Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

ASPEK LEGAL & ETIS KEPERAWATAN PALIATIF & STUDI KASUS


DILEMA ETIK

Dosen Pengampu : Daryanto S.Kp.M.Kep


Disusun oleh Kelompok 2 :
1. Lasro Theresia .S. ( PO71201180013 )
2. Pita Ayu .L. ( PO71201180022 )
3. Putri Balqis ( PO71201180023 )
4. Rebecca Uli .S. ( PO71201180025 )
5. Rinda Agustina ( PO71201180028 )
6. Rizki Devita ..R. ( PO71201180029 )
7. Siti Maisyarah ( PO71201180032 )

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI


PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Aspek Legal
& Etis Keperawatan Paliatif & Studi Kasus Dilema Etik”.
Penyusunan  makalah merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam
mata kuliah Keperawatan Menjelang Ajal & Paliatif Selesainya penyusunan ini berkat
bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu, pada kesempatan ini kami sampaikan terima
kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat Bapak serta segenap
jajarannya yang telah memberikan kemudahan-kemudahan baik berupa moril maupun materil
selama  proses belajar mengajar di Poltekkes Kemenkes Jambi.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas kebaikan yang telah diberikan kepada
kami. Kami menyadari tugas makalah ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu, kritik dan
saran yang sifatnya konstruktif sangat diharapkan oleh kami. Akhir kata kami berharap
semoga tugas makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Jambi,13 Agustus 2020

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG.........................................................................................4
1.2 TUJUAN..............................................................................................................5
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 PENGERTIAN KEPERAWATAN PALIATIF..................................................6
2.2 TUJUAN KEPERAWATAN PALIATIF............................................................6
2.3 PRINSIP DASAR KEPERAWATAN PALIATIF..............................................7
2.4 TIM DAN TEMPAT KEPERAWATAN PALIATIF..........................................7
2.5 LINGKUP KEGIATAN DAN ASPEK KEPERAWATAN PALIATIF.............8
2.6 ASPEK MEDICOLEGAL DALAM KEPERAWATAN PALIATIF................10
2.7 PRINSIP-PRINSIP LEGAL DAN ETIK KEPERAWATAN PALIATIF.........12
2.8 APLIKASI ASPEK LEGAL DALAM KEPERAWATAN PALIATIF............13
BAB III PEMBAHASAN
3.1 KASUS...............................................................................................................15
3.2 PEMECAHAN KASUS DILEMA ETIK..........................................................16
BAB IV PENUTUP
4.1 KESIMPULAN..................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah Perawatan paliatif adalah pendekatan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara
meringankan penderitaan terhadap rasa sakit dan memberikan dukungan fisik,
psikososial dan spiritual yang dimulai sejak tegaknya diagnosa hingga akhir kehidupan
pasien. Menurut American Cancer Society, perawatan paliatif adalah perawatan untuk
dewasa dan anak dengan penyakit serius yang berfokus mengurangi penderitaan dan
meningkatkan kualitas hidup pasien serta keluarga, tetapi tidak dimaksud untuk
menyembuhkan penyakit. Perawatan paliatif dapat diberikan kepada semua usia dan
semua stadium panyakit dengan mengurangi gejala, nyeri, dan stress dan diberikan
bersama dengan pengobatan kuratif. Perawatan paliatif ini ditujukan untuk orang yang
menghadapi penyakit yang belum dapat disembuhkan seperti penyakit kanker, penyakit
degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, parkinson, gagal
jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/AIDS.
Data kasus paliatif berdasarkan prevalensi WHO tahun 2011 menunjukkan bahwa dari
29 miliar kasus paliatif sebanyak 20,4 miliar kasus membutuhkan pelayanan paliatif.
Pelaksanaan perawatan paliatif di Eropa mulai digalakkan sejak tahun 2005, walaupun
saat itu sebagian rumah sakit di Eropa tidak memiliki tim paliatif rumah sakit. Pelaksana
perawatan paliatif kemudian dilakukan sendiri oleh klinisi yang sudah mengikuti
pelatihan. Penerapan perawatan paliatif tersebut dilaporkan dapat meningkatkan mutu
perawatan akhir hayat pasien dan memberi keuntungan bagi pasien, keluarga dan klinisi.
Perawatan paliatif di Indonesia sudah berkembang sejak tahun 1992 dan kebijakan
perawatan paliatif telah diatur dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan RI No.
812, tertanggal 19 Juli 2007. SK tersebut merupakan suatu instruksi resmi yang diberikan
kepada seluruh institusi pelayanan kesehatan di Indonesia untuk mengembangkan
layanan perawatan paliatif di tempat masing-masing.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian keperawatan paliatif
2. Untuk mengetahui tujuan keperawatan paliatif
3. Untuk mengetahui prinsip dasar keperawatan paliatif
4. Untuk mengetahui tim dan tempat keperawatan paliatif
5. Untuk mengetahui lingkup kegiatan dan aspek keperawatan paliatif
6. Untuk mengetahui aspek medicolegal dalam keperawatan paliatif
7. Untuk mengetahui prinsip-prinsip legal dan etis keperawatan paliatif
8. Untuk mengetahui aplikasi aspek legal dalam keperawatan paliatif
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Perawatan Paliatif


Kata “palliative” berasal dari bahasa latin yaitu “pallium” yang artinya adalah
menutupi atau menyembunyikan. Perawatan paliatif ditujukan untuk menutupi atau
menyembunyikan keluhan pasien dan memberikan kenyamanan ketika tujuan
penatalaksanaan tidak mungkin disembuhkan.
Perawatan paliatif adalah sistem perawatan terpadu yang bertujuan meningkatkan
kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeri dan penderitaan orang lain, memberikan
dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosis ditegakkan sampai akhir hayat dan
dukungan terhadap keluarga yang kehilangan atau berduka serta bertujuan memperbaiki
kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan
penyakit yang mengancam jiwa.
Pengertian perawatan paliatif menurut Cancer Council Australia adalah perawatan
yang membantu pasien menjalani hidup senyaman dan sebaik mungkin dengan penyakit
terminal yang dialami. Perawatan paliatif diberikan pada tahap apapun saat fase aktif
kanker. Menurut American Cancer Society, perawatan paliatif adalah perawatan untuk
dewasa dan anak dengan penyakit serius yang berfokus mengurangi penderitaan dan
meningkatkan kualitas hidup pasien serta keluarga, tetapi tidak dimaksud untuk
menyembuhkan penyakit. Perawatan paliatif dapat diberikan kepada semua usia dan
semua stadium panyakit dengan mengurangi gejala, nyeri, dan stress dan diberikan
bersama dengan pengobatan kuratif.

2.2 Tujuan Perawatan Paliatif


Tujuan utama dari perawatan paliatif adalah untuk membantu klien dan keluarga
mencapai kualitas hidup terbaik, menganggap kematian sebagai proses normal, tidak
mempercepat atau menunda kematian, menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang
mengganggu, menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual, mengusahakan agar
penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya dan membanti mengatasi suasana duka cita
pada keluarga.
2.3 Prinsip Dasar Perawatan Paliatif
Prinsip dasar perawatan paliatif menurut Committee on Bioethic and Committee on
Hospital Care pada tahun 2000 :(28)
1. Menghormati serta menghargai pasien dan keluarganya
2. Kesempatan atau hak mendapatkan kepuasan dan perawatan paliatif yang pantas
3. Mendukung pemberi perawatan (caregiver)
4. Pengembangan profesi dan dukungan sosial untuk perawatan paliatif
Menurut WHO pada tahun 2007, prinsip pelayanan paliatif yaitu menghilangkan nyeri
dan gejala fisik lain, menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses
yang alami, tidak bertujuan mempercepat atau menunda kematian, mengintegrasikan
aspek psikologis, sosial, dan spiritual, memberikan dukungan agar pasien dapat hidup
seaktif mungkin, memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa dukacita,
menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan keluarganya dan
menghindari tindakan sia-sia.
2.4 Tim dan Tempat Perawatan Paliatif
Pendekatan perawatan paliatif melibatkan berbagai disiplin ilmu yaitu pekerja sosial,
ahli agama, perawat, dokter, psikolog, relawan, apoteker, ahli gizi, fisioterapi, dan
okupasi terapi. Masing-masing profesi terlibat sesuai dengan masalah yang dihadapi
penderita, dan penyusunan tim perawatan paliatif disesuaikan dengan kebutuhan pasien
dan tempat perawatannya. Pasien dapat memilih dimana ingin dirawat, misalnya :
1. Rumah sakit
Tim perawatan paliatif merupakan kolaborasi antara interdisiplin ilmu dan
biasanya terdiri dari seorang dokter dan atau perawat senior bersama dengan satu atau
lebih pekerja sosial dan pemuka agama/rohaniawan. Sebagai tambahan, tim tersebut
juga dibantu teman sejawat dari gizi dan rehabilitasi, seperti fisioterapis atau petugas
terapi okupasi. Konsultasi awal biasanya dilakukan oleh dokter atau perawat yang
berhubungan dengan kebutuhan pasien dan keluarga dan juga memberi rujukan
kepada dokter utama yang menangani pasien tersebut. Terkadang juga konsultan
perawatan paliatif dilibatkan untuk membantu komunikasi dengan keluarga.
Perawatan paliatif berbasis rumah sakit dapat diselenggarakan dalam beberapa
tingkat atau model, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Pertama, perawatan paliatif
primer harus tersedia di semua rumah sakit. Pada tingkat ini, minimal klinisi harus
memiliki pendidikan tentang dasar-dasar pengelolaan nyeri dan gejala lain. Model
primer berfokus pada peningkatan pelayanan yang sudah ada dan pendidikan bagi
klinisi. Karena itu, model ini cocok bagi institusi yang memiliki keterbatasan sumber
daya.
Kedua, perawatan palatif sekunder memerlukan semua tenaga kesehatan yang
terlibat dalam perawatan pasien untuk memiliki level kompetensi minimum dan
memerlukan para spesialis yang menyediakan perawatan paliatif melalui tim
konsultasi interdisipliner, unit khusus, maupun keduanya.
Ketiga, program tingkat tersier dapat melibatkan organisasi tersier, seperti
rumah sakit pendidikan dan pusat-pusat pendidikan dengan tim ahli dalam perawatan
paliatif. Pada level ini, program yang dibuat dapat dijadikan sebagai konsultan bagi
level praktik primer dan sekunder ataupun sebagai program percontohan bagi pusat-
pusat pengembangan lainnya. Praktisi dan institusi yang terlibat dalam level
perawatan paliatif tersier juga harus berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas
pendidikan dan penelitian.
2. Hospice
Hospice merupakan tempat pasien dengan penyakit stadium terminal yang tidak dapat
dirawat di rumah namun tidak melakukan tindakan yang harus dilakukan di rumah
sakit. Pelayanan yang diberikan tidak seperti di rumah sakit, tetapi dapat memberikan
pelayanan untuk mengendalikan gejala-gejala yang ada, dengan keadaan seperti di
rumah pasien sendiri.
3. Rumah
Peran keluarga lebih menonjol karena sebagian perawatan dilakukan oleh keluarga.
Keluarga atau orang tua sebagai care giver diberikan latihan pendidikan keperawatan
dasar. Perawatan di rumah hanya mungkin dilakukan bila pasien tidak memerlukan
alat khusus atau keterampilan perawatan yang mungkin dilakukan oleh keluarga.

2.5 Lingkup Kegiatan & Aspek Perawatan Paliatif


Jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi penatalaksanaan nyeri, penatalaksanaan
keluhan fisik lain, asuhan keperawatan, dukungan psikologis, dukungan sosial, dukungan
cultural dan spiritual, dukungan persiapan dan selama masa dukacita. Pada setiap individu
terdapat keterkaitan antara sistem biologis, sistem psikologis, dan sistem sosial. Penyakit
yang dialami individu akan memberikan pengaruh besar dalam emosi, penampilan, dan
perilaku sosial individu. Pemberian perawatan paliatif sangat dianjurkan untuk pasien dan
keluarga pasien dengan penyakit terminal salah satunya adalah kanker. Perawatan ini
memungkinkan tidak hanya mendapatkan perawatan secara aspek fisik saja namun juga
perawatan secara psikologis dan sosial dalam menghadapi penyakit fisik yang
berpengaruh terhadap masalah pikologis dan sosial yang dihadapi pasien dan keluarga
pasien. Hal ini sesuai definisi perawatan paliatif menurut WHO yaitu perawatan yang aktif
dan menyeluruh terhadap pasien yang penyakitnya tidak lagi memberikan tanggapan
kepada pengobatan yang menyembuhkan. Kontrol dari rasa sakit, gejala-gejala lain,
masalah psikologis, sosial, dan spiritual merupakan hal yang terpenting. Sehingga aspek
perawatan paliatif berupa aspek psikologis, sosial, dan spiritual menjadi fokus dalam
rangkaian pengobatan.
1. Aspek Psikologis
Pasien dengan pernyakit terminal biasanya semakin tidak bisa menunjukkan
dirinya secara ekspresif. Pasien menjadi sulit untuk mempertahankan kontrol biologis
dan fungsi sosialnya, seperti menjadi sering mengeluarkan air liur, perubahan ekspresi
bentuk muka, gemetaran dan lain sebagainya. Pasien juga sering mengalami
kesakitan, muntahmuntah, keterkejutan karena perubahan penampilan yang drastus
disebabkan kerontokan rambut atau penurunan berat badan, dan stres karena
pengobatan sehingga pasien mengalami ketidak mampuan untuk berkonsentrasi.
Masalah psikologis tersebut disebabkan oleh perubahan perubahan dalam konsep diri
pasien. Sebagai pemberi perawatan paliatif harus bisa melakukan tugas dengan
menyesuaikan terhadap masalah pasien. Tugas yang berkaitan dengan fungsi
psikologis meliputi upaya untuk :
a. mengendalikan perasaan negatif dan memelihara pandangan positif mengenai
diri sendiri dan masa depan,
b. mengidentiikasi dan mempertahankan kepuasan akan diri sendiri dan
kemampuan diri,
c. mendorong keluarga untuk memelihara pandangan positif kepada pasien.

2. Aspek Sosial
Ancaman terhadap konsep diri yang terjadi karena menurunnya fungsi mental
dan fisik pasien dapat juga mengancam interakhi sosial pasien. Meskipun pasien
penyakit terminal sering menginginkan dan membutuhkan untuk dijenguk, namun
pasien mungkin juga mengalami ketakutan bahwa kemunduran mental dan fisiknya
akan membuat orang orang yang menjenguknya menjadi kaget dan merasa tidak enak.
Konsekuensi mengenai interaksi sosial yang tidak menyenangkan ini dapat
membuat pasien mulai menarik diri dari kehidupan sosialnya dengan cara membatasi
orang-orang yang mengunjunginya hanya kepada beberapa orang anggota keluarga
saja. Pemberian perawatan paliatif harus dapat memberikan perawatan sesuai dengan
masalah yang ada pada pasien. Tugas yang berkaitan dengan aspek sosial meliputi:
a. memelihara hubungan baik dengan keluarga dan teman-teman
b. membantu pasien mempersiapkan diri bagi masa depan yang tidak tentu
3. Aspek spiritual
Spiritualitas penting dalam meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup
seseorang. Spiritualitas juga penting dikembangkan untuk dijadikan dasar tindakan
dalam pelayanan kesehatan. Aspek ini dinyatakan juga dalam pengertian kesehatan
seutuhnya oleh WHO pada tahun 1984, yang oleh American Psychiatric Assosiation
(APA) dikenal dengan dengan rumusan “bio-psiko-sosio-spiritual”. Kekosongan
spiritual, kerohanian, dan rasa keagamaan dapat menimnulkan permasalahan psiko-
sosial begitu juga sebaliknya. Kebutuhan spiritual inilah yang menjadikan salah satu
aspek terpenting dalam pemberian perawatan paliatif pada pasien dengan penyakit
terminal salah satunya kanker. Perawatan paliatif dapat menyentuh aspek spiritual
dengan cara membantu pasien untuk mengidentifikasi kepercayaan spiritualitas positif
yang dimilikinya, sehingga pasein dapat menggunakan kepercayaan tersebut untuk
menghadapi situasi kesehatannya. Pemahaman akan kebutuhan spiritualitas akan
mempengaruhi kualitas hidup individu secara psikologis, dengan kata lain spiritualitas
adalah sesuatu yang menghidupkan semangat bagi penderita untuk mencapai
kesehatan yang lebih baik. Pemahaman yang baik juga akan membantu pasien dalam
menerima kondisi yang terjadi pada dirinya. Intervensi terhadap pemenuhan
kebutuhan spiritualitas membutuhkan pengakuan dari penderita. Dalam hal ini perlu
adanya hubungan yang baik antar pemberi layanan kesehatan, pasien, dan keluarga
pasien. Pasien diharapkan dapat merasakan ketenangan dalam jiwa kemudian
perawat membantu pasien untuk merasakan dalam jiwa kehadiran satu kekuatan yang
Maha Agung yang menciptakan kita semua sebagai manusia.
2.6 Aspek Medikolegal Dalam Perawatan Paliatif
Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliatif, harus dipastikan
terlebih dahulu bahwa pasien memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan
paliatif melalui komunikasi yang berkesinambungan antara tim perawatan paliatif
dengan pasien dan keluarga. Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan
kedokteran pada dasarnya dilakukan sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan
penundang undangan. Meskipun pada umunya hanya tindakan kedokteran (medis) yang
membutuhkan informed consent, tetapi pada perawatan paliatif sebaiknya setiap tindakan
yang beresiko, dilakukan informed consent. Baik penerima informasi maupun pemberi
persetujuan diutamakan pasien sendiri apabila masih mampu, dengan saksi anggota
keluarga terdekatnya. Pasien dan keluarga mebutuhkan waktu yang cukup untuk
berkomunikasi. Jika pasien sudah tidak mampu, maka keluarga terdekat yang melakukan
atas nama pasien.
Tim perawatan paliatif mendengarkan apa yang diinginkan pasien saat pasien masih
mampu tentang apa yang harus atau tidak boleh dilakukan terhadapnya ketika
kemampuannya mulai menurun. Selain itu pasien juga bisa saja menunjuk seseorang
yang nantinya akan mewakilinya dalam membuat keputusan saat pasien tidak mampu
lagi. Pernyataan pasien tersebut dibuat tertulis dan akan dijadikan pasnduan utama bagi
tim perawtan paliatif. Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim
perawatan paliatif dapat melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan. Keputusan
resusitasi/ tidak resusitasi dibuat oleh pasien ketika masih mampu atau oleh tim
perawatan paliatif. Hal tersebut seharusnya sudah diinformasikan pada saat pasien
memulai perawatan.
Pasien yang masih mampu memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi selama
informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan telah dipahami. Keputusan
diberikan dalam bentuk pesan (advanced directive) atau dalam informed consent
menjelang berkurangnya kemampuan. Keluarga terdekat pada dasarnya tidak boleh
membuat keputusan tidak resusitasi, kecuali telah dipesankan dalam advanced directive
tertulis. Namun dalam keadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu, permintaan
tertulis oleh seluruh keluarga dapat dimintakan penetapan pengadilan untuk
pengesahannya. Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak melakukan
resusitasi sesuai pedoman klinis, yaitu apabila pasien berada dalam tahap terminal dan
tindakan resusitasi diketahui tidak akan menyembuhkan atau memperbaiki kualitas
hidupnya berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut. Tim perawatan paliatif bekerja
berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pimpinan rumah sakit, termasuk pada saat
melakukan perawatan di rumah pasien. Pada dasarnya, tindakan yang bersifat kedokteran
harus dikerjakan oleh tenaga medis, tetapi dengan pertimbangan yang memperhatikan
keselamatan pasien, tindakan-tindakan tertentu dapat didelegasikan kepada tenaga
kesehatan non medis yang terlatih. Komunikasi antara pelaksana dengan pembuat
kebijakan harus dijaga.
2.7 Prinsip – Prinsip Legal & Etis
1. Autonomi ( Otonomi )
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan
mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki
kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang
harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap
seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara
rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut
pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai
hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
2. Beneficience ( Berbuat Baik )
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan
pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan
peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang,dalam situasi pelayanan
kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
3. Justice ( Keadilan )
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk tercapai yang sama dan adil terhadap orang lain
yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai inidirefleksikan
dalam prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk terapiyang benar sesuai hukum,
standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan
kesehatan.
4. Nonmal eficience ( Tidak Merugikan )
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.
5. Veracity ( Kejujuran )
Prinsip ini berarti penuh dengan kebenaran. Nilai diperlukan oleh pemberi pelayanan
kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk meyakinkan
bahwa klien sangat mengerti. Prinsip ini berhubungan dengan kemampuan seseorang
untuk mengatakan kebenaran.
6. Fidellity (Menepati Janji)
Prinsip ini dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap
orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan
rahasia pasien.
7. Confidentiality ( Kerahasiaan )
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi
klien.Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh
dibaca dalam rangka pengobatan klien.
8. Accountability ( Akuntabilitas )
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang professional dapat
dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.
9. Informed Consent
“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau
memberi izin.  Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan
yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent”
dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
2.8 Aplikasi Aspek Legal Dalam Keperawatan
Hukum mengatur perilaku hubungan antar manusia sebagai subjek hukum yang
melahirkan hak dan kewajiban. Dalam kehidupan manusia, baik secara perorangan
maupun berkelompok, hukum mengatur perilaku hubungan baik antara manusia yang
satu dengan yang lain, antar kelompok manusia, maupun antara manusia dengan
kelompok manusia. Hukum dalam interaksi manusia merupakan suatu keniscayaan.
Berhubungan dengan pasal 1 ayat 6 UU no 36/2009 tentang kesehatan berbunyi :
“Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
Begitupun dalam pasal 63 ayat 4 UU no 36/2009 berbunyi “Pelaksanaan pengobatan
dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu”.
Yang mana berdasarkan pasal ini keperawatan merupakan salah satu profesi/tenaga.
kesehatan yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada pasien yang
membutuhkan Pelayanan keperawatan di rumah sakit meliputi : proses pemberian asuhan
keperawatan, penelitian dan pendidikan berkelanjutan. Dalam hal ini proses pemberian
asuhan keperawatan sebagai inti dari kegiatan yang dilakukan dan dilanjutkan dengan
pelaksanaan penelitian-penelitian yang menunjang terhadap asuhan keperawatan, juga
peningkatan pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang diperoleh melalui
pendidikan dimana hal ini semua bertujuan untuk keamanaan pemberian asuhan bagi
pemberi pelayanan dan juga pasien selaku penerima asuhan.
Berdasarkan undang-undang kesehatan yang diturunkan dalam Kepmenkes 1239 dan
Permenkes No. HK.02.02/Menkes/148/I/2010, terdapat beberapa hal yang berhubungan
dengan kegiatan keperawatan. Adapun kegiatan yang secara langsung dapat berhubungan
dengan aspek legalisasi keperawatan :
1. Proses Keperawatan
2. Tindakan keperawatan
3. Informed Consent
Untuk melindungi tenaga perawat akan adanya tuntutan dari klien/pasien perlu
ditetapkan dengan jelas apa hak, kewajiban serta kewenangan perawat agar tidak terjadi
kesalahan dalam melakukan tugasnya serta memberikan suatu kepastian hukum,
perlindungan tenaga perawat. Hak dan kewajiban perawat ditentukan dalam Kepmenkes
1239/2001 dan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor
Y.M.00.03.2.6.956
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 KASUS
Seorang laki-laki usia 65 tahun menderita kanker kolon terminal dengan metastase yang
telah resisten terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi dibawa ke IGD karena jatuh dari
kamar mandi dan menyebabkan robekan di kepala.  laki-laki  tersebut mengalami nyeri
abdomen dan tulang  dan kepala yang hebat dimana sudah tidak dapat lagi diatasi
dengan pemberian dosis morphin intravena. Hal itu ditunjukkan dengan adanya rintihan
ketika istirahat dan nyeri bertambah hebat saat laki-laki itu mengubah posisinya. Walapun
klien tampak bisa tidur namun ia sering meminta diberikan obat analgesik. Kondisi klien
semakin melemah dan mengalami sesak yang tersengal-sengal sehingga mutlak
membutuhkan bantuan oksigen dan berdasar diagnosa dokter, klien maksimal hanya dapat
bertahan beberapa hari saja.
Melihat penderitaan pasien yang terlihat kesakitan dan mendengar informasi dari
dokter, keluarga memutuskan untuk mempercepat proses kematian pasien melalui euthanasia
pasif dengan pelepasan alat-alat kedokteran yaitu oksigen dan obat obatan lain dan dengan
keinginan agar dosis analgesik ditambah. Dr spesilalist onkologi yang ditelp pada saat itu
memberikan advist dosis morfin yang rendah dan tidak bersedia menaikan dosis yang
ada karena sudah maksimal dan dapat bertentangan dengan UU yang ada.
Kasus di atas merupakan salah satu contoh masalah dilema etik (ethical dilemma). Dilema
etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau
suatu situasi dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan sebanding. Dalam
dilema etik tidak ada yang benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang etis, seseorang
harus tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional. Kerangkan pemecahan
dilema etik banyak diutarakan dan pada dasarnya menggunakan kerangka proses keperawatan
/ pemecahan masalah secara ilmiah

Kozier et. al (2004) menjelaskan kerangka pemecahan dilema etik sebagai berikut :
1. Mengembangkan data dasar
2. Mengidentifikasi konflik
3. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan
mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat.
5. Mendefinisikan kewajiban perawat.
6. Membuat keputusan
3.2 PEMECAHAN KASUS DILEMA ETIK
1. Mengembangkan data dasar :
Mengembangkan data dasar disini adalah dengan mencari lebih lanjut informasi yang
ada mengenai dilema etik yang sedang dihadapi. Mengembangkan data dasar melalui
a. Menggali informasi lebih dalam terhadap pihak pihak yang terlibat meliputi : Klien,
keluarga dokter, dan perawat.
b. Identifikasi mengenai tindakan yang diusulkan : tidak menuruti keinginan keluarga
untuk melepas alat bantu nafas atau juga untuk memberikan penambahan dosis
morphin.
c. Maksud dari tindakan tersebut : agar tidak membahayakan diri klien dan tidak
melanggar peraturan yang berlaku.
d. Konsekuensi tindakan yang diusulkan, bila tidak menuruti keluarga untuk melepas
alat bantu nafas dan tidak diberikan penambahan dosis morphin, klien dan
keluarganya menyalahkan perawat karena dianggap membiarkan pasien menderita
dan apabila keluarga klien kecewa terhadap pelayanan di IGD mereka bisa menuntut
ke rumah sakit.
2. Mengidentifikasi Konflik Akibat Situasi Tersebut :
Penderitaan klien dengan kanker colon yang sudah mengalami metastase mengeluh nyeri
yang tidak berkurang dengan dosis morphin yang telah ditetapkan. Keluarga meminta
penambahan dosis pemberian morphin untuk mengurangi keluhan nyerinya dan memutuskan
untuk tidak memberikan alat bantu apapun termasuk oksigen, Keluarga mendukung
keinginan klien agar terbebas dari keluhan nyeri. Konflik yang terjadi adalah :
a. Tidak memberikan Oksigen dan penambahan dosis pemberian morphin dapat
mempercepat kematian klien yang berarti melanggar prinsip etik Beneficience-
Nonmaleficience
b. Tidak memenuhi keinginan klien terkait dengan pelanggaran hak klien yang dapat
melanggar nilai autonomy.
c. Tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan konsekuensi
tindakan tersebut
d. Tidak menuruti keinginan pasien tentang penambahan dosis obat pengurang nyeri dan
melepaskan oksigen
Konsekuensi :
1. Tidak mempercepat kematian klien
2. Membiarkan Klien meninggal sesuai proses semestinya
3. Tidak melanggar peraturan mengenai pemberian morfin
4. Keluhan nyeri pada klien akan tetap berlangsung
5. Pelanggaran terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri
6. Keluarga dan pasien cemas dengan situasi tersebut
b. Tidak menuruti keinginan klien, dan perawat membantu untuk manajemen nyeri.
Konsekuensi :
1. Tidak mempercepat kematian pasien
2. Klien dibawa pada kondisi untuk beradaptasi pada nyerinya (meningkatkan ambang
nyeri)
3. Keinginan klien untuk menentukan nasibnya sendiri tidak terpenuhi
c. Menuruti keinginan klien untuk menambah dosis morphin namun tidak sering dan apabila
diperlukan. .
Konsekuensi :
1. Risiko mempercepat kematian klien sedikit dapat dikurangi
2. Klien pada saat tertentu bisa merasakan terbebas dari nyeri sehingga ia dapat cukup
beristirahat.
3. Hak klien sebagian dapat terpenuhi.
4. Kecemasan pada klien dan keluarganya dapat sedikit dikurangi.
5. Beresiko melanggar peraturan yang berlaku.
d. Tidak menuruti keinginan keluarga dan membantu keluarga dalam proses berdukanya
Konsekuensi :
1. Tidak mempercepat kematian klien
2. Keluarga dapat melewati proses berduka dengan seharusnya
3. Keluarga tidak menginginkan dilakuakn euthanasia terhadap pasien
4. Menentukan Siapa Pengambil Keputusan Yang Tepat :
Pada kasus di atas dokter adalah pihak yang membuat keputusan, karena dokterlah yang
secara legal dapat memberikan ijin penambahan dosis morphin. Namun hal ini perlu
didiskusikan dengan klien dan keluarganya mengenai efek samping yang dapat ditimbulkan
dari penambahan dosis tersebut. Perawat membantu klien dan keluarga klien dalam membuat
keputusan bagi dirinya. Perawat selalu mendampingi pasien dan terlibat langsung dalam
asuhan keperawatan yang dapat mengobservasi mengenai respon nyeri, kontrol emosi dan
mekanisme koping klien, mengajarkan manajemen nyeri, sistem dukungan dari keluarga serta
sistem berduka keluarga dan lain-lain.
5. Mendefinisikan Kewajiban Perawat
a. Memfasilitasi klien dalam manajemen nyeri yang sesuai
b. Membantu proses adaptasi klien terhadap nyeri / meningkatkan ambang nyeri
c. Mengoptimalkan sistem dukungan keluarga untuk pasien
d. Membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan keyakinannya
e. Membantu Keluarga untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap
masalah yang sedang dihadapi
f. Memfasilitasi sistem berduka keluarga dengan memberikan support.
6. Membuat Keputusan
Dalam kasus di atas terdapat dua tindakan yang memiliki risiko dan konsekuensi masing-
masing terhadap klien. Perawat dan dokter perlu mempertimbangkan pendekatan yang paling
menguntungkan / paling tepat untuk klien. Namun upaya alternatif tindakan lain perlu
dilakukan terlebih dahulu misalnya manajemen nyeri (relaksasi, pengalihan perhatian, atau
meditasi) beserta perbaikan terhadap sistem berduka keluarga dan kemudian dievaluasi
efektifitasnya. Apabila terbukti efektif diteruskan namun apabila alternatif tindakan tidak
efektif maka keputusan yang sudah ditetapkan antara petugas kesehatan dan klien/
keluarganya akan dilaksanakan.
3.3 STANDAR KOMUNIKASI PALIATIF pada PASIEN
1. Tahap Pra Orientasi
Seorang pasien berusia 40 tahun menderita kanker kolon terminal dan mengalami
nyeri abdomen, kanker kolon sudah memasuki stadium akhir dan resisten terhadap
kemoterapi. Kondisi pasien saat dilakukkan pemeriksaan yaitu
TD : 120/90 mmHg, Nadi 120x/menit, RR : 23x/menit
Setelah dilakukan pengkajian, terdapat benjolan di perut kanan, pasien mengalami
nyeri dan mengeluhkan ingin untuk dilakukan euthanasia.
2. Tahap Orientasi
* perawat dan dokter datang ke ruangan perawatan ibu Indah*
Perawat : selamat pagi ibu, perkenalkan saya perawat lasro theresia yang merawat ibu
dari jam 08.00 – 14.00 nanti dan ini Dokter Kevin yang akan memeriksa ibu hari ini,
bagaimana keadaa ibu hari ini ?
Pasien : Yah begini sus, kepala dan perut saya sakit sus
Perawat : Apakah semalam ibu bisa tidur ?
Pasien : gak bisa sus, perut saya terasa sakit sekali
Perawat : apakah ada keluhan lain bu ?
Pasien : itu saja sus
3. Tahap Kerja
Perawat : Baik bu, sesuai janji kita kemarin dokter akan memberikan informasi terkait
perkembangan penyakit ibu , apakah ibu sudah siap ?
Pasien : Iya sus, saya sudah siap
Dokter : Jadi bu, setelah dilakukan pemeriksaan dan yang seperti kita bicarakan
kemarin bahwa penyakit ibu sudah memasuki stadium akhir. Dan saat ini organ-organ
penting yang dibutuhkan tubuh untuk bertahan sudah tidak mampu untuk berfungsi
lagi, maaf ibu saya memberitahu ini bahwa keadaan ibu dalam mas kritis.
Pasien : lalu bagaimana ini sus, dok. Apa saya akan mati dengan cepat “
Dokter : untuk pengobatan ibu, kami akan memberikan pelayanan yan terbaik untuk
ibu.
Perawat : iya bu, benar apa yang dokter katakan, kami akan memberikan pelayanan
terbaik untuk ibu.
Pasien : lalu bagaimana sus, apa yang harus saya lakukan? Peru saya terasa sakit
sekali. Bisakah saya mati saja sus ? saya lebih baik mati dari pada menahan sakit ini
terlalu lama.
Perawat : ibu tidak boleh berkata seperti itu, kami akan berusaha untuk memberikan
pelayanan yang terbaik untuk ibu. Meskipun infomrasi ini membuat ibu khawatir,
saya harap ibu tetap kuat dan semangat ya bu. Tidak sedikit bu orang-orang
mengalami penyakit seperti ibu, dan ibu harus berjuang untuk melawan penyakit ibu.
Pasien : bagaimana saya harus menerima penyakit ini? Tidak bisakah saya minta
dilakukan euthanasia saja? Saya lebih baik mata saja sus
Perawat : ibu euthanasia memang diperbolehkan dalam dunia medis, tetapi banyak hal
yang perlu dipertimbangkan untuk melakukan euthanasia. Apa lagi ibu masih
memiliki Tuhan, sumber kekuatan utama kita sebagai manusia. Saya akan membantu
ibu untuk belajar dan berusaha ikhlas menerima penyakit ibu, keajaiban itu ada bu.
Tuhan akan selalu mendengar dia hambanya dan mengabulkannya. Keajaiban bisa
saja terjadi pada siapa saja bu, tetap berdoa ya bu dan kami akan memberikan
pelayanna yang semaksimal mungkin kepada ibu.
Pasien : apa saya harus percaya Tuhan sus? Saya merasa euthanasia lebih baik dari
apapun sus karena saya tidak mau menahan rasa nyeri ini.
Dokter : ibu, untuk nyeri yang ibu rasakan, saya sudah meresepkan obat untuk ibu,
untuk mengurangi rasa nyeri yang ibu rasakan. Ibu jangan berputus asa.
Perawat : ibu harus semangat dan berdoa ya bu. Semoga Tuhan mengabulkan doa ibu
Pasien : saya juga berharap seperti itu sus
4. Tahap Terminasi
Perawat : bagaimana bu, perasaan ibu setelah mendengar penjelasan dari dokter?
Pasien : saya merasa sedih sus dan ingin mati saja, tapi seperti yang suster katakan
saya juga harus berusaha dulu dan berdoa karena mungkin saja keajaiban itu memang
ada.
Perawat : syukurlah ibu menyadari hal ini. Oleh karena itu saya harap ibu jangan
memikirkan hal-hal buruk terkait penyakit ibu ya, pikirkan saja hal-hal yang baik dan
juga melakukan pengobatan yang rutin.
Pasien : iya sus, terimakasih atas bimbingannya.
Perawat : baik bu, kalau begitu saya permisi ke ruangan ya bu. Untuk jadwal besok
kita akan mengajak rohaniawan untuk ibu agar hati ibu lebih tenang, apakah ibu
setuju ?
Pasien : iya sus, saya setuju
Perawat: baik bu, kalau begitu saya dan dokter permisi dulu bu. Jika ada yang
dibutuhkan ibu bisa hubungi saya ya bu. Permisi bu
BAB IV
KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Perawatan paliatif adalah sistem perawatan terpadu yang bertujuan meningkatkan
kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeri dan penderitaan orang lain, memberikan
dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosis ditegakkan sampai akhir hayat dan
dukungan terhadap keluarga yang kehilangan atau berduka serta bertujuan memperbaiki
kualitas hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan
penyakit yang mengancam jiwa.
Tujuan utama dari perawatan paliatif adalah untuk membantu klien dan keluarga
mencapai kualitas hidup terbaik, menganggap kematian sebagai proses normal, tidak
mempercepat atau menunda kematian, menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang
mengganggu, menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual, mengusahakan agar
penderita tetap aktif sampai akhir hayatnya dan membanti mengatasi suasana duka cita
pada keluarga.

4.2 Saran
Disarankan kepada para perawat paliatif untuk dapat menerapkan askep legal etik dan juga
mematuhi dasar-dasar hukum keperawatan paliatif sehingga pelayanan yang diberikan
maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Sudarsa, I.W. 2020. Perawat Komperehensif Paliatif. Jawa Timur: Airlangga University
Press
KEPMENKES RI. Kebijakan Perawatan Paliatif. VII Indonesia: Menkes; 2007.
Muhith, Abdul & Sandu Siyoto. 2016. Pendidikan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta:
Andi Offset

Anda mungkin juga menyukai