Anda di halaman 1dari 35

PERAWATAN PALIATIF DALAM PERSPEKTIF SOSIAL DAN BUDAYA

Oleh kelompok 1 :
Mohamad Rustom Nawawi : 214201446175
Neng Herni : 214201446164
Uyung Sunayah : 2142011446158

UNIVERSITAS NASIONAL FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDIKEPERAWATAN
JAKARTA
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat serta
hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Paliatif ini
pada program S1 Keperawatan Universitas Nasional dengan baik.
Harapan penyusun, semoga makalah ini dapat memberikan ilmu dan pengetahuan yang lebih
kepada pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat pula dalam bidang keperawatan
khususnya bagi proses pembelajaran Keperawatan Paliatif.

Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penyusun harapkan untuk perbaikan baik dari segi materi maupun teknik
penulisan.

Pandeglang, 6 Juli 2022

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................... 2
1.3. Tujuan ....................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 4
2.1. Perawatan Paliatif ...................................................................... 4
2.2. Masalah Keperawatan pada Pasien Paliatif ................................ 6
2.3. Tahapan Penerimaan Pasien Paliatif ........................................... 15
2.4. Peran Perawat Paliatif ................................................................ 15

BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN ...................................................... 17


3.1 Kasus .......................................................................................... 17
3.2 Pengkajian .................................................................................. 18
3.3 Analisa data ................................................................................ 22
3.4 Diagnosa Keperawatan................................................................ 23
3.5 Intervensi Keperawatan .............................................................. 23
BAB 4 PENUTUP.................................................................................. 29
4.1. Kesimpulan ................................................................................ 29
4.2. Saran .......................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu kemajuan utama dalam perawatan kesehatan modern adalah perbaikan
perawatan akhir hayat pada pasien yang mengalami penyakit terminal. Sebagian besar
pasien terminal akan sangat menderita, penderitaan berupa fisik, mental dan atau spiritual
(Kemp, 2009). Selain kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, pasien dengan
penyakit yang sulit disembuhkan seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit
paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, Parkinson, gagal jantung/ heart failure,
penyakit genetika, dan HIV/AIDS juga memerlukan perawatan paliatif (Supari, 2007).
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup
pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit dan mengancam
jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian
yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik, psikologis,
sosial atau spiritual (WHO, 2016). Menurut Ketua Masyarakat Paliatif Indonesia (MPI)
Drajad Ryanto Suardi dalam seminar yang bertema Sharing the care (Peduli perawatan
paliatif untuk sesama), jumlah pasien yang memerlukan perawatan paliatif meningkat,
seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup, disamping pasien kanker, jumlah
penyakit motor neuron dan penyakit saraf serta pasien HIV-ADIS juga meningkat. Dari
pasien yang rawat inap di RSCM pada 2009, terdapat 65% pasien paliatif, yang 60% pasien
neurologi, lebih 60% pasien ODHA dalam stadium lanjut (Hendry, 2010).
Agama merupakan hubungan antara manusia dengan tuhan. Terapi religious sangat
penting dalam memberikan palliative care. Kurangnya pemenuhan kehidupan beragama,
menimbulkan masalah pada saat terapi. Pengetahuan dasar dari masing-masing agama
sangat membantu dalam mengembangkan palliative care. Terkadang palliative care
spiritual sering disamakan dengan terapi paliatif religious. Palliative care spiritual bisa
ditujukan kepada pasien yang banyak meyakini akan adanya Tuhan tanpa mengalami ritual
suatu agama dan bisa juga sebagai terapinreligius dimana selain meyakini ritual agama
memiliki tata cara beribadah dalam suatu agama.

1
Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat adalah perilaku
kesehatan masyarakat itu sendiri. Dimana proses terbentuknya perilaku ini dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor sosial budaya, bila faktor tersebut telah
tertanam dan terinternalisasi dalam kehidupan dan kegiatan masyarakat ada kecenderungan
untuk merubah perilaku yang telah terbentuk tersebut sulit untuk dilakukan. Untuk itu,
mengatasi dan memahami suatu masalah kesehatan diperlukan pengetahuan yang memadai
mengenai budaya dasar dan budaya suatu daerah. Sehingga dalam kajian sosial budaya
tentang perawatan paliatif bertujuan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya, meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi masalh
yang berhububgan dengan penyakit yang mengancam kehidupan.
Kebutuhan akan perawatan paliatif tidak dapat dihindari sehubungan dengan makin
meningkatnya jumlah pasien kanker. Dengan sudah dituangkannya program pelayanan
paliatif ke dalam Sistem Kesehatan Nasional perawatan paliatif kini menjadi bagian dari
tata laksana penyakit kanker di Indonesia yang perlu terus dikembangkan. Dalam makalah
ini, penulis akan membahas asuhan keperawatan paliatif dalam perspektif agama, spiritual
budaya dan sosial.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi perawatan paliatif?
2. Apa saja masalah keperawatan pada pasien paliatif?
3. Bagaimana tahapan penerimaan pasien paliatif?
4. Bagaimana peran perawat paliatif?
5. Bagaimana asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan masalah
keperawatan dalam perspektif agama, spiritual budaya dan sosial?

1.3 Tujuan
1. Menjelaskan definisi perawatan paliatif
2. Menjelaskan masalah keperawatan pada pasien paliatif

2
3. Menjelaskan tahapan penerimaan pasien paliatif
4. Menjelaskan peran perawat paliatif
5. Menjelaskan asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan masalah
keperawatan dalam perspektif agama, spiritual budaya dan sosial

BAB II

3
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perawatan Paliatif

Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup


pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit yangmengancam
jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian
yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik, psikologis,
sosial atau spiritual. (World Health Organization (WHO) 2016).
Perawatan paliatif merupakan perawatan yang berfokus pada pasien dan keluarga
dalam mengoptimalkan kualitas hidup dengan mengantisipasi, mencegah, dan
menghilangkan penderitaan. Perawatan paliatif mencangkup seluruh rangkaian penyakit
termasuk fisik, intelektual, emosional, sosial, dan kebutuhan spiritual serta untuk
memfasilitasi otonomi pasien, mengakses informasi, dan pilihan (National Consensus
Project for Quality Palliative Care, 2013). Pada perawatan paliatif ini, kematian tidak
dianggap sebagai sesuatu yang harus di hindari tetapi kematian merupakan suatu hal yang
harus dihadapi sebagai bagian dari siklus kehidupan normal setiap yang bernyawa
(Nurwijaya dkk, 2010).
Permasalahan yang sering muncul ataupun terjadi pada pasien dengan perawatan
paliatif meliputi masalah psikologi, masalah hubungan sosial, konsep diri, masalah
dukungan keluarga serta masalah pada aspek spiritual (Campbell, 2013). Perawatan paliatif
ini bertujuan untuk membantu pasien yang sudah mendekati ajalnya, agar pasien aktif dan
dapat bertahan hidupselama mungkin. Perawatan paliatif ini meliputi mengurangi rasa
sakit dan gejala lainnya, membuat pasien menganggap kematias sebagai prosesyang
normal, mengintegrasikan aspek-aspek spikokologis dan spritual (Hartati & Suheimi,
2010). Selain itu perawatan paliatif juga bertujuan agar pasien terminal tetap dalam
keadaan nyaman dan dapat meninggal dunia dengan baik dan tenang (Bertens, 2009).
Prinsip perawatan paliatif yaitu menghormati dan menghargai martabat serta harga
diri pasien dan keluarganya (Ferrel & Coyle, 2007). Menurut Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia (KEMENKES, 2013) dan Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi (2008)
prinsip pelayanan perawatan paliatif yaitu

4
1. menghilangkan nyeri dan mencegah timbulnya gejala serta keluhan fisik
lainnya, penanggulangan nyeri,
2. menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses normal ,
3. tidak bertujuan mempercepat atau menghambat kematian,
4. memberikan dukungan psikologis, sosial dan spiritual,
5. memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif mungkin,
6. memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa dukacita,
7. serta menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan
keluarganya.

Elemen dalam perawatan paliatif menurut National Consensus Project dalam


Campbell (2013), meliputi :
1. Populasi pasien. Dimana dalam populasi pasien ini mencakup pasien dengan semua
usia, penyakit kronis atau penyakit yang mengancam kehidupan.
2. Perawatan yang berfokus pada pasien dan keluarga. Dimana pasien dan keluarga
merupakan bagian dari perawatan paliatif itu sendiri.
3. Waktu perawatan paliatif. Waktu dalam pemberian perawatan paliatif berlangsung
mulai sejak terdiagnosanya penyakit dan berlanjut hingga sembuh atau meninggal
sampai periode duka cita.
4. Perawatan komprehensif. Dimana perawatan ini bersifat multidimensi yang bertujuan
untuk menanggulangi gejala penderitaan yang termasuk dalam aspek fisik, psikologis,
sosial maupun keagamaan.
5. Tim interdisiplin. Tim ini termasuk profesional dari kedokteran, perawat, farmasi,
pekerja sosial, sukarelawan, koordinator pengurusan jenazah, pemuka agama,
psikolog, asisten perawat, ahli diet, sukarelawan terlatih.
6. Perhatian terhadap berkurangnya penderitaan : Tujuan perawatan paliatif adalah
mencegah dan mengurangi gejala penderitaan yang disebabkan oleh penyakit maupun
pengobatan.
7. Kemampuan berkomunikasi : Komunikasi efektif diperlukan dalam memberikan
informasi, mendengarkan aktif, menentukan tujuan, membantu membuat keputusan
medis dan komunikasi efektif terhadap individu yang membantu pasien dan keluarga.

5
8. Kemampuan merawat pasien yang meninggal dan berduka
9. Perawatan yang berkesinambungan. Dimana seluru sistem pelayanan kesehatan yang
ada dapat menjamin koordinasi, komunikasi, serta kelanjutan perawatan paliatif untuk
mencegah krisis dan rujukan yang tidak diperukan.
10. Akses yang tepat. Dalam pemberian perawatan paliatif dimana timharus bekerja pada
akses yang tepat bagi seluruh cakupanusia, populasi, kategori diagnosis, komunitas,
tanpa memandang ras, etnik, jenis kelamin, serta kemampuan instrumental pasien.
11. Hambatan pengaturan. Perawatan paliatif seharusnya mencakup pembuat kebijakan,
pelaksanaan undang-undang, dan pengaturan yang dapat mewujudkan lingkungan
klinis yang optimal.
12. Peningkatan kualitas. Dimana dalam peningkatan kualitas membutuhkan evaluasi
teratur dan sistemik dalam kebutuhan pasien.

2.2. Masalah Keperawatan pada Pasien Paliatif

Permasalahan perawatan paliatif yang sering digambarkan pasien yaitu kejadian-


kejadian yang dapat mengancam diri sendiri dimana masalah yang seringkali di keluhkan
pasien yaitu mengenai masalah seperti nyeri, masalah fisik, psikologi sosial, kultural serta
spiritual (IAHPC, 2016). Permasalahan yang muncul pada pasien yang menerima
perawatan paliatif dilihat dari persepktif keperawatan meliputi masalah psikologi, masalah
hubungan sosial, konsep diri, masalah dukungan keluarga serta masalah pada aspek
spiritual atau keagamaan (Campbell, 2013).

a. Masalah Fisik
Masalah fisik yang seringkali muncul yang merupakan keluhan dari pasien
paliatif yaitu nyeri (Anonim, 2017). Nyeri merupakan pengalaman emosional dan
sensori yang tidak menyenangkan yang muncul akibat rusaknya jaringan aktual yang
terjadi secara tiba-tiba dari intensitas ringan hingga berat yang dapat diantisipasi dan
diprediksi. Masalah nyeri dapat ditegakkan apabiladata subjektif dan objektif dari
pasien memenuhi minimal tiga kriteria (NANDA, 2015).

b. Masalah Psikologi

6
Masalah psikologi yang paling sering dialami pasien paliatif adalah
kecemasan. Hal yang menyebabkan terjadinya kecemasan ialah diagnosa penyakit
yang membuat pasien takut sehingga menyebabkan kecemasan bagi pasien maupun
keluarga (Misgiyanto & Susilawati, 2014).
Durand dan Barlow (2006) mengatakan kecemasan adalah keadaan suasana
hati yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmani dimana
seseorang mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan di masa
yang akan datang dengan perasaan khawatir. Menurut Carpenito (2000) kecemasan
merupakan keadaan individu atau kelompok saat mengalami perasaan yang sulit
(ketakutan) dan aktivasi sistem saraf otonom dalam berespon terhadap ketidakjelasan
atau ancaman tidak spesifik. NANDA (2015) menyatakan bahwa kecemasan adalah
perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang diseratai oleh respon otonom, perasaan
takut yang disebabkan olehantisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan tanda
waspada yang member tanda individu akan adanya bahaya dan mampukah individu
tersebut mengatasinya.

c. Masalah Spiritual
Menurut Carpenito (2006) salah satu masalah yang sering muncul pada pasien
paliatif adalah distress spiritual. Distres spiritual dapat terjadi karena diagnose
penyakit kronis, nyeri, gejala fisik, isolasi dalam menjalani pengobatan serta
ketidakmampuan pasien dalam melakukan ritual keagamaan yang mana biasanya
dapat dilakukan secara mandiri. Distres spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam
mengalami dan mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dengan diri, orang
lain, seni, musik, literature, alam dan kekuatan yang lebih besr dari dirinya (Hamid,
2008).Definisi lain mengatakan bahwa distres spiritual adalah gangguan dalam
prinsip hidup yang meliputi seluruh kehidupan seseorang dan diintegrasikan biologis
dan psikososial (Keliat dkk, 2011).

d. Masalah Sosial
Masalah pada aspek sosial dapat terjadi karena adanya ketidak normalan
kondisi hubungan social pasien dengan orang yang ada disekitar pasien baik itu

7
keluarga maupun rekan kerja (Misgiyanto & Susilawati, 2014). Isolasi sosial adalah
suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain menyatakan
sikap yang negatif dan mengancam ( Twondsend, 1998 ). Atau suatu keadaan dimana
seseorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak, tidak
diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dan tidak mampu
membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Kelliat, 2006 ).

Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat adalah


perilaku kesehatan masyarakat itu sendiri. Dimana proses terbentuknya perilaku ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor sosial budaya, bila faktor
tersebut telah tertanam dan terinternalisasi dalam kehidupan dan kegiatan masyarakat
ada kecenderungan untuk merubah perilaku yang telah terbentuk tersebut sulit untuk
dilakukan. Untuk itu, untuk mengatasi dan memahami suatu masalah kesehatan
diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai budaya dasar dan budaya suatu
daerah. Sehingga dalam kajian sosial budaya tentang perawatan paliatif bertujuan
untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, meningkatkan kualitas
hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan
penyakit yang mengancam kehidupan.

Pengertian sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala


sesuatu yang mengenai masyarakat atau kemasyarakatan. Kebudayaan atau kultur
dapat membentuk kebiasaan dan respons terhadap kesehatan dan penyakit dalam segala
masyarakat tanpa memandang tingkatannya. Karena itulah penting bagi tenaga
kesehatan untuk tidak hanya mempromosikan kesehatan, tapi juga membuat mereka
mengerti tentang proses terjadinya suatu penyakit dan bagaimana meluruskan
keyakinan atau budaya yang dianut hubungannya dengan kesehatan. Pengaruh
kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap
terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakat,
karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individuindividu masyarakat.
Green dalam Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa perilaku manusia dari tingkat

8
kesehatan dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor perilaku (behaviour cause) dan
faktor di luar perilaku (non-behaviour cause).

Perilaku itu sendiri terbentuk dari tiga faktor, yaitu :

1. Faktor Predisposisi ( predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan,


sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya
2. Faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik,
tersedia atau tidak tersedianya fasilitasfasilitas atau sarana-sarana kesehatan,
misalnya puskesmas, obat-obatan, air bersih dan sebagainya
3. Faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku
petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat.

Contoh lain, sosial budaya mempengaruhi kesehatan adalah pandangan suatu


masyarakat terhadap tindakan yang mereka lakukan ketika mereka mengalami sakit,
ini akan sangat dipengaruhi oleh budaya, tradisi, dan kepercayaan yang ada dan tumbuh
dalam masyarakat tersebut. Misalnya masyarakat yang sangat mempercayai dukun
yang memiliki kekuatan gaib sebagai penyembuh ketika mereka sakit, dan bayi yang
menderita demam atau diare berarti pertanda bahwa bayi tersebut akan pintar berjalan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sosial budaya sangat mempengaruhi kesehatan baik itu
individu maupun kelompok.

Aspek sosial pasien yang sakit parah

Penyakit yang tidak dapat disembuhkan mengubah status sosial pasien. Selain rasa
sakit, dan gejala serta komplikasi yang menghancurkan lainnya, pasien mungkin
menderita efek yang tidak diinginkan dari penyakit yang mempengaruhi penampilan
pasien; hilangnya peran sosial, profesional, dan keluarga; kemampuan untuk tetap
mandiri dan berfungsi secara normal, dan sebagian besar penting persepsi masa depan.
Menurut Sherbourne dan Stewart, dukungan sosial melayani berbagai dimensi
termasuk

9
1. Dukungan emosional yang didefinisikan sebagai empati dan memahami, memiliki
pengaruh positif, dan mendorong ekspresi perasaan;
2. Memberikan bantuan dan bantuan seperti transportasi, bantuan keuangan dan / atau
rumah tangga dianggap sebagai instrumen mendukung;
3. Dukungan informasi melibatkan penawaran informasi, bimbingan, dan saran; dan
4. Dukungan penuh kasih sayang yang terdiri memiliki seseorang yang
mengekspresikan cinta dan kasih sayang.

Helgeson menunjukkan bahwa hubungan sosial menempatkan pasien dalam


suasana hati yang lebih baik dan memberi mereka rasa identitas dan persahabatan.
Sosial dukungan mungkin memengaruhi kualitas hidup dan kebermaknaan pasien
hidup dengan membantu mereka mengatasi lebih efektif dengan penderitaan mereka
dan membuat mereka merasa dihargai, dicintai, dan diperhatikan. Selain itu, Schwartz
dan Frohner menemukan bahwa semakin banyak dukungan sosial yang dirasakan
pasien, semakin sedikit rasa sakit yang diderita, dan semakin baik ia menilai kesehatan
umum dan kesejahteraan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada pasien dewasa
yang sakit parah didiagnosis menderita kanker, untuk memahami makna kesejahteraan
sosial pada akhir kehidupan, Pangeran-Paul menemukan bahwa semua peserta dalam
studi mengidentifikasi kebutuhan untuk dikelilingi oleh keluarga dan berpartisipasi
dalam kegiatan sosial.

Ini, pada gilirannya, memberi pasien alasan untuk hidup dan tujuan untuk tetap
terlibat dan hidup saat mereka sekarat. Demikian pula, Mikulincer, Florian, dan
Hirschberger mendalilkan bahwa sosial dekat hubungan yang melampaui kematian
fisik dapat memberikan perlindungan yang memungkinkan pasien untuk menghadapi
kenyataan kematian dengan lebih baik. Mereka menunjukkan bahwa hubungan dekat
ini mempromosikan pelestarian diri, bantuan pasien dengan masalah kematian, dan
membantu mereka dalam mewujudkan artinya dan nilai hidup mereka.

e. Masalah Budaya
Budaya adalah istilah yang menggabungkan konsep ras, etnis, agama, bahasa,
asal kebangsaan, dan faktor lainnya. Ras dan etnis bisa dipertukarkan sebagai variabel
yang digunakan untuk mengidentifikasi budaya. Menurut Johnson, Kuchibhatla, dan

10
Tulsky (2008), etnisitas adalah pembuat kepercayaan budaya dan nilai-nilai yang dapat
memengaruhi pengambilan keputusan di akhir kehidupan. Selanjutnya, Peneliti dan
cendekiawan telah menyarankan bahwa pandangan dunia budaya pada kelompok orang
tertentu menentukan bagaimana mereka memahami kehidupan dan kematian, dan
pendekatan pengambilan keputusan akhir kehidupan (Braun et al., 2000; Parry & Ryan,
2000). Pengetahuan dan kesadaran akan nilai-nilai budaya, sikap, dan perilaku dapat
membantu praktisi menghindari stereotip dan bias, sementara menciptakan interaksi
positif dengan pasien yang mengarah pada hasil pasien yang lebih baik dibandingkan
ketika penyedia kurang sadar budaya (Reith & Payne, 2009).
Dalam kelompok budaya, kesehatan didefinisikan untuk para anggotanya.
Metode adalah diresepkan untuk menjaga kesehatan, serta untuk menangani penyakit
dan kematian (Lo, 2010; Parry & Ryan, 2000). Nilai-nilai bersama, tradisi, norma, adat,
pengalaman hidup, dan peran institusi (yaitu, keluarga, agama, perkawinan) dari
sekelompok orang menentukan bagaimana seseorang akan berinteraksi dengan
penyedia layanan (Braun et al., 2000) dan apakah seseorang akan memilih untuk
melakukan kontrol dan otonomi dalam proses perawatan akhir kehidupan (Volker,
2005). Penelitian sebelumnya telah menyarankan bahwa perbedaan dalam nilai,
keyakinan (Ludke & Smucker, 2007; Bullock et al., 2005; Burr, 1995; Reese, Ahern,
Nair, O'Faire, & Warren, 1999), dan perilaku terikat budaya — termasuk pola
komunikasi (Shrank et al., 2005) —pengaruh pengambilan keputusan akhir kehidupan.
Nilai-nilai pasien dan keyakinan tentang, dan interpretasi dari apa yang diceritakan oleh
seorang anggota tim perawatan, dan harapan perawatan mereka mungkin berbeda dari
mereka penyedia perawatan.

Kompetensi Budaya sebagai Standar Perawatan

Praktek kompetensi budaya telah diterima secara luas dalam pekerjaan sosial
sebagai a standar yang mengurangi kesenjangan dalam kualitas layanan yang
disampaikan ke etnis kelompok minoritas. NASW (2007) Standar untuk Kompetensi
Budaya termasuk pedoman yang membahas beberapa bidang utama praktik kerja
sosial— termasuk etika dan nilai-nilai, kesadaran diri, pengetahuan lintas budaya,
keterampilan lintas budaya, pemberian layanan, pemberdayaan dan advokasi,

11
keanekaragaman tenaga kerja, pendidikan profesional, keanekaragaman bahasa, dan
kepemimpinan lintas budaya. Namun, pedoman tidak cukup tanpa pemahaman yang
lebih jelas tentang apa yang penting bagi pasien dan keluarga mereka. Studi ras dan
perbedaan etnis dalam preferensi perawatan akhir hidup (Caralis, Davis, Wright, &
Marcial, 1993; Tulsky, Cassileth, & Bennett, 1997; Blackhall et al., 1999) telah
digunakan untuk membuat kesimpulan terhadap perbedaan budaya pengambilan
keputusan perawatan akhir hidup. Sebagai contoh, praktisi sangat menyadari bahwa
banyak pasien, terlepas dari apa pun latar belakang budaya, melibatkan keluarga ketika
mereka menerima paliatif dan perawatan akhir kehidupan (Kehl, Kirchhoff, Kramer, &
Hovland-Scafe, 2009; Hudson, Remedios, & Thomas, 2010; Kovacs, Bellin, & Fauri,
2006; Kramer, Boelk, & Auer, 2006; Townsend, Ishler, Shapiro, Pitorak, & Matthews,
2010).

Namun, ketika bekerja dengan pasien ras dan etnis minoritas, yang cenderung
untuk lebih mengandalkan dukungan informal daripada dukungan formal, keluarga
mungkin seorang aspek yang lebih besar dari rencana perawatan. Bagi para praktisi,
yang beroperasi pada a Model perawatan medis berbasis Barat, ini mungkin menjadi
sumber pertengkaran.

Terlebih lagi, bagi praktisi tampaknya tujuan perawatan kurang diarahkan pada
pasien daripada pada anggota keluarga. Penelitian difokuskan pada etnis dan variasi
rasial dalam dokumen keputusan akhir kehidupan yang berpotensi menjadi area konflik
(Bright-Long, 2010; Stein, Sherman, & Bullock, 2009; Torke, Quest, Kinlaw, Eley, &
Branch, 2004). Ketika konflik antara sistem nilai penyedia layanan kesehatan dan
pasien muncul (Lo, 2010), kegagalan untuk berurusan dengan mereka dengan benar
dapat mengakibatkan perawatan yang tidak memadai (Fins, 2006) atau tidak ada
perawatan.

Dukungan keluarga telah menjadi tema yang konsisten dalam penelitian


perawatan akhir kehidupan berfokus pada etnis minoritas. Afrika Amerika cenderung
melihat anggota keluarga pertama dalam keputusan akhir kehidupan mereka (Klessing,
1992; Tinggi, 1994; Hauser, Kleefield, Brennen, & Fishchbach, 1997; Bullock, 2004)
daripada konsultasi dengan staf medis. Selanjutnya, ketidakpercayaan penyedia formal

12
memimpin mereka untuk memilih perawatan yang lebih agresif dan invasif daripada
perawatan paliatif (Lahir, Greiner, Sylvia, Butler, & Ahluwalia, 2004; Caralis et al.,
1993; Crawley et al., 2002).

Menurut Volker (2005), antara Hispanik dan Afrika-Amerika individu,


pentingnya menggunakan keluarga untuk menyuarakan keinginan pasien adalah
dipandang lebih relevan secara budaya daripada melengkapi arahan tertulis. Bahkan,
orang yang lebih menghargai hubungan keluarga mungkin lebih suka untuk
mengidentifikasi anggota keluarga atau teman tepercaya untuk membuat keputusan
akhir kehidupan atas nama mereka daripada membuat keputusan sendiri.

Eksplorasi sistematis dari faktor-faktor ini penting karena mengidentifikasi


pengaruh keputusan akhir kehidupan di antara kelompok-kelompok minoritas
menambah tubuh pengetahuan saat ini tersedia untuk mempromosikan kompetensi
budaya di antara praktisi, yang dapat meningkatkan perawatan pasien dan keluarga
menerima. Selanjutnya, kesadaran dan keterampilan budaya dapat ditingkatkan ketika
pengetahuan diperluas. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Penyelesaian Arahan
Lanjutan Diantara Penelitian Lebih Tua Afrika Amerika (FICA), disajikan di sini,
dirancang untuk mengeksplorasi nilai-nilai, norma, sikap, dan perilaku seputar
keputusan akhir perawatan untuk tujuan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran
akan keputusan akhir kehidupan orang Afrika-Amerika.

Penilaian budaya
Mengembangkan kompetensi budaya mensyaratkan bahwa perawat
mendengarkan dengan cermat dan mengumpulkan informasi budaya. Latar belakang
pasien dapat memberikan petunjuk tentang keyakinan seseorang; Namun, ini hanya
asumsi kecuali divalidasi dengan menanyakan pasien tentang keyakinan, kebutuhan,
harapan, dan keinginan mereka. Pengetahuan tentang kelompok budaya seseorang
harus berfungsi hanya sebagai titik awal atau pedoman dalam menilai keyakinan dan
perilaku individu (Kagawa-Singer, 1998; Lipson, Dibble, & Minarik, 1996).
Dalam melakukan penilaian budaya, ada beberapa bidang yang harus ditangani:
1. Identifikasi tempat kelahiran pasien.
2. Tanyakan kepada pasien tentang pengalaman imigrasi mereka.

13
3. Tentukan tingkat identitas etnisnya.
4. Mengevaluasi tingkat akulturasi yang dibuktikan dengan penggunaannya atas
Bahasa Inggris, lamanya waktu di Amerika Serikat, dan adaptasinya.
5. Tentukan struktur keluarganya.
6. Identifikasi penggunaan jaringan informal dan sumber dukungan dalam
masyarakat.
7. Identifikasi siapa yang mengambil keputusan, seperti pasien individu, keluarga,
atau unit sosial lainnya.
8. Menilai bahasa primer dan sekundernya.
9. Tentukan pola komunikasi verbal dan nonverbal orang tersebut
10. Pertimbangkan masalah gender dan kekuasaan dalam hubungan.
11. Mengevaluasi rasa harga diri pasien.
12. Identifikasi pengaruh agama atau kerohanian pada harapan dan perilaku pasien dan
keluarga.
13. Pastikan persepsi pasien tentang diskriminasi atau rasisme.
14. Identifikasi tradisi memasak dan makan dan arti makanan.
15. Tentukan tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi pasien.
16. Menilai sikap, kepercayaan, dan praktik yang terkait dengan kesehatan, penyakit,
penderitaan, dan kematian.
17. Tentukan preferensi pasien dan keluarga mengenai lokasi kematian.
18. Diskusikan harapan tentang perawatan kesehatan.
19. Tentukan tingkat fatalisme atau aktivisme dalam menerima atau mengendalikan
perawatan dan kematian.
20. Mengevaluasi pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai sistem perawatan
kesehatan.
21. Menilai nilai dan penggunaan terapi komplementer.
22. Diskusikan bagaimana harapan dipertahankan
(American Medical Student Association, 2001; ELNEC, 2013; Ersek et al., 1998)

Kebudayaan perilaku kesehatan yang terdapat dimasyarakat beragam dan sudah


melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan tersebut seringkali berupa
kepercayaan gaib. Sehingga usaha yang harus dilakukan untuk mengubah kebudayaan

14
tersebut adalah dengan mempelajari kebudayaan mereka dan menciptakan kebudayaan
yang inovatif sesuai dengan norma, berpola, dan benda hasil karya manusia.

Berikut beberapa model kompetansi budaya yang juga sering digunakan untuk
pengajaran kompetensi budaya bagi para profesional kesehatan, dan untuk mengkaji
latar belakang budaya pasien, yaitu:

 The model of cultural competency dari Campinha-Baccote.


 A model of culturally competent healt care practice dari Papadopoulos.
 Taxonomy for culturally competent care dari Lister.
 Model for the development of culturally competent community care dari Ki-Godwin.
 Transcultural model dari Giger and Davidhizar.
 Four-step approach to providing culturally sensitive patient teaching dari Kittler and
Sucher.
 Model of cultural competence dari Purnel and Paulanka.
 Sunshine model dari Leininger (Evans, Menaca, Koffman, Harding, Higginson, Pool &
Gysels, 2012).
Schim dan Miller mengembangkan modle kompetensi budaya, dimana model
tersebut mencakup 4 komponen, yaitu:
1. Keragaman budaya
Mengenal dan memahami keragaman populasi dengan keunikan nilai dan kepercayaan
serta adat istiadatnya.
2. Kesadaran akan budaya
Adanya pertukaran pengetahuan dan informasi mengenai kesehatan, kepercayaan, dan
praktik khusus dalam berbagai komunitas serta variasi budaya dalam group.

3. Sensitifitas terhadap budaya


Upaya untuk mengenal perilaku atau tingkah laku dan kepercayaan, serta upaya untuk
menghindari beberapa hal yang terkait proses komunikasi dan keterampilan komunikasi.
4. Kompetensi budaya
Melibatkan keragaman budaya sebagai fakta, kesadaran akan budaya sebagai pengetahuan,
dan sensitifitas budaya melalui tingkah laku menjadi suatu praktik dan perilaku keseharian.

15
 Kompetensi budaya merupakan proses untuk mengembangkan sesuatu yang mana
hal tersebut tergantung pada kesadaran diri, pengetahuan dan keterampilan.

2.3. Tahapan Penerimaan Pasien Paliatif


Respons psikologis yang dialami seseorang karena kehilangan oleh Kubler-Ross
(1969) dikemukakan dalam teori yang disebut “The Five Stages of Grief”, teori ini
membagi respons psikologis dalam lima tahap, yaitu penyangkalan (denial),
marah (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression) dan
penerimaan (acceptance).
Kelima tahap respons psikologis ini sering diidentikkan dengan lima tahap model
duka cita yang disebabkan oleh proses kematian. Namun akhirnya berkembang tidak hanya
sebatas itu, lima tahap respons psikologis ini juga bisa digunakan untuk mengidentifikasi
individu pasca pemutusan hubungan kerja, adanya bencana sehingga terpaksa harus
mengungsi, kehilangan anggota tubuh, hukuman, kebangkrutan, korban kejahatan atau
kriminal dan keputusasaan. Sehingga teori ini berkembang lebih luas dan dapat digunakan
untuk memahami reaksi pasca kejadian traumatik yang dialami oleh seseorang.

2.4. Peran Perawat Paliatif

Peran perawat di perawatan paliatif perawat memiliki peranan penting dalam


memberikan dukungan bagi penderita kanker dalam mengatasi gejala yang di alami
(Mackenzie & Mac Callam, 2009). Menurut Matzo & Sherman (2014) peran perawat
dalam perawatan paliatif meliputi sebagai praktik di klinik, pendidik, peneliti, bekerjasama
(Collaborator), penasihat.
Perawat sebagai salah satu petugas praktik di klinik memiliki kemampuan untuk
memahami dan mengevaluasi nyeri beserta keluhan dari nyeri yang dialami pasien.
Perawat dapat berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya dalam mengembangkan dan
menerapkan perencanaan perawatan yang komprehensif. Perawat mengidentifikasi
pendekatan baru dalam mengatasi nyeri dan dikembangkan sesuai dengan standar rumah
sakit sehingga dapat dipraktekkan sesuai denga aturan di rumah sakit.

16
Perawat sebagai pendidik memfasilitasi filosofi yang kompleks, etik dan diskusi
tentang penatalaksanaan di klinik sehingga semua tim dapat mencapai hasil yang positif.
Perawat memperlihatkan dasar keilmuannya yang meliputi : mengatasi nyeri neuropatik,
berperan mengatasi konflik profesi, mencegah dukacita dan resiko kehilangan.
Perawat pendidik dengan tim lainnya, seperti komite dan ahli farmasi, berdasarkan
pedoman dan tim perawatan paliatif, maka memberikan perawatan yang berbeda dan
khusus dalam menggunaan obat-obatan intravena untuk mengatasi nyeri neuropatik yang
tidak mudah di atasi.
Perawat sebagai peneliti menghasilkan ilmu pengetahuan baru melalui pertanyaan-
pertanyaan penelitian dan memulai pendekatan baru yang ditujukan pada pertanyaan-
pertanyaan. Perawat dapat meneliti dan terintegrasi pada penelitian perawatan paliatif.
Perawat sebagai salah satu tim pelayanan kesehatan akan bekerjasama (Collaborator)
melakukan pengkajian dalam mengkaji bio-psiko-sosial-spiritual serta penatalaksananya.
Perawat membangun dan mempertahankan kolaborasi dengan tim perawatan paliatif.
Perawat memfasilitasi dalam mengembangkan anggota dalam pelayanan, perawat
bekerjasama dengan tim perawatan paliatif dalam rangka mempersiapkan pelayanan
dengan hasil yang terbaik.
Perawat sebagai penasihat (concultant) akan bekerjasama dan berdiskusi dengan
dokter, tim perawatan paliatif dan komite untuk menentukan strategi pengobatan yang tepat
untuk menetukan tindakan dan memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Kasus
Nyonya A usia 55 tahun asal Surabaya masuk ke Rumah Sakit tanggal 5 februari
2019 akibat mengalami penyakit Ca. Colon. Klien datang ke RSUD Pringsewu diantar oleh
keluarganya melalui IGD, pada tanggal 5 februari 2019, dengan keluhan nyeri pada
abdomen, kram perut, pola defekasi bermasalah, sering sembelit, feses berwarna kehitaman

17
dan kadang disertai darah merah segar, tidak nafsu makan, penurunan berat badan, dan
cepat letih. Kesadaran klien composmentis, Vital Sign TD 110/90 mmHg, Nadi 70x/menit,
irama reguler kekuatan sedang, Respirasi 20x/menit, irama regular, Suhu 36,5 0 C.

Pekerjaan Ny. A yaitu seorang PNS dan waktu luangnya diisi dengan beristirahat
di rumah dan berkumpul bersama keluarga. Klien jarang berolahraga. Saat sakit, klien
hanya bisa berbaring di tempat tidur, aktifitas terbatas, dan klien dibantu oleh keluarganya.
Sebelum sakit lama tidur klien 7-8 jam/hari, hanya dipergunakan untuk tidur malam karena
klien jarang sekali tidur siang dan tidak ada gangguan dalam tidur. Saat sakit lama tidur
klien hanya 5 jam dengan tidur siang selama 1 jam. Klien kadang-kadang kesulitan tidur
di rumah sakit karena nyeri yang dialami klien, klien tampak lemah. Klien merasakan nyeri
pada perutnya dalam 2 bulan belakangan ini. Nyeri akan lebih terasa menyakitkan jika
beraktifitas dan saat defekasi, dan akan berkurang saat klien beristirahat. Region nyeri yaitu
pada abdomen bagian bawah (dessendens bawah). Skala nyeri klien 8, raut muka klien
tampak menahan nyeri. Sebelum sakit, frekuensi makan Ny. A tidak teratur dikarenakan
kesibukan jam kerja yang mengakibatkan sering telat makan. Berat badan klien 68 kg.
Berat badan dalam 1 bulan terakhir turun drastis menjadi 63 kg. Jenis makanan yang paling
sering dikonsumsi klien yaitu daging hewan dan makanan cepat saji (sate & gulai). Klien
tidak suka sayuran, dan tidak memiliki pantangan terhadap makanan apapun. Klien tidak
pernah mengalami operasi gastrointestinal. Saat sakit, klien hanya mengkonsumsi nasi
lembek, sayuran hijau, buah tapi jarang habis karena klien mual, tidak nafsu makan, &
klien tidak makan yang pedas & berminyak. Sebelum sakit frekuensi minum klien 7-8
gelas/hari. Saat sakit, frekuensi minum klien + 2-3 gelas/hari. Turgor kulit tidak elastis.
Klien tidak mengalami sesak, tidak ada keluhan saat bernafas, irama teratur, klien tidak
batuk, klien tidak merokok, klien tidak terpasang oksigen. Frekuensi BAB klien sebelum
sakit 1x sehari di pagi hari. Feses berwani kuning, konsistensi padat, berbau khas, warna
kuning kecoklatan, dan tidak ada keluhan. Saat sakit, klien kesulitan BAB, mengalami
sembelit, feses berwarna kehitaman, konsistensi keras, kadang disertai darah merah segar,
berbau anyir. Frekuensi BAK klien 2x sehari. Klien tidak mengalami perubahan pola
berkemih. Klien tidak menggunakan kateter. Klien tidak memiliki gangguan dan riwayat
penyakit yang menyangkut sensori, persepsi, dan kognitif.

18
3.2 Pengkajian
1. Biodata
Nama : Ny. A
No RM : 123.456.xx
Usia : 55 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Alamat : surabaya
Tanggal masuk : 5 Februari 2019
Diagnosa medis : Ca. Colon
Pekerjaan : PNS
Status : menikah
Agama : islam
Pendidikan : sarjana
2. Keluhan utama
Nyeri pada bagian perut selama 3 bulan, semakin lama semakin nyeri.
3. Riwayat penyakit :
a. Riwayat penyakit sekarang
Nyeri pada abdomen, kram perut, pola defekasi bermasalah, sering sembelit, feses
berwarna kehitaman dan kadang disertai darah merah segar, tidak nafsu makan,
penurunan berat badan, dan cepat letih.
b. Riwayat penyakit dahulu
Klien tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya.
c. Riwayat penyakit keluarga
Klien mengatakan tidak ada keluarga yang memiliki riwayat penyakit serupa.
4. Pemeriksaan fisik Head to Toe
a. Keadaan umum
Kesadaran : composmentes
TD : 110/90 mmHg
Nadi : 70x/menit (irama reguler kekuatan sedang)
Respirasi : 20x/menit (rama regular)

19
Suhu : 36,50 C
b. Kepala
Kulit kepala normal, tidak ada hematoma, lesi atau kotor. Rambut mudah patah
saat dicabut, hitam tanpa uban, dan bersih.

o Mata : mata klien secara umum normal, bentuk simetris, konjungtiva tampak
anemis, sklera tidak ikterik, pupil dapat merespon terhadap cahaya, palpebra
normal, tidak ada oedema. Lensa mata normal, jernih, visus mata kanan dan kiri
normal.
o Hidung : Hidung klien simetris, tidak ada septum deviasi, polip, epistaksis,
gangguan indera pencium, atau secret.
o Mulut : Mulut klien normal.
o Telinga : telinga klien simetris, bersih, dan tidak ada gangguan pendengaran.
o Leher : leher klien normal, tidak ada pembesaran thyroid, tidak ada kaku kuduk,
tidak ada hematoma, tida ada lesi. Tenggorokan klien normal, tidak ada nyeri tekan,
tidak hipremis, dan tidak ada pembesaran tonsil.
c. Dada
Bentuk dada normal. Irama jantung normal S1 S2 tunggal.
d. Abdomen
Bentuk aga cembung, adanya nyeri tekan pada bagian bawah.
e. Genetalia
Normal dan bersih.
f. Rectum
Normal, tidak ada hemoroid, tidak ada prolaps, dan tidak ada tumor.
g. Ekstremitas
Normal, Tidak ada gangguan.
5. Aktifitas dan latihan
Pekerjaan Ny. A yaitu seorang PNS dan waktu luangnya diisi dengan beristirahat di rumah
dan berkumpul bersama keluarga. Klien jarang berolahraga. Saat sakit, klien hanya bisa
berbaring di tempat tidur, aktifitas terbatas, dan klien dibantu oleh keluarganya
6. Istirahat dan tidur

20
Sebelum sakit lama tidur klien 7-8 jam/hari, hanya dipergunakan untuk tidur malam karena
klien jarang sekali tidur siang dan tidak ada gangguan dalam tidur. Saat sakit lama tidur
klien hanya 5 jam dengan tidur siang selama 1 jam. Klien kadang-kadang kesulitan tidur
di rumah sakit karena nyeri yang dialami klien, klien tampak lemah.
7. Kenyamanan dan nyeri
Klien kadang-kadang kesulitan tidur di rumah sakit karena nyeri yang dialami klien, klien
tampak lemah. Klien merasakan nyeri pada perutnya dalam 2 bulan belakangan ini. Nyeri
akan lebih terasa menyakitkan jika beraktifitas dan saat defekasi, dan akan berkurang saat
klien beristirahat. Region nyeri yaitu pada abdomen bagian bawah (dessendens bawah).
Skala nyeri klien 8, raut muka klien tampak menahan nyeri.
8. Nutrisi
Berat badan klien 68 kg. Berat badan dalam 1 bulan terakhir turun drastis menjadi 63 kg.
Jenis makanan yang paling sering dikonsumsi klien yaitu daging hewan dan makanan cepat
saji (sate & gulai). Klien tidak suka sayuran, dan tidak memiliki pantangan terhadap
makanan apapun. Klien tidak pernah mengalami operasi gastrointestinal. Saat sakit, klien
hanya mengkonsumsi nasi lembek, sayuran hijau, buah tapi jarang habis karena klien mual,
tidak nafsu makan, & klien tidak makan yang pedas & berminyak.
9. Cairan
Sebelum sakit frekuensi minum klien 7-8 gelas/hari. Saat sakit, frekuensi minum klien +
2-3 gelas/hari. Turgor kulit tidak elastis.

10. Oksigen
Klien tidak mengalami sesak, tidak ada keluhan saat bernafas, irama teratur, klien tidak
batuk, klien tidak merokok, klien tidak terpasang oksigen.
11. Eliminasi urin
Frekuensi BAK klien 2x sehari. Klien tidak mengalami perubahan pola berkemih. Klien
tidak menggunakan kateter.
12. Eliminasi fekal
Feses berwani kuning, konsistensi padat, berbau khas, warna kuning kecoklatan, dan tidak
ada keluhan. Saat sakit, klien kesulitan BAB, mengalami sembelit, feses berwarna
kehitaman, konsistensi keras, kadang disertai darah merah segar, berbau anyir.

21
13. Sensori, persepsi, dan kognitif
Klien tidak memiliki gangguan dan riwayat penyakit yang menyangkut sensori, persepsi,
dan kognitif.
14. Pemeriksaan penunjang
c Hasil Nilai Normal Interpretasi

Hb 10 12-18 g/dL Turun

Ht/PVC 42 40-52% Normal

Leukosit 7.000 4.000-10.000 /uL Normal

Trombosit 253.000 150.000-450.000 /uL Normal

Masa 13.0 11.0-17.0 detik Normal


protrombin

15. Psikologis
Perasaan klien setelah mengalami masalah ini adalah gelisah. Cara mengatasi gelisahnya
klien dihibur keluarga. Dukungan yang diberikan oleh keluarga sangat baik, keluarga
memberikan semangat kepada klien agar klien selalu berdo’a supaya cepat sembuh. Klien
juga mengatakan sedikit cemas dengan penyakitnya. Klien takut akan perubahan status
kesehatannya.

16. Sosial
Aktivitas atau peran di masyarakat adalah sebagai anggota RT 5 Kalirejo. Kebiasaan
lingkungan yang tidak disukai adalah lingkungan yang kotor. Cara mengatasinya dengan
melakukan kegiatan kerja bakti.

17. Budaya
Budaya yang diikuti klien adalah budaya jawa. Kebudayaan yang dianut tidak merugikan
kesehatannya.

18. Spiritual

22
Aktivitas ibadah sehari-hari sholat 5 waktu. Kegiatan keagamaan yang biasa dilakukan
adalah yasinan. Keyakinan klien tentang masalah kesehatan yang sekarang sedang dialami
: klien yakin akan dirinya pasti sembuh.

3.3 Analisa Data


Data Etiologic Masalah
DS : Kanker kolon Ansietas
- Klien mengatakan
cemas akan Minimnya pendidikan
kesehatannya kesehatan
- Klien mengatakan
merasa takut akan Gelisah
kondisi kesehatnnya
Ansietas

DO :
- Klien tampak gelisah
- Klien sulit tidur
- Klien sering bertanya
mengenai kondisinya

DS : Insomnia
Klien mengatakan susah Kanker kolon
tidur saat di rumah sakit
Obstruksi kolon

DO :
Kompresi jaringan
Durasi tidur malam 3 jam
dan tidur siang 1 jam Reseptor nyeri

Nyeri

23
Susah tidur

DS : Kanker kolon Kesiapan Meningkatkan


Klien mengatakan merasa Koping
Respon psikologis
tertekan karena kondisinya
Klien mengatakan ingin Takut dan gelisah
merasa lebih tenang
Stress

DO :
-

3.4 Diagnosa Keperawatan


1. Ansietas berhubungan dengan ancaman kematian
2. Insomnia berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik
3. Kesiapan meningkatkan koping

3.5 Intervensi Keperawatan


Dx: Ansietas berhubungan dengan ancaman kematian (00146, Domain 9,
Kelas 2)

Definisi: Perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respons
autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu),
perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini
merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya
bahaya dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi ancaman.

NOC NIC Rasional

Setelah diberikan Pengurangan Kecemasan Pengurangan Kecemasan


asuhan keperawatan (5820) (5820)
selam 1 x 24 jam

24
diharapkan klien tidak - Mendengarkan - Keluarga dapat
mengalami kecemasan, penyebab kecemasan mengungkapkan
dengan kriteria hasil : klien dengan penuh penyebab
perhatian kecemasannya
Tingkat Kecemasan
sehingga perawat dapat
(1211)
menentukan tingkat

- Kecemasan pada kecemasan klien dan

keluarga berkurang menentukan intervensi

(5) untuk klien


selanjutnya.
- Mengobservasi tanda
verbal dan non verbal
dari kecemasan
keluarga dapat
mengetahui tingkat
kecemasan yang
keluarga alami.

- Observasi tanda verbal Teknik Menenagkan


dan non verbal dari (5880)
kecemasan keluarga.
- Dukungan keluarga
dapat memperkuat
mekanisme koping
klien sehingga tingkat
ansietasnya berkurang
- Pengurangan atau
penghilangan rangsang
Teknik Menenangkan penyebab kecemasan
(5880) dapat meningkatkan
ketenangan pada

25
- Menganjurkan keluarga dan
keluarga untuk tetap mengurangi tingkat
mendampingi klien kecemasannya

- Mengurangi atau
menghilangkan
rangsangan yang
menyebabkan
kecemasan pada
keluarga klien

Dx: Insomnia berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik (00095, Domain 4,


Kelas 1)

Definisi: Gangguan pada kuantitas dan kualitas tidur yang menghambat fungsi.

NOC NIC Rasional

Setelah diberikan Peningkatan Tidur (1850) Peningkatan Tidur (1850)


asuhan keperawatan - Diskusikan dengan - Teknik yang tepat
selam 2 x 24 jam pasien dan keluarga dapat
diharapkan kuantitas mengenai teknik mengoptimalkan
dan kualitas tidur klien untuk meningkatkan tidur
meningkat, dengan tidur - Menghilangkan
kriteria hasil : - Bantu untuk stres dapat
menghilangkan membantu untuk
Tidur (0004)
situasi stres sebelum memulai tidur lebih
- Kualitas tidur tidak
tidur awal
terganggu (5)

26
- Tidak ada kesulitan - Terapkan langkah – - Kenyamanan dapat
memulai tidur (5) langkah kenyamanan mengurangi sedikit
seperti pijat, dan rasa sakit yang
sentuhan afektif dirasakan klien

Teknik Menenangkan
(5880) Teknik Menenangkan
(5880)
- Intruksikan klien
untuk - Perasaan tenang
menggunakan dapat mengurangi
metode stres yang dirasakan
mengurangi klien
kecemasan (teknik
bernafas dalam,
relaksasi otot
progresif,
mendengar musik
lembut)

Terapi Relaksasi (6040)

- Ciptakan
lingkungan yang
tenang dan tanpa
Terapi Relaksasi (6040)
distraksi dengan
lampu redup dan - Lingkungan yang
suhu lingkungan nyaman
yang nyaman memberikan
- Gunakan relaksasi perasaan tenang
sebagai strategi - Relaksasi dapat
tambahan dengan mengurangi nyeri
obat-obatan nyeri

27
atau sejalan dengan - Evaluasi untuk
terapi lain mengetahui
- Evaluasi laporan efektifitas terapi
individu terkait
relaksasi yang
dicapai secara
teratur

Dx: Kesiapan meningkatkan koping (00158, Domain 9, Kelas 2)

Definisi: Suatu pola upaya kognitif dan perilaku untuk mengatasi


tuntutan/permintaan yang adekuat untuk kesejahteraan dan dapat ditingkatkan

NOC NIC Rasional

Setelah diberikan Peningkatan Koping Peningkatan Koping (5230)


asuhan keperawatan (5230)
- Pendekatan tenang
selam 2 x 24 jam
- Gunakan pendekatan memberi ketenangan
diharapkan koping
yang tenang dan - Harapan yang realistis
klien membaik, dengan
memberi jaminan dapat meningkatkan
kriteria hasil :
- Dukung sikap pasien keinginan pasien untuk
Koping (1302) terkait harapan yang sembuh
realistis sebagai - Pasien mempunyai
- Melaporkan upaya untuk kebiasaan spiritual
pengurangan stres mengatasi perasaan yang baik, harus
(5) ketidakberdayaan dimanfaatkan
- Melaporkan - Dukung penggunaan - Melihat orang lain yang
peningkatan sumber-sumber berhasil memberikan
kenyamanan spiritual motivasi dan semnagat
psikologis (5) - Mengenalkan pasien baru
pada seseorang atau

28
kelompok yang telah
berhasil mengalami
pengalaman yang
sama

Dukungan Emosional
(5270)

- Rangkul atau sentuh


pasien dengan penuh Dukungan Emosional
dukungan (5270)
- Dorong untuk bicara
- Sentuhan untuk
atau menangis
membina hubungan
sebagai cara untuk
saling percaya
menurunkan respon
- Komunikasi dua arah
emosi
dapat meringankan
beban psikologis

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Perawatan paliatif merupakan pendekatan yang memiliki tujuan meningkatkan
kualitas hidup pasien yang terfokus pada pasien dan keluarga pasien dalam menghadapi

29
penyakit yang sedang dialami. Pada perawatan paliatif ini, kematian tidak dianggap sebagai
sesuatu yang harus dihindari, tetapi kematian merupakan suatu hal yang harus dihadapi
sebagai bagian dari siklus kehidupan normal setiap yang bernyawa. Permasalahan yang
sering muncul ataupun terjadi pada pasien dengan perawat paliatif meliputi masalah
psikologis, social, konsep diri, dukungan keluarga dan aspek spiritual.
Permasalahan yang sering digambarkan pasien yaitu kejadian-kejadian yang dapat
mengancam diri sendiri, misalnya nyeri, masalah fisik, psikologi, social, kultural dan
spiritual. Perawatan paliatifi ini bertujuan untuk membantu pasien yang sudah mendekati
ajalnya, agar pasien aktif dan dapat bertahan hidup selama mungkin.
Teori “The Five Stage of Grief” menyebutkan bahwa respon psikologis yang dialami
seseorang karena kehilangan terbagi atas lima tahap, yaitu penyangkalan (denial),
marah (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression) dan
penerimaan (acceptance). Respons psikologi ini juga bias digunakan untuk memahami
reaksi pasca kejadian traumatic yang dialami oleh seseorang. Dapat dikatakan pula bahwa
teori ini berkembang sangat pesat.
Dalam hal ini peran perawat paliatif memiliki peran penting dalam memberikan
dukungan bagi penderita kanker dalam mengatasi gejala yang dialami. Sebagai salah satu
petugas klinik tentu perawat dapat memahami dan mengevaluasi keluhan-keluhan pasien.
Perawat dapat berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya, guna mengembangkan dan
menerapkan perencanaan perawatan yang komprehensif.

4.2 Saran

Sebagai tenaga profesional keperawatan khususnya asuhan keperawatan pada pasien


paliatif dengan Ca Kolon, perawat perlu mengetahui konsep perawatan paliatif dan asuhan
keperawatan yang akan dilakukan pada pasien paliatif. Kita sebagai mahasiswa keperawatan ,
yang nantinya akan menjadi tenaga kesehatan di rumah sakit juga seharusnya mempelajari dan
mengembangkan pengetahuan asuhan keperawatan pasien paliatif.

30
DAFTAR PUSTAKA

Ayu Purnamaningrum. 2010. F aktor-F aktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Masyarakat
Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Mata (Factors Related To The Community’s
Behaviour To Get Eye Health Servic). Universitas Diponegoro.
Boedhi, Darmojo, R. 2011 .Buku Ajar Geriatic (IlmuKesehatanLanjutUsia) edisike – 4.Jakarta
:BalaiPenerbit FKUI

31
Bullock, K. (2011). The influence of culture on end-of-life decision making. Journal of social work
in end-of-life & palliative care, 7(1), 83-98.

Dobríková, P., Macková, J., Pavelek, L., AlTurabi, L., Miller, A., & West, D. (2016). The effect
of social and existential aspects during end of life care. Nursing and Palliative Care, 1(3),
47-51.

Dochteran, J. M., & Bulechek, G. M. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). 6th ed.
America: Mosby Elseiver

Dwi Hapsari, dkk.2012. Pengaruh Lingkungan Sehat dan Perilaku Hidup Sehat Terhadap Status
Kesehatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan. Jakarta.
Entjang, Indan. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. PT. Citra Aditya Bakti : Bandung.
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (2014). NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions &
Classification, 2015–2017. 10nd ed. Oxford: Wiley Blackwell.
Lukman Hakim, dkk.. 2013. Faktor Sosial Budaya Dan Orientasi Masyarakat Dalam Berobat
(Socio-Cultural Factors And Societal Orientation In The Treatment). Universitas Jember
(UNEJ). Jember.
Moorhead, S., Jhonson, M., Maas, M., & Swanson, L. (2013). Nursing Outcomes Classification
(NOC). 5th ed. United states of America: Mosby Elseiver.

32

Anda mungkin juga menyukai