CI Klinik : CI Akademik:
Ns. Ummi Khadijah, S.Kep Ns. Monalisa, S.Kep, M.Kep
Ns. Musniwati, S.Kep, M.Kep Ns. Netha Damayantie, S,Kep, M.Kep
Ns. Halimah, M.Kep, Sp.Kep.An
Ernawati, S.Kp, M.Kep
Disusun Oleh Kelompok 2:
1. Dian Afdhal (PO71202220055)
2. Indah Krisdayanti (PO71202220013)
3. Kevin Linggar Zulliyan (PO71202220038)
4. Lasro Theresia Siburian (PO71202220045)
5. M.Rasyid Ridha (PO71202220052)
6. Pita Ayu Lestari (PO71202220033)
7. Rebecca Uli Sinaga (PO71202220072)
8. Rinda Agustina (PO71202220030)
9. Wulan Arda Putri (PO71202220047)
10. Yuliana Saputri (PO71202220075)
B. Etiologi
Secara umun individu yang terserang bronchopneumonia diakibatkan oleh adanya
penurunan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi organisme patogen. Orang
yang normal dan sehat mempunyai mekanisme pertahanan tubuh terhadap organ
pernafasan yang terdiri atas : reflek glotis dan batuk, adanya lapisan mukus, gerakan
siliayang menggerakkan kuman keluar dari organ, dan sekresi humoral setempat (Nurarif
& Kusuma, 2015).
Timbulnya bronchopneumonia disebabkan oleh virus, bakteri, jamur,
protozoa,mikobakteri, mikoplasma, dan riketsia antara lain:
1. Bakteri : Streptococcus, Staphylococcus, H. Influenzae, Klebsiella.
C. Klasifikasi
Pembagian bronkopneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, pada
umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Ada beberapa ahli telah
membuktikan bahwa pembagian bronkopneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara
klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan.
1. Berdasarkan lokasi lesi di paru yaitu Pneumonia lobaris, Pneumonia interstitiali,
Bronkopneumonia
2. Berdasarkan asal infeksi yaitu pneumonia yang didapat dari masyarakat (community
acquired pneumonia = CAP). Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-
based pneumonia)
3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab pneumonia bakteri, pneumonia virus,
pneumonia mikoplasma, pneumonia jamur.
4. Berdasarkan karakteristik penyakit yaitu pneumonia tipikal, pneumoniaatipikal.
5. Berdasarkan lama penyakit yaitu pneumonia akut dan pneumoniapersisten.
(Bradley et.al, 2011)
D. Patofisiologi
Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh virus
penyebab bronkopneumonia yang masuk ke saluran pernapasan sehingga terjadi
peradangan bronkus dan alveolus dan jaringan sekitarnya. Inflamasi pada bronkus ditandai
adanya penumpukan secret, sehingga terjadi demam, batuk produktif ronchi positif dan
mual. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradanan yang
meliputi empat stadium, yaitu:
1. Stadium I/Hiperemia (4-12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon perdangan permulaan yang berlangsung pada
daerah baru yang terinfeksi. Hal ini di tandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi
2. Stadium II/Hepatiasi Merah (48 jam berikutnya)
Disebut hepatiasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh pejamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan.
Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit,
dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada
stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah
sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3-8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cedera dan terjadi fagositostis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di
alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV/resolusi (7-12 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis diabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan
kembali ke struktrunya semula. Inflamasi pada bronkus ditandai adanya penumpukan
secret, sehingga terjadi demam, batuk produkif, ronchi positif dan mual.
(Wijayaningsih, 2013 dalam Dewi & Erawati, 2016)
F. Manifestasi Klinis
1. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada bronkopneumonia adalah sebagai berikut :
a. Foto thoraks
Pada foto thoraks bronkopneumonia terdapat bercak-bercak infiltrat pada satu
atau beberapa lobus.
b. Laboratorium
Leukositosis dapat mencapai 15.000 - 40.000 mm3 dengan pergeseran ke kiri.
c. GDA: tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat dan
penyakit paru yang ada.
d. Analisa gas darah arteri bisa menunjukkan asidosis metabolik dengan atau tanpa
retensi CO2.
e. LED meningkat.
f. WBC (white blood cell) biasanya kurang dari 20.000 cells mm3
g. Elektrolit natrium dan klorida mungkin rendah.
h. Bilirubin mungkin meningkat.
i. Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paruh terbuka menyatakan intranuklear tipikal
dan keterlibatan sistoplasmik.
(Padila, 2013 dalam Dewi & Erawati, 2016)
H. Penatalaksanaan
3-10 105
11-14 85
Lebih dari 15 65
Apabila ada kenaikan suhu tubuh, maka setiap kenaikan suhu 1 °C kebutuhan
cairan di tambah 12%, tetesan dibagi rata dalam 12 jam.
2) Pengobatan
a) Antibiotika
Prokain 50.000 U/kgBB/hari IM, dan Kloramfhenikol 75mg/kgBB/hari dalam
4 dosis, IM/IV, atau Ampicilin 100 mg//kgBB/hari dibagi 4 dosis IV dan
Gentamicin mg/kgBB/hari, IM dalam 2 dosis per hari.
b) Kartikosteroid
Pemberian kortison asetat 15 mg/kgBB/hari secara IM, diberika bila ekspirasi
memanjang atau lender banyak sekali. Di berikan dalam 3 kali pemberian
(Nabiel., 2014).
I. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi adalah empyema, otitis media akut. Mungkin juga komplikasi lain
yang dekat seperti atelectalis, emfisema, atau komplikasi jauh seperti meningitis.
Komplikasi tidak akan terjadi jika diberikan antibiotic secara tepat (Ngastiyah, 2014).
Komplikasi bronkopneumonia adalah sebagai berikut :
1. Atelectalis, adalah pengembangan paru yang tidak sempurna atau kolaps paru akibat
kurangnya mobilisasi refleks batuk hilang apabila penumpukan secret akibat
berkurangnya daya kembang pau-paru terus terjadi dan penumpukan secret ini
menyebabkan obstruksi bronkus instrinsic.
2. Empisema, adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura
terdapat di suatu tempat atau seluruh rongga pleura.
3. Abses paru, adalah penumpukan pus (nanah) dalam paru yang meradang.
4. Infeksi sitemik.
6. Meningitis, adalah infeksi yang menyerang pada selaput otak (Wijayaningsih, 2013)
4. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakakukan secara head to toe pada setiap anggota keluarga baik
yang sakit ataupun sehat :
a. Keadaan umum
Meliputi keadaan umum pasien, kesadaran, dan pemeriksaan tanda-tanda vital
yang menunjukkan adanya peningkatan tekanan darah.
b. Kepala, mata, mulut
1) Perhatikan bentuk dan kesimetrisan kepala
2) Palpasi tengkorak adanya nodus atau pembengkakan yang lain
3) Periksa kebersihan kulit kepala, ada tidaknya lesi, perubahan warna,
kehilangan rambut.
4) Bibir mengalami sianosis
5) Frekuensi pernafasan
Takipnea, dyspneaprogresif, pernafasan dangkal, penggunaan otot bantu
pernafasan, pelebaran nafas.
c. Kulit
1) Suhu kulit pada hipertermia kulit pada terbakar panas akan tetapi setelah
hipertermia teratasi kulit anak akan teraba dingin.
2) Turgor kulit menurun
d. Thorax dan paru
1) Ispeksi : Pernafasan dangkal
2) Palpasi : Adanya nyeri tekan, peningkatal vokal fremitus pada daerah tertekan.
3) Perkusi : Pekak terjadi apabila terisi cairan pada paru, normal timpani (terisi
udara) resonansi
4) Auskultasi : Suara nafas yang meningkat intensitasnya, suara bronchial pada
daerah yang terkena, ada suara tambahan ronchi inspiratoir pada sepertiga
akhir inspirasi.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan fase kedua pada proses keperawatan. Pada fase
diagnose, dilakukan penginterpretasi data pengkajian dan mengidentifikasi masalah
kesehatan, risiko, dan kekuatan pasien serta merumuskan pernyataan diagnosa (Kozier et
al., 2010). Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan dengan mucus
yang berlebihan (Wilkinson, 2016). Secara teori diagnosa keperawatan yang dapat
diangkat pada anak dengan bronkopneumonia : (NANDA, 2015)
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus yang berlebihan.
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernafasan.
3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurang
asupan makanan.
4. Risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
5. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan fatigue
C. Rencana Keperawatan
Intervensi adalah suatu perencanaan dengan tujuan merubah atau stimulus fokal,
kontektual, dan residual. Pelaksanaannya juga ditujukan kepada kemampuan klien dalam
menggunakan koping secara luas, supaya stimulus secara keseluruhan dapat terjadi pada
klien (Nursalam, 2015)
NO Diagnosa keperawatan Tujuan / kriteri hasil Intervensi (SIKI)
(SDKI) (SLKI)
1. D.0001 Bersihan jalan Kriteria hasil untuk Fisoterapi dada
nafas tidak efektif mengukur Observasi :
penyelesaian dari 1. Identifikasi indikasi
Definisi: diagnosis setelah dilakukan fisioterapi
Keadaan dimana dilauakan asuhan dada (mis:
seseorangtidak dapat keperawatan selama hipersekresi, sputum,
membersihkan sputum 3x24 jam, dihadapan sputum kental dan
atau sumbatan pada status pernafasan : tertahan, tirah baring
saluran pernafasan Bersihan jalan nafas lama)
untuk mempertahankan dapat ditingkatkan 2. Identifikasi kontra
bersihan jalan nafas dengan kriteris hasil : indikasi fisioterapi
yang paten. 1. Batuk efektif dada (mis: ekserbasi
(skala 5; PPOK akut,
Penyebab: meningkat) pneumonia tanpa
Fisiologis: 2. Produksi sputium produksi sputum
1. Benda asing dalam (skala 5; berlebih, ca paru-
jalan pernafasan. menurun) paru)
2. Spasme jalan nafas. 3. Mengi (skala 5; 3. Monitor status
3. Tidak berfungsinya menurun) pernapasan
4. Wheezing (skala (kecepatan, irama,
neuromuskuler.
5; menurun) suara, kedalaman)
4. Hipersekresi jalan 5. Dyspnea (skala 5; 4. Periksa sekmen paru
nafas. menurun) yang mengandung
5. Adanya jalan nafas 6. Ortopnea (skala 5; sekresi berlebih
buatan. menurun) 5. Monitor jumlah dan
6. Proses infeksi. 7. Sulit bicara (skala karakter sputum
7. Sekresi yang 5; menurun) 6. Monitor toleransi
tertahan. 8. Sianosis (skala 5 selama dan setelah
8. Hyperplasia dinding menurun) prosedur
jalan nafas. 9. Gelisah (skala 5; Terapeutik :
9. Respon alergi. menurun) 1. Posisikan apasien
10. Efek agen 10. Frekuensi nafas sesuai dengan area
farmakologis (mis. (skala 5; paru yang mengalami
anastesi). membaik) penumpukan sputum
11. Pola nafas (skala 2. Gunakan bantal
Situasional: 5; embaik) untuk mengatur
1. Merokok pasif. posisi
2. Merokok aktif. 3. Lakukan perkusi
3. Terpajan polutan dengan posisi telapak
tangan di
Gejala dan tanda tnangkupkan 3-5
mayor: menit
Subjektif: tidak 4. Lakukan fibrasi
tersedia dengan posisi telapak
Objekti: tangan rata
1. Tidak mampu bersamaan ekspirasi
batuk. melalui mulut
2. Batuk tidak efektif. 5. Lakukan fisioterapi
3. Sputum berlebih. dada setidaknya 2
4. Meconium di jalan jam setelah makan
nafas pada 6. Hindari perkusi pada
neonatum. tulang belakang,
5. Mengi, wheezing ginjal, payudara
dan/ ronkhi kering. wanita, insisi, dan
tulang rusuk patah
Gejala dan tanda 7. Lakukan penghisapan
minor: lendir untuk
Subjektif: mengeluarkan sekret
1. Sulit bicara. jika perlu
2. Dyspnea. Edukasi :
3. Ortopnea. 1. Jelaskan tujuan dan
prosedur fisioterapi
Objektif: dada
1. Bunyi nafas 2. Anjurkan batuk
menurun. segera setelah
2. Gelisah. prosedur selesai
3. Frekuensi nafas 3. Ajarkan inspirasi
berubah. perlahan dan dalam
4. Sianosis. melalui hidung
5. Pola mafas berubah. selama proses
fisioterapi dada
BAB III
TINJAUAN KASUS
B. Analisa Data
Bradley, J., CL, B., SS, S., B, A., ER, C., C, H., & all., K. S. (2011). The Management of
Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older Than 3 Month of
Age: Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases
Societ.Clinical Infection Disease, 53 (7) : 617-630.
Wulandari, Dewi & Meira Erawati. 2016. Buku Ajar Keperawatan Anak. Jogjakarta: Pustaka
Pelajar.
Nurarif, & Kusuma. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawat Berdasarkan Diagnose Medic Dan
NANDA NIC NOC. Yogyakarta: Mediaction.
Wijayaningsih, K. S. (2013). Asuhan Keperawatan Anak. CV. Trans Info Medika.
SDKI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Tim Pokja SDKI
DPP PPNI.
SIKI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Tim Pokja DPP
PPNI.
SLKI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Tim Pokja DPP
PPNI.
WHO (2019) Pneumonia. Available at:
https://www.who.int/news-room/factsheets/detail/pneumonia.
Yuliastati & Amelia Arnis (2016) Keperawatan Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Yuniarti Sri (2015) Asuhan Tumbuh Kembang Neonatus Bayi: Balita dan Anak Prasekolah.
Bandung: PT Refika Aditama.
Kholisah Nasution, M. Azharry Rully Sjahrullah, Kartika Erida Brohet, Krishna Adi
Wibisana, M. Ramdhani Yassien, Lenora Mohd. Ishak, Liza Pratiwi, Corrie
Wawolumaja Endyarni, B. (2015) ‘Infeksi Saluran Napas Akut pada Balita di Daerah
Urban Jakarta’, Sari Pediatri.