Anda di halaman 1dari 51

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN

GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN: RESIKO TINGGI


HIPERBILIRUBIN
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Kelompok
Mata Kuliah Keperawatan Anak
Dosen Pembimbing: Ns. Leoni Wenny, S.kep

Disusun Oleh Kelompok 2

ANTONIUS ARI WIBOWO 1001140003


ELPINA YULIANTI 1001140013
FADHILAH DAFA 1001140017
SITI RAMADONA 1001140045

UNIVERSITAS KATOLIK MUSI CHARITAS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
TAHUN 2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan “asuhan keperawatan pada bayi
dengan gangguan sistem pencernaan: resiko tinggi hiperbilirubin” tepat pada
waktunya.
            Penulisan Asuhan Keperawatan ini merupakan penugasan dari mata kuliah
blok Keperawatan Anak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing yang telah memberikan sarannya dalam pembuatan Asuhan
Keperawatan ini dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dan
membantu dalam pembuatan Asuhan Keperawatan ini.
            Penulis berharap Asuhan Keperawatan ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna memberikan sifat
membangun demi kesempurnaan Asuhan Keperawatan ini.Penulis menyadari
bahwa Asuhan Keperawatan ini masih jauh dari sempurna mengingat penulis
masih tahap belajar dan oleh karna itu mohon maaf apabila masih banyak
kesalahan dan kekurangan di dalam penulisan Asuhan Keperawatan ini.

Palembang,    Maret 2016

Penyusun          

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang................................................................... 1
1.2.Ruang Lingkup Penulisan.................................................. 2
1.3. Tujuan Penulisan................................................................ 2
1.4. Metode Penulisan............................................................... 3
1.5. Sistematika Penulisan......................................................... 3
BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Konsep Dasar Medik
a. Pengertian......................................................................... 4
b. Anatomi Fisiologi............................................................. 7
c. Etiologi............................................................................. 11
d. Manifestasi Klinik............................................................
e. Patofisiologi......................................................................
f. Klasifikasi.........................................................................
g. Pemerikasaan Penunjang..................................................
h. Komplikasi.......................................................................
i. Penatalaksanaan................................................................
2.2. Konsep Dasar Keperawatan
a. Pengkajian........................................................................ 12
b. Diagnosa Keperawatan..................................................... 17
c. Intervensi.......................................................................... 18
d. Implementasi.................................................................... 25
e. Evaluasi............................................................................ 26
2.3. Patoflow Diagram Teori
BAB IIIPENUTUP

iii
3.1 Kesimpulan......................................................................... 29
3.2 Saran.................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan selama ini bertujuan


untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Indikator derajat
kesehatan masyarakat komponen kesehatan,diantaranya adalah Angka
Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Indonesia masih
menuai presentasi di ASEAN (Association of South East Asia Nations)
Angka kematian bayi di negara-negara ASEAN seperti Singapura 3/1000 per
kelahiran hidup, Malaysia 5,5/1000 per kelahiran hidup, Thailand 17/1000
per kelahiran hidup, Vietnam 18/1000 per kelahiran hidup, dan Philipina
26/1000 per kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian bayi di Indonesia
cukup tinggi yakni 26,9/2000 per kelahiran hidup.
Tingkat kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu indikator di suatu
Negara. Angka kematian Maternal dan Neonatal masih tinggi, salah satu
faktor penting dalam upaya penurunan angka tersebut dengan memberikan
pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas kepada
masyarakat yang belum terlaksana.
Menurut Pola penyakit penyebab kematian bayi menunjukkan bahwa
proporsi penyebab kematian neonatal kelompok umur 0-7 hari tertinggi
adalah premature dan Berat Badan Lahir Rendah / BBLR (35%), kemudian
asfiksia lahir (33,6%). Penyakit penyebab kematian neonatal kelompok umur
8-28 hari tertinggi adalah infeksi sebesar 57,1% (termasuk tetanus 9,5%,
sepsis, pneumonia, diare), kemudian feeding problem (14,3%).

Berdasarkan data dari The Fifty Sixth Session of Regional


Committee, WHO (World Health Organization), pada tahun 2003, kematian
bayi terjadi pada usia neonatus dengan penyebab infeksi 33%, asfiksia/
trauma 28%, BBLR 24%, kelainan bawaan 10%, dan lain-lain 5%. Salah satu
penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati biliaris (lebih

1
dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati biliaris merupakan komplikasi
ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang
tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada
tinggi, paralysis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas
hidup. Ikterus adalah suatu keadaan kulit dan membran mulkosa yang
warnanya menjadi kuning akibat peningkatan jumlah pigmen empedu di
dalam darah dan jaringan tubuh. Hiperbiliirubin adalah suatu keadaan dimana
kadar bilirubiin mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan
kern-ikterus, jika tidak ditanggulangi dengan baik.
Sebagian besar hiperbilirubin ini proses terjadinya mempunyai dasar yang
patologik. Angka kejadian bayi hiperbilirubin berbeda di satu tempat ke
tempat lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam faktor penyebab
seperti umur kehamilan, berat badan lahir, jenis persalinan dan
penatalaksanaan.

Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah pada


sebagian neonates, ikterus akan di temukan pada minggu pertama dalam
kehidupannya. Di kemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60
% bayi cukup bulan dan 80 % pada bayi kurang bulan. Ikterus ini pada
sebagian lagi mungkin bersifat patologik yang dapat menimbulkan gangguan
menetap atau menyebabkan kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus
harus mendapat perhatian terutama bilaikterus di temukan dalam 24 jam
pertama kehidupan bayi. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang
berlangsung lebih dari satu minggu serta bilirubin direk lebih dari1 mg/dl
juga keadaan yang menunjukan kemungkinan adanya ikterus patologik.
Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan harus di lakukan sebaik-baiknya
agar akibat buruk ikterus dapat di hindarkan.

2
1.2 Ruang Lingkup
Penulisan Asuhan Keperawatan ini difokuskan dengan mengingat
keterbatasan waktu yang ada pada penulis, maka dalam penulisan makalah ini
penulis membatasi ruang lingkup masalah hanya pada asuhan keperawatan
pada bayi dengan gangguan sistem pencernaan: resiko tinggi hiperbilirubin

1.3 Tujuan Penulisan


a. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami, dan mengaplikasikan asuhan keperawatan
pada bayi dengan gangguan sistem pencernaan: resiko tinggi hiperbilirubin
b. Tujuan Khusus
a) Mahasiswa mampu memahami mengenai definisi pada bayi dengan
gangguan sistem pencernaan: resiko tinggi hiperbilirubin
b) Mahasiswa mampu memahami mengenai anatomi fisiologi penyakit
pada bayi dengan gangguan sistem pencernaan: resiko tinggi
hiperbilirubin.
c) Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai Etiologi
penyakit pada bayi dengan gangguan sistem pencernaan: resiko tinggi
hiperbilirubin
d) Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai manifestasi
klinik penyakit pada bayi dengan gangguan sistem pencernaan: resiko
tinggi hiperbilirubin
e) Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai Patofisiologi
penyakit pada bayi dengan gangguan sistem pencernaan: resiko tinggi
hiperbilirubin
f) Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai klasifikasi
penyakit pada bayi dengan gangguan sistem pencernaan: resiko tinggi
hiperbilirubin
g) Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai Pemeriksaan
Penunjang penyakit pada bayi dengan gangguan sistem pencernaan:
resiko tinggi hiperbilirubin

3
h) Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai komplikasi
penyakit pada bayi dengan gangguan sistem pencernaan: resiko tinggi
hiperbilirubin
i) Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai
Penatalaksanaan penyakit pada bayi dengan gangguan sistem
pencernaan: resiko tinggi hiperbilirubin
j) Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai asuhan
keperawatan penyakit pada bayi dengan gangguan sistem pencernaan:
resiko tinggi hiperbilirubin

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan yang digunakan oleh penulis adalah metode deskriptif
untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penyusunan makalah ini
penulis menggunakan metode:
1. Studi kepustakaan
Dalam penyusunan asuhan keperawatan ini, penulis menggunakan
beberapa buku sumber sebagai referensi.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Medis


A. Pengertian
Hiperbilirubin merupakan salah satu fenomena klinis tersering
ditemukan pada bayi baru lahir, dapat disebabkan oleh proses fisiologi, atau
patologis dan atau kombinasi keduanya. (Lubis, 2013)
Hiperbilirubin adalah akumulasi berlebihan dari bilirubin di dalam
darah. (Wong, 2003 : 432)
Peningkatan kadar bilirubin serum dihubungkan dengan hemolisis sel
darah merah dari bilirubin yang tidak terkonjugasi dari usus kecil, yang
ditandai dengan joundice pada kulit, sklera mukosa, dan urine. (Mitayani,
2012 : 191)
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang
kadar nilainya lebih dari normal. (Suriadi dan Rita, 2001 : 143)
Menurut Klous dan Fanaraft (1998) bilirubin dibedakan menjadi dua
jenis yaitu:
1. Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek (bilirubin bebas)
yaitu bilirubin tidak larut dalam air, berikatan dengan albumin untuk
transport dan komponen bebas larut dalam lemak serta bersifat
toksik untuk otak karena bisa melewati sawar darah otak.
2. Bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk (bilirubin terikat) yaitu
bilirubin larut dalam air dan tidak toksik untuk otak.

Perbandingan jenis-jenis utama hiperbilirubinemia tak terkonjugasi


(Wong, 2003 : 432) :
Ikterik Ikterik Ikterik ASI Penyakit
fisiologis berhubungan hemolitik
dengan

5
menyusui ASI
Penyebab Fungsi Masukan susu Faktor-faktor Ketidakcocokan
hepatik yang buruk yang mungkin antigen darah
imatur berhubungan terdapat dalam menyebabkan
ditambah dengan ASI yang hemolisis
peningkatan sedikitnya memecahkan sejumlah besar
beban kalori yang bilirubin SDM
bilirubin dari dikonsumsi menjadi Hati tidak mampu
hemolisis oleh bayi bentuk lemak mengkonjugasi
SDM sebelum ASI yang dapat dan
terbentuk larut, yang mengekskresikan
direabsorpsi kelebihan
dari usus bilirubin dari
Defekasi hemolisis
kurang sering
Awitan Setelah 24 Hari kedua- Hari keempat- Selama 24 jam
jam (bayi ketiga kelima pertama
prematur,
lebih lama)
Puncak 72 jam Hari kedua- Hari Bervariasi
ketiga kesepuluh-
kelimabelas
Durasi Menurun Dapat tetap
pada hari ke ikterik selama
lima sampai beberapa
ke tujuh minggu
Terapi Fototerapi Sering Penghentian Pasca natal-
bila kadar menyusu ASI ASI sementara fototerapi, bila
bilirubin Suplemen sampai 24 jam hebat, transfusi
meningkat kalori untuk tukar
terlalu cepat menentukan Pra natal-transfusi

6
Fototerapi penyebab; bila (janin)
untuk bilirubin kadar bilirubin Pencegahan
18-20 mg/dl menurun, ASI sensitisasi
dapat diminum (ketidakcocokan
lagi Rh) dari ibu Rh
Dapat meliputi negatif dengan
fototerapi di RhoGAM
rumah dengan
pemberian ASI
tanpa
gangguan

B. Anatomi Fisiologi
Hati, yang merupakan organ terbesar tubuh dapat dianggap sebagai
sebuah pabrik kimia yang membuat, menyimpan, mengubah, dan
mengekskresikan sejumlah besar substansi yang terlibat dalam metabolisme.
Lokasi hati sangat penting dalam pelaksanaan fungsi ini karena hati menerima
darah yang kaya nutrien langsung dari traktus gastrointestinal; kemudian hati
akan menyimpan atau mentransformasikan semua nutrien ini menjadi zat-zat
kimia yang digunakan di bagian lain dalam tubuh untuk keperluan metabolik.
Hati merupakan organ yang penting khususnya dalam pengaturan metabolisme
glukosa dan protein. Hati membuat dan mengeksresikan empedu yang
memegang peranan utama dalam proses pencernaan serta penyerapan lemak
dalam traktus gastrointestinal. Organ ini mengeluarkan limbah produk dari
dalam aliran darah dan mengeksresikannya ke dalam empedu. Empedu yang
dihasilkan oleh hati akan disimpan untuk sementara waktu dalam kandung
empedu (vesika velea) sampai kemudian dibutuhkan untuk proses pencernaan;
pada saat ini, kandung empedu akan mengosongkan isinya dan empedu
memasuki intestinum (usus). (Brunner Suddart, 2001 : 1150).

7
1. Anatomi

2. Fisiologi

a. Ekskresi Bilirubin

Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin


oleh sel-sel pada sistem retikuloendotelial yang mencakup sel-sel Kupffer
dari hati. Hepatosit mengeluarkan bilirubin dari dalam darah dan melalui
reaksi kimia mengubahnya lewat konjugasi menjadi asam glukuronat yang
membuat bilirubin lebih dapat larut di dalam larutan yang encer. Bilirubin
terkonjugasi disekresikan oleh hepatosit ke dalam kanalikulus empedu di
dekatnya dan akhirnya dibawa dalam empedu ke duodenum.(Brunner &
Suddart, 2001 : 1152).

Dalam usus halus, bilirubin dikonversikan menjadi urobilinogen yang


sebagian akan diekskresikan ke dalam feses dan sebagian lagi diabsorpsi
lewat mukosa intestinal ke dalam darah portal. Sebagian besar dari
urobilinogen yang diserap kembali ini dikeluarkan oleh hepatosit dan

8
disekresikan sekali lagi ke dalam empedu (sirkulasi enterohepatik).
Sebagian urobilinogen memasuki sirkulasi sistemik dan dieksresikan oleh
ginjal ke dalam urin. Eliminasi bilirubin dalam empedu menggambarkan
jalur utama ekskresi bagi senyawa ini.(Brunner & Suddart, 2001 : 1152).

Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat


penyakit hati, bila aliran empedu terhalang (yaitu, oleh batu empedu dalam
saluran empedu) atau bila terjadi penghancuran sel-sel darah merah yang
berlebihan. Pada obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak memasuki
intestinum dan sebagai akibatnya, urobilinogen tidak terdapat dalam urin.
(Brunner & Suddart, 2001 : 1152).

b. Metabolisme Bilirubin

Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi bilirubin (merubah


bilirubin yang larut dalam lemak menjadi bilirubin yang mudah larut dalam
air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya
hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan albumin
(albumin binding site). Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan,
hatinya sudah matang dan menghasilkan enzim glukoronil transferase yang
memadai sehingga serum bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus
pada neonatus, perlu diketahui sedikit tentang metabolisme bilirubin pada
neonatus. Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus
dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari
degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau
eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan
proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain.
Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas
atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak,
karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah

9
melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin
bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar.
Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat
oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah
ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin (protein-Y)
protein Z dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum
endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang
kemudian menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat
larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal.
Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini dikeskresi melalui duktus
hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi
urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus
sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses
absorbsi enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek
pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses
fisiologik tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena
tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek
(80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin
ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7,
kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun
biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari
12 mg/dl pada bayi kurang bulan.
Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan
karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul apabila produksi
bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga
kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan
dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu, misal kerusakan sel otak
yang akan mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian.

10
c. Diagram Metabolisme Bilirubin

Eritrosit

Hemoglobin

Hem Globin

Besi/FE Bilirubin Indirek Terjadi pada


(tidak larut dalam air) Limpha, Makrofag

Bilirubin berikatan Terjadi dalam


dengan albumin plasma darah

Melalui hati

Bilirubin berikatan Hati


dengan
Glukoronat/gula residu
bilirubin direk (larut
dalam air)

Bilirubin direk
diekskresi ke kandung
empedu
Melaui Duktus
Billiaris
Kandung empedu ke
duodenum

Bilirubin direk
diekskresi melalui
urine dan feses

11
C. Etiologi

Etiologi pada bayi dengan hiperbilirubinemia diantaranya :

1. Produksi bilirubin berlebihan, yang dapat terjadi karena; polycethemia,


issoimun, hemolytic disease, kelainan struktur dan enzim sel darah merah,
keracunan obat (hemolisis kimia : salisilat, kortikosteroid, klorampenikol),
hemolisis ekstravaskuler, cephalhematoma, ecchymosis.
2. Gangguan fungsi hati; obstruksi empedu/atresia biliari, infeksi, masalah
metabolik; hypothyroidisme, jaundice ASI.
3. Gangguan pengambilan dan pengangkutan bilirubin dalam hepatosit.
4. Gagalnya proses konjugasi dalam mikrosom hepar.
5. Gangguan dalam ekskresi.
6. Peningkatan reabsorpsi pada saluran cerna (siklus enterohepatik).

(Mitayani, 2012 : 191) dan (Suriadi dan Rita, 2001 : 144)

D. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada bayi dengan


hiperbilirubinemia diantaranya :

1. Ikterus pada kulit dan konjungtiva, mukosa, dan alat-alat tubuh lainnya.
Bila ditekan akan timbul kuning.
2. Bilirubin direk ditandai dengan kulit kuning kehijauan dan keruh pada
ikterus berat.
3. Bilirubin indirek ditandai dengan kulit kuning terang pada ikterus berat.
4. Bayi menjadi lesu.
5. Bayi menjadi malas minum.
6. Tanda-tanda klinis ikterus jarang muncul.
7. Letargi.
8. Tonus otot meningkat.
9. Leher kaku.
10. Opistotonus.

12
11. Muntah, anorexia, fatigue, warna urine gelap, warna tinja pucat.
(Mitayani, 2012 : 192)

E. Patofisiologi

Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa


keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.

Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan


peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein
Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang
memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi
misalnya sumbatan saluran empedu.

Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi
dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut
Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat
tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20
mg/dl.

Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata


tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan
mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan
Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).

13
F. Klasifikasi

Penggolongan Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus:

1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.


Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya
kemungkinan dapat disusun sebagai berikut:
- Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
- Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-
kadang Bakteri)
- Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan:

- Kadar Bilirubin Serum berkala.


- Darah tepi lengkap.
- Golongan darah ibu dan bayi.
- Test Coombs.
- Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau
biopsi Hepar bila perlu.

2. Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.


- Biasanya Ikterus fisiologis, timbul pada hari ke 2 atau ke 3,
tampak jelas pada hari ke 5-6 dan menghilang pada hari ke 10.
- Bayi tampak biasa, minum baik, berat badan naik biasa
- Kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari
12 mg %, pada BBLR 10 mg %, dan akan hilang pada hari ke
14.
- Penyebab ikterus fisiologis diantaranya karena kekurangan
protein Y dan Z, enzim Glukoronyl transferase yang belum
cukup jumlahnya.

14
- Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh,
atau golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar
Bilirubin cepat misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.
- Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih
mungkin.
- Polisetimia.
- Hemolisis perdarahan tertutup (pendarahan subaponeurosis,
pendarahan Hepar, sub kapsula dll).

Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka


pemeriksaan yang perlu dilakukan:

- Pemeriksaan darah tepi.


- Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
- Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
- Pemeriksaan lain bila perlu.

3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu


pertama.
- Sepsis.
- Dehidrasi dan Asidosis.
- Defisiensi Enzim G6PD.
- Pengaruh obat-obat.
- Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.

4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:


- Karena ikterus obstruktif.
- Hipotiroidisme
- Breast milk Jaundice.
- Infeksi.
- Hepatitis Neonatal.
- Galaktosemia.

15
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:

- Pemeriksaan Bilirubin berkala.


- Pemeriksaan darah tepi.
- Skrining Enzim G6PD.
- Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.

Berikut adalah beberapa keadaan yang menimbulkan ikterus patologis :

1. penyakit hemolitik, isoantibodi karena ketidakcocokan golongan darah ibu


dan anak seperti Rhesus antagonis, ABO, dsb.
2. kelainan dalam se darah merah seperti pada defisiensi G-6-PD
3. hemolisis, hematoma, polisitemia, perdarahan karena trauma lahir
4. infeksi : septisemia, meningitis, infeksi saluran kemih, penyakit karena
toksoplasmosis, sifilis, rubela, hepatitis
5. kelainan metabolik, hipoglikemia, galaktosemia
6. obat2an yang menggantikan ikatan bilirubin dengan albumin seperti :
sulfonamid, salisilat, sodium benzoat, gentamisin.
7. Pirau enteropatik yang meninggi, obstruksi usus letak tinggi, penyakit
hirschsprung, stenosis pilorik, mekonium ileus, dsb.

G. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya :

1. Tes Coomb pada tali pusat bayi baru lahir. Hasil positif tes Coomb indirek
menandakan adanya antibodi Rh-positif, anti-A, atau anti-B dalam darah
ibu. Hasil positif dari tes Coomb direk menandakan adanya sentisasi (Rh-
positif, anti-A, anti-B) sel darah merah dari neonatus.
2. Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
3. Bilirubin total : kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5
mg/dl, yang mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek (tidak
terkonjugasi) tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam,

16
atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dl
pada bayi praterm (tergantung pada berat badan).
4. Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 g/dl menandakan penurunan
kapasitas ikatan, terutama pada bayi praterm.
5. Hitung darah lengkap: Hemoglobin (Hb) mungkin rendah (kurang dari 14
g/dl) karena hemolisis. Hematokrit (Ht) mungkin meningkat (lebih besar
dari 65 %) pada polisitemia, penurunan (kurang dari 45 %) dengan
hemolisis dan anemia berlebihan.
6. Glukosa : kadar Dextrostix mungkin kurang dari 45 % glukosa darah
lengkap kurang dari 30 mg/dl, atau tes glukosa serum kurang dari 40
mg/dl bila bayi baru lahir hipoglikemi dan mulai menggunakan simpanan
lemak dan melepaskan asam lemak.
7. Daya ikat karbon dioksida. Penurunan kadar menunjukkan hemolisis.
8. Meter ikterik transkutan : mengidentifikasi bayi yang memerlukan
penentuan bilirubin seru.
9. Jumlah retikulosit : peningkatan retikulosit menandakan peningkatan
produksi SDM dalam respons terhadap hemolisis yang berkenaan dengan
penyakit Rh.
10. Smear darah perifer : dapat menunjukkan SDM abnormal atau imatur,
eritroblastosis pada penyakit Rh, atau sferositis pada inkompabilitas ABO.
11. Tes Betke-Kleihauer: evaluasi smear darah maternal terhadap eritrosit
janin.

H. Komplikasi

Komplikasi yang biasa terjadi adalah sebagai berikut :

1. Ikterik ASI.
2. Kernik ikterus (bilirubin ensefalitis).
Menghilangkan bilirubin yang terkontaminasi, menggantikan faktor
koagulasi pada kernik ikterus, menghilangkan antibodi (Rh, ABO), dan

17
hemolisis yang menghasilkan sel darah merah, serta tersensititasi dari sel
darah merah dilakukan dengan cara berikut ini.
a. Menghilangkan bahan yang kurang dalam proses metabolisme
bilirubin (misalnya menambahkan glukosa pada keadaan
hipoglikemia) atau menambahkan bahan untuk memperbaiki
transportasi bilirubin (misalnya albumin). Penambahan albumin
dilakukan walaupun tidak terdapat hipoalbuminemia, tetapi perlu
diingat adanya zat-zat yang merupakan kompetitor albumin yang juga
dapat mengikat bilirubin (misalnya sulfonamid atau obat-obatan
lainnya).
Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstrasi
bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini mengakibatkan kadar
bilirubin plasma meningkat, ini tidak berbahaya karena bilirubin
tersebut berada dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan
dalam dosis yang tidak melebihi 1 gram/kgBB sebelum maupun
sesudah tindakan transfusi untuk mengganti darah.
b. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral
dini.
c. Fototerapi
Ikterus klinis dan hiperbilirubinemia indirek berkurang pada
perpanjangan cahaya yang berintensitas tinggi pada spektrum yang
dapat dilihat. Bilirubin menyerap cahaya secara maksimal pada kisaran
biru (dari 420-470 mm). Cahaya putih yang berspektrum luasan
berwarna biru (super). Spektrum sempit khusus dan hijau efektif
menurunkan kadar bilirubin dapat memengaruhi foto reaksi bilirubin
yang terikat oleh albumin. Bilirubin dalam kulit menyerap energi
cahaya yang dengan foto isomerisasi mengubah bilirubin (-42 sampai
dengan -15) tak terkonjugasi alamiah yang bersifat toksik menjadi
isometer konfigurasi terkonjugasi, yaitu bilirubin (-42 sampai -15e).
Foto terapi mengubah bilirubin alamiah melalui suatu reaksi yang

18
menetap pada ismer bilirubin struktural yang diekskresi oleh ginjal
pada keadaan yang tidak terkonjugasi.
Indikasi tranfusi untuk mengganti darah bayi dapat dilakukan pada
keadaan berikut ini :
1. Hidrops.
2. Adanya riwayat penyakit berat.
3. Adanya riwayat sensitisasi.

Tujuan dilakukannya transfusi adalah sebagai berikut :

1. Mengoreksi anemia.
2. Menghentikan hemolisis.
3. Mencegah peningkatan bilirubin.

((Mitayani, 2012 : 193)

I. Penatalaksanaan
a. Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital.
Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu
48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yangberarti. Mungkin lebih
bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum melahirkan.
b. Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi.
Contohnya : pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas.
Albumin dapat diganti dengan plasma dosis 15 – 20 ml/kgbb. Pemebrian
glukosa perlu untuk kojugasi hepar sebagai sumber energi.
c. Melakukan dekompensasi bilirubin dengan fototerapi

Terapi sinar diberikan jika kadar bilirubin darah indirek lebih dari 10 mg
%. Terapisinar menimbulkan dekomposisi bilirubin dari suatu senyawa
tetrapirol yang sulitlarut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut
dalam air dan dikeluarkan melalui urin, tinja, sehingga kadr bilirubin menurun.
Selain itu pada terapi sinar ditemukan pula peninggian konsentrasi bilirubin
indirek dalam cairan empedu duodenum dan menyebabkan bertambahnya

19
pengeluaran cairan empedu kedalam usus sehingga peristaltik usus meningkat
dan bilirubin akan keluar bersama feses.

A. Pelaksanaan Terapi Sinar :

1. Baringkan bayi telanjang, hanya genitalia yang ditutup (maksmal 500 jam)
agar sinar dapat merata ke seluruh tubuh.
2. Kedua mata ditutup dengan penutup yang tidak tembus cahaya. Dapat
dengan kain kasa yang dilipat lipat dan dibalut. Sebelumnya katupkan
dahulu kelopak matanya. (untuk mencegah kerusakan retina)
3. Posisi bayi sebaiknya diubah ubah, telentang, tengkurap, setiap 6 jam bila
mungkin, agar sinar merata.
4. Pertahankan suhu bayi agar selalu 36,5-37 C, dan observasi suhu tiap 4- 6
jam sekali. Jika terjadi kenaikan suhu matikan sebentar lampunya dan bayi
diberikan banyak minum. Setelah 1 jam kontrol kembali suhunya. Jika
tetap hubungi dokter.
5. Perhatikan asupan cairan agar tidak terjadi dehidrasi dan meningkatkan
suhu tubuh bayi.
6. Pada waktu memberi bayi minum, dikeluarkan, dipangku, penutup mata
dibuka. Perhatikan apakah terjadi iritasi atau tidak.
7. Kadar bilirubin diperiksa setiap 8 jam setelah pemberian terapi 24 jam
8. Bila kadar bilirubin telah turun menjadi 7,5 mg % atau kurang, terapi
dihentikan walaupun belum 100 jam.
9. Jika setelah terapi selama 100 jam bilirubin tetap tinggi / kadar bilirubin
dalam serum terus naik, coba lihat kembali apakah lampu belum melebihi
500 jam digunakan. Selanjutnya hubungi dokter. Mungkin perlu transfusi
tukar.
10. Pada kasus ikterus karena hemolisis, kadar Hb diperiksa tiap hari.

20
B. Komplikasi terapi sinar :

1. Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan mengakibatkan


peningkatan insesible water loss.
2. Frekuensi defekasi meningkat sebagai akibat meningkatnya bilirubin
indirek dalam cairan empedu dan meningkatkan peristaltik usus.
3. Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar (berupa
kulit kemerahan) tetapi akan hilang jika terapi selesai.
4. Gangguan retina jika mata tidak ditutup.
5. Kenaikan suhu akibat sinar lampu. Jika hal ini terjadi sebagian sinar lampu
dimatikan terapi diteruskan. Jika suhu naik terus lampu semua dimatikan
sementara, bayi dikompres dingin, dan berikan ektra minum.
6. Komplikasi pada gonad yang menurut dugaan dapat menimbulkan
kelainan ( kemandulan ) tetaapi belum ada bukti.
7. Transfusi tukar.

C. Indikasi untuk melakukan transfusi tukar adalah :

1. kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg %


2. kenaikan kadar bilirubin indirek cepat, yaitu 0,3 – 1 mg % / jam
3. anemia berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
4. bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat kurang 14 mg % dan uji coomb’s
positif.

Tujuan transfusi tukar adalah mengganti eritrosit yang dapat menjadi


hemolisis, membuang natibodi yang menyebabkan hemolisis, menurunkan
kadar bilirubin indirek, dan memperbaiki anemia.

21
2.2 Konsep Dasar Keperawatan

A. Pengkajian
1. Aktivitas/istirahat
Letargi, malas.
2. Sirkulasi
- Mungkin pucat, menandakan anemia.
- Bertempat tinggal di atas ketinggian 5000 ft.
3. Eliminasi
- Bising usus hipoaktif.
- Pasase mekonium mungkin lambat.
- Feses mungkin lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin.
- Urin gelap pekat; hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
4. Makanan/cairan
- Riwayat pelambatan/makan oral buruk, lebih mungkin disusui
daripada menyusu botol.
- Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar.
5. Neurosensori
- Sefalhematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang
parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran/kelahiran
ekstraksi vakum.
- Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin ada
dengan inkompatibilitas Rh berat.
- Kehilangan refleks Moro mungkin terlihat.
- Opistotonus dengan kekakuan lengkung punggung, fontanel menonjol,
menangis lirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
6. Pernapasan
- Riwayat asfiksia.

22
- Krekels, mukus bercak merah muda (edema pleural, hemoragi
pulmonal).
7. Keamanan
- Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus.
- Dapat mengalami ekimosis berlebihan, petekie, perdarahan
intrakranial.
- Dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah dan berlanjut pada
bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
sebagai efek samping fototerapi.
8. Seksualitas
- Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi dengan
retardasi pertumbuhan intrauterus (IUGR), atau bayi besar usia gestasi
(LGA), seperti bayi dengan ibu diabetes.
- Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stres dingin, asfiksia,
hipoksia, asidosis, hipoglikemia, hipoproteinemia.
- Terjadi lebih sering pada pria daripada bayi wanita.

B. Diagnosis Keperawatan
1. Cedera, risiko tinggi terhadap keterlibatan sistem saraf pusat berhubungan
dengan prematuritas, penyakit hemolitik, asfiksia, asidosis,
hipoproteinemia, dan hipoglikemia.
2. Cedera, risiko tinggi terhadap efek samping tindakan fototerapi
berhubungan dengansifat fisik dari intervensi terapeutik dan efek
mekanisme regulasi tubuh.
3. Cedera, risiko tinggi terhadap komplikasi dari transfusi tukar berhubungan
dengan prosedur invasif, profil darah abnormal, ketidakseimbangan kimia.
4. Kurang pengetahuan [kebutuhan belajar], mengenai kondisi, prognosis,
dan kebutuhan tindakan berhubungan dengan kurang pemajanan,
kesalahan interpretasi, tidak mengenal sumber informasi dibuktikan
dengan pernyataan masalah/kesalahan konsep, meminta informasi,
ketidaktepatan mengikuti instruksi.

23
C. Intervensi
1. Cedera, risiko tinggi terhadap keterlibatan sistem saraf pusat berhubungan
dengan prematuritas, penyakit hemolitik, asfiksia, asidosis,
hipoproteinemia, dan hipoglikemia.
Kriteria hasil :
- Menunjukan kadar bilirubin indirek di bawah 12 mg/dl pada bayi
cukup bulan pada usia 3 hari.
- Resolusi ikterik pada akhir minggu pertama kehidupan
- Bebas dari keterlibatan SSP

TINDAKAN / INTERVENSI RASIONAL


Mandiri
1. Perhatikan kelompok dan golongan - Inkompatibilitas ABO mempengaruhi
darah ibu / bayi 20% dari semua kehamilan dan paling
umum terjadi pada ibu dengan golongan
darah O, yang antibodinya anti – A dan
anti – B melewati sirkulasi janin,
menyebabkan aglutinasi dan hemolisis
SDM. Serupa dengan itu, bila ibu Rh –
negative sebelumnya telah disensitisasi
oleh antigen Rh – positif, antibody ibu
melewati plasenta dan bergabung pada
SDM janin, menyebabkan hemolisis
lambat atau segera.

2. Tinjau catatan intrapartum terhadap - Kondisi klinis tertentu dapat


faktor risiko yang khusus, seperti menyebabkan pembalikan barier darah

24
berat badan lahir rendah (BBLR) – otak, memungkinkan ikatan bilirubin
atau IUGR, prematuritas, proses terpisah pada tingkat membran sel atau
metabolic abnormal, cedera dalam sel itu sendiri, meningkatkan
vascular, sirkulasi abnormal, sepsis, risiko terhadap keterlibatan SSP.
atau polisitemia.
- Resorpsi darah yang terjebak pada
3. Perhatikan penggunaan ekstrator jaringan kulit kepala janin dan
vakum untuk kelahiran. Kaji bayi hemolisis yang berlebihan dapat
terhadap adanya sefalohematoma meningkatkan jumlah bilirubin yang
dan ekimosis atau petekie yang dilepaskan dan menyebabkan ikterik.
berlebihan.
- Asfiksia dan asidosis menurunkan
4. Tinjau ulang kondisi bayi pada afinitas bilirubin terhadap albumin.
kelahiran, perhatikan kebutuhan
terhadap resusitasi atau petunjuk
adanya ekimosis atau petekie yang
berlebihan, stress dingin, asfiksia,
atau asidosis.
- Stress dingin berpotensi melepaskan
5. Pertahankan bayi tetap hangat dan asam lemak, yang bersaing pada sisi
kering; pantau kulit dan suhu inti ikatan pada albumin, sehingga
dengan sering. meningkatkan kadar bilirubin yang
bersirkulasi dengan bebas (tidak
berikatan).

- Keberadaan flora usus yang sesuai


6. Mulai pemberian makan oral awal untuk pengurangan bilirubin terhadap
dalam 4 sampai 6 jam setelah urobilinogen; turunkan sirkulasi
kelahiran, khususnya bila bayi enterohepatik bilirubin (melintasi hepar
diberi ASI. Kaji bayi terhadap tanda dengan duktus venosus menetap); dan
– tanda hipoglikemia. Dapatkan menurunkan resorpsi bilirubin dari usus

25
kadar Dextrostix, sesuai indikasi. dengan meningkatkan pasase
mekonium. Hipoglikemia memerlukan
penggunaan simpanan lemak untuk
asam lemak pelepas energy, yang
bersaing dengan bilirubin untuk bagian
ikatan pada albumin.

7. Evaluasi tingkat nutrisi ibu dan - Hipoproteinemia pada bayi baru lahir
prenatal; perhatikan kemungkinan dapat mengakibatkan ikterik. Satu gram
hipoproteinemia neonates, albumin membawa 16 mg bilirubin
khususnya pada bayi praterm. tidak terikat (indirek), yang dapat
melewati barier darah – otak.

8. Observasi bayi dalam sinar - Mendeteksi bukti / derajat ikterik.


alamiah, perhatikan sclera dan Penampilan klinis dari ikterik jelas pada
mukosa oral, kulit menguning kadar bilirubin lebih besar dari 7 – 8
segera setelah pemutihan, dan mg/dl pada bayi cukup bulan. Perkiraan
bagian tubuh tertentu terlibat. Kaji derajat ikterik adalah sebagai berikut,
mukosa oral, bagian posterior dari dengan ikterik yang dimulai dari kepala
palatum keras, dan kantung ke jari kaki, 4 – 8 mg/dl ; batang tubuh
konjungtiva pada bayi baru lahir 5 – 12 mg/dl; lipat paha, 8 – 16 mg/dl;
yang berkulit gelap. lengan / kaki, 11 – 18 mg/dl; dan tangan
/ kaki, 15 – 20 mg/dl. Pigmen dasar
kuning mungkin normal pada bayi
berkulit gelap.

9. Perhatikan usia bayi pada awitan - Ikterik fisiologis biasanya tampak


ikterik; bedakan tipe ikterik (mis, antara hari pertama dan kedua dari
fisiologis, akibat ASI, atau kehidupan, seperti kelebihan SDM yang

26
patologis) diperlukan untuk mempertahankan
oksigenisasi adekuat pada janin tidak
lagi diperlukan oleh bayi baru lahir dan
dihemolisis, sehingga melepaskan
bilirubin, produk pemecahan akhir dari
heme. Ikterik karena ASI biasanya
tampak antara hari keempat dan keenam
kehidupan, mempengaruhi hanya 1% -
2% bayi menyusu. ASI dari banyak
wanita dianggap mengandung enzim
(pregnanidiol) yang menghambat
glukoronil transferase 9enzim hepar
yang berkonjugasi dengan bilirubin),
atau mengandung beberapa kali
konsentrasi ASI normal dari asam
lemak bebas tertentu, yang juga
dianggap menghambat konjugasi
bilirubin. Ikterik patologis tampak
dalam 24 jam pertama kehidupan dan
lebih mungkin menimbulkan
perkembangan kernikterus /
ensefalopati bilirubin.

10. Gunakan meter ikterik - Memberikan skrining noninvasive


transkutaneus terhadap ikterik, menghitung warna
kulit dalam hubungannya dengan
bilirubin serum total.

11. Kaji bayi terhadap kemajuan tanda - Bilirubin tidak terkonjugasi yang

27
– tanda dan perubahan perilaku ; berlebihan (dihubungkan dengan ikterik
Tahap I meliputi neurodepresan patologis) mempunyai afinitas terhadap
(mis, letargi, hipotonia, atau jaringan ekstravaskular, meliputi
penurunan / tadak adanya reflex). ganglia basal jaringan otak. Perubahan
Tahap II meliputi perilaku berhubungan dengan
neurohiperefleksia (mis, kedutan, kernikterus biasanya terjadi antara hari
kacau mental, opistotonus, atau ke – 3 dan ke – 10 kehidupan dan jarang
demam). Tahap III ditandai dengan terjadi sebelum 36 jam kehidupan.
adanya manifestasi klinis. Tahap IV
meliputi gejala sisa seperti palsi
serebral atau retardasi mental.

12. Evaluasi bayi terhadap pucat, - Tanda – tanda ini mungkin


edema atau hepatomegali. berhubungan dengan hidrops fetalis,
inkompatibilitas Rh, dan pada hemolisis
uterus SDM janin.
13. Kolaborasi

Pantau pemeriksaan laboratorium,


sesuai indikasi.

a. Bilirubin direk dan indirek. - Bilirubin tampak dalam dua bentuk;


bilirubin direk, yang dikonjugasi oleh
enzim hepar glukoronil transferase, dan
bilirubin indirek, yang dikonjugasi dan
tampak dalam darah atau terikat pada
albumin. Bayi potensial terhadap
kernikterus diprediksi paling baik
melalui peningkatan bilirubin indirek.
Peningkatan kadar bilirubin indirek 18 –
20 mg/dl pada bayi cukup bulan, atau

28
lebih besar dari 13 – 15 mg/dl pada bayi
praterm atau bayi sakit, adalah
bermakna (Catatan: Bayi stress atau
praterm rentan pada deposisi pigmen
empedu dalam jaringan otak pada kadar
sangat rendah daripada bayi cukup
bulan yang tidak mengalami stress).

b. Tes Coombs darah tali pusat - Hasil positif dari tes Coombs indirek
direk / indirek. menandakan adanya antibodi (Rh-
positif atau anti-A atau anti-B) pada
adarah ibu dan bayi baru lahir; hasil
positif tes Coombs indirek menandakan
adanya sensitisasi (Rh-positif, anti-A
atau anti-B) SDM pada neonatus.

c. Kekuatan kombinasi - Penurunan konsisten dengan


karbondioksida (CO2) hemolisis.

d. Jumlah retikulosit dan smear - Hemolisis berlebihan menyebabkan


perifer jumlah retikulosit meningkat. Smear
mengidentifikasi SDM abnormal atau
imatur.

e. Hb / Ht - Peningkatan kadar Hb/Ht (Hb lebih


besar daripada 22 g/dl; Ht lebih besar
dari 65%) menandakan polisitemia,
kemungkinan disebabkan oleh
pelambatan pengkleman tali pusat,
transfuse maternal – ibu, transfuse

29
kembaran – kembaran, ibu diabetes,
atau stress intrauterus kronis dan
hipoksia, seperti terlihat pada bayi BLR
atau bayi dengan penurunan sirkulasi
pada senta. Hemolisis kelebihan SDM
menyebabkan peningkatan kadar
bilirubin dengan 1 g Hb menghasilkan
35 mg bilirubin. Kadar Hb rendah (14
mg/dl) mungkin dihubungkan dengan
hidrops fetalis atau dengan
inkompatibilitas Rh yang terjadi dalam
uterus serta menyebabkan hemolisis,
edema, dan pucat.

f. Protein serum total - Kadar rendah protein serum (kurang


dari 3,0 g/dl) menandakan penurunan
kapasitas ikatan terhadap bilirubin.

14. Hitung kapasitas ikatan plasma - Membantu dalam menentukan risiko


bilirubin – albumin kernikterus dan kebutuhan tindakan.
Bila nilai bilirubin total dibagi dengan
kadar protein total serum kurang dari
3,7 bahaya kernikterus sangat rendah.
Namun, risiko cedera tergantung pada
derajat prematuritas, adanya hipoksia
atau asidosis, dan aturan obat (mis.
Sulfonamide, kloramfenikol).

15. Mulai fototerapi per protokol, - Menyebabkan foto-oksidasi bilirubin


dengan menggunakan bola lampu pada jaringan subkutan, sehingga
fluoresen yang di tempatkan di atas meningkatkan kemampuan larut air

30
bayi atau bile blanket (kecuali untuk bilirubin, yang memungkinkan ekskresi
bayi baru lahir dengan penyakit cepat dari bilirubin dalam feses dan
Rh). (Rujuk pada DK: cedera, risiko urine. Kecepatan hemolisis dalam
tinggi terhadap efek samping penyakit Rh biasanya melebihi
tindakan fototerapi; cedera, resiko kecepatan reduksi bilirubin yag
tinggi terhadap komplikasi tranfusi berhubungan dengan fototerapi,
tukar). sehingga tranfusi satu-satunya tindakan
yang tepat

16. Hentikan menyusui ASI selama - Pendapat bervariasi apakah


24-48 jam, sesuai indikasi. Bantu menghentikan menyususi ASI perlu bila
ibu sesuai kebutuhan dengan terjadi ikterus. Namun, mencerna
pemompa payudara dan memulai formula meningkatkan motilitas
lagi menyusui. gastrointestinal dan ekskresi feses dan
pigmen empedu, dan kadar bilirubin
serum mulai turun dalam 48 jam setelah
penghentian menyusui.

17. Berikan agens induksi enzim - Merangsang enzim hepatik untuk


(fenobarbital, etanol) bila di meningkatkan bersihan bilirubin
butuhkan.

18. Bantu dengan persiapan dan - Tranfusi tukar perlu dalam kasus
pemberian tanfusi tukar. Gunakan anemia hemolitik berat, yang biasanya
golongan darah yang sama dengan berkenaan dengan inkompatibilitas Rh,
bayi, tetapi darah Rh negative atau untuk menghilangkan SDM tersentisasi
golongan O negative, bila hasil tes yang akan segera melisis; untuk
Coombs direk pada serum tali pusat menghilangkan bilirubin serum; untuk

31
lebih besar dari 3,5 mg/dl pada memberikan albumin bebas-bilirubin
minggu pertama kehidupan, kadar untuk meningkatkan bagian ikatan
bilirubin serum yang tidak untuk bilirubin; dan untuk mengatasi
terkonjugasi lebih besar dari 20 anemia dengan memberikan SDM yang
mg/dl pada 48 jam pertama tidak rentan terhadap antibodi ibu.
kehidupan, atau Hb lebih rendah
dari 12 g/dl pada kelahiran bayi
dengan hidrops fetalis.(rujuk pada
DK: cedera, resiko tinggi terhadap
komplikasi tranfusi tukar).

2. Cedera, risiko tinggi terhadap efek samping tindakan fototerapi


berhubungan dengansifat fisik dari intervensi terapeutik dan efek
mekanisme regulasi tubuh.
Kriteria hasil :
BBL akan :
- mempertahankan suhu tubuh dan keseimbangan cairan dalam batas
normal.
- Bebas dari cedera kulit/ jaringan.
- Mendemonstrasika pola interaksi yang di harapkan.
- Menunjukan penurunan kadar bilirubin serum.

TINDAKAN/INTERVENSI RASIONAL
1. Perhatikan adanya/ perkembangan - Fototerapi dikontraindikasikan pada
bilier atau obstruksi usus. kondisi ini karena fotoisomer bilirubin
yang di produksi dalam kulit dan
jaringan subkutan dengan pemajanan
dalam terapi sinar tidak dapat siap
diekskresikan.

2. Ukur kuantitas fotoenergi bola lampu - Intensitas sinar menembus permukaan

32
fluoresen (sinar putih atau biru) kulit dari spectrum biru (sinar biru)
dengan menggunakan fotometer. menentukan seberapa dekat bayi di
tempatkan terhadap sinar. Sinar biru
dan biru khusus di pertimbangkan lebih
efektif dari pada sinar putih dalam
meningkatkan pemecahan bilirubin,
tetapi hal ini membuat kesulitan dalam
mengevaluasi bayi baru lahir terhadap
sianosis.

3. Dokumentasikan tipe lampu - Emisi sinar dapat bekurang dengan


fluoresen, jumlah jam total sejak bola jalannya waktu. Bayi harus di
lampu di tempatkan, dan pengukuran tempatkan kira-kira 18-20 inci dari
jarak antara permukaan lampu dan bayi. sumber lampu untuk keuntungan
maksimal. (catatan: penggunaan
selimut fiberoptik yang di sambungkan
ke illuminator [sumber sinar]
memungkinkan bayi “terbungkus”
dalam sinar terpeutik tanpa resiko pada
kornea. Selain itu, bayi dapat di
gendong dan di beri makan tanpa
perhentian terapi).

4. Berikan tameng untuk menutup mata; - Mencegah kemungkinan kerusakan


inspeksi mata setiap 2 jam bila retina dan konjungtiva dari sinar
tameng di lepaskan untuk pemberian intensitas tinggi. Pemasangan yang
makan. Sering pantau posisi tameng. tidak tepat atau pergeseran tameng
dapat menyebabkan iritasi, abrasi
kornea, dan konjungtivitis, dan
penurunan pernafasan oleh obstruksi

33
pasase nasal.

5. Tutup testis dan penis bayi pria - Mencegah kemungkinan kerusakan


pada testis dari panas.

6. Pasang lapisan Plexigas diantara bayi - Menyaring radiasi sinar ultraviolet


dan sinar (panjang gelombang lebih sedikit dari
380 nm) dan melindungi bayi bila bola
lampu pecah.

7. Pantau kulit neonatus dan suhu inti - Fluktuasi pada suhu tubuh dapat
setiap 2 jam atau lebih sering sampai terjadi sebagai respons terhadap
stabil (misal, suhu aksila 97,8ºF, suhu pemajanan sinar, radiasi, dan konveksi.
rektal 98,9ºF). Aur suhu
inkubator/isolette dengan tepat.

8. Ubah posisi bayi setiap 2 jam. - Memungkinkan pemajanan seimbang


dari permukaan kulit terhadap sinar
fluoresen, mencegah pemajanan
berlebihan dari bagian tubuh individu,
dan membatasi area tertekan.

9. Pantau masukan dan haluaran cairan; - Peningkatan kehilangan air melalui


timbang berat badan bayi dua kali feses dan evaporasi dapat
sehari. Perhatikan tanda-tanda menyebabkan dehidrasi. (Catatan: bayi
dehidrasi (misal, penurunan haluaran dapat tidur lebih lama dalam
urin, fontanel tertekan, kulit hangat hubungannya dengan fototerapi,
atau kering dengan turgor buruk, dan meningkatkan risikko dehidrasi bila
mata cekung). Tingkatkan masukan jadwal pemberian makan yang sering
cairan per oral sedikitnya 25%. tidak dipertahankan).

34
11. Perhatikan warna dan frekuensi - Defekasi encer, sering dan kehijauan
defekasi dan urin. serta urin kehijauan menandakan
keefektifan fototerapi dengan
pemecahan dan ekskresi bilirubin.

12. Dengan hati-hati cuci area perianal - Membantu mencegah iritasi dan
setelah setiap defekasi; inspeksi kulit ekskoriasi dari defekasi yang sering
terhadap kemungkinan iritasi atau atau encer.
kerusakan.

13 Bawa bayi pada orang tua untuk - Membantu mengembangkan proses


pemberian makan. Anjurkan kedekatan, yang mungkin lambat
menggosok, menimang, kontak mata, karena perpisahan yang diperlukan
dan bicara pada bayi selama untuk fototerapi. Stimulasi visual,
pemberian makan. Anjurkan orangtua taktil, dan auditorius membantu bayi
untuk berinteraksi dengan bayi dalam mengatasi penyimpangan sensori.
ruang perawatan diantara pemberian Fototerapi intermiten tidak secara
makan. negatif mempengaruhi proses foto-
oksidan.

14. Perhatikan perubahan perilaku atau - Perubahan ini dapat bermakna


tanda-tanda penyimpangan kondisi deposisi pigmen empedu pada basal
(mis, letargi, hipotonia, hipertonisitas, ganglia dan terjadinya kernikterus.
atau tanda-tanda eksrapiramidal).

15. Evaluasi penampilan kulit dan urin, - Efek samping tidak umum dari
perhatikan warna hitam kecoklatan. fototerapi meliputi perubahan pigmen
menyolok (sindrom bayi bronze), yang
dapat terjadi bila kadar bilirubin
terkonjugasi meningkat. Perubahan

35
dalam warna kulit dapat berakhir
selama 2-4 bulan, tetapi tidak
berkenaan dengan gejala sisa
berbahaya.
16. Kolaborasi

Pantau pemeriksaan labotarium sesuai


indikasi:
a. Kadar bilirubin setiap 12 jam - Penurunan pada kadar bilirubin
menandakan keefektifan fototerapi;
peningkatan yang kontinu menandakan
hemolisis yang kontinu dan dapat
menandakan kebutuhan terhadap
transfusi tukar. (Catatan: Sampel darah
yang diambil untuk penentuan bilirubin
harus dilindungi dari sinar untuk
mencegah foto-oksidan lanjut

b. Kadar Hb - Hemolisis lanjut dimanifestasikan


oleh penurunan kontinu pada kadar Hb.

c. Trombosit dan sel darah putih - Trombositopenia selama fototerapi


(SDP) telah dilaporkan pada beberapa bayi.
Penurunan SDP menunjukkan
kemungkinan efek pada limfosit
perifer.

36
3. Cedera, risiko tinggi terhadap komplikasi dari transfusi tukar berhubungan
dengan prosedur invasif, profil darah abnormal, ketidakseimbangan kimia.
Kriteria hasil :
Bayi baru lahir akan:
- Menyelesaikan transfusi tukar tanpa komplikasi.
- Menunjukan penurunan kadar bilirubin serum.

TINDAKAN/INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
1. Perhatikan kondisi tali pusat bayi - Pencucian mungkin perlu untuk
sebelum transfusi bila vena melunakkan tali pusat dan vena
umbilikal digunakan. Bila tali umbilikus sebelum transfusi untuk akses
pusat kering, berikan pencucian I.V. dan memudahkan pasase kateter
saline selama 30-60 menit sebelum umbilikal.
prosedur.

2. Pertahankan puasa selama 4 jam - Menurunkan risiko kemungkinan


sebelum prosedur, atau aspirat isi regurgitasi dan aspirasi selama
lambung. prosedur.

3. Jamin ketersediaan alat resusitatif. - Untuk memberikan dukungan segera


bila perlu.

4. Pertahankan suhu tubuh sebelum, - Membantu mencegah hipotermia dan


selama, dan setelah prosedur. vasospasme, menurunkan risiko fibrilasi
Tempatkan bayi dibawah penyebar ventrikel, dan menurunkan viskositas
hangat deengan servomekanisme. darah.
Hangatkan darah sebelum pengifusan
dengan menepatkan didalam

37
inkubator, hangatkan baskom birisi
air, atau penghangat darah.

5. Pastikan golongan darah serta faktor - Transfusi tukar paling sering


Rh bayi dan ibu. Perhatikan golongan dihubungkan dengan masalah
darah dan faktor Rh darah untuk inkompatibilitas Rh. Dengan
ditukar. (Darah tukar akan sama menggunakan darah Rh0 (D)-positif
golongannya dengan darah bayi, akan hanya meningkatkan hemolisis dan
tetapi darah Rh-negatif atau golongan kadar bilirubin, karena antibodi pada
O-negatif yang telah dicocokan sirkulasi bayi akan merusak SDM yang
silang dengan darah ibu sebelumnya). baru.

6. Jamin kesegaran darah (tidak lebih - Darah yang lama lebih mungkin
dari 2 hari usianya). Darah yang mengalami hemolisis, karenanya
diberi heparin lebih disukai. meningkatkan kadar bilirubin. Darah
yang diberi heparin selalu baru, tetapi
harus dibuang bila tidak digunakan
dalam 24 jam.

7. Pantau tekanan vena, nadi, warna dan - Membuat nilai data dasar,
frekuensi pernapasan/kemudahan mengidentifikasi potensial kondisi tidak
sebelum, selama transfusi. Lakukan stabil (mis; apnea atau disritmia atau
penghisapan bila diperlukan. henti jantung), dan mempertahankan
jalan napas. (Catatan : Bradikardia
dapat terjadi bila kalsium diinjeksikan
terlalu cepat).

8. Dengan hati-hati dokumentasikan - Membantu mencegah kesalahan dalam


kejadian selama transfusi, pencatatan penggantian cairan. Jumlah darah yang
jumlah daraah yang diambil dan ditukar kira-kira 170 ml/kg berat badan.
diinjeksikan (biasanya 7-20 ml Volume ganda transfusi menjamin

38
sekaligus). bahwa antara 75% dan 90% sirkulasi
SDM digantikan.

9. Pantau tanda-tanda - Hipokalsemia dan hiperkalemia dapat


ketidakseimbangan elektrolit (mis; terjadi selama dan setelah transfusi
gugup, aktivitas kejang, dan apnea; tukar.
hiperrefleksia; bradikardia; atau diare).

10. Kaji bayi terhadap perdarahan - Penginfusan darah yang diberi


berlebihan dari lokasi I.V. setelah heparin(atau darah sitrat tanpa
transfusi. penggantian kalsium) mengubah
koagulasi selama 4 sampai 6 jam setelah
transfusi tukar dan dapat mengakibatkan
perdarahan.

11. Kolaborasi
Pantau pemeriksaan laboratorium
sesuai indikasi:

a. Kadar Hb atau Ht sebelum dan - Bila Ht kurang dari 40% sebelum


setelah transfusi. transfusi, pertukaran sebagian dengan
SDM kemasan dapat mendahului
pertukaran penuh. Penurunan kadar
setelah transfusi menandakan kebutuhan
terhadap transfusi kedua.

b. Kadar bilirubin serum segera - Kadar bilirubin dapat menurun sampai


setelah prosedur, kemudian setengah segera setelah prosedur, tetapi
setiap 4 sampai 8 jam. dapat meningkat dengan cepat
setelahnya, memerlukan pengulangan
transfusi.

39
c. Protein serum total. - Mengalihkan kadar dengan 3,7
menetukan derajat peningkatan bilirubin
yang memerlukan transfusi tukar

d. Kalsium dan kalium serum. - Darah donor mengandung sitrat


sebagai anti koagulan yang mengikat
kalsium, sehinnga menurunkan kadar
kalsium serum. Selainitu, bila darah
lebih dari 2 hari, destruksi SDM
melepaskan kalium, menciptakan resiko
hiperkalemia dan henti jantung.

e. Glukosa - Kadar gukosa rendah mungkin


dihubungkan dengan glikolisis
anaerobik kontinu dalam SDM donor.
Tindakan segera perlu untuk mencegah
efek buruk/kerusakan SSP.

f. Kadar pH serum - pH serum dari darah donor secara khas


6,8 atau kurrang. Asidosis dapat terjadi
bila darah segar tidak digunakan dan
hepar bayi tidak dapat
memetabolismesitrat yang digunakan
sebagai antikogulan, atau bila darah
donor melanjutkan glikolisis anaerobik,
daengan produksi asam metabolit.

g. Berikan albumin sebelum - Meskipun masih kontroversial,


transfusi bila diindikasikan. pemberian albumin dapat meningkatkan
ketrsediaan albumin untuk berikatan

40
denngan bilirubin, karenanya
menurunkan kadar bilirubin serum
sirkulasi yang bebas. Albumin sintesis
tidak dianggap meningkatkan
ketersediaan bagian ikatan.

h. Berikan obat-obatan, sesuai Dari 2 sampai 4 ml kalsium glukonat


indikasi: dapat diberikan setelah setiap 100 ml
1. Kalsium glukonat 5 %. pengifusan darah untuk memperbaiki
hipokalsemia dan meminimalkan
kemungkinan iritabilitas jantung.
(catatan: beberapa kontroversi ada
dalam hal tujuan dan keefektifan praktik
ini.)

2. Natrium bikarbonat. Memperbaiki asidosis.

3. Protamin sulfat. Mengimbangi efek-efek antikoagulan


dari darah yang di beri heparin.

4. Kurang pengetahuan [kebutuhan belajar], mengenai kondisi, prognosis,


dan kebutuhan tindakan berhubungan dengan kurang pemajanan,
kesalahan interpretasi, tidak mengenal sumber informasi dibuktikan
dengan pernyataan masalah/kesalahan konsep, meminta informasi,
ketidaktepatan mengikuti instruksi.
Kriteria hasil:
- Mengungkapkan pemahaman tentang penyebab, tindakan, dan
kemungkinan hasil hiperbilirubinemia.
- Mendemonstrasikan perawatan bayi yang tepat.

41
TINDAKAN/INTERVENSI RASIONAL
Mandiri :
1. Berikan informasi tentang tipe-tipe - Memperbaiki kesalahan konsep,
ikterik dan faktor-faktor meningkatkan pemahaman, dan
patofisiologis dan implikasi masa menurunkan rasa takut dan perasaan
datang dari hiperbilirubinemia. barsalah. Ikterik neonatus mungkin
Anjurkan untuk mengajukan fisiologis, akibat ASI, atau patologis,
pertanyaan; tegaskan atau perjelas dan protokol perawatan tergantung
informasi sesuai kebutuhan. pada penyebabnyadan faktor pemberat

2. Tinjau ulang maksud dari mengkaji - Memungkinkan orangtua mengenali


bayi terhadap peningkatan kadar tanda-tanda peningkatan kadar bilirubin
bilirubin (mis, mengobservasi dan mencari evaluasi medis tepat
pemucatan kulit di atas tonjolan waktu.
tulang atau perubahan perilaku),
khususnya bila bayi dipulangkan
dini. Berikan nomor telepon darurat
24 jam dan nama orang yang akan
dihubungi kepada orang tua, dan
tekankan pentingnya melaporkan
peningkatan ikterik.

3. Diskusikan penatalaksanaan di - Pemahaman orangtua membantu


rumah dari ikterik fisiologis ringan mengembangkan kerja sama mereka
atau sedang, termasuk peningkatan bila bayi dipulangkan. Informasi
pemberian makan, pemajanan membantu orangtua melaksanakan
langsung pada sinar matahari, dan penatalaksanaan dengan aman dan tepat
program tindak lanjut tes serum. dan mengenali pentingnya semua aspek
program penatalaksanaan.

42
4. Berikan informasi tentang - Membantu ibu untuk
mempertahankan suplai ASI melalui mempertahankan pemahaman
penggunaan pompa payudara dan pentingnya terapi. Mempertahankan
tentang kembali menyusui ASI bila supaya orangtua tetap mendapatkan
ikterik memerlukan pemutusan informasi tentang keadaan bayi.
menyusui. Meningkatkan keputusan berdasarkan
informasi.

5. Diskusikan kebutuhan terhadap imun - Pada klien RH0-negatif tanpa antibodi


globulin Rh (Rh-Ig) dalam 72 jam Rh, yang telah memberikan kelahiran
setelah kelahiran untuk ibu yang Rh- pada bayi Rh0 (Du)-positif. RH-Ig dapat
negatif dengan bayi/janin Rh-positif menurunkan insiden isoimunisasi
dan yang belum disensitisasi. maternal pada ibu nonsensitisasi dan
dapat membantu mencegah
eritoblastosis fetalispada kehamilan
selanjutnya.

6. Kaji situasi keluarga dan sisitem - Fototerapi di rumah dianjurkan hanya


pendukung. Berikan orang tua untuk bayi cukup bulan setelah 48 jam
penjelasan tertulis yang tepat tentang pertama kehidupan, di mana kadar
fototerapi di rumah, daftarkan teknik bilirubin serum antara 14 dan 18 mg/dl
dan potensial masalah. tanpa peningkatan konsentrasi bilirubin
reaksi langsung.

7. Berikan rujukan yang tepat untuk - Kurang ketersediaan sistem


program fototerapi di rumah bila pendukung dan pendidikan memerlukan
perlu. penggunaan perawat berkunjung untuk
memantau program foto terapi di
rumah.

43
8. Buat pengaturan yang tepat untuk tes - Tindakan dihentikan bila konsentrasi
tindak lanjut dari bilirubin serum bilirubin serum turun di bawah 14
pada fasilitas laboratorium. mg/dl, tetapi kadar serum harus di
periksa ulang dalam 12-24 jam untuk
mendeteksi kemungkinan
hiperbilirubinemia berbalik.

9. Diskusikan kemungkinan efek-efek - Kerusakan neurologis dihubungkan


jangka panjang dari dengan kernikterus meliputi kematian,
hiperbilirubinnemia dan kebutuhan palsi serebral, reterdasi mental,
terhadap pengkajian lanjut dan kesulitan sensori, pelambatan bicara,
intervensi dini. koordinasi buruk, kesulitan, kesulitan
pembelajaran, dan hipoplasia email atau
warna gigi hijau kekuningan.

D. Implementasi

Implementasi yang dilakukan berdasarkan intervensi keperawatan yang


telah disusun.

E. Evaluasi
a. Cedera terhadap keterlibatan sistem saraf pusat tidak terjadi.
b. Cedera terhadap efek samping tindakan fototerapi dapat dicegah.
c. Cedera terhadap komplikasi dari transfusi tukar tidak terjadi.
d. Pengetahuan klien bertambah.

44
2.3 Patoflow Diagram Teori

45
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hiperbilirubin merupakan salah satu fenomena klinis tersering
ditemukan pada bayi baru lahir, dapat disebabkan oleh proses fisiologi, atau
patologis dan atau kombinasi keduanya.
Adapun konsep dasar keperawatan dan konsep dasar medis untuk penyakit
hiperbilirubin, konsep dasar keperawatan antara lain: Pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi, implementasi, dn evaluasi. Kemudian konsep dasar
medik antara lain : pengertian,
anatomi fisiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, penatalaksanaan
medis, pemeriksaan diagnostik

3.2 Saran
Hasil asuhan keperawatan ini dapat digunakan sebagai bahan referensi yang
berkaitan dengan asuhan keperawatan Hiperbilirubin sehingga dapat menambah
pengetahuan bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa di fakultas ilmu kesehatan.
Sebagai tambahan informasi dan bahan kepustakaan dalam pemberian asuhan
keperawatan dengan gangguan pencernaan resiko tinggi hiperbilirubin serta
menambah pengetahuan oleh setiap pembaca dan menjadi perhatian tersendiri.

46
DAFTAR PUSTAKA

Kligmen, Robert M, dkk.1999. IlmuKesehatan Anak Nelson.vol 1. Jakarta: EGC


Dongoes, E Marilyn, Moorhouse Mary Frances. 2001. Rencana Keperawatan
Maternal/Bayi Pedoman Untuk Perencanaan Dan Dokumentasi Perawatan
Klien. Edisi 2. Jakarta: EGC
www.academia.edu
(http://jurnalpendidikanbidan.com/arsip/39-mei-2013/113-faktor-faktor-yang-
berpengaruh-terhadap-kejadian-hiperbilirubinemia-pada-neonatus-di-rumah-sakit-
umum-daerah-kota-bandung-periode-april-2010-maret-2011.html)

47

Anda mungkin juga menyukai