Anda di halaman 1dari 15

KEPERAWATAN PALIATIF

OLEH :

NAMA : CUT INTAN JUWITA

RUANG : 3A

NIM : 18010009

PEMBIMBING : NS. SRIMAWATI. M.Kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MEDIKA NURUL ISLAM SIGLI

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun
makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini
dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk
membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah
ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada


makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan
saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca
sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Penyusun

Sigli, 12 januari 2021


DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................... i

Daftar Isi............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1

A. Latar belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan masalah................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN TEORI............................................................................... 1

A. aspek legal etik keperawatan paliatif diindonesia.................................. 1


B. aspek legal etik keperawatan paliatif didunia......................................... 1
C. teori etik dalam dunia keperawatan........................................................ 1
BAB III PENUTUP............................................................................................. 1
A. Kesimpulan.............................................................................................. 1
B. Saran......................................................................................................... 1
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah Perawatan paliatif adalah pendekatan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang
mengancam jiwa, dengan cara meringankan  penderitaan terhadap rasa
sakit dan memberikan dukungan fisik, psikososial dan spiritual yang
dimulai sejak tegaknya diagnosa hingga akhir kehidupan pasien.
Menurut American Cancer Society, perawatan paliatif adalah
perawatan untuk dewasa dan anak dengan penyakit serius yang
berfokus mengurangi penderitaan dan meningkatkan kualitas hidup
pasien serta keluarga, tetapi tidak dimaksud untuk menyembuhkan
penyakit. Perawatan paliatif dapat diberikan kepada semua usia dan
semua stadium panyakit dengan mengurangi gejala, nyeri, dan stress
dan diberikan bersama dengan pengobatan kuratif. Perawatan  paliatif
ini ditujukan untuk orang yang menghadapi penyakit yang belum dapat
disembuhkan seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru
obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, parkinson, gagal jantung/heart
failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/AIDS.
Data kasus paliatif berdasarkan prevalensi WHO tahun 2011
menunjukkan bahwa dari 29 miliar kasus paliatif sebanyak 20,4 miliar
kasus membutuhkan pelayanan paliatif. Pelaksanaan perawatan paliatif di
Eropa mulai digalakkan sejak tahun 2005, walaupun saat itu sebagian
rumah sakit di Eropa tidak memiliki tim paliatif rumah sakit.
Pelaksana perawatan paliatif kemudian dilakukan sendiri oleh klinisi yang
sudah mengikuti pelatihan. Penerapan perawatan paliatif tersebut
dilaporkan dapat meningkatkan mutu perawatan pasien dan memberi
keuntungan bagi pasien, keluarga dan klinisi. Perawatan paliatif di
Indonesia sudah berkembang sejak tahun 1992 dan kebijakan perawatan
paliatif telah diatur dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan RI
No. 812, tertanggal 19 Juli 2007. SK tersebut merupakan suatu instruksi
resmi yang diberikan kepada seluruh institusi pelayanan kesehatan di
Indonesia untuk mengembangkan layanan perawatan paliatif di tempat
masing-masing.

B. Rumusan masalah
1. Apa saja aspek legal etik keperawatan paliatif diindonesia ?
2. Apa saja aspek legal etik keperawatan paliatif didunia ?
3. Apa saja teori etik dalam dunia keperawatan ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Aspek legal etik keperawatan paliatif diindonesia


Masyarakat menganggap perawatan paliatif hanya untuk pasien dalam
kondisi terminal yang akan segera meninggal. Namun konsep baru perawatan
paliatif menekankan pentingnya integrasi perawatan paliatif lebih dini agar
masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasidengan baik. Perawatan
paliatif adalah pelayanan kesehatan yang bersifat holistik danterintegrasi
dengan melibatkan berbagai profesi dengan dasar falsafah bahwa setiap pasien
berhak mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir hayatnya.Perawatan
paliatif merupakan pendekatan yang mengembangkan kualitas hidup pasien
dan keluarganya dari masalah yang berhubungan dengan penyakit yang
mengancam hidup, pada berbagai kelainan bersifat kronis atau pada penyakit
terminal. Perawatan paliatif berfokus pada aspek yang multidimensi termasuk
psikologis, social, spiritual, fisik, interpersonal dan komponen perawatan.
Menurut Tejawinata (2006), salah satu aspek penting dalam perawatan
paliatif adalah kasih, kepedulian, ketulusan, dan rasa syukur. Begitu
pentingnya aspek ini, sampai melebihi pentingnya penanganan nyeri yang
mutlak harusdilakukan dalam perawatan paliatif. Beliau juga menyatakan,
pada penderita kanker yang tidak mungkin tersembuhkan lagi, perawatan
paliatif pada dasarnya adalah upaya untuk mempersiapkan awal kehidupan
baru (akhirat) yang berkualitas. Tidak ada bedanya dengan perawatan
kandungan yang dilakukan seorang calon ibu, yang sejak awal kehamilannya
rutin memeriksakan diri untuk memastikan kesehatannya dan tumbuh
kembang calon bayinya, agar dapat melewati proses kelahirandengan sehat
dan selamat, selanjutnya dalam kehidupan barunya sebagai manusia si bayi
dapat tumbuh menjadi manusia yang sehat dan berkualitas. Cara lain untuk
melihat perawatan paliatif adalah konsep "kematian yang baik," bebas dari
rasa sakit dihindari dan penderitaan bagi pasien dan keluarga pasien. Pada
pandangan pertama,definisi ini tampaknya memiliki sedikit hubungannya
dengan perawatan akut disampaikandalam pengaturan seperti gawat darurat
Bahkan, sementara sampai dengan 60% dari pasien meninggal di rumah di
Amerika Serikat, dilaporkan sedikitnya 35% dari pasien ingin mati dirumah.
Akibatnya, banyak pasien yang sakit parah hadir untuk departemen darurat.
Mereka dapat melakukannya ketika kematian sudah dekat, untuk pengobatan
penyakit akut ditumpangkan pada penyakit yang ada mereka, atau untuk
mengontrol gejala, terutama rasa sakit. Masalah yang krusial dalam bidang
Bioetika dan Biolaw adalah menyangkut “kehidupan dan kematian”. Untuk
hidup seseorang perlu makan dan minum, kadang-kadang dalam keadaan
sakit, seorang pasien tidak bisa makan sendiri, sehingga harus diberikan
nutrisi dan hidrasi melalui suatu slang (Sonde). Menurut perhitungan secara
umum seorang rata-rata bisa bertahan hidup selama 40 (empat puluh) hari
tanpa makan. Seorang yang gemuk malah bisa bertahan hidup lebih lama,
karena sel-sel lemak secara perlahan-perlahan akan hancur dan memberikan
daya-tahannya. Tanpa minum (cairan) seseorang akan meninggal lebih cepat.
Dalam waktu 3 (tiga) sampai 10 (sepuluh) hari tergantung pada kesehatan dan
tenaganya.Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
medik, kehidupan seorang pasien bisa diperpanjang dengan memberikan
makan cairan melalui sonde dan pemberian bantuan pernapasan melalui
Ventilator. Seringkali para dokter ICU kini dihadapkan pada dilema apakah
pemberian bantuan kehidupan ini harus mulai diberikan atau tidak dan yang
sudah diberikan apa boleh dihentikan. Para dokter sudah dididik untuk
menolong jiwa pasien, namun kini harus memutuskan apakah mereka boleh
"merelakan pasien itu meninggal" (allowing the patient to die), mengingat satu
dan lain hal sudah tidak mungkin lagi untuk menolongnya. Jika tetap
diusahakan, penderitaan pasien itu akan diperpanjang dan kadang-kadang
pasien sudah tidak tahan lagi penderitaannya. Memang persoalannya bersifat
kasuistis, sehingga suatu pedoman yang pasti dan baku tak mungkin diberikan.
Tergantung kepada hati- nurani sang dokter dan kepercayaan dan agama yang
dianutriya. Juga tergantung kepada hukum dari negara yang berlaku.
( Guwandi, 2000).
Dua pengacara, David A. Wollin dan Joseph Avanzato telah memberikan
suatu contoh kasus dari Rhode Island yang menghebohkan. Kasusnya sebagai
berikut :Kasus Marcia Gray Amerika Serikat, di Rhode Island, telah
menggambarkan dilema yang dihadapi para dokter. Gray adalah seorang
pasien Rhode Island Medical Center dan sudah berada dalam keadaan
vegetatif (persistent vegetative state). Mengingat Gray tidak mempunyai
harapan lagi untuk siuman kembali, maka suaminya meminta agar pemberian
makanan artifisial dihentikan saja agar Gray direlakan untuk meninggal. Para
dokter menolak permintaan ini dan mengatakan hal ini tidak bisa mereka
lakukan, karena bisa dituntut telah melakukan Euthanasia. Tindakan itu tidak
selaras dengan profesinya sebagai dokter dan bisa dituntut pidana atau perdata
karena menyebabkan kematian Gray.Perkara ini kemudian diajukan ke
Pengadilan. Pengadilan federal pada akhirnya memerintahkan agar pemberian
nutrisi dan hidrasi kepada Gray dihentikan. Walaupun Gray tidak bisa
menyatakan kehendaknya, pengadilan berpendapat bahwa ia mempunyai hak
konstitusional untuk menolak pemberian bantuan kehidupan, termasuk
makanan dan minuman (nutrition and hydration) dan hak ini adalah hak yang
paling utama di atas kepentingan lainnya. Walaupun kasus Gray telah
merupakan suatu preseden penting di Rhode Island, tetapi ini masih belum
memecahkan persoalan dari berbagai situasi yang dihadapi para dokter dalam
memutuskan : apakah tidak memulai atau menghentikan pemberian bantuan
kehidupan.
Euthanasia dapat menempatkan para dokter dalam posisi serba sulit. Di
satu pihak dokter harus menghormati hak-hak pasien (termasuk hak untuk
mati? ), namun dilain pihak faktor-faktor etika moral dan hukum yang juga
harus ditaati. Suka atau tidak, sengaja atau tidk, pada masa sekarang para
dokter akan berhadapan dengan kasus-kasus euthanasia atau mirip dengan itu.
Sebagai perbandingan, 80 persen para doter di merika Serikat setuju dengan
euthanasia negatif dan akan melakukannya bila memperoleh kesempatan.
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mendapatkan tempat yang
diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif
Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis.
Kasus pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Agian ke Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tahun 2004, tidak dikabulkan. Dan akhirnya korban yang
mengalami koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan
untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban
sembuh dari komanya dan dinyataka nsehat oleh dokter. Terakhir adalah
pengajuan euthanasia oleh suami Siti Zulaeha ke pengadilan yang sama pada
tahun 2005. Kajian dan telaah dari sudut medis, etika moral maupun hukum
oleh masing-masing pakar, akhirnya menyimpulkan adanya beberapa bentuk
pengakhiran kehidupan yang sangat mirip dengan euthanasia, tetapi
sebenarnya bukan euthnasia. Oleh Profesor Leenen kasus-kasus demikian ini
disebut sebagai Pseudo-Euthanasia dan secara hukum tidak dapat diterapkan
sebagai euthnasia. Dalam bahasa Indonesia, mungkin istilah yang tepat adalah
Euthanasia-semu. Salah satu bentuk Pseudo-Euthanasia adalah Penghentian
perawatan/pengobatan/bantuan medik yang diketahui tidak ada gunanya lagi
menghentikan atau tidak memulai memberikan bantuan kehidupan.
(Withdrawing Or Withholding Life-Support Treatment). Apabila hukum di
Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu
materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-
nilainya, baik sosial, etika, maupun moral. Pro dan kontra euthanasia di
Indonesia adalah, Pro : isu HAM, hak hidup, hak mati, individual right; dalam
keadaan khusus membunuh orang legal; dilihat dari Pancasila:
Perikemanusiaan, Keluarga pasien mendapat manfaat, Pengobatan paliatif
mulai berkembang; Di negara lain sudah diatur (Belanda); Memberikan rasa
aman kepada para tenaga medis. Kontra : budaya masyarakat; Agama, walau
kehidupan semu tunggu mu’jizat; Yang penting kriteria medis harus selalu
digunakan untuk menentukan apakah suatu langkah pengobatan atau
perawatan berguna atau tidak. Tentunya semua ini berdasarkan pengetahuan,
kemampuan, teknologi maupun pengalaman yang dimiliki oleh dokter dalam
perawatan paliatif. Dengan demikian seyogianya dokter tidak memulai atau
meneruskan suatu perawatan/pengobatan, jika secara medis telah diketahuai
tidak dapat diharapkan suatu hasil apapun, walau langkah ini akan
mengakibatkan kematian pasien. Penghentian perawatan seperti ini tidak
dimaksudkan untuk mengakhiri/ memperpendek hidup pasien, melainkan
untuk menghindari dokter dan tim bertindak diluar kompetensinya. Dapat pula
dikataan bahwa langkah tersebut mencegah terjadinya penganiayaan terhadap
pasien, berdasarkan pasal 351 ayat 1 KUHP (Penganiayaan diancam pidana).

B. Aspek legal etik keperawaan paliatif didunia


Perawatan paliatif didunia mulai dikenal pada tahun 60-an diinggris oleh
cicely saunders. Dia adalah peletak konsep dasar perawatan paliatif. Sebagai
perawat, pekerja sosial dan kemudian dokter, sebagai perawat, pekerja sosial
dan kemudian doker, cicely banyak menghadapi pasien yang sakit parah dan
tergerak untuk melakukan sesuatu bagi mereka. Filosofi dasar perawatannya
adalah bahwa kematian adalah fonemena yang sama alaminya dengan
kelhiran, sehingga melihat kemtian sebagai proses yang harus meneguhkan
hidup dan bebas dari rasa sakit. Berrkat jasanya, saat ini ada sekitaar 220 panti
perawatan paliatif (hospis) diinggris dan lebih dari 8.000 diseluruh dunia.
Perawatan paliatif sangat luas dan melibatkan tim interdisipliner yang tidak
hanya mencakup dokter dan perawat tetapi juga ahli gizi, ahli fisioterapi, dan
lainnya yang bekerja secara terkoordinasi dan meleyani sepenuh hati.
Perawatan dapat dilakukan secara rawat inap, rawat jalan, rawat rumah (home
care), day care dan respite care.
Pengaruh hukum masing-masing negara pada keputusan etis menentukan
kebenaran hukum atau kesalahan tindakan. Situasi ini jelas digambarkan olch
masalah bunuh diri, yang di mana hukum menentukan tindakan tersebut
(apakah tindakan atau kelalalan yang secara etis diperkenankan atau tidak).
Hal ini digambarkan dengan bunuh diri, saat ini ilegal di Inggris, sebuah
wilayah di Belanda (yang non-melegalkan, tapi tidak muncul secara hukum
dihukum oleh masyarakat); yang dilegalisir dan kemudian terbalik di Wilayah
Utara di Australia selama akhir 1990- dan menjadi hukum (diberikan keadaan
tertentu) di negara bagian Oregon di Amerika Serikat di mana seseorang dapat
mengajukan permohonan agar resep obat untuk mengakhiri hidup seseorang
(pengamanan ini dikendalikan melalui kriteria yang ketat).

C. Teori etik dalam keperawatan paliatif


Etik merupakan kesadaran yang sistematis terhadap prilaku yang dapat dipertanggung
jawabkan, etik bicara tentang hal yang benar dan hal yang salah dan didalam etik
terdapat nilai-nilai moral yang merupakan dasar dari prilaku manusia (niat). Prinsip-
prinsip moral telah banyak diuraikan dalam teori termasuk didalamnya bagaimana
nilai-nilai moral di dalam profesi tenaga kesehatan. Penerapan nilai moral
professional sangat penting dan sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi dan harus
dilaksanakan.
a. Non maleficienci ( tidak merugikan )
Aplikasi non maleficienci dalam tindakan keperawatan:
Ketika menghadapi pasien dengan kondisi gawat maka seorang
perawat harus mempertahankan kehidupan pasien dengan berbagai
cara. Tetapi menurut Chiun dan Jacobs (1997 : 40) perawat harus
menerapkan etika atau prinsip moral terhadap pasien pada
kondisi tertentu misalnya pada pasien koma yang lama yaitu
prinsip avoiding killing, Pasien dan keluarga mempunyai hak-hak
menentukan hidup atau mati. Sehingga perawat dalam mengambil
keputusan masalah etik ini harus melihat prinsip moral yang lain
yaitu beneficience, nonmaleficience dan otonomy yaitu melakukan
yang terbaik, tidak membahayakan dan menghargai pilihan
pasien serta keluarga untuk hidup atau mati. Mati disini bukan
berarti membunuh pasien tetapi menghentikan perawatan dan
pengobatan dengan melihat kondisi pasien dengan pertimbangan
beberapa prinsip moral diatas.
b. Veracity (kejujuran)
Aplikasi veracity dalam tindakan keperawatan:
Prinsip ini dilanggar ketika kondisi pasien memungkinkan untuk
menerima jawaban yang sebenarnya tetapi perawat menjawab tidak
benar misalnya dengan jawaban ; hasil ukur tekanan darahnya baik,
laboratoriumnya baik, kondisi bapak atau ibu baik-baik saja,
padahal nilai hasil ukur tersebut baik buruknya relatif bagi pasien.
c. Beneficience (berbuat baik)
Aplikasi beneficience dalam tindakan keperawatan:
Beberapa contoh prinsip tersebut dalam aplikasi praktik
keperawatan adalah, seorang pasien mengalami perdarahan
setelah melahirkan, menurut
program terapi pasien tersebut harus diberikan tranfusi darah, tetapi
pasien
mempunyai kepercayaan bahwa pemberian tranfusi bertentangan
dengan keyakinanya, dengan demikian perawat mengambil
tindakan yang terbaik dalam rangka penerapan prinsip moral ini
yaitu tidak memberikan tranfusi setelah pasien memberikan
pernyataan tertulis tentang penolakanya. Perawat tidak
memberikan tranfusi, padahal hal tersebut membahayakan
pasien, dalam hal ini perawat berusaha berbuat yang terbaik dan
menghargai pasien.
d.  Justice (keadilan)
Aplikasi justice dalam tindakan keperawatan :
Sebagai contoh dari penerapan tindakan justice ini adalah dalam
keperawatan di ruang penyakit bedah, sebelum operasi pasien harus
mendapatkan penjelasan tentang persiapan pembedahan baik pasien
di ruang VIP maupun kelas III, apabila perawat hanya memberikan
kesempatan salah satunya maka melanggar prinsip justice ini.
e. Confidentiality (kerahasiaan)
Aplikasi confidentiality dalam tindakan keperawatan:
Perawat tidak boleh menceritakan rahasia klien atau penyakit yang
diderita kepada orang lain kecuali seizin klien dan keluarga klien
demi kepentingan hukum.
f. Accountability (akuntabilitas)
Aplikasi accountability dalam tindakan keperawatan:
Jika memberi dosis obat yang salah kepada pasien, perawat tersebut
dapat digugat oleh pasien yang menerima obat oleh dokter yang
memberikan tugas delegatif dan oleh masyarakat yang
menuntut kemampuan
profesionalnya. Agar dapat bertanggung gugat, perawat harus
bertindak
profesional serta berdasarkan kode etik profesional. Dengan
demikian jika terjadi suatu kesalahan atau penyimpangan
perawat dapat segera melaporkannya atau melakukan perawatan
untuk mencegah cedera lebih lanjut akuntabilitas dilakukan untuk
mengefaluasi aktifitas perawat dalam melakukan praktek
keperawatan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan
kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam
menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara meringankan
penderitaan rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian yang sempurna,
dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik, psikologis,
sosial, atau spiritual.
Etik adalah Kesepakatan tentang praktik moral, keyakinan, sistem
nilai standar perilaku individu dan atau kelompok tentang penilaian
terhadap apa yang benar dan apa yang salah, mana yang baik dan mana
yang buruk, apa yang merupakan kejahatan, apa yang dikehendaki dan
apa yang ditolak. Etik merupakan kesadaran yang sistematis terhadap
prilaku yang dapat dipertanggung jawabkan. Didalam etik terdapat
nilai- nilai moral yang merupakan dasar dari perilaku manusia.

B. Saran
Diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca dalam
pembelajaran dan dapat meningkatkan pelayanan perawatan pasien paliatif baik
diistansi rumah sakit maupun dipelayanan lanjutan atau home care.
DAFTAR PUSTAKA

Dalami, E, dkk. 2010. Etika Keperawatan. Jakarta: TIM

KEPMENKES RI. 2007. Kebijakan Perawatan Paliatif. VII Indonesia:


Menkes

Rasjidi. Imam, 2010,  Perawatan Paliatif Suportif & Bebas Nyeri Pada

  Kanker . CV Sagung Seto, Jakarta

Suhaemi, M. 2010. Etika Keperawatan Aplikasi pada Praktik . Jakarta:


EGC

Tejawinata. Sunaryadi, 2008, Perawatan Paliatif adalah Hak Asasi Setiap


Manusia, disampiakan pada seminar peringatan hari paliatif sedunia 26 Oktober
2008, Surabaya. (Kepala Pusat Pengembangan Paliatif & Bebas Nyeri RSU Dr.
Soetomo periode 1992-2006)

Anda mungkin juga menyukai