minum dan
penggantian popok)
f. Bayi tidak mengalami injury pada mata ditandai dengan tidak ada
konjungtiva.

4. Implementasi
a. Mencegah adanya injury internal
1) Kaji hiperbilirubin tiap 1-4 jam dan catat
2) Berikan fototerapi sesuai program
3) Monitor kadar bilirubin 4-8 jam sesuai program
4) Antisipasi kebutuhan tranfusi tukar
5) Monitor Hb dan Hct
b. Mencegah terjanya kekurangan volume cairan
1) Pertahankan intake (pemasukan cairan)
2) Berikan minum ssesuai jadwal
3) Monitor intake dan output (pemasukan dan pengeluaran)
4) Berikan terapi infus sesuai program, bila ada indikasi peningkatan
temperatur, konsentrasi urine, dan hilang berlebihan.
5) Kaji dehidrasi, membrane mukosa, ubun-ubun, turgor kulit, dan
mata
6) Monitor temperatur tiap 2 jam
c. Mencegah gangguan integrutas kulit
1) Inspeksi kukit tiap 4-6 jam
2) Gunakan sabun bayi

22
3) Ubah posisi bayi
4) Gunakan pelindung daerah genital
5) Gunakan las yang lembut
d. Mengurangi rasa cemas pada orang tua
1) Pertahankan kontak orang tua dan bayi
2) Ajarkan orang tua untuk mengekspresikan perasaan dan dengarkan
kekhawatiran yang dialami orang tua
a. Orang tua memahami kondisi bayi dan mau berpartisipasi dalam
perawatan
1) Diskusikan dengan orang tua mengenai resiko fiaiologis, alasan
perawatan, dan pengobatan yang dijalankan
2) Libatkan dan ajarkan orang tua dalam perawatan bayi
3) Jelaskan komplikasi dengan menganal tanda dan gejala: lethargi,
kekuan otot, menangis terus, kejang dan tidak mau
makan/minum, temperature meningkat, dan bayi menangis
dengan melengking.
b. Mencegah injury pada mata
1) Gunakan pelindung mata saat fototerapi
2) Pastikan mata tertutup, hindari penekanan pada mata yang
berlebihan karena dapat menimbulka jejak pada mata yang
tertutup atau kornea dapat tergores jika bayi dapat membuka
matanya saat dibalut

5. Perencanaan Pemulangan
a. Ajarkan oaring tua cara merawat bayi agar tidak terjadi infeksi dan
jelaskan tentang daya tahan tubuh bayi
b. Jelaskan pada orang tua pentingnya pemberian ASI apabila sudah tidak
ikterik. Namum, bila menyebabnya bukan jaundice, pemberian ASI
tetap diteruskan

23
c. Jelaskan pada orang tua komplikasi yang mungkin terjadi dan sarankan
orang tua untuk segera melaporksn komplikaso tersebut ke
dokter/perawat
d. Jelaskan menganai pemberian imunisasi
e. Jelaskan pengobatan – pengobatan yang diberikan.

6. Dampak hospitalisasi
Proses hospitalisasi dapat menjadi pengalaman yang membingungkan
dan menegangkan bagi anak-anak, remaja, dan keluarga mereka. Pada
umumnya, anak dan keluarga mereka memiliki banyak pertanyaan ketika
dijadwalkan untuk menjalani operasi atau rawat inap. Proses hospitalisasi
mempengaruhi anak-anak dengan cara yang berbeda, tergantung pada usia,
alasan untuk rawat inap mereka, dan temperamen. Temperamen adalah
bagaimana anak bereaksi terhadap situasi baru atau unfamilliar.
Anak akan menunjukan berbagai perilaku sebagai reaksi terhadap
pengalaman hospitalisasi. Reaksi tersebut bersifat individual dan sangat
bergantung pada tahapan usia perkembangan anak, pengalaman anak,
pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukungyang tersedia, dan
kemampuan koping yang dimilikinya (supartini, 2004 dalam buku Mendri
dan agus), pada umumnya, reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan
karna perpisaahn dengan keluarga dan teman, berada di lingkungan baru,
menerima investigasi dan perawatan, serta kehilangan kontrol diri.
Kecemasan karena perpisahan dengan keluarga dan teman berpengaruh
pada terganggunya aktivitas bersama teman, rutinitas yang dijalani bersama
keluarga, berhubungan teman sebaya, dan prestasi disekolah. Anak yang
berada di lingkungan baru selama proses hospitalisasi juga merasa takut pada
orang asing yang merawatnya maupun lingkungan maupun lingkungan
rumah sakit yang asing. Selain itu, ketidaksukaan anak pada lingkungan
rumah sakit juga sisbabkan oleh ruangan rumah sakit yang ramai/gaduh,

24
lingkungan yang panas, fasilitas permainan yang tidak memadai dan
makanan rumah sakit yang memungkinkan terasa hambar dan tidak enak.
Hal lain yang menyebabkan anak mengalami kecemasan pada saat
proses hospitalisasi adalah anak harus menerima perawatan dan investigasi.
Ketika menerima perawatan anak biasanya takut pada proses-proses yang
harus dijalaninya, seperti proses operasi, penyuntikan, mutilasi, dan
mengonsumsi obat-obatan secara rutin. Ketakutan selama proses perawatan
juga bisa diakibatkan karena adannya bayangan tentang rasa nyeri,
perubahan tentang penampilantubuh, dan kecemasan akan kematian.
Anak juga dapat mengalami hilang kontrol diri jetika menjalani proses
hospitalisasi. Misalnya, anak kehilangan kontrol terhadap kebutuhan-
kebutuhan pribadi, waktu makan, waktu tidur, dan waktu untuk menjalankan
sebuah prosedur. Anak biasanya kehilangan kepercayaan diri karena
dianggap sakit. Biasanya orang disekitarnya akan sangat membatasi aktivitas
yang holeh dilakukan.
Reaksi anak terhadap sakit adan proses hospitalisasi pada fase lahir
sampai 12 bulan, bayi pada usia ini biasanya mengembangkan banyak
keterampilan baru. Berada di rumah sakit kadang-kadang tidak
memungkinkan mereka mereka untuk berlatih keterampialn ini.
Keterampilan ini mungkin termasuk bergukir, duduk, merangkak, dan
berjalan. Bayi mungkin tidak mendapatkan rangsangan sensorik yang cukup,
misalnya musik, sinar matahari, posisi tubuh, sentuhan, dan mainan. Jika
keluarga bayi tidak bisa tinggal sering atau bisa menggendong bayi,
hubungan bayi dengan orang tuanya mungkin akan berpengaruh.
Anak pada usia ini dapat menjadi kelompok usia yang paling matang
untuk mempersiapkan operasi karena pemahaman mereka yang terbatasa dan
penggunaan bahasa. Anak pada usia ini juga paling sensitif terhadap
lingkungan mereka seperti nada suara, sentuhan, dan gerakan tiba-tiba.
Ketakutan terbesar bagi anak-anak usia ini adalah terpisahnya dari orang tia
mereka. Orang tua bisa membawa boneka favorit, dot, atau selimut kerumah
25
sakit untuk membantu menenangkan anak. Kehadiran dan ikatan waktu
orang tua menjadi bagian paling pentingdari rumah sakit untuk proses
hospitalisasi anak.
Pada anak usia lebih dari enam bulan menjadi stranger anxiety atau
cemasa apabila berhadapan dengan oarang yang tidak dikenalnya. Reaksi
yang sering muncul pada anak usia ini adalah menangis kerasi, marah,
ekspresi wajah yang tidak menyenangkan, dan banyak melakukan gerakan
sebagai sikap stranger anxiety.
Upaya meminimalkan dampak hospitalisasi oleh orang tua :
Banyak cara dapat dilakukan oarng tua untuk mengatasi tekanan anak
yang tinggal di rumah sakit. Beberapa cara berikut dapat mengurangi stres
dan kecemasan yang dialami anak menghadapi proses hospitalisasi. Pertama,
mempersiapkan anak sebelum hospitalisasi. Jika proses hospitalisasi telah
direncanakan sebelumnya, orang tua dapat membantu ank-anak bersiap-siap
dengan pengalaman yang telah dialami sebelumnya. Orang tua juga daapt
memberiakn pengertian yang memadai mengenai perawatan yang dijalani.
Orang tua juga harus mendorong anakuntuk membicaraka secara terbuka
tentang ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran lainnya terhadap proses
perawatan yang dijalani.

Bagaimana orang tua mempersiapkan anak akan tergantung pada usia


mereka. Orang tua bisa berkonsultasi dengan dokter, perawat, pekerja sosial,
atau spesialis anaka tentang bagaimana mempersiapkan anak tinggal
dirumah sakit. Bebeapa rumah sakit biasanya memilik program untuk
membantu orang tua mempersiapkan anak tinggal di rumah sakit.

Hal yang perlu diingat adalah orang tua merupakan teladan bagi perilaku
anak. Jika orang tua menunjukan rasa takut dan kesedihan dirumah saki, hal
tersebut akan mendorong anak untuk merasakan hal yang sama. Semakin
orang tua memahami tentang tes dan pengobatan berhubungan dengan
kondisi anak dan program rumah sakit serta prosedur yang dilakukan,
26
semakin orang tua dapat fokus untuk mendukung anak selama tinggal di
rumah sakit.

Kedua, memperbanyak kunjungan. Kunjungan dari orang tua, saudara,


teman-teman dan orang terdekat lainnya akan berdampak positif terhadap
perawatan anak. Kunjungan yang dilakukan membuat anak tidak merasa
terisolasi. Orang tua juga harus menjamin anak tidak anak sendirian selama
menjalani proses hospitalisasi. Anak juga harus tau bahwa orang tua dan
anggota keluarga lain akan berada di rumah sakit sesering mungkin dan
bahwa para perawat serta dokter akan bersedia setiap saat.

Ketiga, membawa benda favorit dari rumah. Membawa hal-hal favorit


dari rumah, seperti mainan, boneka, atau benda kesayangan anak lainnya
akan membanu kenyamanan anak selama proses hospitalisasi. Bila anak
merasa nyaman selama proses hospitalisasi, maka perawatan dilakukan dapat
membuahkan hasil yang optimal.

Keempat, bermain. Sebisa mungkin, anak-anak di rumah sakit harus


didorong untuk bermain. Beramain dapat menjauhkan pikiran anak dari rasa
sakit, kecemasan, dan penyakit pada umumnya. Bermain juga dapat
membantu anak tetap mendapatkan stimulan untuk membantu perumbuhan
dan perkembangannya. Hal ini mendorong perkembangan anak normal.
Bermain dapat melibatkan mainan, buku, teka-teki, serta seni dan kerajinan.
Bermain juga dapat diatur di rumah sakit. Seringkali hal ini dilakukan oleh
pekerja sosial dan spesialis anak.

27
Intervensi keperawatan mengatasi dampak hospitaslisasi :

Fokus intervesi keperawatan untuk mengatasi dampak hospitaslisasi


adalah meminimalisasi stresor, memaksimalkan manfaat hospitalisasi,
memberikan dukungan psikologis pada anggota keluarga, dan
mempersiapkan anak sebelum dirawat di rumah sakit.

a. Upaya meminimalkan penyebab stres

Upaya meminimalkan penyebab stres dapat dilakukan dengan


mencegah atau mengurangi dampak perpisahan, mencegah perasaan
kehilangan kontrol, dan mengurangi atau meminimalkan rasa akut
terhadap pelukan tubuh dan rasa nyeri. Untuk mencegah atau
meminimalkan dampak perpisahan, dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut.

1) Melibatkan orang tua berperan aktif dalam perawatan anak dengan


cara memperbolehkan merekan untuk tinggal bersama anak selama
24 jam (rooming in)

2) Jika tidak mungkin untuk rooming in, beri kesempatan orang tua
melihat anak setiap saat dengan maksud mempertahankan kontak
antara mereka.

3) Modifikasi ruang perawatan dengan cara membuat situasi ruang


rawat seperti dirumah, diantaranya dengan membuat dekorasi
ruangan yang bernuansa ank-anak

4) Mempertahankan kontak dengan kegiatan sekolah, diantaranya


dengan memfasilitasi pertemuan dengan guru dan teman sekolah.

28
Upaya mencegah perasaan kehilangan kontrol, dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut :

1) Hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif terhadap


petugas kesehatan. Apabila anak harus diisolasi, lakukan modifikasi
lingkungan sehingga isolasi tidak terlalu dirasakan olehh anak dan
orang tua, pertahankan kontak dengan orang tua dan anak, terutama
pada bayi dan anak toodler.

2) Buat jadwal kegiatan untuk prosedur terapi, latihan, bermain, dan


aktivitas lain dalam perawatan guna menghadapi perubahan
kebiasaan/kegiatan sehari-hari.

3) Fokuskan intervensi keperawatan pada upaya mengurangi


ketergantungan dengan cara memberi kesempatan anak mengambil
keputusan dan melibatkan orang tua dalam perencanaan kegiatan
asuhan keperawatan

Upaya meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan rasa


nyeri dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1) Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan


prosedur yang menimbulkan rasa nyeri, yaitu dengan menjelaskan
apa yang akan dilakukan dan memberikan dukungan psikologis
pada orang tua.

2) Lakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan


fisik anak, misalnya dengan bercerita, menggambar, menonton
video kaset dengan cerita yang berkaitan dengan tindakaan atau
prosedur yang akan dilakukan pada anak.

3) Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua pada saat anak


menerima prosedur yang menimbulkan rasa nyeri. Dalam kondisi

29
ini, tawarkan pada anak dan orang tua untuk mempercayakan
kepada perawat sebagai pendamping anak selama prosedur tersebut
dilakukan.

4) Tunjukan sikap empati sebagai pendekatan utama dalam


mengurangi rasa takut akibat prosedur yang menyakitkan.

5) Pada pembedahan elektif, lakukan persiapan khusus jauh dari


sebelumnya apabila memungkinkan. Misalnya dengan
mengorientasikan kamar bedah, tindakan yang akan dilakukan, dan
petugas yang akan menangani anak melalui cerita, gambar, atau
menonton film video yang menggambarkan kegiatan operasi
tersebut. Hal ini dilakukan dengan catatan perlu dilakukan
pengkajian terlebih dahulu tentang kemampuan psikologis anak dan
orang tua untuk menerima informasi dengan terbuka. Lakukan pula
latihan relaksasi pada fase senelum operasi sebagai persiapan ntuk
perawatan pascaoperasi.

b. Memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak

Salah satu upaya intervensi keperawatan dalam mengatasi dampak


hospitaslisasi adalah dengan memanfaatkan hospitalisaski semaksimal
mungkin dengan cara sebagai berikut :

1) Membantu perkembangan orang tua dan anak dengan cara


memberikan kesempatan orang tua mempelajari tumbuh kembang
anak dan reaksi anak terhadap stresor yang dihadapi selama proses
hospiltalisasi.

2) Hospitalisasi dapat dijadikan media belajar bagi orang tua. Untuk


itu, perawta dapat memberikan kesempatan kepada orang tua untuk
belajar tentang penyakit anak, terapi yang didapat, dan prosedur

30
keperawatan yang dilakukan pada anak, tentunya sesuai dengan
kapasitas belajarnya.

3) Untuk meningkatkan kemampuan konrol diri dapat dilakukan


dengan memberi kesempatan pada anak mengambil keputusan,
tidak perlu bergantung pada orang lain da percaya diri. Tentunya hal
ini hanya dapat dilakukan oleh anak yang lebih besar dan bukan
bayi. Berikan selalu penguatan positif dengan selalu memberikan
pujian atas kemampuan anak dan orang tua serta dorog terus untuk
meningkatkannya.

4) Fasilitasi anak untuk tetap menjaga sosialisasinya dengan sesama


pasien yang ada, teman sebaya, atau teman sekolah. Besi
kesempatan padanya untuk saling kenal dan membagi
pengalamannya. Demikian juga interaksi dengan petugas tenaga
kesehatan dan sesama orang tua juga harus difasilitasi oleh perawat
karena selam di rumah sakit orang tua dan anak mempunyai
kelompok sosial yang baru.

c. Memberikan dukungan pada anggota keluarga lain

1) Berikan dukungan kepada keluarga untuk mau tinggal dengan anak


dirumah sakit.

2) Apabila diperlukan, fasilitasi keluarga agar berkonsultasi pada


psikolog atau ahli agama karena sangat dimungkinkan keluarga
memahami masalah psikososial dan spiritual yang memerlukan
bantuan ahli

3) Beri dukungan pada keluarga untuk menerima kondisi anaknya


denagn nilai-nilai yang diyakininya

31
4) Fasilitasi untuk menghadirkan saudara kandung anak apabila
diperlukan keluarga dan berdampak positif pada anak yang dirawat
maupun saudara kandungnya.

d. Mempersiapkan anak untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit

Persiapan anak sebelum dirawat di rumah sakit didasarkan pada


adanya asumsi bahwa ketakutan akan sesuatu yang tidak diketahui akan
menjadi ketakutan yang nyata. Sebelum masuk rmah sakit, terdapat
tahap-tahap yang dapat dilakukan, antara lain :

1) Siapkan ruang rawat yang sesuai dengan tahapan usia anak dan jenis
penyakit dengan peralatan yang diperlukan

2) Apabila anak harus dirawat secara berencana, 1-2 hari sebelum


dirawat diorientasikan dengan situasi rumah sakit dengan bentuk
miniatur bangunan rumah sakit.

Pada hari pertama dirawat, dilakukan tindakan :

a. Kenalkan perawat dan dokter yang akan merawatnya

b. Orientasikan anak dan orang tua pada ruangan rawat yang ada
beserta fasilitas yang dapat digunakannya.

c. Kenalkan dengan anak dengan pasien lain yang akan menjadi teman
sekamarnya

d. Berikan identitas pada anak, misalnya pada papan nama anak

e. Jelaskan aturan rumahs akit yang berlaku dan jadwa kegiatan yang
akan diikuti

f. Laksanakan pengkajian riwayat keperawaatan

32
g. Lakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya sesuai dengan
yang diprogramkan

33
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hiperbilirubinemia adalah menignkatnya kadar bilirubin dalam darah yang
kadar nilainya lebih dari normal, biasanya terjadi pada bayi baru lahir. Nilai
normal bilirubin, yaitu bilirubin indrek 0,3 – 1,1 mg/dL, bilirubin direk 0,1 - 0,4
mg/dL. Hiperbilirubinemia biasnya terjadi pada bayi baru lahir karena fungsi hati
masih belum sempurna untuk membuang bilirubin dari aliran darah. Penyakit
Hiperbilirubinemia bisa mengakibatkan komplikasi seperti: kerusakan pada otak,
keterbelakangan mental, kelumpuhan serebral, tuli dan mata tidak bias digerakan
ke atas. Penanganan penyakit hiperbilirubin yaitu dengan memberikan ASI yang
cukup, sinar matahari dan terapi medis.

B. Saran
Menyadari bahwa penulisan masih jauh dari kata sempurna, ke depannya
penulis akan lebih focus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah diatas
dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung
jawabkan.

34
DAFTAR PUSTAKA

Elsi Ermalinda, N. K. (2014). Asuhan Kebidanan Kegawat Daruratan Maternal


& Neonatal. Bogor : IN MEDIA.

Mendri, Ketut dan Agus Sarwo Prayogy. 2002. Asuhan Keperawatan pada Anak
Sakit & Bayi Beresiko Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Baru Press

Sembiring, Julina. 2017. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, Anak Pra Sekolah.
Yogyakarta : CV Budi Utama.

Suriadi, S. M. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2. Jakarta: CV.


SAGUNG SETO.

Wiknjosastro, H. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo

35

Anda mungkin juga menyukai