Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

PERAWATAN PALIATIF DAN EUTHANASIA

Disusun oleh:

MEGA SELVIA

NIM. 2014.06.1.0023

Pembimbing:

Dr. Sutarno, dr. Sp.THT, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HANG TUAH

S U R AB AYA

2015
REFERAT

PERAWATAN PALIATIF DAN EUTHANASIA

Disusun oleh:

MEGA SELVIA

NIM. 2014.06.1.0023

Pembimbing:

Dr. Sutarno, dr. Sp.THT, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HANG TUAH

S U R AB AYA

2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya dengan rahmat

dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan referat ini dengan judul:

PERAWATAN PALIATIF DAN EUTHANASIA.

Dengan ketulusan hati penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih

kepada:

1. Dr. Sutarno, dr. Sp.THT, S.H., M.H., selaku pembimbing

2. Semua dosen dan staf di Fakultas Hukum Universitas Hangtuah, yang

sudah memberikan dukungan dan bantuan dalam pengerjaan referat ini

3. Sahabat-sahabat saya sejurusan di kuliah magister hukum ini yang sudah

mendukung selama pengerjaan referat ini.

Saya menyadari bahwa referat ini tentu tidak terlepas dari kekurangan

karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat

diperlukan masukan dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat

memberikan manfaat bagi kita semua.

Surabaya, 31 Mei 2015

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman

Kata Pengantar................................................................................................ i

Lembar Pengesahan......................................................................................... ii

Daftar Isi.......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1

1.1 Latar Belakang........................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah...................................................................... 10

BAB II ASPEK MEDIKOLEGAL DALAM PERAWATAN

PALIATIF DAN PSEUDO-EUTHANASIA............................. 11

2.1 Pembahasan................................................................................ 11

2.2 Aspek Medikolegal Dalam Perawatan Paliatif........................... 12

2.3 Aspek Medikolegal Dalam Eutanasia........................................ 16

BAB III PANDANGAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP

PRAKTEK EUTHANASIA.......................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 25
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring perputaran globalisasi yang semakin menuntut peningkatan

mutu individual, maka peningkatan kualitas adalah hal mutlak yang harus

dilakukan, agar tidak tertinggal dengan rotasi zaman. Begitu pula dalam

bidang pelayanan keperawatan, peningkatan pelayanan haruslah diladasi

dengan nilai nilai profesionalisme. Pelayanan keperawatan yang

profesional harus dilandasi oleh nilai nilai intelektua, komitmen moral

terhadap diri sendiri, tanggung jawab terhadap masyarakat, otonomi, serta

pengadalian. Oleh karena itu tenaga kesehatan diharapkan mamou

memberikan kontribusi yang optimal sesuai dengan pengetahuan,

teknologi serta estetika perawatan pasien.1

Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat

disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit

degeneratif, penyakit paru obstriktif kronis, cystic fibrosis, stroke,

parkinson, gagal jantung/ heart failure, penyakit genetika dan penyakit

infeksi seperti HIV/AIDS yang memerlukan perawatan paliatif, disamping

kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Namun saat ini,

1 Mendri. Ni Ketut, Hubungan Pemberian Informasi Tindakan Invasif Oleh Perawat Dengan
Pemahaman Hak Pasien Rawat Inap Di IRNA I RSUP Dr. Sardjito, Tesis. Program Pascasarjana
UGM, Yogyakarta, 2009.
pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan pasien

dengan penyakit sulit disembuhkan tersebut, terutama pada stadium lanjut

dimana prioritas pelayanan tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga

perawatan agar mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi pasien dan

keluarganya.

Pada stadium lanjut, pasien dengan penyakit kronis tidak hanya

mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan

berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan

psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan

keluarganya. Maka kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit

tidak hanya pemenuhan/pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya

dukungan terhadap kebutuhan psikologis, sosial dan spiritual yang

dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal sebagai perawatan

paliatif .2

Perawatan paliatif merupakan pendekatan yang bertujuan

memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi

masalah yang berhubungan dengan penyakit yang dapat mengancam jiwa,

melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan penilaian

yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah masalah lain seperti

masalah fisik, psikososial dan spiritual. Yang dapat dijabarkan sebagai

berikut:

2 Keputusan Menteri Kesehatan, Nomor 812/Menkes/SK/VIII/2007, Kebijakan Perawatan


Paliatif, Jakarta: Menteri Kesehatan RI, 2007, h. 1.
1. Mengurangi rasa sakit dan gejala tidak nyaman lainnya;
2. Menegaskan arti kehidupan dan memandang kematian sebagai proses

yang normal;
3. Tidak bertujuan untuk mempercepat ataupun menunda kematian;
4. Memadukan aspek aspek bio-psikologi, sosial dan spiritual dalam

pengobatan pasien;
5. Menawarkan dukungan untuk membantu pasien hidup seaktif

mungkin sampai saat meninggalnya;


6. Menawarkan dukungan untuk keluarga pasien agar tabah selama

pasien sakit serta di saat saat sedih dan kehilangan;


7. Menggunakan pendekatan secara tim untuk menjawab kebutuhan

pasien dan keluarganya, termasuk dukungan di saat saat sedih dan

kehilangan, jika diperlukan;


8. Meningkatkan kualitas hidup, dan memberikan pengaruh positif

selama sakit;
9. Dapat diterapkan sejak awal pengobatan penyakit, bersamaan dengan

terapi terapi lain yang bertujuan untuk memperpanjang hidup

misalnya kemoterapi atau terapi radiasi, dan mencakup penyidikan

yang dibutuhkan untuk ldapat memahami dan menangani berbagai

komplikasi klinis yang menyulitkan dengan lebih baik.3

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekonologi di bidang

medik, kehidupan seorang pasien bisa diperpanjang dengan memberikan

makan cairan melalui sonde dan pemberian bantuan pernafasan melalui

ventilator. Seringkali para dokter ICU kini dihadapkan pada dilema apakah

pemberian bantuankehidupan ini harus mulai diberikan atau tidak dan

yang sudah diberikan apa boleh dihentikan. Para dokter sudah dididik

3 Dr. Sutarno, dr. Sp.THT, S.H., M.H., Hukum Kesehatan: Eutanasia, Keadilan dan Hukum
Positif di Indonesia, Setara Press, Malang, 2014, h. 66-67.
untuk menolong jiwa pasien, namun kini harus memutuskan apakah

mereka boleh merelakan pasien itu meninggal (allowing the patient to

die), mengingat satu dan lain hal sudah tidak mungkin lagi untuk

menolongnya. Jika tetap diusahakan, penderitaan pasien itu akan

diperpanjang dan kadang kadang pasien sudah tidak tahan lagi akan

penderitaannya. Memang persoalannya bersifat kasuistis, sehingga suatu

pedoman yang pasti dan nurani sang dokter dan kepercayaan dan agama

yang dianutinya. Juga tergantung kepada hukum dari negara yang berlaku.4

Namun harus diketahui pula bahwa pengobatan paliatif seperti ini

tidak ada batas waktu sampai kapan harus dirawat di rumah sakit, karena

hanya mengobati gejala penyakit saja sambil menunggu panggilan Allah.

Jangka waktu perawatan bisa sangat lama, dan tentunya memerlukan biaya

sangat besar baik untuk ongkos penginapan, obat obatan, tenaga medis

dan paramedis. Selain itu keluarga pasien juga akan sangat repot, karena

harus menunggu siang maupun malam, sehingga harus meninggalkan

rumah, keluarga dan pekerjaan, mengeluarkan biaya yang tidak sedikit

untuk transport dan lain lain.5

Di negara negara lain, sebut saja Belanda, peraturan perundangan

tentang euthanasia sudah dibuat dan diberlakukan. Dengan demikian akan

memberi rasa aman kepada para personil medis. Dengan adanya

perlindungan terhadap mereka yang menjalankan tugas untuk mengobati

4 Goewandi, Bioethic & Biolaw, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2000.

5 Dr. Sutarno, dr. Sp.THT, S.H., M.H., Op. Cit..,h. 65.


atau menghentikan pengobatan terhadap pasien yang memiliki penyakit

tertentu, dengan tingkat keparahan penyakit yang berbeda beda. Sayang

kita tidak dapat begitu saja meniru Belanda. Tidak lain karena kondisi

masyarakat yang sangat berbeda. Di Belanda, masyarakatnya lebih

homogen, lebih materialistis, logis dan individualistis, sedangkan di

Indonesia masyarakatnya lebih heterogen lebih religius dan komunal.

Euthanasia berasal dari bahasa Yunani Euthanathos. Eu berarti

baik, tanpa penderitaan, sedangkan tanathos berarti mati. Dengan

demikian eutanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan,

ada yang menterjemahkan mati cepat tanpa derita. Hal ini dinyatakan oleh

Suetonis, seorang penulis dari Yunani dalam bukunya yang berjudul

Vitacae sarum. Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia,

eutanasia merupakan tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan

makhluk, (baik orang atau hewan piaraan) yang sakit berat atau luka parah

dengan kamatian yang tenang dan mudah atas dasar kemanusiaan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa eutanasia adalah suatu

tindakan membunuh pasien atau membiarkan meninggalnya pasien secara

alamiah, dimana pasien tersebut menderita penyakit yang menurut ilmu

medis sudah tidak dapat disembuhkan, dan dengan tujuan tidak

memperpanjang penderitaan pasien yang bersangkutan.6

Eutanasia dapat menempatkan para dokter dalam posisi serba sulit.

Di satu pihak dokter harus menghormati hak hak pasien (termasuk hak
6 Ibid, h. 16.
untuk mati?), namun dilain pihak faktor faktor etika moral dan hukum

yang juga harus ditaati. Suka atau tidak, sengaja atau tidak, pada masa

sekarang para dokter akan berhadapan dengan kasus kasus eutanasia atau

mirip dengan itu. Sebagai perbandingan, 80% para dokter di Amerika

Serikat setuju dengan eutanasia dan akan melakukannya bila memperoleh

kesempatan. 7

Dalam praktiknya, euthanasia dilakukan apabila seorang pasien

yang menderita penyakititu belum diketemukan obatnya, serta membuat si

pasien menderita karena penyakit yang di deritanya (secara fisik). Sebab

lainnya, apabila keluarga si pasien membutuhkan biaya yang tidak sedikit

untuk perawatan dirinya, sedangkan keadaan keluarganya sudah tidak

sanggup membiayai pengobatan si penderita (secara materi), maka si

pasien meminta dengan sungguh sungguh kepada pihak rumah sakit

untuk mengakhiri hidupnya dan si keluarga pasien mengizinkannya. Pihak

rumah sakit kemudia melakukan eutanasia (mengakhiri hidup si pasien)

baik dilakukan dengan euthanasia aktif maupun euthanasia pasif. 8

Dalam KODEKI Pasal 2 dijelaskan bahwa; seorang dokter harus

senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dnegan standar

profesi tertinggi. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan

7 http://agus-prayogi.blogspot.co.id/2013/04/medikolegal-dalam-perawatan-paliatif.html

8 Dr. Sutarno, dr. Sp.THT, SpKL, S.H.,M.H. dan Bambang Ariyanto, Tinjauan Hak Asasi
Manusia Dalam Tindakan Eutanasia, Perspektif Hukum, Volume 12, No.2, November 2012, h.
43.
kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai

dengan ilmu kedokteran mutakir, hukum dan agama.

KODEKI Pasal 7d juga menjelaskan bahwa setiap dokter harus

senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani. Artinya

dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan

dan kebahagiaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya seorang

dokter tidak boleh melakukan; mengugurkan kandungan (Abortus

Provocatus), mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan

pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).

Di negara negara yang pro terhadap euthanasia seperti Amerika

maupun negara negara maju lainnya, kebijakan euthanasia di praktikkan

secara terang terangan. Mereka sangat menghargai pilihan bagi diri si

pasien dan keluraganya untuk memilih dan menentukan jalan kematiannya

sendiri. Mereka beranggapan bahwa memaksa seseorang untuk

melanjutkan kehidupannya yang penuh dengan penderitaan dan siksaan

penyakit, baik fisik maupun materi adalah tindakan irasional dan tidak

menghargai hak asasi manusia, dimana seseorang memiliki hak terhadap

dirinya sendiri untuk menentukan sikap dan keputusan atas kelanjutan

hidupnya. Hal ini patut dihormati dan dihargai.

Akan tetapi bagi golongan yang kontra terhadap praktik

euthanasia, argumentasi yang digunakan mengedepankan persoalan yuridis

dan sikap dokter yang terlalu pasrah dan menyerah. Secara agama, hidup
dan matinya seseorang itu berada di tangan Allah SWT dan tugas dokter

hanya berusaha semaksimal mungkin serta mengerahkan segala

kemampuannya untuk dapat memberikan pertolongan kepada si pasien.

Apakah betul hak untuk mati bagi seseorang tidak ada, dan

bagaimana pula kalau hak untuk hidup tidak diambilnya. Pada Pasal 281

UUD 1945 hak untuk hidup dicantumkan sedangkan hak untuk mati tidak

disebutkan. Keadaan tersebut pasti hanya untuk keadaan norma;, dimana

hak untuk hidup akan lebih menguntungkan seseorang yang

mempunyainya. Sebagaimana pada keadaan perang dan pelaksanaan

hukuman mati ternyata membunuh orang dilegalkan. Maka dalam keadaan

khusus tentunya euthanasia jenis tertentu juga dapat dilegalkan pula.

Hal ini juga menyangkut rasa kemanusiaan yang terdaoat dalam

Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 yang di masyarakat lebih dikenal

dengan perikemanisiaan dalam Pancasila. Dalam Pancasila semua warga

negara harus menghormati hak orang lain, termasuk pula hak pasien

khusus ini. Sehingga pasien tidak merasa disiksa, baik waktu dan

tenaganya serta pikiran keluarganya bisa dimanfaatkan untuk hal lain

daripada terus menerus digunakan untuk hal yang sudah jelas secara

ilmiah kedokteran harapannya sangat tipis sehingga seringkali disebut

sudah tidak dapat sembuh kembali.

Euthanasia menjadi menarik karena menyangkut isu terhadap Hak

Asasi Manusia atau HAM dari pasien yang bersangkutan. Di Indonesia,


sejak berlangsungnya reformasi, isu HAM sangat diperhatikan dan

berkembang. Dengan demikian masalah euthanasia yang dikaitkan dengan

isu HAM akan makin menarik untuk dikaji. Hal ini penting apalagi usia

harapan hidup manusia Indonesia makin panjang, makin banyak orang

yang berusia lanjut dan orang yang berpenyakit degeneratif serta kanker

yang memerlukan pengobatan dengan peralatan canggih dan dengan

prosedur dulit sehingga memerlukan dana yang besar.

Pada situasi semacam ini, secara spontan dokter akan

mempertimbangkan pasien mana yang masih mempunyai harapan untuk

disembuhkan. Dengan demikian dapat terjadi pasien yang kondisi

kehidupannya sudah tidak memungkinkan bisa dikalahkan. Namun

tindakan ini sangat rawan terhadap tuntutan hukum. Hal ini membuat para

dokter menghadapi sejumlah masalah cukup berat ditinjau dari sudut

pandang medis-etis-yuridis. 9

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian sebagaimana tertuang dalam bagian latar belakang,

maka isu hukum utama yang akan dikaji dalam referat ini adalah:

2.2 Bagaimana aspek medikolegal dalam perawatan palitif dan

pseudo-euthanasia?

2.2 Bagaimana pandangan HAM terhadap praktek euthanasia

9 Dr. Sutarno, dr. Sp.THT, SpKL, S.H.,M.H. dan Bambang Ariyanto, S.H.,M.H., Hak Asasi
Manusia Dalam Kasus Euthanasia, Penelitian, Program Studi Magister Hukum Universitas
Hangtuah, Surabaya, 2013.
BAB II

ASPEK MEDIKOLEGAL DALAM PERAWATAN PALIATIF

DAN PSEUDO-EUTHANASIA

.1 Pembahasan

Euthanasia dapat menempatkan para dokter dalam posisi serba

sulit. Di satu pihak dokter harus menghormati hak hak pasien (termasuk

hak untuk mati?), namun dilain pihak faktor etika moral dan hukum yang
juga harus ditaati. Suka atau tidak, sengaja atau tidak, pada masa sekarang

para dokter akan berhadapan dengan kasus euthanasia atau mirip dengan

itu. 10

Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mendapatkan tempat yang

diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum

Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara

yuridis. (medikolegal paliatif). Sehinggak, akhirnya para pakar

menyimpukan adanya beberapa bentuk pengakhiran kehidupan yang

sangat mirip dengan euthanasia, tetapi sebenarnya bukan euthanasia. Oleh

Profesor Leenen kasus kasus demikian ini disebut sebagai Pseudo-

Euthanasia dan secara hukum tidak dapat ditetapkan sebagai euthanasia. 11

Salah satu bentuk Pseudo-Euthanasia adalah dengan menghentikan atau

tidak memulai memberikan bantuan kehidupan (Withdrawing or

Withholding Life-Support Treatment). Salah satu hal yang perlu

diperhatikan adalah kriteria medis yang digunakan untuk menentukan

apakah suatu langkah pengobatan atau perawatan berguna atau tidak.

Tentunya semua ini berdasarkan pengetahuan, kemampuan, teknologi

maupun pengalaman yang dimiliki oleh dokter dalam perawatan paliatif.

Dengan demikian seyogya nya dokter tidak memulai atauy meneruskan

suatu perawatan/ pengobatan, jika secara medis telah diketahui tidak dapat

diharapkan suatu hasil apapun, walau langkah ini akan mengakibatkan

kematian pasien. Penghentian perawatan seperti ini tidak dimaksudkan

10 Ibid.

11 Goewandi, Op.Cit..
untuk mengakhiri/ memperpendek hidup pasien, melainkan untuk

menghindari dokter dan tim bertindak diluar kompetensinya. 12

2.2 Aspek Medikolegal Dalam Perawatan Paliatif

1. Persetujuan tindakan medis/ informed consent untuk pasien

paliatif

a) Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan

perawatan paliatif melalui komunikasi yang intensif dan

berkesinambungan antara tim perawatan paliatif dengan pasien dan

keluarganya,

b) Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan

kedokteran pada dasarnya dilakukan sebagaimana telah diatur

dalam peraturan perundang undangan.

c) Meskipun pada umumnya hanya tindakan kedokteran (medis) yang

membutuhkan informed consent, tetapi pada perawatan paliatif

sebaiknya setiap tindakan yang beresiko dilakukan informed

consent.

d) Baik penerima informasi maupun pemberi persetujuan diutamakan

pasien sendiri apabila ia masih kompeten, dengan saksi anggota

keluarga terdekatnya. Dalam hal pasien telah tidak kompeten,

maka keluarga terdekatnya melakukan atas nama pasien.

12 http://agus-prayogi.blogspot.co.id/2013/04/medikolegal-dalam-perawatan-paliatif.html
e) Tim perawatan paliatif sebaiknya mengusahakan untuk

memperoleh pesan atau pertanyaan pasien pada saat ia sedang

kompeten tentang apa yang harus atau boleh atau tidak boleh

dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya kemudian menurun

(advanced directive). Pesan dapat memuat secara ekplisit tindakan

apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, atau dapat pula hanya

menunjuk seseorang yang nantinya akan mewakilinya dalam

membuat keputusan pada saat ia tidak kompeten. Penyataan

tersebut di buat tertulis dan akan dijadikan panduan utama bagi tim

perawatan paliatif.

f) Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim

perawatan paliatif dapat melakukan tindakan kedokteran yang

diperlukan, dan informasi dapat diberikan pada kesempatan

pertama.

2. Resusitasi/tidak resusitasi pada pasien paliatif

a) Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi

dapat dibuat oleh pasien yang kompeten atau oleh Tim Perawatan

Paliatif.

b) Informasi tentang hal ini sebaiknya telah diinformasikan pada saat

pasien memasuki atau memulai perawatab paliatif.

c) Pasien yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki

resusitasi, sepanjang informasi adekuat yang dibutuhkannya untuk


membuat keputusan telah dipahaminya. Keputusan tersebut

tersebut dapat diberikan dalam bentuk pesan dalam advanced

derective tertulis. Namun demikian, dalam keadaan tertentu dan

atas pertimbangan tertentu yang layak dan patut, permintaan

tertulis oleh seluruh anggota keluarga terdekat dapat dimintakan

penetapan pengadilan untuk pengesahannya.

d) Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak

melakukan resusitasi sesuai dengan pedoman klinis di bidang ini,

yaitu apabila pasien berada dalam tahap terminal dan tindakan

resusitasi diketahui tidak akan menyembuhkan atau memperbaiki

kualitas hidup berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut.

3. Perawatan pasien paliatif di ICU

a) Pada dasarnya perawatan paliatif pasien di ICU mengikuti

ketentuan ketentuan umum yang berlaku sebagaimana diuraikan

di atas.

b) Dalam menghadapi tahap terminal, Tim Perawatan Paliatif harus

mengikuti pedoman penentuan kematian batang otak dan

penghentian peralatan life supporting.

4. Masalah medikolegal lainnya pada perawatan pasien paliatif


a) Tim Perawatan Paliatif bekerja berdasarkan kewenangan yang

diberikan oleh Pimpinan Rumah Sakit, termasuk pada saat

melakukan perawatan di rumah pasien.

b) Pada dasarnya tindakan yang bersifat kedokteran harus dikerjakan

oleh tenaga medis, tetapi dengan pertimbangan yang

memperhatikan keselamatan pasien tindakan tindakan tertentu

dapat didelegasikan kepada tenaga kesehatan non medis yang

terlatih. Komunikasi antara pelaksana dengan pembuat kebijakan

harus dipelihara.13

.3 Aspek Medikolegal Dalam Euthanasia

1. Euthanasia

Hippokrates pertama kali menggunakan istilah euthanasia ini

pada sumpah hipokrates yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah

tersebut berbunyi: Saya yidak akan menyarankan dan atau

memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah

dimintakan untuk itu. Dalam sejarah hukum inggris yaitu common

law sejak tahun 1300 hingga saat ini bunuh diri ataupun membantu

pelaksanaan bunuh diri tidak diperbolehkan.

13 Keputusan Menteri Kesehatan, Op.Cit.., h.3.


Menurut KODEKI euthanasia adalah: berpindahnya ke alam baka

dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan

nama Tuhan di bibir; waktu hidup akan berakhir, diiringankan

penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang;mengakhiri

penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan

pasien sendiri & keluarganya.

2. Pseudo-Euthanasia

Menurut Profesor Leenen dalam Achadiat (2007) ada 4 bentuk

golongan pseudo-euthanasia ialah:

Pengakhiran perawatan medik karena gejala mati otak atau batang

otak.

Pasien menolak perawatan atau bantuan medik terhadap dirinya.

Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak

terlawan (force majure).

Penghentian perawatan/ pengobatan/ bantuan medik yang diketahui

tidak ada gunanya.

3. Jenis jenis euthanasi dan kesadaran pelakunya

Euthanasia Pasif
Tindakan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau

pengobatan yang diperlukan untuk mempertahankan hidup

manusia, sehingga pasien diperkirakan meninggal setelah tindakan

pertolongan dihentikan.
Euthanasia Aktif
Merupakan perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter

untuk mengakhiri nyawa seorang pasien yang dilakukan secara

medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat obatan yang

bekerja cepat dan mematikan. Euthanasia aktif terbagi atas 2

golongan:
a) Euthanasia aktif langsung: yaitu cara pengakhiran kehidupan

melalui tindakan medi yang diperhitungkan akan langsung

memberi sianida atau suntikan zat yang segera mematikan.


b) Euthanasia aktif tidak langsung
Menunjukkan bahwa tindakan medis yang dilakukan tidak akan

langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa

resiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien.

Misalnya mencabut tabung oksigen atau alat bantu kehidupan

lainnya.

4. Penerapan hukum positif pada kasus euthanasia di Indonesia

Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah suatu

perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan

perundang undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang

Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa Barang siapa

menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,

yang disebutnta dengan nyata dan sungguh sungguh, dihukum

penjara selama lamanya 12 tahun. Juga demikian halnya nampak

pada pengaturan pasal pasal 338,340,345, dan 359 KUHP yang juga
dapat dukatakan memenuhi unsur unsur delik dalam perbuatan

euthanasia.

Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara

kita memang tidak mengizinkan tindakan euthanasia oleh siapa pun.

Belum ada peraturan perundangan yang khusus, dilihat dari sisi

hukum: pembunuhan / pembiaran/ kelalaian atau malpraktik medik?

Yang berkaitan adalah:

a. Perbuatan pidana dan pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana?

b. Asal legalitas, perhilangan nyawa

c. Kesalahan (dolus,culpa)

d. Delicta Commissionis, Delicta Omissionis, Delicta Commissionis

per Omissionem Commissa

Berkaitan dengan tindakan penghentian perawatan /

pengobatan / bantuan medik yang diketahui tidak ada gunanya

(Withdrawing or Withholding Life-support Treatment) bagaimanapun

juga ilmu kedokteran tetap mempunyai batas dan hal yang erat

kaitannya dengan kompetensi seorang dokter dalam tim perawatan

paliatif. Sesuatu yang berada diluar batas ilmu kedokteran sudah tidak

merupakan wewenang dokter dalam tim perawatan untuk perawatan

paliatif bekerja diluar kompetensinya dan apalagi tanpa izin pasien,

maka dapat dikatakan telah melakukan penganiayaan terhadap

pasiennya.
Yang terpenting kriteria medik harus selalu digunakan untuk

menentukan apakah suatu langkah pengobatan atau perawatan berguna

atau tidak. Tentunya semua berdasarkan pengetahuan, kemampuan,

teknologi maupun pengalaman yang dimiliki oleh dokter dan tim

perawatan.14

BAB III

Pandangan Hak Asasi Manusia Terhadap

Praktek Euthanasia

3.1 Pandangan HAM terhadap Praktek Euthanasia

Dalam undang undang Nomer 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia LN No. 165 Tahun 1999, TLN No 3886 pada Pasal 1 angka 1

Bab 1 tentang ketentuan umum menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada

hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang

14 http://agus-prayogi.blogspot.co.id/2013/04/medikolegal-dalam-perawatan-paliatif.html
Maha Esa dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung

tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang

demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak

asasi manusia merupakan hak yang dimiliki oleh setiap manusia sejak

lahir. Hak asasi manusia selain dilindungi oleh negara, juga dilindungi

dalam Undang undang No. 39 Tahun 1999 Ln No. 165 Tahun 1999, TLN

No. 3886 tentang Hak Asasi Manusia, sebagai berikut:

Pasal 4 menyebutkan bahwa:

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan

pribadi, pikiran dan hati nurani, hal beragama, hak untuk tidak

diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di

hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum

yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Pasal 9 menyebutkan bahwa:

1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup

dan meningkatkan taraf kehidupannya.

Pasal 33 ayat (2) menyebutkan bahwa:

Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan

penghilangan nyawa.
Pada dasarnya, pasal diatas justru menghargai dan mengedepankan

hak asasi manusia untuk hidup, bukan sebaliknya.Selain itu, hak asasi

manusia tentang hak untuk hidup juga dilindungi dalam Undang-undang

Nomor 12 Tahun 2005 LN. No. 119 Tahun 2005, TLN. No. 4558 tentang

Konvenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik dalam Pasal 6

ayat 1 menyebutkan bahwa:

Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada

dirinya.Hak ini wajib dilindungi oleh hukum.Tidak seorangpun

dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.

Pasal 9 ayat 1 menyebutkan bahwa:

Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi.

Tidak seorangpun dapat ditangkap atau ditahan secara

sewenang-wenang.Tidak seorangpun dapat dirampas

kebebasannya kecuali berdasarkan alasan- alasan yang sah dan

sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.

Berdasarkan pasal diatas hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup

merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar dan

melekat pada setiap diri manusia secara kodrati, berlaku universal dan

bersifat abadi sebagai anugerh Tuhan Yang Maha Esa.Di Indonesia, hak

asasi manusia selain dilindungi oleh Undang-undang No. 39 Tahun 1999


dan Undang-undang No. 12 Tahun 2005 juga dilindungi dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni:

Pasal 28A menyebutkan bahwa:

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan

hidup dan kehidupannya.

Pasal 28I ayat 1 menyebutkan bahwa:

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan

pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak

diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum,

dan hak untuk dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut

adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apapun.

Namun, apabila masalah yang kemudian muncul dan berkembang

ketika menyentuh hak dasar pasien, yaitu hak untuk menentukan diri

sendiri adalah hak yang melekat dalam diri manusia, dalam arti seseorang

berhak menentukan apa yang akan/perlu/harus dilakukan atas dirinya

(tubuhnya). Pasal dibawah ini berkaitan langsung dengan hak untuk

menentukan sendiri, diatur dalam :


1. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 LN No.165 Tahun 1999,

TLN No. 3886 tentang Hak Asasi Manusia dalam Bab V Hak Atas

Kebebasan Pribadi dalam Pasal 21 menyebutkan bahwa:

Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun

jasmani, dan karena itu itu tidak boleh menjadi obyek penelitian

tanpa persetujuan darinya

Pasal diatas pada prinsipnya mengemukakan hak-hak dasar dari

manusia yang tidak boleh dilanggar termasuk hak-hak pribadinya yang

tidak boleh dilanggar oleh siapapun.Pasal tersebut sesungguhnya

menjelaskan mengenai konsep dasar hak asasi manusia dimana terfokus

pada hak kebebasan pribadi yang merupakan salah satu hak yang paling

mendasar bagi setiap orang karena menyangkut juga hak untuk

menentukan nasibnya sendiri. 15

15 I Made Fandi Dwi Permana, Euthanasia Dikaji dari Perspektif Hukum Kesehatan dan Hak
Asasi Manusia, Jurnal, Universitas Mataram, Mataram, 2015.
DAFTAR PUSTAKA

Agus Prayogi (2013), Medikolegal dalam Perawatan Paliatif. Available at:


http://agus-prayogi.blogspot.co.id/2013/04/medikolegal-dalam-
perawatan-paliatif.html

Dr. Sutarno, dr. Sp.THT, SpKL, S.H.,M.H. dan Bambang Ariyanto, 2012,
Tinjauan Hak Asasi Manusia Dalam Tindakan Eutanasia,
Perspektif Hukum, Volume 12, Surabaya.

Dr. Sutarno, dr. Sp.THT, SpKL, S.H.,M.H. dan Bambang Ariyanto,


S.H.,M.H., 2013, Hak Asasi Manusia Dalam Kasus Euthanasia,
Penelitian, Program Studi Magister Hukum Universitas Hangtuah,
Surabaya.

Goewandi, 2000, Bioethic & Biolaw, Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia, Jakarta.

I Made Fandi Dwi Permana, 2015, Euthanasia Dikaji dari Perspektif


Hukum Kesehatan dan Hak Asasi Manusia, Jurnal, Universitas
Mataram.
Keputusan Menteri Kesehatan, 2007, Nomor
812/Menkes/SK/VIII/2007, Kebijakan Perawatan Paliatif, Jakarta:
Menteri Kesehatan RI.

Mendri. Ni Ketut, Hubungan Pemberian Informasi Tindakan Invasif


Oleh Perawat Dengan Pemahaman Hak Pasien Rawat Inap Di
IRNA I RSUP Dr. Sardjito, Tesis.

Anda mungkin juga menyukai