Anda di halaman 1dari 43

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II PADA

PASIEN Ny”Y” DENGAN GANGGUAN SISTEM


ENDOKRIN: DIABETES MELITUS di PAVILIUN
YOSEPH I KAMAR 1.1 RS. RK CHARITAS
PALEMBANG

DISUSUN OLEH :

Antonius Ari Wibowo (1001140003)

DOSEN PEMBIMBING

Ns. Honoratus Haris Pastiyanto, S. Kep

UNIVERSITAS KATOLIK MUSI CHARITAS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
PALEMBANG
2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan Asuhan Keperawatan yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Medikal Bedah II Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Endokrin: Diabetes Melitus” tepat pada waktunya.
            Penulisan Asuhan Keperawatan ini merupakan penugasan dari mata kuliah
blok Keperawatan Medikal Bedah II. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
dosen pembimbing kami Ns. Honoratus Haris Pastiyanto, S.Kep yang telah
memberikan sarannya dalam pembuatan Asuhan Keperawatan ini dan teman-teman
yang telah memberikan dukungan dan membantu dalam pembuatan Asuhan
Keperawatan ini.
            Penulis berharap Asuhan Keperawatan ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna memberikan sifat
membangun demi kesempurnaan Asuhan Keperawatan ini. Penulis menyadari bahwa
Asuhan Keperawatan ini masih jauh dari sempurna mengingat penulis masih tahap
belajar dan oleh karna itu mohon maaf apabila masih banyak kesalahan dan
kekurangan di dalam penulisan Asuhan Keperawatan ini.

Palembang,    Mei 2017

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang............................................................................
B. Ruang lingkup............................................................................
C. Tujuan Penulisan........................................................................
D. Metode penulisan.......................................................................
BAB II TINJAUAN TEORI
1. Konsep Dasar Medik.................................................................
a. Pengertian...............................................................................
b. Anatomi Fisiologi...................................................................
c. Klasifikasi...............................................................................
d. Etiologi...................................................................................
e. Manifestasi Klinis ..................................................................
f. Patofisiologi............................................................................
g. Pemeriksaan diagnostik..........................................................
h. Komplikasi..............................................................................
i. Penatalaksanaan medis...........................................................
2. Konsep Dasar Keperawatan.....................................................
1. Pengkajian.............................................................................
2. Diagnosa Keperawatan..........................................................
3. Intervensi...............................................................................
4. Implementasi.........................................................................
5. Evaluasi.................................................................................
6. Discharge planning................................................................
7. Patoflow Diagram Teori........................................................
BAB IV TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian ..................................................................................
B. Diagnosa......................................................................................
C. Intervensi.....................................................................................
D. Implementasi...............................................................................
E. Evaluasi........................................................................................
F. Patoflow Diagram kasus..............................................................
BAB III PEMBAHASAN
A. Pengkajian..................................................................................
B. Diagnosa Keperawatan..............................................................
C. Intervensi....................................................................................
D. Implementasi..............................................................................
E. Evaluasi......................................................................................
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................
B. Saran............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit kadar glukosa di dalam darah
tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara
cukup. Insulin adalah hormon yang dilepaskan oleh pankreas yang bertanggung
jawab dalam mempertahankan kadar gula darah yang normal insulin memasukan
gula ke dalam sel sehingga bisa menghabiskan energi atau disimpan sebagai
cadangan energi (Soegondo S,2005).
Sangat disayangkan bahwa banyak penderita diabetes mellitus yang tidak
menyadari dirinya mengidap penyakit yang lebih sering disebut penyakit gula. Hal
ini mungkin disebabkan minimnya informasi di masyarakat tentang diabetes
terutama tentang gejala-gejalanya. Sebagian besar kasus diabetes adalah diabetes
tipe 2 yang disebabkan oleh faktor keturunan. Diabetes tipe 2 ini sering terjadi
pada orang yang mengalami obesitas akibat gaya hidup yang dijalaninya
(Soegondo S, 2005).
Hal itu dibuktikan dengan banyaknya jumlah penduduk di Indonesia yang
menderita penyakit diabetes mellitus tipe 2 (tidak tergantung insulin) hingga
mencapai kurang lebih 90% hingga 95% pasien (Smeltzer dan Bare, 2001).
Peneliti Departemen Kesehatan menyatakan bahwa di Indonesia menempati urutan
ke empat di dunia setelah India, China, Amerika Serikat dan Indonesia
(Harjosubroto, 2007). Jumlah penderita diabetes mellitus terus meningkat secara
seknifikan, karena dipicu oleh faktor-faktor seperti gaya hidup dan kurang gizi.
Dari data tersebut penyakit ini perlu penanganan dan pengobatan yang tepat dan
sesegera mungkin karena dapat mengakibatkan dampak yang lebih buruk sampai
dengan fatal dan dari data diatas maka penulis tertarik untuk membahas tentang
masalah diabetes melitus dengan judul “Asuhan Keperawatan Medikal Bedah II
pada Gangguan Sistem Endokrin: Diabetes Melitus”
B. Ruang Lingkup
Penulisan Asuhan Keperawatan ini difokuskan dengan mengingat
keterbatasan waktu yang ada pada penulis, maka dalam penulisan makalah ini penulis
membatasi ruang lingkup masalah hanya pada asuhan keperawatan Medikal Bedah II
dengan gangguan sistem endokrin; Diabetes Melitus

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami, dan mengaplikasikan asuhan keperawatan
Medikal Bedah II dengan gangguan sistem endokrin; Diabetes Melitus
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami mengenai Anatomi fisiologi penyakit
gangguan sistem Endokrin: Diebetes Melitus
b. Mahasiswa mampu memahami mengenai Definisi penyakit gangguan
sistem Endokrin: Diabetes Melitus
c. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai Etiologi
penyakit Diabetes Melitus
d. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai Klasifikasi
penyakit Diabetes Melitus
e. Mahasiswa mampu memahami mengenai Patofisiologi penyakit Diabetes
Melitus
f. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai Manifestasi
Klinis penyakit Diabetes Melitus
g. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai Pemeriksaan
Penunjang penyakit Diabetes Melitus
h. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai
Penatalaksanaan medis penyakit Diabetes Melitus.
i. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai Asuhan
keperawatan penyakit Diabetes Melitus
.
D. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan oleh penulis adalah metode deskriptif yaitu
menggambarkan keadaan yang sedang terjadi (Juhari, 1995). Penulis
menggambarkan suatu keadaan yang terjadi pada saat melakukan perawatan pada
pasien Ny”Y” dengan gangguan sistem endokrin; Diabetes Melitus.
Tehnik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara adalah suatu tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
mengadakan tanya jawab dengan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lain
untuk mendapatkan keterangan (Juhari, 1995). Penulis melakukan wawancara
pada pasien, keluarga, perawat, ruangan dan tim kesehatan lain mengenai teori
tentang keadaan pasien dengan ganggan pada sistem endokrin: Diabetes
Melitus.
b. Observasi partisipatif
Observasi partisipatif adalah suatu tehnik pengumpulan data yang dilakukan
dengan mengadakan pengamatan dan melakukan asuhan keperawatan pada
pasien lebih objektif yaitu dengan melihat pasien setelah melakukan tindakan
(Juhari, 1995)
c. Studi Dokumenter
Studi dokumenter adalah suatu tekhnik yang diperoleh dengan mempelajari
buku laporan catatan medis serta hasil pemeriksaan yang ada.
d. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik adalah tehnik pengumpulan data dengan melakukan
pemeriksaan mulai dari inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi untuk
mendapatkan data fisik pasien untuk mendapatkan data fisik pasien secara
keseluruhan (Patricia, A Potter, 1996).
E. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
Bab ini berisi tentang latar belakang, ruang lingkup, tujuan penulisan, metode
penulisan, dan sistematika penulisan
BAB II Tinjauan Pustaka
Bab ini terdiri dari dua sub bab yaitu, konsep dasar medis yang membahas
tentang pengertian, anatomi fisiologi, klasifikasi, etiologi, manifestasi klinis,
patofisiologi, komplikasi, pemeriksaan diagnostik dan penatalaksanaan.
Sedangkan sub bab konsep dasar keperawatan membahas tentang pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, evaluasi, discharge planning dan
patoflow diagram teori.
BAB III Tinjauan Kasus
Bab ini terdiri dari pengkajian keperawatan, analisa data, diagnosa
keperawatan, intervensi, implementasi keperawatan, evaluasi keperawatan dan
patoflow diagram kasus.
BAB IV Pembahasan
Bab ini membandingkan persamaan atau kesenjangan antara apa yang ada di
teori dengan realisasi atau kenyataan yang ada di tempat praktik.
BAB V Penutup
Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran
BAB II
TINJAUAN TEORI

1. Konsep Dasar Medik


A. Pengertian
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai
oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan
Suddarth, 2002).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah
akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).
Diabetes Melitus adalah suatu kelainan metabolisme kronis yang terjadi
karena berbagai penyebab, ditandai oleh konsentrasi glukosa darah melebihi
normal, disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein
yang diakibatkan oleh kelainan sekresi hormon insulin, kelainan kerja insulin atau
kedua-duanya (Depkes RI, 2005).
Diabetes Melitus merupakan suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi
yang merupakan akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin
yang absolut atau relatif gangguan fungsi insulin (WHO, 2005).

B. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi
Pankreas terletak melintang dibagian atas abdomen dibelakang gaster
didalam ruang retroperitoneal. Disebelah kiri ekor pankreas mencapai hilus
limpa diarah kronio – dorsal dan bagian atas kiri kaput pankreas
dihubungkan dengan corpus pankreas oleh leher pankreas yaitu bagian
pankreas yang lebarnya biasanya tidak lebih dari 4 cm, arteri dan vena
mesentrika superior berada dileher pankreas bagian kiri bawah kaput
pankreas ini disebut processus unsinatis pankreas.
Pankreas terdiri dari dua jaringan utama yaitu :
1)      Asinus, yang mengekskresikan pencernaan ke dalam duodenum.
2)      Pulau Langerhans, yang tidak mempunyai alat untuk mengeluarkan
getahnya namun sebaliknya mensekresi insulin dan glukagon langsung
kedalam darah.
Pankreas manusia mempunyai 1 – 2 juta pulau langerhans, setiap
pulau langerhans hanya berdiameter 0,3 mm dan tersusun mengelilingi
pembuluh darah kapiler.
Pulau langerhans mengandung tiga jenis sel utama, yakni sel-alfa, beta
dan delta. Sel beta yang mencakup kira-kira 60 % dari semua sel terletak
terutama ditengah setiap pulau dan mensekresikan insulin. Granula sel B
merupakan bungkusan insulin dalam sitoplasma sel. Tiap bungkusan
bervariasi antara spesies satu dengan yang lain. Dalam sel B , molekul
insulin membentuk polimer yang juga kompleks dengan seng. Perbedaan
dalam bentuk bungkusan ini mungkin karena perbedaan dalam ukuran
polimer atau agregat seng dari insulin. Insulin disintesis di dalam retikulum
endoplasma sel B, kemudian diangkut ke aparatus golgi, tempat ia
dibungkus didalam granula yang diikat membran. Granula ini bergerak ke
dinding sel oleh suatu proses yang tampaknya sel ini yang mengeluarkan
insulin ke daerah luar dengan eksositosis. Kemudian insulin melintasi
membran basalis sel B serta kapiler berdekatan dan endotel fenestrata
kapiler untuk mencapai aliran darah (Ganong, 1995). Sel alfa yang
mencakup kira-kira 25 % dari seluruh sel mensekresikan glukagon. Sel
delta yang merupakan 10 % dari seluruh sel mensekresikan somatostatin
(Pearce, 2000).
Pankreas dibagi menurut bentuknya :
1.      Kepala (kaput) yang paling lebar terletak di kanan rongga abdomen,
masuk lekukan sebelah kiri duodenum yang praktis melingkarinya.
2.      Badan (korpus) menjadi bagian utama terletak dibelakang lambung dan
di depan vertebra lumbalis pertama.
3.      Ekor (kauda) adalah bagian runcing di sebelah kiri sampai menyentuh
pada limpa (lien)
2. Fisiologi
Pankreas disebut sebagai organ rangkap, mempunyai dua fungsi yaitu
sebagai kelenjar eksokrin dan kelenjar endokrin. Kelenjar eksokrin
menghasilkan sekret yang mengandung enzim yang dapat menghidrolisis
protein, lemak, dan karbohidrat; sedangkan endokrin menghasilkan hormon
insulin dan glukagon yang memegang peranan penting pada metabolisme
karbohidrat
Kelenjar pankreas dalam mengatur metabolisme glukosa dalam tubuh
berupa hormon-hormon yang disekresikan oleh sel – sel dipulau
langerhans. Hormon-hormon ini dapat diklasifikasikan sebagai hormon
yang merendahkan kadar glukosa darah yaitu insulin dan hormon yang
dapat meningkatkan glukosa darah yaitu glukagon.
Fisiologi Insulin :
Hubungan yang erat antara berbagai jenis sel dipulau langerhans
menyebabkan timbulnya pengaturan secara langsung sekresi beberapa jenis
hormone lainnya, contohnya insulin menghambat sekresi glukagon,
somatostatin menghambat sekresi glukagon dan insulin.
Pankreas menghasilkan :
a)      Garam NaHCO3 : membuat suasana basa.
b)      Karbohidrase : amilase ubah amilum → maltosa.
c)      Dikarbohidrase : a.maltase ubah maltosa → 2 glukosa.
d)      Sukrase ubah sukrosa → 1 glukosa + 1 fruktosa.
e)      Laktase ubah laktosa → 1 glukosa + 1 galaktosa.
f)       lipase mengubah lipid → asam lemak + gliserol.
g)      enzim entrokinase mengubah tripsinogen → tripsin dan ubah pepton
→ asam amino.
Pulau Langerhans
Kepulauan Langerhans Membentuk organ endokrin yang
menyekresikan insulin, yaitu sebuah homron antidiabetika, yang diberikan
dalam pengobatan diabetes. Insulin ialah sebuah protein yang dapat turut
dicernakan oleh enzim-enzim pencerna protein dan karena itu tidak
diberikan melalui mulut melainkan dengan suntikan subkutan.
Insulin mengendalikan kadar glukosa dan bila digunakan sebagia
pengobatan dalam hal kekurangan seperti pada diabetes, ia memperbaiki
kemampuan sel tubuh untuk mengasorpsi dan menggunakan glukosa dan
lemak.
Pada pankreas paling sedikit terdapat empat peptida dengan aktivitas
hormonal yang disekresikan oleh pulau-pulau (islets) Langerhans. Dua dari
hormon-hormon tersebut, insulin dan glukagon memiliki fungsi penting
dalam pengaturan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Hormon
ketiga, somatostatin berperan dalam pengaturan sekresi sel pulau, dan yang
keempat polipeptida pankreas berperan pada fungsi saluran cerna.
Hormon Insulin
Insulin merupakan protein kecil, terdiri dari dua rantai asam amino
yang satu sama lainnya dihubungkan oleh ikatan disulfida. Bila kedua
rantai asam amino dipisahkan, maka aktivitas fungsional dari insulin akan
hilang. Translasi RNA insulin oleh ribosom yang melekat pada reticulum
endoplasma membentuk preprohormon insulin -- melekat erat pada
reticulum endoplasma -- membentuk proinsulin -- melekat erat pada alat
golgi -- membentuk insulin -- terbungkus granula sekretorik dan sekitar
seperenam lainnya tetap menjadi proinsulin yang tidak mempunyai
aktivitas insulin.
Insulin dalam darah beredar dalam bentuk yang tidak terikat dan
memilki waktu paruh 6 menit. Dalam waktu 10 sampai 15 menit akan
dibersihkan dari sirkulasi. Kecuali sebagian insulin yang berikatan dengan
reseptor yang ada pada sel target, sisa insulin didegradasi oleh enzim
insulinase dalam hati, ginjal, otot, dan dalam jaringan yang lain.
Reseptor insulin merupakan kombinasi dari empat subunit yang saling
berikatan bersama oleh ikatan disulfide, 2 subunit alfa ( terletak seluruhnya
di luar membrane sel ) dan 2 subunit beta ( menembus membrane,
menonjol ke dalam sitoplasma ). Insulin berikatan dengan subunit alfa --
subunit beta mengalami autofosforilasi -- protein kinase -- fosforilasi dari
banyak enzim intraselular lainnya.
Insulin bersifat anabolik, meningkatkan simpanan glukosa, asam-asam
lemak, dan asam-asam amino. Glukagon bersifat katabolik, memobilisasi
glukosa, asam-asam lemak, dan asam-asam amino dari penyimpanan ke
dalam aliran darah. Kedua hormon ini bersifat berlawanan dalam efek
keseluruhannya dan pada sebagian besar keadaan disekresikan secara
timbal balik. Insulin yang berlebihan menyebabkan hipoglikemia, yang
menimbulkan kejang dan koma.
Defisiensi insulin baik absolut maupun relatif, menyebabkan diabetes
melitus, suatu penyakit kompleks yang bila tidak diobati dapat mematikan.
Defisiensi glukagon dapat menimbulkan hipoglikemia, dan kelebihan
glukagon menyebabkan diabetes memburuk. Produksi somatostatin yang
berlebihan oleh pankreas menyebabkan hiperglikemia dan manifestasi
diabetes lainnya.

a)      Sintesis Insulin


Insulin disintesis oleh sel-sel beta, terutama ditranslasikan ribosom
yang melekat pada retikulum endoplasma (mirip sintesis protein) dan
menghasilkan praprohormon insulin dengan berat molekul sekitar 11.500.
Kemudian praprohormon diarahkan oleh rangkaian "pemandu" yang
bersifat hidrofibik dan mengandung 23 asam amino ke dalam sisterna
retikulumendoplasma.
Struktur kovalen insulin manusia
Di retikulum endoplasma, praprohormon ini dirubah menjadi
proinsulin dengan berat molekul kira-kira 9000 dan dikeluarkan dari
retikulum endoplasma.
Molekul proinsulin diangkut ke aparatus golgi, di sini proteolisis serta
pengemasan ke dalam granul sekretorik dimulai.
Di aparatus golgi, proinsulin yang semua tersusun oleh rantai B—
peptida (C) penghubung—rantai A, akan dipisahkan oleh enzim mirip
tripsin dan enzim mirip karboksipeptidase.
Pemisahan itu akan menghasilkan insulin heterodimer (AB) dan C
peptida. Peptida-C dengan jumlah ekuimolar tetap terdapat dalam granul,
tetapi tidak mempunyai aktivitas biologik yang diketahui.
b)      Sekresi Insulin
Sekresi insulin merupakan proses yang memerlukan energi dengan
melibatkan sistem mikrotubulus-mikrofilamen dalam sel B pada pulau
Lengerhans. Sejumlah kondisi intermediet turut membantu pelepasan
insulin :
Glukosa: apabila kadar glukosa darah melewati ambang batas normal
—yaitu 80-100 mg/dL–maka insulin akan dikeluarkan dan akan mencapai
kerja maksimal pada kadar glukosa 300-500 mg/dL.
Dalam waktu 3 sampai 5 menit sesudah terjadi peningkatan segera
kadar glukosa darah, insulin meningkat sampai hampir 10 kali lipat.
Keadaan ini disebabkan oleh pengeluaran insulin yang sudah terbentuk
lebih dahulu oleh sel beta pulau langerhans pancreas. Akan tetapi,
kecepatan sekresi awal yang tinggi ini tidak dapat dipertahankan,
sebaliknya, dalam waktu 5 sampai 10 menit kemudian kecepatan sekresi
insulin akan berkurang sampai kira-kira setengah dari kadar normal.
Kira-kira 15 menit kemudian, sekresi insulin meningkat untuk kedua
kalinya, sehingga dalam waktu 2 sampai 3 jam akan mencapai gambaran
seperti dataran yang baru, biasanya pada saat ini kecepatan sekresinya
bahkan lebih besar daripada kecepatan sekresi pada tahap awal. Sekresi ini
disebabkan oleh adanya tambahan pelepasan insulin yang sudah lebih
dahulu terbentuk dan oleh adanya aktivasi system enzim yang mensintesis
dan melepaskan insulin baru dari sel.
Naiknya sekresi insulin akibat stimulus glukosa menyebabkan
meningkatnya kecepatan dan sekresi secara dramatis. Selanjutnya,
penghentian sekresi insulin hampir sama cepatnya, terjadi dalam waktu 3
sampai 5 menit setelah pengurangan konsentrasi glukosa kembali ke kadar
puasa.
Peningkatan glukosa darah meningkatkan sekresi insulin dan insulin
selanjutnya meningkatkan transport glukosa ke dalam hati, otot, dan sel
lain, sehingga mengurangi konsentrasi glukosa darah kembali ke nilai
normal. Insulin dilepaskan pada suatu kadar batas oleh sel-sel beta pulau
langerhans. Rangsangan utama pelepasan insulin diatas kadar basal adalah
peningkatan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah puasa dalam
keadaan normal adalah 80-90 mg/dl. Insulin bekerja dengan cara berkaitan
dengan reseptor insulin dan setelah berikatan, insulin bekerja melalui
perantara kedua untuk menyebabkan peningkatan transportasi glukosa
kedalam sel dan dapat segera digunakan untuk menghasilkan energi atau
dapat disimpan didalam hati (Guyton & Hall, 1999)
C. Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus berdasarkan ADA (2012) dan Perkeni (2011)
adalah sebagai berikut (Gustaviani, 2007; Ignativicius dan Workman, 2006;
Smeltzer et al, 2008) :
Klasifikasi Etiologis Diabetes Melitus (ADA, 2007)
1. Diabetes Melitus Tipe 1 (Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke
defisiensi insulin absolut):
a) Melalui Proses Imunologik
b) Idiopatik
2. Diabetes Melitus Tipe 2 (Bervariasi mulai terutama yang predominan
resistensi insulin disertai defesiensi insulin relatif sampai yang predominan
gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
a) Defek Genetik fungsi sel Beta :
1) Kromosom 12, HNF-1α (dahulu MODY 3)
2) Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
3) Kromosom 20, HNF-4α (dahulu MODY 1)
4) Kromosom 13, insulin Promoter factor-1 (IPF-1, dahulu MODY
5) Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)
6) Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6)
7) DNA Mitochondria, dan lainnya
b) Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, leprechaunism,
sindrom Rhabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya.
c) Penyakit eksokrin Pankreas : Pankreatitis, trauma/pankreatektomi,
neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati
fibrokalkulus, lainnya.
d) Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, feokromotositoma,
hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya.
e) Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat,
glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxid, agonis β edrenergic, tiazid,
dilantin, interferon alfa, lainnya.
f) Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya.
g) Imunologi (jarang) : sindrom “Stiff-man”, antibody anti reseptor insulin
lainnya.
h) Sindrom genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, sindrom
Turner, sindrom Wolfram’s, Ataksia Friedreich’s, Chorea Hutington,
sindrom Laurence-Moon-Biedl, Distrofi Miotonik, Porfiria, Sindrom
Prader Willi, lainnya.
4. Diabetes kehamilan
Diagnosis dari Diabetes Melitus harus didasarkan atas pemeriksaan kadar
glukosa darah. Penegakan diagnosis Diabetes Melitus harus
memperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang
dipakai. Penegakan diagnosis berdasarkan pemeriksaan yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah
plasma vena (Gustaviani, 2007; Perkeni, 2011). Penggunaan bahan darah
utuh (whole blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO, sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler (Perkeni, 2011).

D. Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), penyebab dari diabetes melitus adalah:
1. Diabetes Melitus tergantung insulin (DMTI)
a) Faktor genetic
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi
mewarisi suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah
terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetic ini ditentukan pada
individu yang memililiki tipe antigen HLA (Human Leucocyte
Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung
jawab atas antigen tranplantasi dan proses imun lainnya.
b) Faktor imunologi
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini
merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan
normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang
dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.
c) Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas, sebagai
contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu
dapat memicu proses autuimun yang dapat menimbulkan destuksi sel
β pankreas.
2. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI)
Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic
diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi
insulin. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya
mempunyai pola familiar yang kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan
dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak
terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-
mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu,
kemudian terjadi reaksi intraselluler yang meningkatkan transport glukosa
menembus membran sel. Pada pasien dengan DMTTI terdapat kelainan
dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh
berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada
membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek
reseptor insulin dengan system transport glukosa. Kadar glukosa normal
dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan meningkatkan
sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak lagi
memadai untuk mempertahankan euglikemia (Price,1995). Diabetes
Melitus tipe II disebut juga Diabetes Melitus tidak tergantung insulin
(DMTTI) atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) yang
merupakan suatu kelompok heterogen bentuk-bentuk Diabetes yang lebih
ringan, terutama dijumpai pada orang dewasa, tetapi terkadang dapat
timbul pada masa kanak-kanak. Faktor risiko yang berhubungan dengan
proses terjadinya DM tipe II, diantaranya adalah:
a) Usia ( resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65
tahun)
b) Obesitas
c) Riwayat keluarga
d) Kelompok etnik
3. Diabetes dengan Ulkus
a) Faktor endogen:
1) Neuropati : Terjadi kerusakan saraf sensorik yang
dimanifestasikan dengan penurunan sensori nyeri, panas, tak
terasa, sehingga mudah terjadi trauma dan otonom/simpatis yang
dimanifestasikan dengan peningkatan aliran darah, produksi
keringat tidak ada dan hilangnya tonus vaskuler
2) Angiopati : Dapat disebabkan oleh faktor genetic, metabolic dan
faktor resiko lain.
3) Iskemia : Adalah arterosklerosis (pengapuran dan penyempitan
pembuluh darah) pada pembuluh darah besar tungkai
(makroangiopati) menyebabkan penurunan aliran darah ke tungkai,
bila terdapat thrombus akan memperberat timbulnya gangrene
yang luas.
b) Faktor eksogen
4) Trauma
5) Infeksi

E. Manifestasi Klinis
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM
umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan
akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM
lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran
klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang
luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena
katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan
luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering
ditemukan adalah :
1. Katarak
2. Glaukoma
3. Retinopati
4. Gatal seluruh badan
5. Pruritus Vulvae
6. Infeksi bakteri kulit
7. Infeksi jamur di kulit
8. Dermatopati
9. Neuropati perifer
10. Neuropati viseral
11. Amiotropi
12. Ulkus Neurotropik
13. Penyakit ginjal
14. Penyakit pembuluh darah perifer
15. Penyakit koroner
16. Penyakit pembuluh darah otak
17. Hipertensi

Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang


tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan
inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan,
akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak
terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut.
Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada
pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi
akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan
timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi,
kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang
biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan berkeringat
banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi
sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.
Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala
kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral tampak
lebih jelas.
1. Diabetes Tipe I
a) hiperglikemia berpuasa
b) glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia
c) keletihan dan kelemahan
d) ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi,
nafas bau buah, ada perubahan tingkat kesadaran, koma, kematian)
2. Diabetes Tipe II
a) lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
b) gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah tersinggung,
poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang sembuhnya lama, infeksi
vaginal, penglihatan kabur
c) komplikaasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular
perifer)
3. Ulkus Diabetikum
Ulkus Diabetikum akibat mikriangiopatik disebut juga ulkus panas
walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh
peradangan dan biasanya teraba pulsasi arteri dibagian distal . Proses
mikroangipati menyebabkan sumbatan pembuluh darah, sedangkan secara
akut emboli memberikan gejala klinis 5 P yaitu :
a) Pain (nyeri)
b) Paleness (kepucatan)
c) Paresthesia (kesemutan)
d) Pulselessness (denyut nadi hilang)
e) Paralysis (lumpuh).
Bila terjadi sumbatan kronik, akan timbul gambaran klinis menurut pola
dari fontaine:
a. Stadium I : asimptomatis atau gejala tidak khas (kesemutan).
b. Stadium II : terjadi klaudikasio intermiten
c. Stadium III : timbul nyeri saat istitrahat.
d. Stadium IV : terjadinya kerusakan jaringan karena anoksia (ulkus).
Smeltzer dan Bare (2001: 1220).

F. Patofisiologi
Proses penyakit Pada Diabetes Melitus tipe II terdapat dua masalah yang
berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukan
sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu
rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada
Diabetes Melitus tipe II disertai dengan penurunan reaksi intra sel yang
mengakibatkan tidak efektifnya insulin untuk menstimulasi pengambilan glukosa
oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam
darah harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresi. Namun pada
penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini akibat sekresi insulin
berlebihan, dan kadar glukosa akan di pertahankan dalam tingkat normal atau
sedikit meningkat. Namun demikian bila sel-sel beta tidak mampu megimbangi
peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan
mengakibatkan Diabetes Melitus tipe II (Smeltzer, S.C & Bare, B. G, 2002).
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), patofisiologi dari diabetes melitus adalah :
1. Diabetes tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin
karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun.
Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati.
Disamping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam
hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia
postprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup
tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar,
akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (Glukosuria). Ketika glukosa yang
berlebih dieksresikan dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan
dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai
akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia). Defisiensi
insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan
penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan
(polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup
kelelahan dan kelemahan.Proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut
turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak
yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk
samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu
keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis
diabetik yang diakibatkannya dapat menyebabkan tandatanda dan gejala seperti
nyeri abdominal, mual, muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton dan bila
tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian.
2. Diabetes tipe II
Pada Diabetes tipe II terdapat dua masalah yang berhubungan dengan insulin,
yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan
terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya
insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai
dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Akibat intoleransi
glukosa yang berlangsung lambat dan progresif maka awitan diabetes tipe II
dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut
sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria,
polidipsia, luka yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur
( jika kadar glukosanya sangat tinggi).
Penyakit Diabetes membuat gangguan/ komplikasi melalui kerusakan pada
pembuluh darah di seluruh tubuh, disebut angiopati diabetik. Penyakit ini
berjalan kronis dan terbagi dua yaitu gangguan pada pembuluh darah besar
(makrovaskular) disebut makroangiopati, dan pada pembuluh darah halus
(mikrovaskular) disebut mikroangiopati. Ulkus Diabetikum terdiri dari kavitas
sentral biasanya lebih besar disbanding pintu masuknya, dikelilingi kalus keras
dan tebal. Awalnya proses pembentukan ulkus berhubungan dengan
hiperglikemia yang berefek terhadap saraf perifer, kolagen, keratin dan suplai
vaskuler. Dengan adanya tekanan mekanik terbentuk keratin keras pada daerah
kaki yang mengalami beban terbesar. Neuropati sensoris perifer memungkinkan
terjadinya trauma berulang mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan
dibawah area kalus. Selanjutnya terbentuk kavitas yang membesar dan akhirnya
ruptur sampai permukaan kulit menimbulkan ulkus. Adanya iskemia dan
penyembuhan luka abnormal manghalangi resolusi. Mikroorganisme yang masuk
mengadakan kolonisasi didaerah ini. Drainase yang inadekuat menimbulkan
closed space infection. Akhirnya sebagai konsekuensi sistem imun yang
abnormal, bakteria sulit dibersihkan dan infeksi menyebar ke jaringan sekitarnya,
(Anonim 2009).
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Glukosa darah : darah arteri / kapiler 5-10% lebih tinggi daripada darah
vena, serum/plasma 10-15% daripada darah utuh, metode dengan
deproteinisasi 5% lebih tinggi daripada metode tanpa deproteinisasi.
2. Glukosa urin : 95% glukosa direabsorpsi tubulus, bila glukosa darah >
160-180% maka sekresi dalam urine akan naik secara eksponensial, uji
dalam urin:  + nilai ambang ini akan naik pada orang tua. Metode yang 
populer: carik celup memakai GOD.
3. Benda keton dalam urine: bahan urine segar karena asam asetoasetat
cepat didekrboksilasi menjadi aseton. Metode yang dipakai Natroprusid,
3-hidroksibutirat tidak terdeteksi
4. Pemeriksan lain : fungsi ginjal ( Ureum, creatinin), Lemak darah:
(Kholesterol, HDL, LDL, Trigleserid), fungsi hati, antibodi anti sel insula
langerhans ( islet cellantibody)

H. Komplikasi
Komplikasi yang berkaitan dengan kedua tipe DM digolongkan sebagai akut
dan kronik :
1. Komplikasi akut :
Komplikasi akut terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan jangka
pendek dari glukosa darah.
a. Hipoglikemia.
b. Ketoasidosis diabetic (DKA)
c. sindrom hiperglikemik hiperosmolar non ketotik (HONK).
2. Komplikasi kronik
Umumnya terjadi 10 sampai 15 tahun setelah awitan.
a. Makrovaskular (penyakit pembuluh darah besar), mengenai sirkulasi
koroner, vaskular perifer dan vaskular selebral.
b. Mikrovaskular (penyakit pembuluh darah kecil), mengenai mata
(retinopati) dan ginjal (nefropati). Kontrol kadar glukosa darah untuk
memperlambat atau menunda awitan baik komplikasi mikrovaskular
maupun makrovaskular.
c. Penyakit neuropati, mengenai saraf sensorik-motorik dan autonomi
serta menunjang masalah seperti impotensi dan ulkus pada kaki.
d. Ulkus/gangrene
e. Komplikasi jangka panjang dari diabetes
Organ/Jaringan Yang Terjadi Komplikasi
Yang Terkena
Pembuluh Plak aterosklerotik Sirkulasi yg jelek
darah terbentuk & menyumbat menyebabkan
arteri berukuran besar penyembuhan luka yg jelek
atau sedang di jantung, & bisa menyebabkan
otak, tungkai & penis. penyakit jantung, stroke,
Dinding pembuluh darah gangren kaki & tangan,
kecil mengalami impoten & infeksi
kerusakan sehingga
pembuluh tidak dapat
mentransfer oksigen
secara normal &
mengalami kebocoran.
Mata Terjadi kerusakan pada Gangguan penglihatan &
pembuluh darah kecil pada akhirnya bisa terjadi
retina. kebutaan
Ginjal Penebalan pembuluh Fungsi ginjal yg buruk
darah ginjal. Protein Gagal ginjal
bocor ke dalam air
kemih. Darah tidak
disaring secara normal.
Saraf Kerusakan saraf karena ·      Kelemahan tungkai yg
glukosa tidak terjadi secara tiba-tiba atau
dimetabolisir secara secara perlahan
normal & karena aliran ·      Berkurangnya rasa,
darah berkurang. kesemutan & nyeri di
tangan & kaki
·      Kerusakan saraf
menahun
Sistem saraf Kerusakan pada saraf ·      Tekanan darah yg naik-
otonom yang mengendalikan turun
tekanan darah & saluran ·      Kesulitan menelan &
pencernaan. perubahan fungsi
pencernaan disertai
serangan diare
Kulit Berkurangnya aliran ·      Luka, infeksi dalam
darah ke kulit & (ulkus diabetikum)
hilangnya rasa yang ·      Penyembuhan luka yg
menyebabkan cedera jelek
berulang.
Darah Gangguan fungsi sel Mudah terkena infeksi,
darah putih. terutama infeksi saluran
kemih & kulit
a.   Komplikasi Akut
1)         Ketoasidosis Diabetik, adalah gangguan metabolik yang terjadi akibat
defisiensi insulin di karakteristikan dengan hiperglikemia eksterm
(lebih 300 mg/ dl). Pasien sakit berat dan memerlukan intervensi untuk
mengurangi kadar glukosa darah dan memperbaiki asidosis berat,
elektrolit, ketidakseimbangan cairan. Adapun faktor pencetus
Ketoasidosis Diabetik: obat-obatan, steroid, diuretik, alkohol, gagal
diet, kurang cairan, kegagalan pemasukan insulin, stress, emosional,
dan riwayat penyakit ginjal.
2)        Hipoglikemia merupakan komplikasi insulin dengan menerima jumlah
insulin yang lebih banyak daripada yang di butuhkannya untuk
mempertahankan kadar glukosa normal. Gejala-gejala hipoglikemia
disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit
kepala dan palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak
(tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul dan koma).
b.         Komplikasi jangka panjang
1)     Mikroangiopati Diabetik merupakan lesi spesifik Diabetes
Melitus yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati
diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot
dan kulit.
2)        Makroangiopati Diabetik mempunyai gambaran histopatologis
berupa aterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang
disebabkan karena insufisiensi insulin yang menjadi penyebab
jenis penyakit vaskuler. Gangguan–gangguan ini berupa
penimbunan sorbitol dalam intima vaskuler, hiperproteinemia
dan kelainan pembekuan darah. Pada akhirnya makroangiopati
diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskuler. Jika
yang terkena adalah arteri koronaria dan aorta, maka dapat
mengakibatkan angina dan infark miokardium (Price, S. A. &
Wilson L.M, 2006).

I. Penatalaksanaan Medik
Kaki diabetik dapat timbul karena tidak terkontrolnya gula darah, oleh
sebab itu sangat diperlukan manajemen diabetes yang baik dalam upaya
pencegahan primer kaki diabetik. Menurut Perkeni (2011), manajemen
Diabetes Melitus terdiri dari:
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan
mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai
keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi.
2. Terapi gizi medis atau Perencanaan Makan
Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain
dan pasien itu sendiri). Menurut Smeltzer et al, (2008) yang juga mengutip
dari ADA bahwa perencanaan makan pada pasien diabetes meliputi :
a. Memenuhi kebutuhan energi pada pasien Diabetes Melitus
b. Terpenuhinya nutrisi yang optimal pada makanan yang disajikan seperti
vitamin dan mineral
c. Mencapai dan memelihara berat badan yang stabil
d. Menghindari makan makanan yang mengandung lemak, karena pada
pasien Diabetes Melitus jika serum lipid menurun maka resiko komplikasi
penyakit makrovaskuler akan menurun
e. Mencegah level glukosa darah naik, karena dapat mengurangi komplikasi
yang dapat ditimbulkan dari Diabetes Melitus
3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari - hari dan latihan jasmani secara teratur (3 - 4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan Diabetes Melitus. Kegiatan sehari – hari seperti berjalan kaki
ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Selain
untuk menjaga kebugaran juga, latihan jasmani dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan
jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging,
dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan
status kesegaran jasmani. Pasien yang relatif sehat, intensitas latihan
jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi
Diabetes Melitus dapat dikurangi.
4. Intervensi farmakologis
Pengobatan diabetes secara menyeluruh mencakup diet yang benar, olah raga
yang teratur, dan obat - obatan yang diminum atau suntikan insulin. Pasien
Diabetes tipe 1 mutlak diperlukan suntikan insulin setiap hari. Pasien
Diabetes tipe 2, umumnya pasien perlu minum obat antidiabetes secara oral
atau tablet. Pasien diabetes memerlukan suntikan insulin pada kondisi
tertentu, atau bahkan kombinasi suntikan insulin dan tablet.
5. Monitoring keton dan gula darah
Ini merupakan pilar kelima yang dianjurkan kepada pasien Diabetes Melitus.
Monitor level gula darah sendiri dapat mencegah dan mendeteksi
kemungkinan terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia dan pasien dapat
melakukan keempat pilar diatas untuk menurunkan resiko komplikasi dari
Diabetes Melitus (Smeltzer et al, 2008).
Kerangka utama penatalaksanaan Diabetes Melitus yaitu perencanaan makan,
latihan jasmani, obat hipoglikemik, dan penyuluhan.
1.         Perencanaan makan (meal planning)
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), telah
ditetapkan bahwa standar yang dianjurkan adalah santapan dengan komposisi
seimbang berupa karbohidrat (60-70%), protein (10-15%). Lemak (20-25%).
Apabila diperlukan santapan dengan komposisi karbohidrat sampai 70-75%
juga memberikan hasil yang baik, terutama untuk golongan ekonomi rendah.
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut,
dan kegiatan jasmani untuk mencapai berat badan ideal. Jumlah kandungan
kolesterol <300 mg/ hari. Jumlah kandungan serat ± 25 g/ hari, diutamakan
jenis serat larut. Konsumsi garam dibatasai bila terdapat hipertensi. Pemanis
dapat digunakan secukupnya.
2.         Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3-4 kali tiap minggu selama ± 0,5
jam yang sifatnya sesuai CRIEPE ( continous, rhytmical, interval,
progressive, endurance training). Latihan yang dapat dijadikan pilihan
adalah jalan kaki, jogging, renang, bersepeda, dan mendayung.
3.         Obat berkhasiat hipoglikemik
a.         Sulfonilurea
Obat ini bekerja dengan cara menstimulsai pelepasan insulin yang
tersimpan, menurunkan ambang sekresi insulin, meningkatkan sekresi insulin
sebagai aklibat rangsangan glukosa. Obat golongan ini biasanya diberikan
pada pasien dengan berat badan normal dan masih bisa dipakai pada pasien
yang beratnya sedikit lebih.
b.      Biguanid
Obat ini menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai dibawah
normal. Preparat yang ada dan aman adalah metformin. Obat ini dianjurkan
untuk pasien gemuk (indeks masa tubuh/ IMT > 30) sebagai obat tunggal.
c.       Inhibitor α glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α
glukosidase didalam saluran cerna, sehingga menurunkan penyerapan glukosa
dan menurunkan hiperglikemia pasca prandial.
B. Konsep Dasar Keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal pemikiran dasar proses keperawatan, bertujuan
mengumpulkan informasi dari pasien agar perawat dapat mengindentifikasi
masalah kesehatan pasien.
1. Pengkajian
a.       Aktifitas dan istirahat
Gejala: letih, lemah sulit berjalan / bergerak, tonus otot menurun, kram otot,
gangguan istirahat/ tidur.
Tanda: Takikardi dan takipnea pada keadaan istirahat atau dengan aktifitas,
letargi/ disorientasi, koma dan penurunan kekuatan otot.
b.      Sirkulasi
Gejala: Riwayat hipertensi, infark miokard akut, klaudikasi, kebas, kesemutan
pada ekstremitas, ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama.
Tanda: takikardi, perubahan tekanan darah postural: hipertensi, nadi menurun/
tidak ada, disritmia, kulit panas, kering dan kemerahan: bola mata cekung.
c.       Integritas Ego
Gejala: stress, tergantung pada orang lain.
Tanda: Ansietas.
d.      Eliminasi
Gejala: Perubahan pola kemih, poliuria, nokturia, rasa nyeri atau terbakar,
kesulitan berkemih (infeksi), ISK baru tau berulang, nyeri tekan abdomen,
diare.
Tanda: urin encer, pucat, kuning: poliuri(dapat berkembang menjadi oliguria/
anuria jika terjadi hipovolemia berat), urin berkabut, bau busuk (infeksi),
abdomen keras, adanya asites, bising usus lemah dan menurun: hiperaktif
(diare).
e.       Makanan/ Cairan
Gejala: Hilang nafsu makan, mual, muntah, tidak mengikuti diet; peningkatan
masukan glukosa/ karbohidrat, penurunan berat badan lebih dari beberapa
hari/ minggu, haus, penggunaan diuretik (tiazid).
Tanda: kulit kering/ bersisik, turgor jelek, kekakuan/ distensi abdomen,
muntah, hipertiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan peningkatan
gula darah), bau halitosis/ manis, bau buah (nafas aseton).
f.       Neurosensori
Gejala: Pusing/ pening, sakit kepala, kesemutan, kebas, kelemahan pada otot,
gangguan penglihatan.
Tanda: disorientasi: mengantuk, letargi, stupor/ koma, gangguan memori
(baru, masa lalu),kacau mental, refleks tendon dalam menurun, aktivitas
kejang.
g.      Nyeri/ Kenyamanan
Gejala: Abdomen yang tegang/ nyeri (sedang/ berat).
Tanda: Wajah meringis dengan palpitasi; tampak sangat berhati-hati.
h.      Pernafasan
Gejala: Kekurangan oksigen, batuk dengan/ tanpa sputum purulen (tergantung
adanya infeksi/ tidak).
Tanda: batuk, dengan/ sputum purulen (infeksi), frekuensi pernapasan.
i.     Keamanan
Gejala: Kulit kering, gatal, ulkus kulit.
Tanda: Demam, diaforesis, kulit rusak, lesi/ ulserasi, menurun kekuatan
umum/ rentang gerak, parastesia/ paralisis otot termasuk otot pernafasan (jika
kadar kalium menurun dengan cukup tajam).
j.  Seksualitas
Gejala: raba vagina (cenderung infeksi), masalah impoten pada pria, kesulitan
orgasme pada wanita.
k.      Penyuluhan
Gejala: Faktor resiko keluarga: DM, stroke, hipertensi, penyembuhan yang
lambat, penggunaan obat seperti steroid, diuretik (tiazid): dilantin dan
fenobarbital (dapat meningkatkan kadar glukosa darah), menggunakan obat
diabetik.
Tanda: Memerlukan bantuan dan pengaturan diet, pengobatan, perawatan diri,
pemantauan glukosa darah.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges Marylin (2000) diagnosa keperawatan yang ditemukan
pada pasien dengan  penyakit katarak adalah:
a.        Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d defisiensi insulin.
c. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa.
d. Resiko tinggi terhadap perubahan sensori perseptual berhubungan dengan
ketidakseimbangan glukosa/ insulin dan elektrolit.
e. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik,
perubahan kimia darah: insufisensi insulin.
f. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/ progressif
yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
g. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai penyakit, prognosis,
dan kenutuhan pengobatan b/d kurang pemajanan/ mengingat, kesalahan
interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.

3. Intervensi
a.  Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik.
Tujuan: Volume cairan terpenuhi.
Kriteria hasil: Mempertahankan volume cairan yang adekuat dan
keseimbangan elektrolit, turgor kulit normal, hidrasi adekuat, TTV stabil,
pengisian kapiler baik.
Intervensi:
Mandiri:
1)        Pantau TTV.
R/: hipovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia.
Perkiraan berat ringannya hipovolemia ketika tekanan darah sistolik
pasien turun lebih dari 10 mmHg dari posisi berbaring keposisi duduk/
berdiri.
2)        Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa.
R/: merupakan indikator dari tingkat dehidrasi, atau volume sirkulasi
yang adekuat.
3)         Ukur masukan dan pengeluaran, catat berat jenis urin.
R/: memberikan perkiraan kebutuhan akan cairab pengganti, fungsi
ginjal, dan keeektifan dari terapi yang diberikan.
Kolaborasi:
4)        Berikan terapi cairan dan elektrolit sesuai indikasi.
R/: tipe dan jumlah dari cairan tergantung pada derajad kekurangan
cairan dan respon pasien secara individual.
b.        Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d defisiensi insulin.
Tujuan: Klien dapat mempertahankan nutrisi yang adekuat.
Kriteria hasil: BB ideal.
Intervensi:
Mandiri:
1)        Timbang berat badan.
R/: mengkaji pemasukan makanan yang adekuta (absorpsi dan
utilisasinya).
2)        Tentukan program diet dan pola makan klien.
R/: mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan
terapeutik.
3)        Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen, kembung, mual,
muntahan makanan yang belum dicerna.
R/: hiperglikemia dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
dapat menurunkan motilitas/ fungsi lambung (distensi/ ileus paralitik).
4)        Berikan makanan yang mengandung nutrient dan elektrolit.
R/: pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien sadar dan
fungsi gasrtointestinal baik.
5)        Identifikasi makanan yang di sukai/ tidak di sukai.
R/: jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam
perencanaan makanan, kerjasama ini dapat diupayakan setelah pulang.
6)        Observasi tanda-tanda hiperglikemia, seperti perubahan tingkat
kesadaran, kulit lembab/ dingin, denyut nadi cepat, peka rangsangan,
cemas, sakit kepala.
R/: metabolisme karbihidrat mulai terjadi (gula darah akan berkurang,
dan sementara tetap diberikan insulin maka hipoglikemia dapat
terjadi).
Kolaborasi:
7)        Kolaborasi dalam pemeriksaan gula darah.
Rasionalisasi: gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian
cairan dan terapi insulin terkontriol.
8)        Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pengaturan diet.
R/: sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuain diet untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
c.        Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa.
Tujuan: tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil: TTV dalam batas normal, tanda-tanda infeksi tidak ada,
nilai leukosit dalam batas normal (4000-10000/ mm3).
Intervensi:
Mandiri:
1)        Observasi tanda-tanda infeksi (rubor, dolor, calor, tumor,
fungsiolaesa).
R/: pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah
mencetuskan keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi
nasokomial.
2)        Pertahankan tehnik aseptik pada prosedur invasif.
R/: kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media terbaik
bagi pertumbuhan kuman.
Kolaborasi:
3)        Observasi hasil laboratorium (leukosit).
R/: gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian caairan
dan terapi insulin terkontrol.
4)         Kolaborasi dalam pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R/: penanganan awal dapat membantu mencegah terjadinnya sepsis.
d.        Resiko tinggi terhadap perubahan sensori perseptual berhubungan
dengan ketidakseimbangan glukosa/ insulin dan elektrolit.
Tujuan: tidak terjadi perubahan sensori perseptual.
Kriteria hasil: mempertahankan tingkat mental biasanya, mengenali
dan mengkompensasi adanya kerusakkan sensori.
Intervensi:
Mandiri:
1)        Pantau dan tanda-tanda vital dan status mental.
R/: sebagai dasar untuk membandingkan temuan abnormal, seperti
suhu yang meningkat dapat mempengaruhi fungsi mental.
2)        Panggil pasien dengan nama, orientasikan kembali sesuai
kebutuhannya.
R/: menurunkan kebingungan dan membantu untuk mempertahankan
kontak dengan realitas.
3)         Bantu pasien ambulasi dalam perubahan posisi.
R/: meningkatkan keamanan pasien terutama ketika rasa
keseimbangan dipengaruhi.

e.         Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik,


perubahan kimia darah: insufisensi insulin.
Tujuan: tidak terjadi kelelahan akibat penurunan metabolik.
Kriteria hasil: Keluhan lelah tidak ada, dapat melakukan aktivitas
secara mandiri.
Intervensi:
Mandiri:
1)        Observasi TTV.
R/: mengidentifikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara
fisiologis.
2)       Tingkatkan partisipasi klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
sesuai dengan yang dapat ditoleransi.
R/: meningkatkan kepercayaan diri/ harga diri yang positif sesuai
tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi klien.
3)        Diskusikan dengan klien kebutuhan akan aktivitas.
R/: pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan
meskipun tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah.
4)        Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup/ tanpa
diganggu.
R/: mencegah kelelahan yang berlebihan.
f.         Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/
progressif yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
Tujuan: tidak terjadi ketidakberdayaan.
Kriteria hasil: mengakui perasaan putus asa, mengidentifikasi cara-cara
sehat untuk menghadapi perasaaan, membantu dalam merencanakan
perawatan sendiri dan secara mandiri mengambil tanggung jawab untuk
aktivitas perawatan diri.
Intervensi:
Mandiri:
1)        Anjurkan pasien/ keluarga untuk mengekspresikan perasaannya
tentang perawatan dirumah sakit dan penyakitnya secara keseluruhan.
R/: mengidentifikasi area perhatiannya dan mudahkan cara pemecahan
masalah.
2)        Berikan kesempatan pada kelurga untuk mengekspresikan
perhatiannya.
R/: meningkatkan perasaan terlibat dan memberikan kesempatan
keluarga untuk memecahkan masalah.
3)        Anjurkan pasien untuk membuat keputusan sehubungan dengan
perawatannya.
R/: mengkomunikasikan pada pasien bahwa beberapa pengendalian
dapat dilatih pada saat perawatan dilakukan.
4)        Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam
perawatan diri sendiri dan berikan umpan balik positif sesuai dengan
usahat yang dilakukan.
R/: meningkatkan perasaan kontrol terhadap situasi.

g.   Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai penyakit,


prognosis, dan kenutuhan pengobatan b/d kurang pemajanan/
mengingat, kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber
informasi.
Tujuan: Klien mengerti tentang penyakit yang dideritanya.
Kriteria hasil: klien mengungkapkan pemahaman tentang penyakit, klien
melakukan perubahan gaya hidup dan berpartisipasi dalam pengobatan.
Intervensi:
Mandiri:
1)        Ciptakan lingkungan saling percaya dengan mendengarkan penuh
perhatian, dan selalu ada untuk pasien.
R/: menanggapi dan memperhatikan perlu diciptakan sebelum pasien
bersidia mengambil bagian dalam proses belajar.
2)        Bekerja dengan pasien dalam menata tujuan belajar yang diharapkan.
R/: partisipasi dalam perencanaan meningkatkan antusia dan kerja
sama pasien dengan prinsip-prinsip yang depalajari.
3)        Pilih strategi belajar.
R/: penggunaan cara yang berbeda tentang mengakses informasi
meningkatkan penyerapan pada individu yang belajar (Doengos, M. E,
et. Al, 2000).
D. Implementasi
Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan dari rencana keperawatan yang telah
ditentukan dengan tujuan memenuhi kebutuhan pasien secara optimal.
E. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengevaluasi respon pasien terhadap perawatan yang diberikan untuk
memastikan bahwa hasil yang diberikan dan diharapkan pada pasien telah
tercapai.
a.       Volume cairan tubuh adekuat.
b. Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
c. Infeksi tidak terjadi.
d. Tidak terjadi perubahan sensori perseptual.
e. Menunjukan peningkatan energi .
f. Ketidakberdayaan dapat ditoleransi.
g. Menunjukan peningkatan pengetahuan

F. Discharge Planning
1. Lakukan olahraga secara rutin dan pertahankan BB yang ideal
2. Kurangi konsumsi makanan yang banyak mengandung gula dan karbohidrat
3. Jangan mengurangi jadwal makan atau menunda waktu makan karena hal ini
akan menyebabkan fluktuasi (ketidak stabilan) kadar gula darah
4. Pelajari cara mencegah infeksi: kebersihan kaki, hindari perlukaan
5. Perbanyak konsumsi makanan yang banyak mengandung sereat, seperti:
sayuran dan sereal
6. Hindari konsumsi makanan tinggi lemak dan yang mengandung banyak
kolesterol LDL, antara lain: daging merah, produk susu, kuning telur,
mentega, saus salad, dan makanan pencuci mulut berlemak lainnya.
7. Hindari minuman yang berakohol dan kurangi konsumsi garam
F. Patoflow Diagram Teori
Patoflow diagram kasus

Defisiensi insulin Penatalaksanaan:

Glukagon 1. medikamentosa

Glukogenesis 2. diet
Pemeriksaan diagnostik:
3. pola istirahat
1. Cek lab
gangguan metabolisme penurunan pemakaian
Protein glukosa oleh sel-sel

Jaringan terhambat hiperglikemia


Untuk pemenuhan nutrisi
Glycosuria

Osmotic diuresis
Resiko Infeksi
Intoleransi aktivitas
BAB IV
PEMBAHASAN

1. Pengkajian
Merupakan tahap awal dalam proses keperawatan. Dalam pengkajiaan penulis
memperoleh data dengan menggunakan metode wawancara, observasi,
pemeriksaan fisik dan melihat data-data penunjang melalui catatan keperawatan
dari status pasien. Pada pengkajian secara teoritis ditemukan adanya kencing
manis, banyak makan(polifagia), banyak minum(polidipsi), berat badan menurun
dan mudah lelah mati rasa pada kaki dan adanya luka atau warna kehitaman bekas
luka, kelembaban dan suhu kulit di daerah sekitar ulkus dan ganggren.
Setelah dilakukan pengkajian pada pasien di lapangan, didapatkan pengkajian
yang berupa pasien mengatakan badan terasa lemas dan mempunyai riwayat
penyakit diabetes melitus.

2. Diagnosa
Berdasarkan teori yang ada, perumusan diagnosa keperawatan merupakan proses
pemikiran melalui tanda dan gejala klinik menurut perubahan patofisiologi, respon
pasien maupun keluarga. Diagnosa secara teoritis yang mungkin ini timbul pada
kasus diabetes melitus adalah:
a.        Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d defisiensi insulin.
c. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa.
d. Resiko tinggi terhadap perubahan sensori perseptual berhubungan dengan
ketidakseimbangan glukosa/ insulin dan elektrolit.
e. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik,
perubahan kimia darah: insufisensi insulin.
f. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/ progressif
yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
g. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai penyakit, prognosis, dan
kenutuhan pengobatan b/d kurang pemajanan/ mengingat, kesalahan
interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.
Pada saat pengumpulan data dan menganalisis pasien dilapangan ditemukan
diagnosa:
a. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
b. Resiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis diabetes melitus

3. Intervensi
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, selanjutnya penulis menyusun
perencanaan yang meliputi prioritas masalah perumusan tujuan, penentuan kriteria
hasil dan rencana tindakan dalam memberikan pedoman tindakan yang akan
dilakukan untuk mengatasi masalah pasien berdasarkan tinjauan teoritis
perencanaan untuk mengatasi hambatan mobilitas fisik dan resiko infeksi,
dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam.
Penulis banyak menganjurkan pasien untuk selalu menjaga kebersihan kulit dan
aktivitas secara bertahap dan pengawasan dalam mengkonsumsi obat-obatan.

4. Implementasi
Pelaksanaan keperawatan merupakan perwujudan dari perencanaan keperawatan
yang telah disusun dalam rencana keperawatan, penulis tidak bekerja sendiri,
melainkan bekerja sama dengan perawat yang ada di ruangan dan juga pasien serta
dukungan adanya fasilitas yang memadai. Pelaksanaan secara teoritis dilakukan
bedasarkan kebutuhan, sedangkan dalam praktik, pelaksanaanya sesuai dengan
perencanaan yang telah disusun berdasarkan keluhan pasien.

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengevaluasi respon pasien terhadap perawatan yang diberikan untuk memastikan
bahwa hasil yang diberikan dan diharapkan pada pasien telah tercapai. Dalam
teori, evaluasi terdiri dari:
a. Volume cairan tubuh adekuat.
b. Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
c. Infeksi tidak terjadi.
d. Tidak terjadi perubahan sensori perseptual.
e. Menunjukan peningkatan energi .
f. Ketidakberdayaan dapat ditoleransi.
g. Menunjukan peningkatan pengetahuan
Saat dilakukan pengkajian pada pasien sampai ke tahap evaluasi maka penulis
mendapatkan evaluasi sebagai berikut:
a. aktivitas tertoleransi
b. Infeksi terkontrol
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah menganalisa kasus Ny”Y” dengan diabetes melitus, maka penulis menarik
kesimpulan:
1. Tanda dan gejala yang ditemukan secara langsung selama pengkajian ternyata
tidak selalu sama dibandingkan dengan teori yang ada, hal ini dapat terjadi
salah satunya karena adanya komplikasi dan berat ringannya kondisi pasien saat
sakit.
2. Diagnosa keperawatan yang muncul secara teoritis dalam kenyataanya belum
tentu sama dengan diagnosa keperawatan yang ditemukan langsung pada
pasien, hal ini terjadi karena pasien telah mendapatkan perawatan obat
sebelumnya dan telah mendapat terapi obat.
3. Dalam perencanaan yang terdapat pada teori tidak digunakan seluruhnya pada
saat penyusunan rencana pada kasus karena diselesaikan dengan keluhan pasien
dan digunakan sebagai pedoman pelaksanaan keperawatan.
4. Pelaksanaan keperawatan yang terdapat pada teori yang tidak begitu jelas
namun pada kasus dilakukan sesuai dengan rencana yang disusun sebelumnya.
5. Evaluasi keperawatan pada teori ada satu yang tidak muncul yaitu intoleransi
aktivitas

B. Saran
Dari hasil kesimpulan penulis memberikan saran kepada perawat, pasien dan
keluarga, antara lain:
1. Sebagai perawat harus mampu menggali lebih dalam pada saat melakukan
pengkajian keperawatan guna mengoptimalkan proses keperawatan dan
mampu memprioritaskan diagnosa keperawatan yang memerlukan
penanganan segera.
2. Sebagai pasien diharapkan dapat bekerjasama dengan tim medis berkaitan
dengan proses keperawatan
3. Sebagai Keluarga pasien diharapkan dapat bekerjasama dengan tim medis
dan selalu mendampingi pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Suzane, C, Smeltzer. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth.Cetakan 1, Volume 2, Ed 8. Jakarta: EGC
Syaifuddin.2013. Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan. Edisi
2.Jilid 1. Jakarta: Medika Salemba
Doenges, Marilynn E, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta:
EGC
Price, Sylvia, A.2006.Patifisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Cetakan
1, Ed 6, Vol 2 . Jakarta:EGC.
Amin dkk.2015.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan
Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 2. Mediaction: Jogjakarta.

Anda mungkin juga menyukai