Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU NIFAS FISIOLOGIS


DI PUSKESMAS SURUH KABUPATEN SEMARANG

Untuk memenuhi persyaratan Stage Nifas

Oleh :
MAIMUNAH HIDAYATI
NIM: P1337424822082

PROGRAM STUDI PROFESI BIDAN JURUSAN KEBIDANAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN
KESEHATAN SEMARANG
2022/2023
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Nifas dan Menyusui pada Kunjungan Nifas II di


Puskesmas Suruh, telah disahkan dan disetujui oleh pembimbing pada :
Hari :
Tanggal :
Dalam rangka Praktik Klinik Kebidanan Fisiologis Holistik Nifas dan
Menyusui yang telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing klinik dan pembimbing
institusi Program Studi Pendidikan Profesi Bidan Jurusan Kebidanan Politeknik
Kesehatan Kementerian Kesehatan Semarang Tahun 2022.

Kab. Semarang, November 2022


Pembimbing Klinik Mahasiswa

Siti Muslikah,S.S.T.Keb Maimunah Hidayati


NIP :196708211991032005 NIM. P1337424822082

Mengetahui,
Pembimbing Institusi

Elisa Ulfiana, SSiT, M.Kes


NIP. 19790108 200501 2 001
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena limpahan taufiq dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan Laporan Individu yang berjudul “ Laporan Pendahuluan
Asuhan Kebidanan Nifas Fisiologis”. Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat
menyelesaikan Tugas Stage Nifas pada Pendidikan Profesi Bidan Poltekkes
Kemenkes Semarang.
Dalam penyusunan Laporan, penulis banyak mendapat bimbingan, petunjuk
dan saran dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Ibu Sri Rahayu, S.Kp, Ns, S.Tr.Keb, M.Kes. selaku Ketua Jurusan Kebidanan
Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang.
2. Ibu Ida Ariyanti, S.SiT, M.Kes. selaku Ketua Prodi Sarjana Terapan dan Profesi
Bidan Poltekkes Kemenkes Semarang.
3. Elsa Ulfiana,S.SiT,M.Kes selaku Pembimbing Institusi Poltekkes Kemenkes
Semarang.
4. Siti Muslikah S.S.T.Keb selaku Pembimbing Lahan Praktik yang telah
memberikan bimbingan kepada penulis selama praktik di Puskesmas Suruh.
5. Masnaimah, S.ST, selaku Pembimbing di Lahan Praktik Puskesmas Jatinegara.
6. Semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan dan penyusunan laporan ini.
Penulis menyadari dalam penyusunan laporan ini jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca demi kesempurnaan laporan ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan
pahala atas segala amal baik yang telah diberikan. Semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.

Semarang, November 2022


Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa nifas atau post partum adalah masa setelah persalinan selesai
sampai 6 minggu atau 42 hari. Setelah masa nifas, organ reproduksi secara
perlahan akan mengalami perubahan seperti sebelum hamil. Selama masa
nifas perlu mendapat perhatian lebih dikarenakan angka kematian ibu 60%
terjadi pada masa nifas. Dalam angka kematian ibu (AKI) penyebab
banyaknya wanita meninggal salah satu penyebabnya adalah kurangnya
perhatian pada wanita post partum (Maritalia, 2014). Dalam masa nifas,
alat– alat genetalia interna maupun eksterna akan berangsur-angsur pulih ke
keadaan seperti ke keadaan sebelum hamil. Untuk membantu mempercepat
proses penyembuhan pada masa nifas, maka ibu nifas membutuhkan diet
yang cukup kalori dan protein, membutuhkan istirahat yang cukup dan
sebagainya (Marmi, 2015)
Di negara berkembang seperti Indonesia, masa nifas merupakan masa
yang kritis bagi ibu setelah melahirkan. Diperkirakan bahwa 60% kematian
ibu terjadi setelah persalinan dan 50% diantaranya terjadi dalam selang
waktu 24 jam pertama (Prawirohardjo, 2014). Jika ditinjau dari penyebab
kematian para ibu, infeksi merupakan penyebab kematian terbanyak nomor
dua setelah perdarahan sehingga sangat tepat jika tenaga kesehatan
memberikan perhatian yang tinggi pada masa ini (Kusumastuti, 2016).
Secara proporsional angka infeksi menurut jenis infeksi adalah infeksi
jalan lahir 25 sampai 55% dari kasus infeksi (Mochtar, 2011). Robekan
jalan lahir dapat terjadi secara spontan ataupun dilakukan episotomi dengan
indikasi tertentu (Marmi, 2015). Luka perineum dialami oleh 75% yang
melahirkan per vaginam dan tentu saja angka tersebut lebih besar pada ibu
yang melahirkan dengan bantuan alat. Luka pada jalan lahir bila tidak
disertai infeksi akan sembuh dalam 6-7 hari (Mochtar, 2011). Pada
umumnya luka dapat sembuh dengan sendirinya. Luka akan mengalami
kegagalan penyembuhan jika ada factor yang menghambat, sehingga luka
awal yang biasa menjadi luar biasa sulit untuk sembuh. Ada beberapa faktor
yang yang sangat berperan dalam dalam mendukung penyembuhan luka
yaitu faktor luka dan faktor umum. Faktor lokal yang dapat mendukung
penyembuhan luka adalah kondisi luka, penatalaksanaan luka, temperatur
luka, adanya tekanan, gesekan, atau keduanya, adanya benda asing, dan ada
tidaknya infeksi. Faktor umum yang menghambat penyembuhan luka
adalah kondisi pasien secara umum seperti faktor usia, penyakit penyerta,
nutrisi, kegemukan dan gangguan sensasi dan pergerakan, status psikologi,
terapi radiasi dan obat-obatan (Arisanty, 2013).
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk membuat asuhan
kebidanan pada ibu nifas di Rumah Sakit Umum Daerah Padangan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada kasus diatas dapat dikemukakan rumusan masalah:
Bagaimana melakukan asuhan kebidanan pada ibu nifas fisiologis di Rumah
Sakit Umum Daerah Padangan Kabupaten Bojonegoro.

C. Tujuan
1.Tujuan Umum
Dapat mengaplikasikan teori yang diperoleh di kelas dan praktek yang
dilakukan di laboratorium di Institusi ke dalam praktek nyata asuhan
kebidanan ibu nifas. Dengan menggunakan manajemen asuhan
kebidanan fisiologis secara holistik di Rumah Sakit Umum Daerah
Padangan Kabupaten Bojonegoro.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat melakukan pengkajian data subyektif dan obyektif pada ibu
nifas dengan pendekatan holistik
b. Dapat melakukan analisa dengan berfikir kritis pada ibu nifas dengan
pendekatan holistik
c. Dapat melakukan perencanaan asuhan ibu nifas dengan pendekatan
holistik
d. Dapat melakukan implementasi pada asuhan ibu nifas dengan
pendekatan holistik berdasarkan evidence based
e. Dapat melakukan evaluasi asuhan ibu nifas dengan pendekatan
holistik
f. Dapat melakukan pendokumentasian asuhan ibu nifas dengan
pendekatan holistik
D. Manfaat
1. Manfaat Bagi Ibu Nifas
Mendapatkan asuhan kebidanan ibu Nifas berdasarkan evidence based
practice dan manajemen kebidanan.
2. Manfaat Bagi Bidan
Asuhan kebidanan ini dapat digunakan bidan sebagai bahan acuan dan
saran untuk meningkatkan mutu pelayanan asuhan kebidanan nifas yang
berkualitas.
3. Manfaat Bagi Institusi
Hasil asuhan kebidanan ini dapat digunakan sebagai referensi bagi
mahasiswa dalam meningkatkan proses pembelajaran dan data dasar
dalam memberikan asuhan kebidanan nifas berdasarkan evidence based.
4. Manfaat Bagi Puskesmas Jatinegara
Hasil asuhan kebidanan ini dapat digunakan untuk rujukan bahan
referensi dalam meningkatkan kualitas pelayanan asuhan yang telah
dibuktikan dengan evidence based practice
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Teori Medis


1. Pengertian
a. Masa nifas (puerperium) dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir
ketika alatalat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil.
masa nifas berlangsung kirakira 6 minggu, akan tetapi, seluruh alat
genital baru pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil dalam
waktu 3 bulan (Prawirohardjo, 2014).
b. Masa nifas (puerperium) adalah masa pulih kembali, mulai dari
persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti
prahamil. Lama masa nifas 6-8 minggu (Mochtar, 2011).
c. Masa nifas atau post partum ialah masa sesudah persalinan yang
diperlukan untuk pulihnya kembali alat kandungan yang lamanya 6
minggu (Irianto, 2014).
2. Tahapan Masa Nifas
Dalam Wayuningsih (2018) tahapan pada masa nifas adalah sebagai
berikut : (Wahyuningsih, 2018)
a. Periode Immediate Postpartum
Yaitu masa segera setelah plasenta lahir sampai dengan 24 jam. Pada
masa ini merupakan fase kritis, sering terjadi insiden perdarahan
postpartum karena atonia uteri. Oleh karena itu, bidan perlu
melakukan pemantauan secara kontinu, yang meliputi; kontraksi
uterus, pengeluaran lokia, kandung kemih, tekanan darah dan suhu.
b. Periode Early Poatpartum (>24 jam–1 minggu)
Pada fase ini dipastikan involusi uteri dalam keadaan normal, tidak
ada perdarahan, lochea tidak berbau busuk, tidak demam, ibu cukup
mendapatkan makanan dan cairan, serta ibu dapat menyusui dengan
baik.
c. Periode Late Postpartum (>1 miggu–6 minggu)
Pada periode ini bidan tetap melakukan asuhan dan pemeriksaan
sehari-hari serta konseling perencanaan KB.
d. Remote puerperium
Adalah waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat terutama bila
selama hamil atau bersalin memiliki penyulit atau komplikasi.
3. Perubahan Fisiologis
Perubahan yang terjadi pada masa nifas adalah :
a. Perubahan Sistem Reproduksi
Perubahan pada sistem reproduksi secara keseluruhan disebut proses
involusi, disamping itu juga terjadi perubahan-perubahan penting lain
yaitu terjadinya hemokonsentrasi dan timbulnya laktasi. Organ dalam
system reproduksi yang mengalami perubahan yaitu:
1) Uterus
Uterus adalah organ yang mengalami banyak perubahan
besar. Pada masa pasca persalinan uterus mengalami involusi.
Involusi atau pengerutan uterus merupakan suatu proses dimana
uterus kembali ke kondisi sebelum hamil dengan berat sekitar 60
gram (Kemenkes RI, 2019).
Gambar 1.1 TFU dan Berat Uterus Menurut Masa Involusi

Sumber : Kemenkes RI (2015) (Kemenkes RI, 2015)


Lapisan endometrium akan mengalami regenerasi
dengan cepat, sehingga pada hari ke-7 kelenjar endometrium
sudah mulai ada. Pada hari ke-16 lapisan endometrium telah
pulih di seluruh uterus kecuali di tempat implantasi plasenta
(Kemenkes RI, 2019).
Pada tempat implantasi plasenta, segera setelah
persalinan, hemostasis terjadi akibat kontraksi otot polos
pembuluh darah arterial dan kompresi pembuluh darah akibat
kontraksi otot miometrium (ligasi fisiologis). Ukuran dari tempat
implantasi plasenta akan berkurang hingga separuhnya, dan
besarnya perubahan yang terjadi pada tempat implantasi plasenta
akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas dari lochea
(Kemenkes RI, 2019).
Lochea adalah ekskresi cairan rahim selama masa nifas.
Lochea mengandung darah dan sisa jaringan desidua yang
nekrotik dari dalam uterus. Pemeriksaan lochea meliputi
perubahan warna dan bau karena lochea memiliki ciri khas: bau
amis atau khas darah dan adanya bau busuk menandakan adanya
infeksi. Jumlah total pengeluaran seluruh periode lochea rata-rata
kira-kira 240–270 ml (Kemenkes RI, 2015).
Dalam Widyasih (2013), Lochea terbagi menjadi :
a) Lochea Rubra (Cruenta)) (Widyasih, 2013)
Muncul pada hari 1-2 pasca persalinan, berwarna merah
mengandung darah dan sisa-sisa selaput ketuban, jaringan
dari decidua, verniks caseosa, lanugo dan meconeum.
b) Lochea Sanguinolenta
Muncul pada hari ke 3-7 pasca persalinan, berwarna merah
kuning dan berisi darah lendir.
c) Lochea Serosa
Lochea serosa muncul pada hari ke 7-14 pasca persalinan,
berwarna kecoklatan mengandung lebih banyak serum. Lebih
sedikit darah dan lebih banyak serum, juga terdiri dari
leukosit dan robekan laserasi plasenta.
d) Lochea Alba
Muncul sejak 2-6 minggu pasca persalinan, berwarna putih
kekuningan mengandung leukosit, selaput lender serviks dan
serabut jaringan yang mati.Vulva dan Vagina
e) Lochea Purulenta
Terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah dan berbau busuk.
f) Lochiostatis
Lochea yang tidak lancar keluarnya.
2) Vulva dan Vagina
Pada sekitar minggu ketiga, vagina mengecil dan timbul rugae
kembali. Vagina yang semula sangat teregang akan kembali
secara bertahap seperti ukuran sebelum hamil pada minggu ke 6-
8 setelah melahirkan. Rugae akan terlihat kembali pada minggu
ke 3 atau ke 4 (Kemenkes RI, 2019).
3) Perineum
Jalan lahir mengalami penekanan serta peregangan yang
sangat besar selama proses melahirkan bayi, sehingga
menyebabkan mengendurnya organ ini bahkan robekan yang
memerlukan penjahitan, namun akan pulih setelah 2-3 minggu
(Kemenkes RI, 2019).
Luka perineum adalah luka yang terjadi sepanjang jalan
lahir (perineum) yang terjadi akibat proses persalinan (Maritalia,
2012). Penanganan ruptur perineum dapat dilakukan dengan cara
melakukan penjahitan/ heacting pada perlakuan lapis demi lapis
dan memperhatikan jangan sampai terjadi ruang kosong terbuka
kearah vagina yang biasa dapat dimasuki bekuan-bekuan darah
yang menyebabkan tidak baiknya proses penyembuhan luka
(Mochtar, 2012). Zuliyati (2012) menyebutkan hasil pelitiannya
bahwa lama penyembuhan luka perineum pada tekhnik
penjahitan jelujur lebih cepat daripada penjahitan secara terputus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama penyembuhan luka
perineum dengan teknik penjahitan jelujur paling banyak pada
hari ke 7 (1minggu) yaitu 66,7% responden. Sedangkan lama
penyembuhan luka perineum dengan teknik penjahitan terputus
paling banyak pada hari ke 7 dan ke 10 yaitu 25% responden, dan
ada responden yang sembuh pada hari ke 12 yaitu 16,7%.
(Zuliyati, 2012)
Davidson pada tahun 1974 menggunakan sistem skoring
dengan skala REEDA untuk mengevaluasi penyembuhan luka
pada masa pascasalin. REEDA tool, alat ini untuk mengkaji
redness, edema, ecchymosis, discharge, dan approximation yang
berhubungan dengan trauma perineum setelah persalinan.
REEDA menilai lima komponen proses penyembuhan dan
trauma perineum setiap individu (Nurbaeti, 2013).
Tabel 2.2 Skala REEDA
Nilai Redness Oedema Ecchymosis Discharge Approximati
(kemerahan) (pembeng (bercak (pengeluar on
kakan) perdarahan) an) (penyatuan
luka)
0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
1 Kurang dari Pada Kurang dari Serum Jarak kulit
0,25cm pada perineum, 0,25cm 3mm atau
kedua sisi <1cm dari pada kedua kurang
laserasi laserasi sisi atau
0,5cm pada
satu sisi
2 Kurang dari Pada 0,25-1cm Serosangu Terdapat
0,5cm pada perineum, pada kedua inus jarak antara
kedua sisi 1- 2cm sisi atau kulit dan
laserasi dari 0,52cm lemak
laserasi pada satu subkutan
sisi
3 Lebih dari Pada >1cm pada Berdarah, Terdapat
0,5cm pada perineum, kedua sisi purulent jarak antara
kedua sisi >2cm dari atau 2cm kulit dan
laserasi laserasi pada satu lemak
sisi subkutan
dan fasia
Sumber: Alvarenga MB (2015)
Alat pengkajian ini digunakan untuk menilai kondisi luka
jahitan perineum, dengan score tertentu yang mengindikasikann
seberapa baik kondisi penyembuhan luka perineum. Skor paling
tinggi untuk masing – masing aspek dari 5 aspek tersebut
(REEDA) adalah 3, sedangkan score terendah adalah 0. Dengan
nilai 0 menunjukan kondisi luka perineum sembuh (Chougala,
2013).
Faktor predisposisi terjadinya luka perineum pada ibu
nifas antara lain partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan
tidak ditolong, pasien tidak mampu berhenti mengejan, edema
dan kerapuhan pada perineum, vasikositas vulva dan jaringan
perineum, arkus pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang
sempit pula sehingga menekan kepala bayi kearah posterior, dan
perluasan episiotomi. Faktor penyebab dari aspek janin antara
lain bayi besar, posisi kepala yang abnormal, kelahiran bokong,
ekstraksi forcep yang sukar, dan distosia bahu (Wahyuningsih,
2018).
Derajat luka perineum terdiri dari 4 tingkat yaitu :
 Tingkat I: Robekan mengenai jaringan kulit dan subkutan
dengan hanya sedikit atau tanpa kerusakan otot. Robekan ini
seringkali dibiarkan tanpa perlu dijahit. Meliputi mukosa
vagina, komisura posterior dan kulit perineum.

 Tingkat II: Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu selama


mengenai selaput lendir vagina juga mengenai muskulus
perinei transversalis, tapi tidak mengenai sfingter ani.
Robekan mengenai kulit dan lapisan otot (paling sering otot
bulbokavernosus serta transerversa superfisial dan
profunda). Episiotomi termasuk dalam kategori ini karena
kulit dan otot digunting. Jika robekan terjadi secara spontan,
dianjurkan bahwa beberapa robekan derajat kedua tidak
memerlukan jahitan. Meliputi mukosa vagina, komisura
posterior, kulit perineum dan otot.

 Tingkat III: Robekan yang terjadi mengenai seluruh


perineum sampai mengenai otot-otot sfingter ani. Meliputi
mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot
perineum dan otot sfingter ani.
 Tingkat IV: Robekan hingga epitel anus. Robekan mengenai
sfingter internal dan eksternal serta mukosa rektum sehingga
lumen rektum. Meliputi mukosa vagina, komisura posterior,
kulit perineum, otot perineum, otot sfingter ani dan dinding
depan rectum (Wiknjosastro, 2016).

Tahapan penyembuhan luka jahitan perineum dapat dibagi


sebagai berikut :
 Hemostatis (0 – 3 hari), vasokontriksi sementara dari
pembuluh darah yang rusak terjadi pada saat sumbatan
trombosit dibentuk dan diperkuat juga oleh serabut fibrin
untuk membentuk sebuah bekuan.
 Inflamasi, respon inflamasi akut terjadi beberapa jam setelah
cedera, dan efeknya bertahan hingga 5 – 7 hari. Karakteristik
Inflamasi yang normal antara lain kemerahan,kemungkinan
pembengkakan, suhu sedikit meningkat di area setempat
(atau pada kasus luka yang luas, terjadi periksia sistematis),
kemungkinan ada nyeri. Selama peralihan dari fase inflamasi
ke fase proliferasi jumlah sel radang menurun dan jumlah
fibroblas meningkat.
 Proliferasi (3 – 24 hari), selama fase proliferasi
pembentukan pembuluh darah yang baru berlanjut di
sepanjang luka. Fibroblas menempatkan substansi dasar dan
serabutserabut kolagen serta pembuluh darah baru mulai
menginfiltrasi luka. Tanda inflamasi
mulai mulai berkurang dan berwarna merah terang.
 Maturasi (24 – 1 bulan), bekuan fibrin awal digantikan oleh
jaringan granulasi, setelah jaringan granulasi meluas hingga
memenuhi defek dan defek tertutupi oleh permukaan
epidermal yang dapat bekerja dengan baik, mengalami
maturasi.Terdapat suatu penurunan progesif dalam
vaskularitas jaringan parut, yang berubah dari merah
kehitaman menjadi putih. Serabut – serabut kolagen
mengadakan reorganisasi dan kekuatan regangan luka
meningkat.
 Parut maturasi jaringan granulasi menjadi faktor kontributor
yang paling penting dalam berkembangnya masalah parut.
Setelah penyembuhan, jaringan ini lebih tebal dibandingkan
dengan kulit normal, tetapi tidak setebal jika dibandingkan
dengan luka tertutup yang baru saja terjadi. Folikel rambut
dan sebasea atau kelenjar keringat tidak tumbuh lagi pada
jaringan parut.
Dalam Smeltzer (2013) disebutkan faktor-faktor yang
mempengaruhi penyembuhan luka perineum meliputi faktor
internal dan eksternal yaitu : (Smeltzer, 2013)
a) Faktor – faktor internal yang mempengaruhi penyembuhan
luka
(1) Usia
Penyembuhan luka lebih cepat terjadi pada usia muda
daripada orang tua. Orang yang sudah lanjut usianya tidak
dapat mentolerir stress seperti trauma jaringan atau
infeksi.
(2) Penanganan jaringan
Penanganan yang kasar penyembabkan cedera dan dapat
memperlambat penyembuhan
(3) Haemoragi
Akumulasi darah menciptakan ruang juga sel-sel mati
yang harus disingkirkan. Area menjadi pertumbuhan
untuk infeksi.
(4) Hipovolemia
Volume darah yang tidak mencukupi mengarah pada
vasokontriksi dan penurunan oksigen dan nutrisi yang
tersedia untuk penyembuhan luka.
(5) Factor local edema
Penurunan suplai oksigen melalui gerakan meningkatkan
tekanan internstisial pada pembuluh.
(6) Defisit nutrisi
Sekresi insulin dapat dihambat, sehingga menyebabkan
glukosa darah meningkat. Dapat terjadi penipisan protein-
kalori.
Malnutrisi secara umum dapat mengakibatkan
berkurangnya kekuatan luka, meningkatnya dehisensi
luka, meningkatnya kerentanan terhadap infeksi dan parut
dengan kualitas yang buruk. Defisiensi nutrien tertentu
dapat berpengaruh pada penyembuhan, misalnya
defisiensi zinc akan mengurangi kecepatan epitelialisasi
dan mengurangi sintesis kolagen sehingga mengurangi
kekuatan luka. Selain itu, vitamin C juga penting
dikonsumsi karena kolagen yang dibentuk tanpa vitamin
C yang adekuat akan lemah. Obesitas menjadi faktor
resiko yang mempengaruhi keberhasilan penyembuhan
luka. Faktor gizi terutama protein akan sangat
mempengaruhi terhadap proses penyembuhan luka pada
perineum karena penggantian sel yang rusak, untuk
pertumbuhan jaringan sangat dibutuhkan protein.
Jamhariyah (2017) Nutrisi juga sangat diperlukan
oleh ibu nifas dalam penyembuhan luka perineum.
Martanti et al., (2017) melakukan penelitian eksperimen
post test only control group design selama 7 hari untuk
mengetahui efek pemberian zinc dan vitamin C terhadap
penyembuhan luka perineum derajat II. Responden dalam
penelitian ini adalah 50 Ibu postpartum dengan luka
perineum derajat II. 24 responden diberikan Zinc dengan
dosis 20 mg, 1x1 setiap hari selama 7 hari dan 26
responden diberikan vitamin C dengan dosis 100 mg, 1x1
setiap hari selama 7 hari. Pada responden yang diberikan
vitamin C Rata-rata waktu penyembuhan lukanya 8,15
hari, waktu ini lebih cepat dibandingkan dengan
responden yang diberikan Zinc yang rata-rata waktu
penyembuhannya 9,13 hari. Pada hari ke 7 penelitian
jumlah responden yang sembuh pada responden yang
diberikan Vitamin C sebanyak 16 (61,5%) lebih besar dari
responden yang diberikan Zinc 7 (29,2%).
Jamhariyah (2017) melakukan penelitian
eksperimen Quasi experimental Control group post-test
only terhadap 26 ibu bersalin yang mengalami ruptur
perineum. 13 responden mendapatkan suplementasi zinc 1
tablet (20 mg) per hari selama 7 hari. Dan 13 responden
tidak mendapatkan suplementasi zinc. rata-rata waktu
penyembuhan luka perineum yang diberikan zinc adalah
5,85 hari, sedangkan pada responden yang tidak
mendapatkan suplementasi zinc adalah 7,38. Hasil uji t-
test independent menunjukkan terdapat pengaruh
suplementasi zinc terhadap waktu penyembuhan luka
perineum dengan ρ value 0,000 (<0,05).
Purnani (2019), kelompok perlakuan yang
diberikan putih telur sebanyak 139 gram perhari selama 5-
6 hari dan kelompok perlakuan yang diberikan ikan gabus
sebanyak 100 gram perhari selama 5-6 hari bertujuan agar
kebutuhan protein dan albumin yang dibutuhkan dapat
terpenuhi sehingga membantu mempercepat proses
penyembuhan luka perineum sehingga hasil observasi
yang diperoleh setelah pemberian menunjukkan kondisi
luka kering, perineum menutup dan tidak ada tanda
infeksi (merah, bengkak, panas, nyeri). Hasil analisa data
menggunakan uji Mann Whitney didapatkan hasil nilai Z
= - 2,626 dan ρ-value 0,009 < α 0,05 menunjukkan
adanya perbedaan efektifitas pemberian putih telur dan
ikan gabus terhadap penyembuhan luka perineum, dimana
putih telur lebih efektif daripada ikan gabus terhadap
penyembuhan luka perineum pada ibu nifas. Jadi baik
putih telur dan ikan gabus sama mempunyai pengaruh
dalam proses penyembuhan luka perineum karena
kandungan protein pada putih telur dan ikan gabus. Akan
tetapi putih telur lebih memberikan efek yang cepat bagi
penyembuhan luka perineum.
Hal ini disebabkan karena putih telur
mengandung lebih banyak protein albumin (95%)
dibandingkan kandungan albumin pada ikan gabus yang
lebih sedikit (21%), dimana kandungan albumin yang
membantu proses pergantian dan perbaikan fungsi
jaringan yang rusak. Selain itu, nilai cerna protein putih
telur mencapai 100%, dimana kandungan protein putih
telur sebagai protein bernilai gizi tinggi diserap dan
dimanfaatkan utuh oleh tubuh sebagai sumber nitrogen
untuk sintesis protein yang dimanfaatkan untuk
pembentukan jaringan baru, serta putih telur mempunyai
kandungan asam amino esensial yang lengkap
dibandingkan ikan gabus dengan nilai cerna 90%
(Purnani, 2019).
(7) Personal hygiene
Personal hygiene (kebersihan diri) dapat
memperlambat penyembuhan, hal ini dapat menyebabkan
adanya benda asing seperti debu dan kuman.
Pengetahuan dan kemampuan ibu dalam dalam
perawatan luka perineum akan mempengaruhi
penyembuhan perineum. Berdasarkan hasil penelitian
yang berjudul Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang
Perawatan Luka Terhadap Proses Penyembuhan Luka
Pada Ibu Nifas di Wilayah Pedesaan Percut, Sumatera
Utara menunjukan bahwa ada hubungan signifikan antara
tingkat pengetahuan ibu dan penyembuhan luka perineum
(p value = 0,008). Hal ini menunjukan bahwa tingkat
pengetahuan sangat penting pada ibu nifas (Simanjutak
dan Syafitri, 2019).
Budaya dan keyakinan akan mempengaruhi
penyembuhan luka perineum, misalnya adanya mitos-
mitos yang mendukung atau bertentangan dengan
perawatan luka perineum, antara lain: kebiasaan makan,
kadang terdapat mitos yang menghindari makanan yang
cenderung mengandung protein, misalnya ikan, telur dan
daging, padahal protein justru dibutuhkan untuk
regenerasi sel dan pertumbuhan jaringan, asupan gizi ibu
juga sangat mempengaruhi proses penyembuhan luka.
Contoh lain,
misalnya adanya budaya memberikan ramuan-ramuan
tradisional tertentu yang dioleskan pada luka perineum,
hal ini akan menimbulkan potensi infeksi pada luka dan
menghambat penyembuhan luka perineum. Maka bidan
mempunyai tugas untuk memberikan pendidikan
kesehatan pada ibu postpartum tentang perawatan luka
perineum yang tepat (Wahyuningsih, 2018).
(8) Defisit oksigen
(a) Insufisien oksigenasi jaringan : oksigen yang tidak
memadai dapat diakibatkan tidak adekuatnya fungsi
paru dan kardiovaskuler juga vasokontriksi setempat.
(b) Penumpukan drainase : sekresi yang menumpuk
mengganggu proses penyembuhan.
(9) Medikasi
(a) Farmakologi
 Steroid : dapat menyamarkan adanya infeksi
dengan mengganggu respon inflamasi normal
 Antibiotik spectrum luas / spesifik : efektif bila
diberikan segera sebelum pembedahan untuk
patologi spesifik atau kontaminasi bakteri. Jika
diberikan setelah luka ditutup, tidak efektif
karena koagulasi intravaskuler.
(b) Non Farmakologi
(10) Overaktivitas
Menghambat perapatan tepi luka. Mengganggu
penyembuhan yang diinginkan.
b) Faktor – faktor eksternal yang mempengaruhi penyembuhan
luka
(1) Lingkungan
Dukungan dari lingkungan keluarga, dimana ibu akan
selalu merasa mendapatkan perlindungan dan
dukungan serta nasihat-nasihat khususnya orang tua
dalam merawat kebersihan pasca persalinan.
(2) Tradisi
Di Indonesia ramuan peninggalan nenek moyang untuk
perawatan pasca persalinan masih banyak digunakan,
meskipun oleh kalangan masyarakat modern.
(3) Pengetahuan
Pengetahuan ibu tentang perawatan pasca persalinan
sangat menentukan lama penyembuhan luka perineum.
Apabila pengetahuan ibu kurang terlebih masalah
kebersihan maka penyembuhan lukapun akan
berlangsung lama.
(4) Sosial ekonomi
Pengaruh dari kondisi sosial ekonomi ibu dengan lama
penyembuhan perineum adalah keadaan fisik dan mental
ibu dalam melakukan aktifitas sehari-hari pasca
persalinan. Juga ibu memiliki tingkat sosial ekonomi
yang rendah, bisa jadi penyembuhan luka perineum
berlangsung lama karena timbulnya rasa malas dalam
merawat diri.
(5) Penanganan petugas
Pada saat persalinan, pembersihannya harus dilakukan
dengan tepat oleh penangan petugas kesehatan, hal ini
merupakan salah satu penyebab yang dapat menentukan
lama penyembuhan luka perineum
(6) Kondisi ibu
Kondisi kesehatan ibu baik secara fisik maupun mental,
dapat menyebabkan lama penyembuhan. Jika kondisi ibu
sehat, maka ibu dapat merawat diri dengan baik.

(7) Gizi
Makanan yang bergizi dan sesuai porsi akan
menyebabkan ibu dalam keadaan sehat dan segar. Dan
akan mempercepat maka penyembuhan luka perineum.
Dalam Ambarwati (2020) dinyatakan bahwa ada
pengaruh pemberian nugget lele dengan lama waktu
penyembuhan luka perineum pada ibu nifas di wilayah
Puskesmas Poncowarno tahun 2020. (Ambarwati, 2020)
4) Perubahan Payudara
Persiapan payudara untuk siap menyusu terjadi sejak
awal kehamilan. Laktogenesis sudah terjadi sejak usia kehamilan
16 minggu. Pada saat itu plasenta menghasilkan hormon
progesteron dalam jumlah besar yang akan mengaktifkan sel-sel
alveolar matur di payudara yang dapat mensekresikan susu dalam
jumlah kecil. Setelah plasenta lahir, terjadi penurunan kadar
progesteron yang tajam yang kemudian akan memicu mulainya
produksi air susu disertai dengan pembengkakan dan pembesaran
payudara pada periode post partum (Kemenkes RI, 2019).
Proses produksi air susu sendiri membutuhkan suatu
mekanisme kompleks. Pengeluaran yang reguler dari air susu
(pengosongan air susu) akan memicu sekresi prolaktin.
Penghisapan puting susu akan memicu pelepasan oksitosin yang
menyebabkan sel-sel mioepitel payudara berkontraksi dan akan
mendorong air susu terkumpul di rongga alveolar untuk
kemudian menuju duktus laktoferus. Jika ibu tidak menyusui,
maka pengeluaran air susu akan terhambat yg kemudian akan
meningkatkan tekanan intramamae (Kemenkes RI, 2019).
Jenis – Jenis ASI dalam Kemenkes (2015) :
(1) Kolostrum : cairan pertama yang dikeluarkan oleh kelenjar
payudara pada hari pertama sampai dengan hari ke-3,
berwarna kuning keemasan, mengandung protein tinggi
rendah laktosa.
(2) ASI Transisi : keluar pada hari ke 3–8; jumlah ASI meningkat
tetapi protein rendah dan lemak, hidrat arang tinggi.
(3) ASI Mature : ASI yang keluar hari ke 8–11 dan seterusnya,
nutrisi terus berubah sampai bayi 6 bulan.
b. Perubahan Sistem Pencernaan
Dalam Karjatin (2016) disebutkan bahwa adanya penurunan tonus
otot gastrointestinal dan motilitas usus setelah melahirkan dan
fungsinya akan normal kembali dua minggu setelah melahirkan.
Konstipasi, ibu postpartum beresiko sembelit karena: (Karjatin,
2016)
a) Penurunan motilitas GI.
b) Penurunan aktivitas fisik.
c) Banyak mengeluarkan cairan pada waktu melahirkan.
d) Nyeri pada perineum dan trauma.
e) Wasir akan berkurang namun nyeri.
c. Perubahan Sistem Perkemihan
Terjadi diuresis yang sangat banyak dalam hari-hari pertama
puerperium. Pelebaran (dilatasi) dari pelvis renalis dan ureter akan
kembali ke kondisi normal pada minggu ke dua sampai minggu ke 8
pasca persalinan (Kemenkes RI, 2019).
d. Perubahan Sistem Hormonal
Dalam Kemenkes RI (2019) terdapat perubahan hormon pada saat
hamil, bersalin dan nifas, dimana hormon- hormon yang berperan
tersebut antara lain :
a) Hormon Plasenta
Pengeluaran plasenta menyebabkan penurunan hormon yang
diproduksi plasenta. Hormon plasenta akan menurun dengan
cepat pasca persalinan. Penurunan hormon plasenta (human
placental lactogen) menyebabkan kadar gula darah menurun pada
masa nifas. HCG menurun dengan cepat dan menetap sampai
10% dalam 3 jam – hari ke 7 pasca persalinan dan sebagai onset
pemenuhan payudara pada hari ke 3 pasca persalinan.
b) Hormon Pituitary
Hormon pituitary antara lain : hormon prolaktin, FSH dan LH.
Hormon prolaktin darah meningkat dengan cepat, dan pada
wanita yang tidak menyusui akan menurun dalam waktu 2
minggu. Hormon prolaktin berperan dalam pembesaran payudara
untuk merangsang produksi susu. FSH dan LH meningkat pada
fase konsetrasi folikuler pada minggu ke-3 dan LH tetap rendah
hingga ovulasi terjadi.
c) Hormon Hipotalamik pituitary ovarium
Hormon ini akan mempengaruhi lamanya mendapatkan
menstruasi pada wanita menyusui maupun tidak menyusui. Pada
wanita menyusui, 16% wanita akan mendapatkan menstruasi
pada 6 minggu pasca persalinan, dan 45% wanita setelah 12
minggu pasca persalinan. Sedangkan pada wanita tidak
menyusui, 40% wanita akan mendapatkan menstruasi pada 6
minggu pasca persalinan, serta 90% wanita setelah 24 minggu.
d) Hormon Oksitosin
Hormon oksitosin disekresikan dari kelenjar otak bagian
belakang, bekerja terhadap otot uterus dan jaringan payudara.
Selama kala tiga persalinan, hormon oksitosin berperan dalam
pelepasan plasenta dan mempertahankan kontraksi, sehingga
mencegah perdarahan. Isapan bayi dapat merangsang produksi
ASI dan sekresi oksitosin sehingga dapat membantu involusi
uteri.
e) Hormon estrogen dan progesteron
Volume darah normal selama kehamilan akan meningkat.
Hormon estrogen yang tinggi memperbesar hormon antidiuretik
yang dapat meningkatkan volume darah. Sedangkan hormon
progesteron mempengaruhi otot halus yang mengurangi
perangsangan dan peningkatan pembuluh darah. Hal ini
mempengaruhi saluran kemih, ginjal, usus, dinding vena, dasar
panggul, perineum,vulva serta vagina.
e. Perubahan Tanda – Tanda Vital
Tanda vital ibu, memberikan tanda-tanda terhadap keadaan umum
ibu. Frekuensi nadi ibu secara fisiologis pada kisaran 60-80 kali
permenit. Perubahan nadi yang menunjukkan frekuensi bradikardi
(100 kali permenit) menunjukkan adanya tanda shock atau
perdarahan. Perubahan suhu secara fisiologis terjadi pada masa
segera setelah persalinan, yaitu terdapat sedikit kenaikan suhu tubuh
pada kisaran 0,2-0,5°C, dikarenakan aktivitas metabolisme yang
meningkat saat persalinan, dan kebutuhan kalori yang meningkat saat
persalinan. Perubahan suhu tubuh berada pada kisaran 36,5°C-
37,5°C. Namun kenaikan suhu tubuh tidak mencapai 38°C, karena
hal ini sudah menandakan adanya tanda infeksi. Setelah kelahiran
bayi, harus dilakukan pengukuran tekanan darah. Jika ibu tidak
memiliki riwayat morbiditas terkait hipertensi, superimposed
hipertensi serta preeklampsi/eklampsi, maka biasanya tekanan darah
akan kembali pada kisaran normal dalam waktu 24 jam setelah
persalinan. Frekuensi pernapasan relatif tidak mengalami perubahan
pada masa postpartum, berkisar pada frekuensi pernapasan orang
dewasa 12-16 kali permenit (Wahyuningsih, 2018).
4. Perubahan Psikologis
Adaptasi psikologis yang perlu dilakukan sesuai dengan fase di bawah
ini:
1) Fase Taking In
Fase ini merupakan periode ketergantungan yang berlangsung dari
hari pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada saat itu,
fokus perhatian ibu terutama pada dirinya sendiri. Pengalaman
selama proses persalinan sering berulang diceritakannya. Kelelahan
membuat ibu cukup istirahat untuk mencegah gejala kurang tidur,
seperti mudah tersinggung. Hal ini membuat ibu cenderung menjadi
pasif terhadap lingkungannya. Oleh karena itu, kondisi ibu perlu
dipahami dengan menjaga komunikasi yang baik. Pada fase ini perlu
diperhatikan pemberian ekstra makanan untuk proses pemulihannya.
2) Fase Taking Hold
Fase ini berlangsung antara 3–10 hari setelah melahirkan. Pada fase
taking hold, ibu merasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa
tanggung jawabnya dalam merawat bayi. Selain itu perasaannya
sangat sensitif sehingga mudah tersinggung jika komunikasinya
kurang hati-hati. Oleh karena itu, ibu memerlukan dukungan karena
saat ini merupakan kesempatan yang baik untuk menerima berbagai
penyuluhan dalam merawat diri dan bayinya sehingga tumbuh rasa
percaya diri.
3) Fase Letting Go
Fase ini merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran
barunya yang berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu sudah
mulai menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Keinginan
untuk merawat diri dan bayinya meningkat pada fase ini

Dalam Kemenkes (2019) perubahan psikologi dan adaptasi lain yang


dialami oleh ibu pasca persalinan :
1) Abandonment
Adalah perasaan tidak berarti dan dikesampingkan. Sesaat setelah
persalinan, ibu merasa menjadi pusat karena semua orang
menanyakan keadaan dan kesehatannya. Beberapa jam setelah itu,
perhatian orang-orang di sekitar mulai ke bayi dan ibu merasa
“cemburu” kepada bayi.
2) Disappointment (kekecewaan)
Adalah perasaan ibu pasca persalinan yang merasa kecewa terhadap
kondisi bayi karena tidak sesuai yang diharapkan saat hamil.
3) Postpartum Blues
80% ibu pasca persalinan mengalami perasaan sedih dan tidak
mengetahui alasan mengapa sedih. Ibu sering menangis dan lebih
sensitif. Postpartum blues pada ibu pasca persalinan juga dikenal
sebagai baby blues dapat disebabkan karena penurunan kadar
estrogen dan progesteron.
5. Kunjungan Masa Nifas
Dalam Kemenkes (2015), kunjungan nifas dilakukan paling sedikit 3 kali
selama ibu dalam masa nifas. Kegiatan yang dilakukan selama kunjungan
meliputi pemeriksaan untuk deteksi dini, pencegahan, intervensi, dan
penanganan masalah-masalah yang terjadi pada saat nifas seperti dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
KF-I KF-II KF-III
6 jam s/d 3 hari 4 s/d 28 hari 29 s/d 42 hari
Pasca salin Pasca salin Pasca salin
Memastikan involusi Bagaimana persepsi ibu Permulaan hubungan
uterus tentang persalinan dan seksual
kelahiran bayi
Menilai adanya tanda- Kondisi payudara Metode KB yang
tanda demam, infeksi, digunakan
atau perdarahan
Memastikan ibu Ketidaknyamanan yang Latihan pengencangan
mendapat cukup dirasakan ibu otot perut
makanan, cairan, dan
istirahat
Memastikan ibu Istirahat ibu Fungsi pencernaan,
menyusui dengan baik konstipasi, dan
dan tidak tanda-tanda bagaimana
infeksi penanganannya
Bagaimana perawatan Hubungan bidan,
bayi sehari-hari dokter, dan RS dengan
masalah yang ada
Menanyakan pada ibu
apa sudah haid.
6. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Involusi Uteri
Kecepatan involusi uteri menurut Walyani (2015), dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain : (Walyani, 2015)
1) Mobilisasi dini
Aktivitas otot - otot adalah kontraksi dan retraksi dari otot -
otot setelah anak lahir, yang diperlukan untuk menjepit pembuluh
darah yang pecah karena adanya pelepasan plasenta dan berguna
untuk mengeluarkan isi uteri yang tidak diperlukan, dengan adanya
kontraksi dan retraksi yang terus menerus ini menyebabkan
terganggunya peredaran darah dalam uteri yang menyebabkan
jaringan otot kekurangan zat - zat yang diperlukan, sehingga ukuran
jaringan otot - otot tersebut menjadi kecil.
a) Pengertian Mobilisasi Dini
Pada masa lampau, perawatan puerperium sangat
konservatif, di mana puerperal harus tidur terlentang selama 40
hari. Kini, perawatan puerperium lebih aktif dengan dianjurkan
untuk melakukan ambulasi atau mobilisasi dini. Ambulasi dini
atau mobilisasi dini adalah kebijaksanaan untuk secepat mungkin
membimbing penderita keluar dari tempat tidurnya dan
membimbingnya secepat mungkin untuk berjalan. Pada
persalinan normal sebaiknya dikerjakan setelah 2 jam (ibu boleh
miring ke kiri atau ke kanan) untuk mencegah adanya
trombosit. Ambulasi dini dilakukan secara berangsur - angsur,
maksudnya bukan berarti ibu diharuskan langsung bekerja
(mencuci, memasak dan sebagainya) setelah bangun (Dewi,
2011).
Menurut Koier (1995) ambulasi atau mobilisasi adalah
aktifitas berjalan. Ambulasi dini merupakan tahapan kegiatan
yang dilakukan segera pada pasien pasca operasi dimulai dari
duduk sampai pasien turun dari tempat tidur dan mulai berjalan
dengan bantuan alat sesuai dengan kondisi pasien. Sebelum
melakukan ambulasi dini, terlebih dahulu lakukan dangling.
Dangling adalah pasien duduk dengan kaki menjuntai di tepi
tempat tidur (Marmi, 2016).
b) Tujuan Mobilisasi Dini
Mobilisasi dini bertujuan untuk melancarkan
pengeluaran lochea, mengurangi infeksi purperium, mempercepat
involusi alat kandungan, melancarkan fungsi alat gastrointestinal
dan alat perkemihan, meningkatkan kelancaran peredaran darah
sehingga mempercepat fungsi ASI dan pengeluaran sisa
metabolism (Patimah, 2016).
2) Status Gizi
Status gizi adalah tingkat kecukupan gizi seseorang yang
sesuai dengan jenis kelamin dan usia. Status gizi yang kurang pada
ibu postpartum maka pertahanan pada dasar ligamen latum yang
terdiri dari kelompok infiltrasi sel - sel bulat yang disamping
mengadakan pertahanan terhadap penyembuhan kuman bermanfaat
juga untuk menghilangkan jaringan nefrotik, pada ibu post partum
dengan status gizi yang baik akan mampu menghindari serangan
kuman sehingga tidak terjadi infeksi dalam masa nifas dan
mempercepat proses involusi uteri (Walyani, 2015a).
3) Menyusui
Pada proses menyusui ada refleks let down dari isapan bayi
merangsang hipofise posterior mengeluarkan hormon oksitosin yang
oleh darah hormon ini diangkat menuju uteri dan membantu uteri
berkontraksi sehingga proses involusi uteri terjadi.
4) Usia
Pada ibu yang usianya lebih tua banyak dipengaruhi oleh proses
penuaan, dimana proses penuaan terjadi peningkatan jumlah
lemak. Penurunan elastisitas otot dan penurunan penyerapan lemak,
protein serta karbohidrat. Bila proses ini dihubungkan dengan
penurunan protein pada proses penuaan, maka hal ini akan
menghambat involusi uteri.
5) Paritas
Paritas mempengaruhi involusi uteri. Semakin sering ibu melahirkan,
otot pada uteri menjadi sering teregang. Otot - otot yang terlalu
sering teregang memerlukan waktu yang lama untuk kembali ke
kondisi semula.
7. Tanda Bahaya Masa Nifas
Dalam Kemenkes (2019) tanda bahaya pada ibu di masa nifas antara lain
:
1) Perdarahan Pasca Persalinan
Perdarahan yang banyak, segera atau dalam 1 jam setelah
melahirkan, sangat berbahaya dan merupakan penyebab kematian ibu
paling sering. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian dalam
waktu kurang dari 2 jam. Ibu perlu segera ditolong untuk
penyelamatan jiwanya. Perdarahan pada masa nifas (dalam 42 hari
setelah melahirkan) yang berlangsung terus menerus disertai bau tak
sedap dan demam, juga merupakan tanda bahaya.
Perdarahan postpartum dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
a) Perdarahan postpartum primer (Early Postpartum Hemorrhage)
adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml dalam masa 24 jam
setelah anak lahir, atau perdarahan dengan volume seberapapun
tetapi terjadi perubahan keadaan umum ibu dan tanda-tanda vital
sudah menunjukkan analisa adanya perdarahan. Penyebab utama
adalah atonia uteri, retensio placenta, sisa placenta dan robekan
jalan lahir. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
b) Perdarahan postpartum sekunder (Late Postpartum Hemorrhage)
adalah perdarahan dengan konsep pengertian yang sama seperti
perdarahan postpartum primer namun terjadi setelah 24 jam
postpartum hingga masa nifas selesai. Perdarahan
postpartumsekunder yang terjadi setelah 24 jam, biasanya terjadi
antara hari ke 5 sampai 15 postpartum. Penyebab utama adalah
robekan jalan lahir dan sisa placenta (Wahyuningsih, 2018).
2) Keluar cairan berbau dari jalan lahir
Keluarnya cairan berbau dari jalan lahir menunjukkan adanya infeksi.
Hal ini bisa disebabkan karena metritis, abses pelvis, infeksi luka
perineum atau karena luka abdominal.
3) Bengkak di wajah, tangan dan kaki, atau sakit kepala dan kejang-
kejang.
Bengkak pada wajah, tangan dan kaki bila disertai tekanan darah
tinggi dan sakit kepala (pusing).
4) Demam lebih dari 2 hari
Demam lebih dari 2 hari pada ibu nifas bisa disebabkan oleh infeksi.
Apabila demam disertai keluarnya cairan berbau dari jalan lahir,
kemungkinan ibu mengalami infeksi jalan lahir. Akan tetapi apabila
demam tanpa disertai keluarnya cairan berbau dari jalan lahir, perlu
diperhatikan adanya penyakit infeksi lain seperti demam berdarah,
demam tifoid, malaria, dsb.
5) Payudara bengkak, merah disertai rasa sakit, payudara merah disertai
rasa sakit bisa disebabkan karena bendungan payudara, inflamasi
atau infeksi payudara.
6) Gangguan psikologis pada masa pasca persalinan meliputi :
a) Perasaan sedih pasca persalinan (postpartum blues)
Depresi ringan dan berlangsung singkat pada masa nifas,
ditandai dengan:
 Merasa sedih
 Merasa lelah
 Insomnia
 Mudah tersinggung
 Sulit konsentrasi
 Gangguan hilang dengan sendirinya dan membaik - setelah
2-3 hari, kadang-kadang sampai 10 hari
b) Depresi pasca persalinan (postpartum depression)
Gejala mungkin bisa timbul dalam 3 bulan pertama pasca
persalinan atau sampai bayi berusia setahun. Gejala yang timbul
tampak sama dengan gejala depresi yaitu sedih selama >2
minggu, kelelahan yang berlebihan dan kehilangan minat
terhadap kesenangan
c) Psikosis pasca persalinan (postpartum psychotic)
 Ide / Pikiran bunuh diri
 Ancaman tindakan kekerasan terhadap bayi baru lahir
 Dijumpai waham curiga/ persekutorik
 Dijumpai halusinasi/ ilusi
8. Penatalaksanaan
Dalam Wahyuningsih (2018) beberapa komponen esensial dalam asuhan
kebidanan pada ibu selama masa nifas adalah sebagai berikut :
1) Anjurkan ibu untuk melakukan kontrol/kunjungan masa nifas
setidaknya 4 kali, yaitu:
a) 6-8 jam setelah persalinan (sebelum pulang)
b) 6 hari setelah persalinan
c) 2 minggu setelah persalinan
d) 6 minggu setelah persalinan
Tabel. Jadwal Kunjungan Masa Nifas (Prawirohardjo, 2014)
Kunjungan Waktu Tujuan
I 6-8 jam a. Mencegah perdarahan masa nifas karena
atonia uteri
b. Mendeteksi dan merawat penyebab lain
perdarahan: rujuk jika perdarahan
berlanjut
c. Memberikan konseling pada ibu atau
salah satu anggota keluarga bagaimana
mencegah perdarahan masa nifas karena
atonia uteri.
d. Pemberian ASI awal
e. Melakukan hubungan antara ibu dan
bayi baru lahir
f. Menjaga bayi tetap sehat dengan cara
mencegah hipotermia
g. Jika petugas kesehatan menolong pers ia
harus tinggal dengan ibu dan bayi baru
lahir untuk 2 jam pertama setelah
kelahiran, atau sampai ibu dan bayi
dalam keadaan stabil
II 6 hari a. Memastikan involusi uterus berjalan
normal : uterus berkontraksi, fundus
dibawah umbilikus, tidak ada
perdarahan abnormal, tidak ada bau
b. Menilai adanya tanda-tanda demam,
infeksi, atau perdarahan abnormal
c. Memastikan ibu mendapatkan cukup
makanan, cairan, dan istirahat
d. Memastikan ibu menyusui dengan baik
dan tidak memperlihatkan tanda-tanda
penyulit
e. Memberikan konseling pada ibu
mengenai asuhan pada bayi, tali pusat,
menjaga bayi tetap hangat dan merawat
bayi sehari-hari
III 2 minggu Sama seperti diatas ( 6 hari setelah
persalinan)
IV 6 minggu a. Menanyakan pada ibu tentang
penyulit- penyulit yang ia atau bayi
alami
Kunjungan Waktu Tujuan
b. Memberikan konseling tentang KB
secara dini
2) Periksa tekanan darah, perdarahan pervaginam, kondisi perineum,
tanda infeksi, kontraksi uterus, tinggi fundus, dan temperatur secara
rutin.
3) Nilai fungsi berkemih, fungsi cerna, penyembuhan luka, sakit kepala,
rasa lelah dan nyeri punggung.
4) Tanyakan ibu mengenai suasana emosinya, bagaimana dukungan
yang didapatkannya dari keluarga, pasangan, dan masyarakat untuk
perawatan bayinya.
5) Tatalaksana atau rujuk ibu bila ditemukan masalah.
6) Lengkapi vaksinasi tetanus toksoid bila diperlukan.
7) Minta ibu segera menghubungi tenaga kesehatan bila ibu
menemukan salah satu tanda berikut:
a) Perdarahan berlebihan.
b) Sekret vagina berbau
c) Demam
d) Nyeri perut berat
e) Kelelahan atau sesak nafas
f) Bengkak di tangan, wajah, tungkai atau sakit kepala atau
pandangan kabur.
g) Nyeri payudara, pembengkakan payudara, luka atau perdarahan
putting
8) Berikan informasi tentang perlunya melakukan hal-hal berikut :
a) Kebersihan diri
(1) Membersihkan daerah vulva dari depan ke belakang setelah
buang air kecil atau besar dengan sabun dan air.
(2) Mengganti pembalut minimal dua kali sehari, atau sewaktu-
waktu terasa basah atau kotor dan tidak nyaman.
(3) Mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah
membersihkan daerah kelamin.
(4) Menghindari menyentuh daerah luka episiotomi atau laserasi.
Dalam penelitian yang berjudul “Upaya Mempercepat
Penyembuhan Luka Perineum Melalui Penggunaan Air Rebusan
Sirih Hijau”, dinyatakan bahwa penggunaan sirih hijau dapat
mempercepat penyembuhan luka perimium pada ibu post partum
(Yuliaswati, 2018).
b) Istirahat
(1) Beristirahat yang cukup, mengatur waktu istirahat pada saat
bayi tidur, karena terdapat kemungkinan ibu harus sering
terbangun pada malam hari karena menyusui.
(2) Kembali melakukan rutinitas rumah tangga secara bertahap.
c) Latihan (exercise)
(1) Menjelaskan pentingnya otot perut dan panggul.
(2) Mengajarkan latihan untuk otot perut dan panggul:
(a) Menarik otot perut bagian bawah selagi menarik napas
dalam posisi tidur terlentang dengan lengan disamping,
tahan napas sampai hitungan 5, angkat dagu ke dada,
ulangi sebanyak 10 kali.
(b) Berdiri dengan kedua tungkai dirapatkan. Tahan dan
kencangkan otot pantat, pinggul sampai hitungan 5, ulangi
sebanyak 5 kali.
Dalam penelitian yang berjudul “Efektifitas Latihan Kegel
Terhadap Percepatan Penyembuhan Luka Perineum Pada Ibu
Nifas Di Puskesmas Kalitengah Lamongan” bahwa latihan kegel
dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk latihan yang di
anjurkan bagi ibu nifas untuk mempercepat penyembuhan luka
perineum (Martini, 2015).
d) Gizi
(1) Mengkonsumsi tambahan 500 kalori/hari
(2) Diet seimbang (cukup protein, mineral dan vitamin)
(3) Minum minimal 3 liter/hari
(4) Suplemen besi diminum setidaknya selama 3 bulan
pascasalin, terutama di daerah dengan prevalensi anemia
tinggi.
(5) Suplemen vitamin A sebanyak 1 kapsul 200.000 IU diminum
segera setelah persalinan dan 1 kapsul 200.000 IU diminum
24 jam kemudian.
e) Menyusui dan merawat payudara
(1) Jelaskan kepada ibu mengenai cara menyusui dan merawat
payudara.
Langkah menyusui yang benar adalah sebagai berikut
(a) Cuci tangan dengan air bersih dan mengalir
(b) Ibu duduk dengan santai kaki tidak boleh menggantung
(c) Perah sedikit ASI dan oleskan ke putting dan aerola
sekitarnya.
(d) Posisikan bayi dengan benar :
 Bayi dipegang dengan satu lengan, kepala bayi
diletakkan dekat lekungan siku ibu, bokong bayi
ditahan dengan telapak tangan ibu.
 Perut bayi menempel ke tubuh ibu
 Mulut bayi berada didepan puting ibu
 Lengan yang dibawah merangkul tubuh ibu, tangan
yang diatas boleh dipegang ibu atau diletakkan diatas
dada ibu
 Telinga dan lengan yang diatas berada dalam satu
garis lurus.
(e) Bibir bayi dirangsang dengan puting ibu dan akan
membuka lebar, kemudian dengan cepat kepala bayi
didekatkan kepayudara dan puting serta areola
dimasukkan kedalam mulut bayi.
(f) Cek apakah perlekatan sudah benar
 Dagu menempel pada payudara ibu
 Mulut terbuka lebar
 Sebagian besar areola terutama yang berada dibawah,
masuk kedalam mulut bayi
 Bibir bayi terlipat keluar
 Tidak terdengar bunyi decak, hanya boleh terdengar
bunyi menelan
 Ibu tidak kesakitan
(2) Jelaskan kepada ibu mengenai pentingnya ASI eksklusif.
ASI eksklusif adalah pemberian ASI pada bayi sejak
lahir tanpa diberikan makanan tambahan maupun cairan
tambahan lainnya sampai bayi berusia 6 bulan (Maryunani,
2015). Pengertian ASI eksklusif menurut Kementerian
Kesehatan RI (2012) dalam Peraturan Pemerintah nomor 33
tahun 2012 adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak lahir
hingga berusia 6 bulan tanpa menambah maupun
menggantikan dengan makanan ataupun minuman lain karena
ASI sudah mampu memenuhi kebutuhan gizi pada bayi.
Perinasia (2007) menyatakan ASI merupakan
makanan bayi terbaik yang diciptakan oleh Tuhan dengan
segala kelebihannya, yang tidak dapat tergantikan oleh
makanan dan minuman lainnya. ASI mengandung lemak,
protein, karbohidrat, vitamin, mineral, enzim, hormon dan
semua nutrisi penting yang diperlukan bayi untuk tumbuh
kembangnya. Tidak semua manfaat ASI dapat digantikan
oleh susu buatan industri. Disamping itu, ASI mengandung
zat-zat kekebalan (antibodi) dan zat penting lainnya yang
melindungi anak dari infeksi dan penyakit kronis, serta
mengurangi kemungkinan menderita gangguan kesehatan di
kemudian hari seperti obesitas, diabetes, dan asma (Santosa et
al., 2019).
(3) Jelaskan kepada ibu mengenai tanda-tanda kecukupan ASI
dan tentang manajemen laktasi.
Berdasarkan penelitian yang berjudul “Efek breast care ibu
nifas terhadap berat badan bayi dan hormon prolaktin”
disebutkan bahwa Teknik produksi ASI melalui perawatan
breast care bertujuan untuk melancarkan sirkulasi darah dan
mencegah saluran produksi ASI tersumbat (Mutika, 2018).
f) Senggama
(1) Senggama aman dilakukan setelah darah tidak keluar dan ibu
tidak merasa nyeri ketika memasukkan jari ke dalam vagina.
(2) Keputusan tentang senggama bergantung pada pasangan yang
bersangkutan.
g) Kontrasepsi dan KB Jelaskan kepada ibu mengenai pentingnya
kontrasepsi dan keluarga berencana setelah bersalin.

B. Tinjauan Teori Asuhan Kebidanan


a. Pengertian Asuhan Kebidanan
Asuhan kebidanan adalah proses pemecahan masalah yang di
gunakan sebagai metode untuk mengorganisasikan pikirandan tindakan
berdasarkan teori ilmiah, penemuan-penemuan keterampilan dalam
rangkaian/tahapan yang logis untuk pengambilan suatu keputusan yang
berfokus pada klien Asuhan kebidanan terdiri dari tujuh langkah yang
berurutan, yang di mulai dengan pengumpulan data dasar dan berakhir
dengan evaluasi. Tujuh langkah tersebut membentuk kerangka yang
lengkap dan bisa di aplikasikan dalam suatu situasi (Varney, Helen &
Marlyn HE, David W, 2012).
b. Tahapan Asuhan Kebidanan
Dalam praktiknya bidan menggunakan manajemen kebidanan
dalam memberikan asuhan kebidanan. Menurut Varney (2012),
manajemen kebidanan adalah proses pemecahan masalah yang digunakan
sebagai metode untuk mengorganisasikan pikiran dan tindakan
berdasarkan teori ilmiah, penemuan, keterampilan dalam tahapan yang
logis untuk pengambilan suatu keputusan berfokus pada klien.
manajemen kebidanan:
1) Langkah I (Pengumpulan Data Dasar)
Pada langkah ini dikumpulkan semua informasi yang akurat dan
lengkap yang berkaitan dengan kondisi klien. Pendekatan ini harus
bersifat komprehensif meliputi data subjektif, objektif, dan hasil
pemeriksaan.
2) Langkah II (Interpretasi Data Dasar)
Pada langkah ini dilakukan identifikasi terhadap diagnosis atau
masalah dan kebutuhan klien berdasarkan interpretasi yang benar
atas dasar data-data yang telah dikumpulkan. Data dasar yang telah
dikumpulkan diinterpretasikan sehingga dapat merumuskan diagnosa
dan masalah yang spesifik.
3) Langkah III (Mengidentifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial dan
Mengantisipasi Penanganannya)
Pada langkah ini kita mengidentifikasi masalah atau diagnosa
potensial lain berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosis yang
telah diidentifikasikan.
4) Langkah IV (Menetapkan Kebutuhan Terhadap Tindakan Segera)
Mengidentifikasi perlunya tindakan segera oleh bidan atau dokter
dan atau untuk dikonsulkan atau ditangani bersama dengan anggota
tim kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien.
5) Langkah V (Menyusun Rencana Asuhan yang Menyeluruh)
Pada langkah ini dilakukan perencanaan yang menyeluruh,
ditentukan langkah-langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan
kelanjutan manajemen terhadap diagnosis atau masalah yang telah
diidentifikasi atau diantisipasi, pada langkah ini informasi/data dasar
yang tidak lengkap dapat dilengkapi.
6) Langkah VI (Pelaksanaan Langsung Asuhan Efisien dan Aman)
Pada langkah ini, rencana asuhan yang menyeluruh di langkah
kelima harus dilaksanakan secara efisien dan aman.
7) Langkah VII (Mengevaluasi Hasil Tindakan)
Pada langkah ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang
sudah diberikan. Rencana dapat dianggap efektif jika memang benar
efektif dalam pelaksanaannya.
c. Pendokumentasian Manajemen Asuhan Kebidanan
1) Data Subyektif (S)
Data subjektif berhubungan dengan masalah dari sudut pandang
klien. Ekspresi klien mengenai kekhawatiran dan keluhannya yang
dicatat sebagai kutipan langsung atau ringkasan yang akan
berhubungan langsung dengan diagnosis (Handayani, 2017).
a) Nama Klien dan Pasangan
Digunakan untuk memperlancar komunikasi dalam asuhan,
sehingga antara bidan dan pasien menjadi lebih akrab (Walyani,
2015b).
Tanyakan pula nama bayi, informasi ini digunakan untuk
mengenali ibu, menunjukkan kepada ibu bahwa bayi sangat
penting untuk Anda dan membantu menjalin hubungan. Jika
bayi yang dilahirkan meninggal maka perlu mengkaji informasi
mengenai reaksi emosional/psikologi ibu dan keluarga (Patimah,
2016).
b) Umur
Jika usia ibu ≤19 tahun perlu mengkaji apakah mendapatkan
asuhan kehamilan dan persalinan yang memadai dan
kekhawatiran ketidakmampuan dalam merawat bayinya
(Patimah, 2016).
c) Agama
Untuk menentukan bagaimana kita memberikan dukungan pada
ibu selama memberikan asuhan. Informasi ini terkait dengan
pentingnya agama dalam kehidupan klien, tradisi agama dalam
kehamilan dan lain - lain (Walyani, 2015).
d) Suku Bangsa
Dikaji untuk menentukan adat istiadat atau budayanya. Ras,
etnis, dan keturunan harus diidentifikasi dalam rangka
memberikan perawatan yang peka budaya kepada klien
(Walyani, 2015).
e) Pendidikan
Tanyakan tingkat pendidikan tertinggi klien. Mengetahui
pendidikan klien berpengaruh dalam tindakan kebidanan dan
untuk mengetahui sejauh mana tingkat intelektualnya, sehingga
bidan dapat memberikan konseling sesuai dengan pendidikannya
(Walyani, 2015).
f) Alamat
Informasi ini digunakan untuk menghubungi ibu dan kemudahan
persiapan kegawatdaruratan (Patimah, 2016).
g) Alasan Datang
Ditanyakan untuk mengetahui alasan datang ke bidan/ klinik,
apakah untuk memeriksakan keadannya atau untuk
memeriksakan keluhan lain yang disampaikan dengan kata –
katanya sendiri (Hani, Ummi, 2010).
h) Keluhan Utama
Tanyakan apa yang dirasakan ibu/keluhan atau pertanyaan
maupun masalah yang ingin ibu ketahui, baik fisik maupun
psikologi selama masa nifas. Jika ibu menunjukkan adanya
komplikasi atau masalah, kaji dengan lebih dalam(kapan
pertama kali terjadi, tiba-tiba atau bertahap, seberapa sering
terjadi,apa yang penyababkan,bagaimana efeknya bagi
ibu,apakah menjadi lebih berat/berkurang,apakah ada gejala
penyerta, apakah sudah mendapatkan penanganan). Keluhan
dikaji pada setiap kunjungan (Patimah, 2016).
i) Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan merupakan identifikasi keluhan sekarang,
penyakit umum yang pernah diderita, serta penyakit yang
dialami dahulu (Marmi, 2011)
j) Riwayat Obstetri
(1) Riwayat Haid
(a) Menarch : Dikaji untuk mengetahui kapan pertama kali
pasien menstruasi. Umumnya menarche terjadi pada usia
12-13 tahun (Sulistyawati, 2011).
(b) Siklus : Siklus merupakan jarak antara menstruasi yang
dialami dengan menstruasi berikutnya, dalam hitungan
hari. Dikaji teratur atau tidaknya setiap bulan. Biasanya
sekitar 23-32 hari (Sulistyawati, 2011).
(c) Lamanya : Menurut Walyani (2015) lamanya haid yang
normal adalah kurang lebih 7 hari. Apabila sudah
mencapai 15 hari berarti sudah abnormal dan
kemungkinan adanya gangguan ataupun penyakit yang
mempengaruhi.
(d) Nyeri haid : Nyeri haid perlu ditanyakan untuk
mengetahui apakah klien menderita atau tidak di tiap
haid.Nyeri haid juga menjadi tanda kontroksi uterus klien
begitu hebat sehingga menimbulkan nyeri haid (Walyani
2015).
(e) Banyaknya : Dikaji untuk mengetahui berapa banyak
darah yang keluar saat Menurut Walyani (2015)
normalnya yaitu 2 kali ganti pembalut dalam
sehari.Apabila darahnya terlalu berlebihan, itu berarti
telah menunjukan gejala kelainan banyaknya darah haid.
(2) Kehamilan dan persalinan saat ini
(a) Tanyakan kapan ibu melahirkan (tanggal dan jam).
Informasi ini digunakan sebagai panduan pengkajian dan
asuhan selanjutnya. Temuan hasil pemeriksaan klinik
tergantung dari berapa lama waktu sejak melahirkan.
(b) Tanyakan dimana ibu melahirkan dan siapa penolong
persalinan: Jika persalinan ditolong oleh tenaga
kesehatan atau di fasilitas kesehatan, kaji dimana dan
apakah terdapat pemberian obat-obatan dan konseling
yang sudah diberikan. Jika persalinan di rumah dan tidak
ditolong oleh tenaga kesehatan, kaji kemungkinan tanda
komplikasi yang tidak tertangani dengan baik selama
persalinan.
(c) Tanyakan apakah ibu mengalami perdarahan selama
kehamilan. Jika ibu mengalami perdarahan, kaji apakah
ibu mengalami anemia.
(d) Tanyakan apakah ibu mengalami pre eklamsi atau kejang
selama kehamilan atau persalinan.Jika ibu mengalami
preeklamsi atau kejang ,kaji apakah terdapat komplikasi
pada ibu dan bayi
(e) Tanyakan apakah jenis persalinan ibu
(spontan,vakum,SC) dan apakah ibu mengalami robekan
jalan lahir atau episitomi. Jika ibu mengalami persalinan
SC atau robekan jalan lahir,kaji tanda infeksi (nanah,
kemerahan, lepasnya jahitan).
(f) Tanyakan apakah ada komplikasi pada bayi baru lahir.
Jika bayi baru lahir mengalami komplikasi selama
persalianan ,kaji apakah terdapat komplikasi pada bayi
setelah lahir (Patimah,2016)
(3) Keadaan Nifas sekarang
(a) Tanyakan apakah ibu mengalami perdarahan selama nifas.
Kondisi normal pada nifas 2 sampai 6 hari dan 2 sampai 6
minggu yaitu keluar lochea dan tidak ada perdarahan.
(b) Tanyakan bagaimanakah warna dan jumlah lochea.
Kondisi normal:
 Hari 2-4 postpartum,lochea berwarna merah
(dianjurkan untuk mengganti pembalut setiap 2- jam).
 Hari 5-14 lochea berwarna pink, kecoklatan.
 Minggu 3-4 postpartum, lochea berwarna putih,
kekuningan.
(c) Tanyakan apakah ibu mengalami masalah dengan BAB
atau BAK kesulitan berkemih,konstipasi,BAB/BAK
keluar dari vagina,BAK terasa panas).
(d) Tanyakan bagaimana perasaan ibu dalam merawat
bayinya, kemampuan merawat bayinya.
(e) Tanyakan apakah ibu dapat menyusui bayinya, berapa
lama, frekuensi menyusui,adakah masalah saat menyusui.
(f) Tanyakan bagaimana perasaan suami dan keluarga
terhadap bayinya (Patimah, 2016).
(4) Riwayat persalinan dan nifas yang lalu
Bagaimanakah riwayat kehamilan, persalinan,
nifas/postpartum sebelumnya. Informasi ini digunakan
sebagai panduan dalam memberikan informasi dan konseling
yang berkaitan dengan asuhan atau pelayanan yang akan
diberikan.
(a) Tanyakan jumlah anak hidup
(b) Tanyakan umur kehamilan, cara persalinan, penolong,
tempat persalinan.
(c) Tanyakan komplikasiselama kehamilan, persalinan dan
nifas( pre eklamsi/kejang, perdarahan, depresi).
(d) Tanyakan riwayat menyusui anak sebelumnya (berapa
lama, adakah masalah). (Patimah, 2016)
(5) Riwayat kontrasepsi
(a) Tanyakan jumlah anak yang ibu dan pasangan
rencanakan.
(b) Tanyakan apakah ibu atau pasangan sudah pernah
menggunakan kontrasepsi sebelumnya. Apakah metode
yang sudah pernah digunakan, apakah nyaman
menggunakannya.
(c) Tanyakan apakah ibu dan pasangan sudah merencanakan
menggunakan kontrasepsi, apakah metode yang akan
digunakan (Patimah, 2016).
k) Pola Pemenuhan Kebutuhan Sehari – Hari
(1) Pola Nutrisi
Beberapa hasil yang perlu ditanyakan pada pasien berkaitan
dengan pola makan adalah menu, frekuensi, jumlah per hari
dan pantangan (Sulistyawati, 2011).
(2) Pola Eliminasi
BAB dan BAK seperti frekuensi perhari, warnanya, ada
masalah selama BAB/BAK atau tidak (Walyani, 2015).
(3) Personal Hygiene
Untuk mengetahui kebersihan diri pasien. Dianjurkan untuk
mandi minimal 2 kali sehari, ganti baju minimal 1 kali,
ganti celana dalam minimal 2 kali sehari, berkeramas lebih
sering dan menjaga kebersihan kuku (Sulistyawati, 2011).
(4) Hubungan seksual
Dikaji pola hubungan seksual, frekuensi berhubungan,
kelainan dan masalah seksual dan lain-lain (Hani, Ummi,
dkk, 2010).
(5) Pola Istirahat Tidur
Untuk mengetahui kecukupan istirahat pasien. Lama tidur
siang hari normalnya 1 – 2 jam, malam hari yang normal
adalah 6-8 jam (Sulistyawati, 2011).
(6) Pola Aktivitas dan Olahraga
Mengkaji aktivitas sehari-hari pasien untuk gambaran
tentang seberapa berat aktivitas pasien, (Sulistyawati,2011).
(7) Kebiasaan yang Merugikan Kesehatan
Dikaji untuk mengetahui apakah ibu memiliki kebiasaan
seperti minum jamu, merokok, minum-minuman keras, dan
obat terlarang dan kebiasaan lainnya (Walyani, 2015).
l) Respon dan Dukungan keluarga
Tanyakan bagaimana respon dan dukungan keluarga lain,
misalnya anak, orang tua, serta mertua.
m) Pengambilan keputusan
Pengambil keputusan perlu ditanyakan karena untuk mengetahui
siapa yang diberi kewenangan klien mengambil keputusan
apabila ada hal kegawat-daruratan.
2) Data Obyektif (O)
Data objektif merupakan pendokumentasian hasil observasi
yang jujur, hasil pemeriksaan fisik klien, hasil pemeriksaan
laboratorium. Catatan medik dan informasi dari keluarga atau orang
lain dapat dimasukkan dalam data objektif ini sebagai data
penunjang. Data ini akan memberikan bukti gejala klinis klien dan
fakta yang berhubungan dengan diagnosis (Handayani, 2017).
a) Pemeriksaan Umum
• Keadaan umum
Untuk mengetahui data ini kita cukup dengan mengamati
keadaan pasien secara keseluruhan, yaitu : Baik, jika pasien
memperlihatkan respons yang baik terhadeap lingkungan
dan orang lain, serta secara fisik pasien tidak mengalami
ketergantungan dalam berjalan, dan dikatakan lemah, pasien
dimasukkan dalam kriteria ini jika ia kurang atau tidak
memberikan respon yang baik terhadap lingkungan dan
orang lain dan pasien sudah tidak mampu lagi untuk
berjalan sendiri (Sulistyawati, 2011).
• Kesadaran
Untuk mendapatkan gambaran tentang kesadaran pasien,
kita dapat melakukan pengkajian tingkat kesadaran mulai
dari keadaan composmentis sampai dengan koma
(Sulistyawati, 2011).
• Tekanan darah
Pengukuran tekanan darah pada setiap kali kunjungan untuk
mendeteksi adanya hipertensi (tekanan darah > 140/90
mmHg) (Kemenkes RI, 2013). Menurut Walyani (2015)
tekanan darah normal berkisar systole/diastole 110/80 –
120/80 mmHg.

• Nadi
Frekuensi nadi dalam kondisi istirahat 90-110 kali/menit
jika nadi lebih cepat dan dangkal waspadai adanya gejala
syok, lakukan pengkajian nadi setidaknya 1 jam sekali pada
masa nifas 2-6 jam (Patimah, 2016)
• Suhu
Suhu normal antara 35,8 – 37° C (Mandriwati, 2011).
• Respirasi
Frekuensi pernafasan normal adalah 16 – 24 x/menit. Bila
frekuensi pernafasaon lebih dari normal disebut takipnue
dan jika frekuensi pernafasan kurang dari normal disebut
bradipnue (Astuti, 2012).
b) Status Present
• Kepala : Untuk mengetahui kebersihan kepala. Normalnya
bentuk mesochepal, kulit kepala bersih dan rambut tidak
rontok (Mandriwati, 2011).
• Muka : Simetris, kemerahan, tidak bengkak.
• Mata : Untuk mengetahui warna sklera (ikterik atau tidak,
menilai kelainan fungsi hati) dan warna konjungtiva (pucat
atau cukup merah, sebagai gambaran tentang anemia secara
kasar) dan secret (Sulistyawati, 2011).
• Hidung : Untuk memeriksa kebersihan, dan adanya polip.
Normalnya tidak ada polip dan sekret (Sulistyawati, 2011).
• Mulut : Normalnya bibir tidak kering, tidak terdapat
stomatitis, gigi bersih tidak ada karies, tidak ada gigi palsu
(Saminem, 2008).
• Telinga : Dikaji untuk memeriksa kebersihan dan
kemungkinan adanya kelainan. Normalnya adalah simetris
dan tidak ada serumen berlebih (Saminem, 2008).
• Leher : Normalnya tidak ada pembesaran kelenjar tiroid,
tidak ada bendungan vena jugularis (Saminem, 2008).
• Ketiak : Untuk memeriksa kemungkinan adanya massa atau
pembesaran pada aksila. Normalnya tidak ada benjolan
(Saminem, 2008).
• Dada : Normalnya simetris, denyut jantung teratur, dan tidak
ada gangguan pernapasan (Sulistyawati, 2011).
• Abdomen : Dikaji ada tidak bekas luka operasi, ada massa
atau tidak (Sulistyawati, 2011).
• Genetalia : Pada keadaan normal tidak terdapat bau busuk,
dan tidak ada condiloma (Saminem, 2008).
• Punggung : Teraba lurus, tidak ada lubang atau kelainan
bentuk.
• Anus : Normalnya tidak ada haemoroid (Sulistyawati, 2011).
• Ekstremitas : Kondisi normal ekstremitas yaitu tidak ada
odema, tidak ada nyeri di betis ketika kaki di lakukan
dorsofleksi (homan sign) (Patimah, 2016).

c) Status Obstetrik
(1) Inspeksi
(a) Mamae:
 Inspeksi kondisi payudara secara keseluruhan
seperti bentuk, kondisi kulit dan puting susu.
Kondisi normal bentuk payudara yaitu terlihat tanpa
dimpling atau benjolan, kulit mulus tidak ada
kerutan,tidak ada penebalan,tidak ada ruam, tidak
ada lesi, tidak ada kemerahan. Kondisi yang masih
dikatakan normal yaitu jika menyusui payudara
terlihat lebih besar dan lembut, pembuluh darah
lebih lebar dan lebih terlihat di bawah kulit, areola
lebih besar dan gelap dengan tonjolan kecil.
 Palpasi payudara
Kondisi normal payudara saat dipalpasi yaitu lembut
dan tidak nyeri, tidak ada kemerahan, terasa hangat.
Kondisi yang masih dikatakan normal saat palpasi
yaitu payudara terasa tidak berarutan tergantung dari
pengosongan duktus-duktus payudara, pada hari 2-4
postpartum payudara menjadi bengkak, keras/tegang
dan biasanya akan berkurag dalam 24 sampai 48
jam.
 Pemeriksaan puting
Kondisi normal puting yaitu tidak ada pengeluaran
abnormal dari puting, tidak ada nanah, hanya ada
pengeluaran kolostrum pada hari 1-2 postpartum dan
ASI, tidak lecet, tidak ada lesi, puting tidak
tenggelam. Kondisi yang masih dikatakan normal
yaitu puting kemungkinan kencang dan mengkilap
ketika payudara membesar(hari2-4 postpartum) dan
puting terasa nyeri (Patimah, 2016).
(b) Abdomen:
 Inspeksi permukaan abdomen
Kondisi normal abdomen yaitu tidak terdapat bekas
jahitan karena SC ataupun operasi abdomen lain.
 Involusi uterus
Kondisi normal uterus yaitu terasa keras dan tidak
lembek,tinggi fundus uteri berkurang 1 cm setiap
hari selama 9-10 hari postpartum, segera setelah
kala III persalinan tinggi fundus uterus biasanya satu
jari dibawah pusat, 24 jam setelah persalinan tinggi
fundus uterus setinggi pusat atau sedikit di bawah
pusat,6 hari postpartum tinggi fundus uterus kira-
kira pertengahan pusat dan simpisis pubis. pada hari
ke 10-12 sampai 6 minggu postpartum , tinggi
fundus uterus sudah tidak teraba. Kondisi uterus
yang masih dikatakan normal yaitu involusi
kemungkinan lebih lambat pada ibu dengan
multiaritas atau kehamilan kembar, polihidramnion,
bayi besar atau infeksi. Walaupun penurunan tinggi
fundus bervariasi pada setiap ibu, tetapi ukuran
uterus tetap harus berkurang secara bertahap.
 Diastasis recti Ibu postpartum mempunyai tingkat
diastasis. Diastasis recti masih dikatakan normal jika
terdapat celah selebar 2 jari, diastasis recti dapat
menutup diakhir masa nifas.
 Kandung kemih
Kondisi normal kandung kemih yaitu tidak teraba
dan ibu dapat berkemih ketika merasa ada dorongan
berkemih (Patimah, 2016).
(c) Genetalia:
 Inspkesi secara keseluruhan pengeluaran vagina, kulit
dan labia
Kondisi normal tidak ada urin atau feces dari vagina,
tidak ada tonjolan dari vagina, tidak ada
pembengkakan, tidak ada jahitan akibat robekan dan
episiotomi,tidak ada luka, kutil pada kulit genetalia,
tidak ada nyeri pada labia, tidak ada
perdarahan.Kondisi perdarahan yang masih dikatakan
normal kemungkinan terdapat pengeluaran sedikit
bekuan darah.
 Lochea (inspeksi warna dan jumlah).Kondisi normal,
yaitu:
 Hari 2-4 postpartum,lochea berwarna merah
(rubra).
 Hari 5-14 lochea berwarna pink kecoklatan
(serosa).
 Minggu 3-4 postpartum, lochea berwarna putih
kekuningan (alba). Kondisi lochea yang masih
dikatakan normal yaitu pengeluaran lochea dapat
berlangsung selama 6 minggu postpartum,
peningkatan jumlah lochea dapat terjadi ketika
aktivitas ibu meningkat.
Perineum Kondisi normal perineum yaitu tidak nyeri,
tidak ada pembengkakan,tidak ada pengeluaran urin dan
feces dari vagina, tidak ada jahitan karena robekan jalan
lahir dan episiotomi.Kondisi perineum yang masih
dikatakan normal yaitu jika persalinan normal perineum
memar, bengkak dan tidak nyaman, kondisi ini dapat
berlangsung hingga hari 3-4 postpartum. Penyembuhan
perineum kemungkinan lebih lambat jika mengedan
terlalu lama saat persalinan,terdapat robekan atau luka
episiotomi atau trauma selama persalinan.
d) Pemeriksaan Penunjang
HB: Apabila kadar Hb rendah, penyebabnya harus dipastikan
dan diberikan terapi yang tepat. Hb juga dapat dideteksi dari
sampel darah.
3) Analisa (A)
Langkah ini merupakan pendokumentasian hasil analisis dan
intrepretasi (kesimpulan) dari data subjektif dan objektif. Karena
keadaan klien yang setiap saat bisa mengalami perubahan, dan akan
ditemukan informasi baru dalam data subjektif maupun data objektif,
maka proses pengkajian data akan menjadi sangat dinamis. Di dalam
analisis menuntut bidan untuk sering melakukan analisis data yang
dinamis tersebut dalam rangka mengikuti perkembangan klien.
Analisis yang tepat dan akurat mengikuti perkembangan data klien
akan menjamin cepat diketahuinya perubahan pada klien, dapat terus
diikuti dan diambil keputusan/tindakan yang tepat. Analisis data
adalah melakukan intrepretasi data yang telah dikumpulkan,
mencakup diagnosis, masalah kebidanan, dan kebutuhan.
a) Masalah: Masalah sering berkaitan dengan hal-hal yang sedang
dialami wanita yang diidentifikasi oleh bidan sesuai dengan
hasil pengkajian,normalnya tidak terjadi masalah (Marni, 2011).
b) Diagnosa Potensial: Pada keadaan normal, diagnosa potensial
dapat diabaikan
c) Tindakan Segera: Pada keadaan normal, langkah ini dapat
diabaikan
4) Penatalaksanaan (P)
Penatalaksanaan adalah mencatat seluruh perencanaan dan
penatalaksanaan yang sudah dilakukan seperti tindakan antisipatif,
tindakan segera, tindakan secara komprehensif; penyuluhan,
dukungan, kolaborasi, evaluasi/follow up dan rujukan. Tujuan
penatalaksanaan untuk mengusahakan tercapainya kondisi pasien
seoptimal mungkin dan mempertahankan kesejahteraanya.

Penatalaksanaan kesehatan yang diberikan kepada klien adalah :


a) Memberitahu ibu dan keluarga hasil pemeriksaan
b) Memastikan involusi uterus berjalan normal. Menurut Marmi
(2015), pada 2 minggu postpartum TFU (tinggi fumdus uteri)
sudah tidak teraba, dengan lochea serosa dan tidak berbau
busuk.
c) Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi, atau perdarahan
abnormal
d) Memastikan ibu mendapatkan cukup makanan, cairan, dan
istirahat.
e) Memberikan konseling untuk KB secara dini.

DAFTAR PUSTAKA
Alvarenga MB, D. (2015) “Episiotomy Heaing Assesment : Redness, Oedema,
Ecchymosis, Discharge, Approximation (REEDA) Scale Reliability.”
Tersedia pada: http://www.scielo.br/pdf/rlae/v23n1/0104-1169-rlae-23-01-
00162.pdf.

Ambarwati, D. (2020) “Pengaruh Konsumsi Nugget Lele Terhadap Lama Waktu


Penyembuhan Luka Perineum Pada Ibu Nifas.”

Arisanty, I. P. (2013) Manajemen Perawatan Luka : Konsep Dasar. Jakarta: EGC.

Elis, A. et al. (2019) “Analisis Hubungan Pengetahuan ibu Nifas Dengan Tanda-
Tanda Bahaya Masa Nifas di Rumah Sakit Umum daerah Labuang Baji
Makassar,” Jurnal Ilmiah Media Bidan, 4(2), hal. 67–71.

Elisa, E., Royani, L. D. dan Adi, W. S. (2018) “Pengaruh Masase Fundus Uteri
Dengan Pendidikan Kesehatan (Video Masase Fundus Uteri) Terhadap
Penurunan Tinggi Fundus Uteri Ibu Postpartum Di RSUD Pandan Arang
Boyolali,” Jurnal Ilmu Keperawatan Maternitas, 1(2), hal. 15. doi:
10.32584/jikm.v1i2.145.

Handayani, S. R. & T. S. M. (2017) Dokumentasi Kebidanan. Jakarta Selatan:


BPPSDMK Kemenkes RI.

Hasna, A. N., Murwati, M. dan Susilowati, D. (2018) “Hubungan Gangguan Tidur


Ibu Nifas Dengan Kejadian Postpartum Blues Di Wilayah Kerja Puskesmas
Karangmalang Sragen,” Jurnal Kebidanan dan Kesehatan Tradisional, 3(2),
hal. 74–77. doi: 10.37341/jkkt.v3i2.81.

Irianto (2014) Pelayanan Keluarga Berencana. Bandung: ALFABETA.

Jamhariyah (2017) “Pengaruh Suplementasi Zinc terhadap Waktu Penyembuhan


Luka Perineum pada Ibu Nifas,” Jurnal Kesehatan, 5(2), hal. 94–99. doi:
10.25047/j-kes.v5i2.53.

Karjatin, A. (2016) Keperawatan Maternitas. Jakarta Selatan: Pusdik SDM


Kesehatan BPPSDMK.

Kasanah, U. dan Altika, S. (2020) “Efektifitas Mobilisasi Dini dalam Mempercepat


Involusi Uteri Ibu Post Partum,” Community of Publising in Nursing
(COPING), 8(1), hal. 11–16. doi: p-ISSN 2303-1298, e-ISSN 2715-1980.
Kemenkes RI (2013) Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Kemenkes RI (2015) Buku Ajar Kesehatan Ibu dan Anak, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta Selatan: Pusdiklatnakes Kemenkes RI.

Kemenkes RI (2019) Panduan Pelayanan Pasca Persalinan bagi Ibu dan Bayi Baru
Lahir. Tersedia pada: http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/Buku
Panduan Pelayanan Pasca Persalinan bagi Ibu dan Bayi Baru Lahir-
Combination.pdf.

Kusumastuti, dkk (2016) Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas. Yogyakarta: Leufika
Prio.
Maritalia, D. (2014) Asuhan Kebidanan Nifas dan Menyusui. II. Diedit oleh S.
Riyadi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Marmi (2015) Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas “Puerperium Care.”


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Marmi (2016) Ketrampilan Dasar Praktik Klinik Untuk Bidan Dan Perawat.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Martanti, L. E. et al. (2017) “The Effect of Zinc and Vitamin C Additional on


Healing Process of Second Degree Perineal Wound in Postpartum,” Journal
of Medical Science and Clinical Research, 5(9), hal. 27531–27535. doi:
https://dx.doi.org/10.18535/jmscr/v5i9.27.

Martini, D. E. (2015) “Efektifitas Latihan Kegel Terhadap Percepatan Penyembuhan


Luka Perineum Pada Ibu Nifas Di Puskesmas Kalitengah Lamongan.”

Maryunani, A. (2012) Inisiasi Menyusui Dini, ASI Eksklusif dan Manajemen Laktasi.
Jakarta: Penerbit Buku Kesehatan.

Mutika, W. T. (2018) “Efek Breast Care Ibu Nifas Terhadap Berat Badan Bayi dan
Hormon Prolaktin.” Tersedia pada:
https://jurnal.ugm.ac.id/bkm/article/download/30272/20777.

Nurafifah, D. (2016) “Pengaruh Pemberian Povidone Iodine Terhadap Kecepatan


Penyembuhan Kuka Perineum Pada Ibu Post Partum,” Program Studi DIII
Kebidanan STIKES Muhammadiyah Lamongan, hal. 1–6.

Nurbaeti (2013) Asuhan Keperawatan Pada Ibu Post Partum dan Bayi Baru Lahir.
Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media.

Patimah, D. (2016) Praktik Klinik Kebidanan III. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Prawirohardjo, S. (2014) Ilmu Kebidanan. 4 ed. Diedit oleh A. B. Saifuddin. Jakarta:


PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Prihartini, S. (2014) “Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Penurunan Tinggi Fundus


Uteri Pada Ibu Nifas Di Paviliun Melati Rsud Jombang,” Jurnal EduHealth,
4(2), hal. 244622.

Purnani, W. T. (2019) “Perbedaan Efektivitas Pemberian Putih Telur dan Ikan Gabus
Terhadap Penyembuhan Luka Perineum Ibu Nifas,” Journal of Public
Health Research and Community Health Development, 2(2), hal. 126. doi:
10.20473/jphrecode.v2i2.12190.

Radharisnawati, N. K. dan Kundre, R. (2017) “Hubungan Pemenuhan Kebutuhan


Gizi Ibu Dengan Kelancaran Air Susu Ibu (Asi) Pada Ibu Menyusui Di
Puskesmas Bahu Kota Manado,” 5.

Rinata, E., Rusdyati, T. dan Sari, P. A. (2016) “Teknik Menyusui Posisi, Perlekatan
Dan Keefektifan Menghisap - Studi Pada Ibu Menyusui Di Rsud Sidoarjo,”
Temu Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, hal. 128–139.
Santosa, Q. et al. (2019) “Pelatihan Manajemen Laktasi untuk Ibu Hamil dan Ibu
Menyusui: Upaya Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak,” Jurnal
Pengabdian Pada Masyarakat, 4(1), hal. 47–52. doi:
10.30653/002.201941.94.

Simanjutak, N. M. dan Syafitri, D. A. (2019) “Hubungan Pengetahuan Ibu Terhadap


Proses Penyembuhan Luka Perineum Pada Ibu Nifas di Wilayah Pedesaan
Percut, Sumatera Utara,” 8(5), hal. 55.

Smeltzer, S. . (2013) Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth. Jakarta:


EGC.

Supiati dan Yulaikah, S. (2015) “Pengaruh Konsumsi Telur Rebus Terhadap


Percepatan Penyembuhan Luka Perineum Dan Peningkatan Kadar
Hemoglobin Pada Ibu Nifas,” Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, 4, hal. 141–
146.

Utami, H., Suparni, S. dan Ersila, W. (2014) “Waktu Pertama Buang Air Kecil
(BAK) Pada Ibu Postpartum Yang Dilakukan Bladder Training,” Jurnal
Ilmiah Kesehatan, 6(1), hal. 96717.

Varney, Helen & Marlyn HE, David W, M. L. (2012) Buku Ajar Asuhan Kebidanan
Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC.

Wahyuningsih, H. P. (2018) Asuhan Kebidanan Nifas dan Menyusui. Jakarta Selatan:


Pusdik SDM Kesehatan BPPSDMK.

Walyani, E. S. & E. P. (2015) Asuhan Kebidanan Masa Nifas dan Menyusui.


Yogyakarta: Pustaka Baru Perss.

Walyani, E. S. & E. P. (2015) Asuhan Kebidanan Persalinan dan Bayi Baru Lahir.
Yogyakarta: Pustaka Baru Pers.
Widyasih, H. dkk (2013) Perawatan Masa Nifas. Yogyakarta: Fitramaya.

Yuliaswati, E. (2018) “Upaya Mempercepat Penyembuhan Luka Perineum Melalui


Penggunaan Air Rebusan Sirih Hijau Efforts to Accelerate Perineum Wound
Healing Through Water of Stew Green Betel Stew,” 5(1), hal. 94–100.

Zuliyati, I. C. (2012) “Perbedaan Lama Penyembuhan Luka Perinium Antara


Penjahitan Jelujur dan Terputus Pada Ibu Nifas di BPS Umu Hani Tahun
2012.”

Anda mungkin juga menyukai