Anda di halaman 1dari 21

TINJAUAN SOSIAL BUDAYA TERHADAP

KEPERAWATAN PALIATIF

Disusun Oleh:
Kelompok 10
1. Clarita Famatriani Margareta Hia (032019007)
2. Renata br perangin angin (032020018 )
3. Erlinien Telaumbanua (032020038 )
4. Nirwanawati Girsang ( 032020048)

Dosen Pembimbing :Friska Sri Handayani Ginting, S. Kep. Ns. M. Kep.

STIKes SANTA ELISABETH MEDAN


T.A 2022 / 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan rahmat-Nya kami
akhirnya bisa menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Tinjauan Sosial Budaya Terhadap
Keperawatan Paliatif” ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Alasan pembuatan makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah “Keperawatan Paliatif”.
Kami juga berterimakasih kepada dosen pembimbing kami yang telah membantu kami
dalam menyelesaiakan proses pembuatan makalah ini dengan selesai. Dalam menyusun makalah
ini, kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang diberikan kepada
kami. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata kami
ucapkan terima kasih.

Medan,26Agustus 2022

Kelompok 10

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………………...........................i
Daftar Isi………………………………………………………………………….........................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sosial Budaya 2
2.2 Kajian Sosial Budaya Terhadap Perawatan Paliatif 3
2.3 Budaya Masyarakat Terhadap Perawatan Paliatif 3
2.4 Aspek Kebudayaan Perawat 12

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan 15
3.2 Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 16

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien
(dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa,
dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian yang
sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau
spiritual. (World Health Organization (WHO), 2016).
Menurut Dein (2006) perawatan paliatif harus sensitive terhadap budaya, sehingga dapat
menyadari dan memenuhi kebutuhan pasien. Fitzpatrick (1993) menyampaikan bahwa
prinsip penerapan aspek budaya dalam pelayanan perawatan dapat membantu, menfasilitasi,
mengadaptasi serta mengubah pola gaya hidup atau kesehatan pasien yang bermakna atau
menguntungkan. Demikian juga Owens (2004), mengemukakan tantangan yang dihadapi
dalam perawatan paliatif yaitu mengembangkan praktek penerapan budaya yang kompeten
bagi pasien dengan penyakit kanker, penyakit kronis dan penyakit terminal.
McNamara (1997) mengemukakan penggunakan budaya yang sama akan sangat
membantu dalam pemberian layanan kesehatan. Jika pengetahuan budaya tertentu dapat
diandalkan, diterapkan secara peka dan bertanggung jawab dapat meningkatkan proses
pengkajian pasien dari pertanyaan yang perlu ditanyakan perawat (Hallenbeck, 1996).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya memegang peranan penting
dalam perawatan paliatif, pengkajian dapat terfokus pada pertanyaan yang diperlukan pasien
sehingga pasien dapat menyampaikan permasalahan yang dimiliki serta diharapkan dapat
menangani masalah fisik, psikologis, sosial, spiritual dan kualitas hidup pasien.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana tinjauan sosial budaya di Indonesia terhadap keperawatan paliatif : Batak
toba, Simalungun, Karo, Jawa, Nias dan etnis lain di Indonesia?

1.3 Tujuan
Untuk dapat mengetahui tinjauan sosial budaya di Indonesia terhadap keperawatan
paliatif : Batak toba, Simalungun, Karo, Jawa, Nias dan etnis lain di Indonesia?

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sosial Budaya
Pengertian sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang
mengenai masyarakat atau kemasyarakatan. Kebudayaan atau kultur dapat membentuk
kebiasaan dan respons terhadap kesehatan dan penyakit dalam segala masyarakat tanpa
memandang tingkatannya. Karena itulah penting bagi tenaga kesehatan untuk tidak hanya
mempromosikan kesehatan, tapi juga membuat mereka mengerti tentang proses terjadinya
suatu penyakit dan bagaimana meluruskan keyakinan atau budaya yang dianut hubungannya
dengan kesehatan. Pengaruh kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan
garis pengaruh sikap terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota
masyarakat, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-individu
masyarakat.
Green dalam Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa perilaku manusia dari tingkat
kesehatan dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor perilaku (behaviour cause) dan
faktor di luar perilaku (non hehaviour cause). Perilaku itu sendiri terbentuk dari tiga faktor,
yaitu :
1) Faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
2) Faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia
atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya
puskesmas, obat-obatan, air bersih dan sebagainya.
3) Faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku
petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat.
Sosial budaya mempengaruhi kesehatan adalah pandangan suatu masyarakat terhadap
tindakan yang mereka lakukan ketika mereka mengalami sakit, ini akan sangat dipengaruhi
oleh budaya, tradisi, dan kepercayaan yang ada dan tumbuh dalam masyarakat tersebut.
Misalnya masyarakat yang sangat mempercayai dukun yang memiliki kekuatan gaib sebagai
penyembuh ketika mereka sakit, dan bayi yang menderita demam atau diare berarti pertanda

5
bahwa bayi tersebut akan pintar berjalan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sosial budaya
sangat mempengaruhi kesehatan baik itu individu maupun kelompok.
Kebudayaan perilaku kesehatan yang terdapat dimasyarakat beragam dan sudah melekat
dalam kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan tersebut seringkali berupa kepercayaan gaib.
Sehingga usaha yang harus dilakukan untuk mengubah kebudayaan tersebut adalah dengan
mempelajari kebudayaan mereka dan menciptakan kebudayaan yang inovatif sesuai dengan
norma, berpola, dan benda hasil karya manusia.

2.2 Kajian Sosial Budaya Terhadap Perawatan Paliatif


Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat adalah perilaku
kesehatan masyarakat itu sendiri. Dimana proses terbentuknya perilaku ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor sosial budaya, bila faktor tersebut telah
tertanam dan terinternalisasi dalam kehidupan dan kegiatan masyarakat ada kecenderungan
untuk merubah perilaku yang telah terbentuk tersebut sulit untuk dilakukan. Untuk itu,
untuk mengatasi dan memahami suatu masalah kesehatan diperlukan pengetahuan yang
memadai mengenai budaya dasar dan budaya suatu daerah. Sehingga dalam kajian sosial
budaya tentang perawatan paliatif bertujuan untuk mencapai derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya, meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi
masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam kehidupan.

2.3 Budaya Masyarakat Terhadap Perawatan Paliatif


Pemahaman masyarakat terhadap hal-hal yang dipercayai secara turun-temurun
merupakan bagian dari kearifan lokal yang sulit untuk dilepaskan. Hingga pemahaman
magis yang irasional terhadap pengobatan melalui dukun seperti diatas sangat dipercayai
oleh masyarakat. Peranan budaya dan kepercayaan yang ada dimasyarakat itu diperkuat oleh
rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi. Salah satu penyakit paliatif ialah kanker
payudara yang merupakan penyakit yang mematikan. Jumlah penderitanya pun tak sedikit.
Sayang, banyak penderita justru memilih ke dukun alias pengobatan alternatif. Ujung-
ujungnya, malah bertambah parah. Banyak penderita yang baru berobat ke dokter setelah
menderita kanker payudara stadium tinggi.

6
Selain itu, fenomena dukun Ponari sempat menyita perhatian masyarakat Indonesia
beberapa tahun yang lalu, cerita kemunculan dukun Ponari dengan batu saktinya sebagai
media penyembuhan dengan cara di celupkan ke air. Kabar tentang kehebatan ponari ini
terus meluas hingga menyebabkan jumlah pasien yang berobat kerumah Ponari dari hari
kehari semakin meningkat. Tindakan masyarakat yang datang ke Dukun Ponari itu tidak
terlepas dari peran budaya yang ada di masyarakat kita terhadap hal-hal yang bersifat mistis.
Percaya terhadap kesaktian batu yang dimiliki Ponari itu merupakan sebuah budaya yang
mengakar dan bertahan di masyarakat sebagai bagian dari kearifan lokal.

1. Budaya masyarakat Toba terhadap perawatan paliatif


a) Melakukan acara adat mangupa - upa dan mangulosi
Berdasarkan pengalaman dari informan kunci bahwa seseorang yang
menderita suatu penyakit ataupun mengalami musibah sering diupa - upa setelah
itu diberikan ulos sampe tua istilahnya pir ma tondi yaitu agar tondinya kembali
kebadan sehingga orang yang sakit tersebut menjadi sembuh dan semangat
kembali.
Upacara mangupa bertujuan untuk mengembalikan tondi (roh) ke badan dan
memohon berkah dari Tuhan Yang Maha Esa agar selalu selamat, sehat dan
murah rezeki dalam kehidupan. Upaya mengembalikan tondi ke badan dilakukan
dengan cara menghidangkan seperangkat bahan (perangkat pangupa) dan nasihat
pangupa (hata pangupa atau hata - hata ni pangupa) disusun secara sistematis dan
dilakukan oleh berbagai pihak yang terdiri dari orangtua, raja-raja dan pihak -
pihak adat lainnya (Lumbantobing, 1992).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Irmawati (2007) bahwa
untuk mengobati suatu penyakit, masyarakat Batak Toba juga percaya bahwa ulos
tondi dari hula-hula dapat menyembuhkan penyakit. Itulah sebabnya mengapa
orang Batak Toba sangat hormat kepada hula-hula. Bila orang yang sakit lebih
muda, mereka perlu meminta pertimbangan kepada orang yang lebih tua untuk
memecahkan masalah kesehatan tersebut.

7
b) Mendatangi datu / namalo
Berdasarkan informasi dari informan kunci bahwa pada suku Batak Toba,
apabila seseorang menderita suatu penyakit, sering berobat ke datu (namalo). Hal
ini terjadi karena masih banyak masyarakat Batak Toba yang lebih mempercayai
namalo dibanding tim kesehatan terutama masyarakat yang tinggal di daerah
pedalaman. Pada masyarakat Batak Toba orang yang paling mengetahui isi dari
kitab pengobatan ini disebut sebagai sibaso. Sibaso adalah datu (dukun
perempuan).
Berbagai pengalaman telah dapat membuktikan bahwa pengobatan
tradisional Batak yang dilakukan oleh seorang namalo ini tidak selalu kalah
dengan pengobatan yang diterapkan oleh dokter (tim medis), hanya saja sistem
pengobatan ini tidak melibatkan alat teknologi canggih seperti halnya peralatan
medis. Pengkajian mengenai obat yang digunakan oleh tim medis dengan obat
yang digunakan oleh tim namalo sangat jauh berbeda. Pihak tim medis telah
mencampur zat kimia kedalam obat yang dipergunakan, sementara tim namalo
masih alami. Obat yang digunakan oleh namalo adalah jenis tumbuh-tumbuhan
tertentu yang masih alami. Untuk meramu diperlukan alat - alat tradisional.
c) Meminum rebusan benalu kopi setiap hari untuk menyembuhkan kanker payudara
dan meningkatkan stamina
Selain pengobatan alternatif partisipan juga mengkonsumsi obat tradisional
suku batak yang bertujuan untuk meningkatkan kekebalan/ketahanan tubuh
sehingga dapat melawan sel-sel kanker. Pengobatan kanker dengan ramuan herbal
adalah suatu pengobatan dengan menggunakan berbagai macam ekstrak dari
tumbuh-tumbuhan dikombinasikan dengan bahan alami lainnya yang diolah
secara modern, yang dapat membantu detoxifikasi jaringan darah dan
menstimulasi sistem kekebalan tubuh untuk bersama-sama memberantas sel
kanker.
d) Mengunjungi makam leluhur dengan melakukan ritual penghormatan dalam
proses penyembuhan
Sitor Situmorang (2009) memaparkan bahwa jika sakit orang batak dilarang
minum obat dari dokter. Dalam pengobatan tradisional suku batak sering disertai

8
oleh ritual-ritual. Namun setiap masalah yang hendak diselesaikan berbeda
upacara ritualnya dan untuk mengetahui bagaimana cara menyembuhkan yang
sakit agar mendekatkan diri kepada Debata Mula Jadi Na Bolon (Tuhan Yang
Maha Esa) (Swardi Endraswara, 2006). Pada umumnya partisipan mengatakan
bahwa mereka lebih nyaman dengan pengobatan ritual karena mereka
mendapatkan informasi dari penyembuh tentang penyebab sakit dan jenis
penyakit, pengobatan, dan beberapa larangan atau pantangan yang harus
dilakukan.

2. Budaya masyarakat Karo terhadap perawatan paliatif


a) Minum Ramuan Rempah
Berdasarkan hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat metode pengobatan
penyakit DM yang diyakini oleh masyarakat suku Batak Karo yaitu dengan
meminum ramuan obat. Ramuan obat yang digunakan adalah nderasi (daun
nderasi), batang dan daun pegagan (pegaga), sikucingen gara (daun sikucingen
gara), akar paku-paku (urat paku-paku). Semua bahan tersebut memiliki jumlah
satu banding satu. Semua bahan dicincang (ires) kemudian dikeringkan. Setiap
segenggam ramuan dimasak dengan dimasak dengan air sebanyak kurang lebih
tiga liter. Air ramuan yang sudah matang tersebut diminum sebanyak dua kali
sehari sampai penyakit DM tersebut dianggap sembuh oleh klien (Sembiring,
2012).
b) Menggunakan kuning (param)
Berdasarkan hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa partisipan
menggunakan kuning (param) dalam upaya mengobati luka kaki diabetik yang
dialami partisipan dengan cara mengoleskan sebanyak tiga kali sehari diatas luka
partisipan dengan menggunakan bulu ayam. Partisipan merasakan sensasi dingin
saat kuning (param) diletakkan diatas luka. Kuning (param) dapat dimakan
langsung yang diyakini sebagai perawatan kesehatan dari dalam tubuh. Partisipan
menggunakan kuning (param) sebanyak tiga kali sehari.

9
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian lain yang menyatakan bahwa
keyakinan dalam bahan ramuan kuning (param) sebagai salah satu obat
tradisional Karo dianggap memiliki kekuatan antara lain : mengeluarkan penyakit,
melawan penyakit, menghindari hal yang tidak baik yang dapat mengganggu
kesehatan, menyembuhkan penyakit, menangkis penyakit, membersihkan
penyakit, dan memberi kekuatan dalam menghadapi penyakit. Selain itu, kuning
juga memiliki fungsi sosial dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat Karo
yaitu kuning sering digunakan sebagai luah (kado) atau pemberian dari orang lain
untuk menyembuhkan penyakit (Bangun, 2010).
c) Menggunakan sembur
Berdasarkan data hasil penelitian ini, partisipan menggunakan pengobatan
tradisional sembur yang berasal dari tanaman obat dalam mengatasi luka kaki
diabetik dengan cara disemburkan diatas luka tersebut. Partisipan yang
menggunakan sembur, biasanya bahan ramuan atau tanaman obat yang diperlukan
semuanya dicincang tetapi tidak terlalu halus, kemudian bahan dikunyah hingga
halus lalu disemburkan ke bagian tubuh yang dianggap perlu. Selain itu, sembur
juga dapat dikonsumsi langsung dengan cara semua bahan dimakan. Partisipan
merasakan dingin pada luka yang dilakukan sembur, atau merasakan sangat pahit
jika sembur dikonsumsi langsung. Hal ini menunjukkan bahwa adanya
kepercayaan suku Karo terhadap pengobatan tradisional sembur untuk mengatasi
luka kaki diabetik ataupun penyakit lainnya.
Sembur adalah suatu obat tradisional dalam masyarakat Karo yang terdiri dari
beras, daun-daunan hutan, jahe, lada, pala, dan akar-akaran dan lainnya dari
tanaman obat yang semuanya kemudian dicincang tidak terlalu halus. Cara
memakainya yaitu disemburkan ke bagian tubuh yang dianggap perlu. Sangat
dipercayai dalam penyembuhan penyakit yang diderita seseorang yang berkaitan
dengan penyakit dalam seperti, sakit perut, masuk angin, sakit maag, panas
dalam, sakit kepala, dan berguna bagi wanita yang sedang mengalami datang
bulan agar mengurangi nyeri pada perut (Ginting E P, 1999).

10
d) Melakukan upacara raleng tendi
Berdasarkan data dan informasi dari partisipan dalam penelitian ini
menyatakan bahwa partisipan beserta keluarga menjalani upacara raleng tendi
untuk meminta kesembuhan luka kaki diabetik, menjemput semangat partisipan
yang hilang, dan tendi dapat kembali kepada tubuh partisipan sehingga
diharapkan partisipan dapat segera sembuh. Upacara raleng tendi merupakan
salah satu upacara yang masih sangat diyakini oleh masyarakat suku Batak Karo.
e) Melakukan upacara erpangir ku lau
Berdasarkan data dan informasi dari partisipan dalam penelitian ini yang
menyatakan bahwa partisipan mengikuti upacara erpangir ku lau yang bertujuan
untuk meminta kesembuhan luka kaki diabetik yang dialami dan membuang sial
yaitu dengan cara partisipan dimandikan di sungai yang mengalir. Partisipan pada
penelitian ini menjelaskan bahwa upacara erpangir ku lau sampai saat ini masih
dilakukan oleh masyarakat Batak Karo karena upacara ini termasuk kegiatan
sakral pada masyarakat Batak Karo yaitu mandi ke sungai dengan memberi
sesajen agar kelak dikemudian hari diberkati Tuhan Yang Maha Esa, salah
satunya adalah untuk menolak penyakit yang dibuat oleh roh-roh jahat dan
penolak bala.
Pernyataan tersebut diatas sejalan dengan hasil penelitian yang menyatakan
bahwa proses upacara erpangir ku lau yang dipercayai oleh masyarakat Batak
Karo sebagai upacara memandikan diri ke sungai menggunakan ramuan obat
dengan memanggil arwah para leluhur yang dapat menyembuhkan penyakit,
sebagai tolak bala, menghormati para leluhur yang sudah meninggal, dan untuk
mencapai maksud atau tujuan tertentu. Walaupun pada umumnya masyarakat
Batak Karo sudah memeluk agama, akan tetapi masih ada sebagian masyarakat
Batak Karo yang terus melakukan upacara yang berhubungan dengan
penyembahan roh-roh para leluhur mereka (Siregar, 2013).

11
3. Budaya masyarakat Simalungun terhadap perawatan paliatif
a) Pulungan
Pulungan adalah salah satu metode pengobatan tradisional halak (Orang)
simalungun.Dimana pulungan ini adalah salah satu cara pengobatan dengan
menggunakan berbagai tumbuhan – tumbuhan yang direbus dalam wadah.
Adapun berbagai tumbuhan yang dipakai adalah Bulung sihala gundi, sangge –
sangge, simarbau tois dayok, galunggung, bulung ambotik na gorsing, buulung ni
uttei, nilam, demban, bulung huning, bulung ni galuh, dan masih banyak jenis
tumbuhan lain – lainnya.
Adapun cara penggunaan pulungan ini adalah dengan cara memanaskan
pulungan tersebut hingga mendidih. Setelah mendidih matikan kompornya lalu
ambil sarung lalu dalam satu sarung tersebut anda dengan pulungan tadi.
Usahakan hawa dari pulungan tersebut tidak keluar dari sarung anda. Dalam
bahasa simalungun disebut manrohop atau manrokkop.
b) Kosaya Rih atau Tina Tuk – Tuk
Kosaya rih atau Tina tuk – tuk da juga bilangnya hosaya. Kosaya rih ini
merupakan sebuah obat yang di ambil dari tumbuhan – tumbuhan di simalungun.
Adapun bahan – bahan yang di gunakan adalah kencur, kunyit, lada hitam, dan
lain – lain. Fungsi dari obat tradisional ini adalah untuk meningkatkan daya tahan
tubuh.
c) Tanaman Topu
Topu adalah tumbuhan yang sering di jumpai pada simalungun atas. Topu ini
dapat di jumpai di hutan simalungun. Topu ini sering juga di gunakan masyarakat
simalungun untuk sebagai sayur. Namun manfaat dari daun topu ini adalah salah
satu sebagai obat demam. Adapun cara penggunaan nya adalah mengambil
segenggam daun topu. Dan lalu di diputar – putar atau diperas menggunakan air.
Maka air tersebut akan berwarna hijau dikarenakan adanya zat yang keluar dari
daun topu (Bulung Topu) tersebut.
d) Tanaman Sabal
Sabal merupakan tumbuhan liar yang tumbuh di hutan simalungun. Adapun
manfaat dari tumbuhan ini adalah kulitnya. Yang dimana kulit sabal di percayai

12
dapat menyembuhkan rematik. Cara pembuatannya adalah menggunakan kulit
sabal yang sudah dikeringkan. Lalu di masak dengan air hingga mendidih. Maka
nanti air tersebut akan berwarna merah mudah. Dan air tersebut di minum 5 x
sehari.
e) Tanaman Oyot
Oyot adalah salah satu tumbuhan yang gampang ditemui di simalungun.
Manfaat dari tumbuhan ini adalah sebagai obat luka ketika anda terkena benda
tajam. Dimana nanti tumbuhan ini dapat memberhentikan pendarahan karena
benda tajam. Caranya adalah mengambil daun oyot dan di remuk- remukkan. Lalu
balutkan pada tubuh yang luka.

4. Budaya masyarakat Aceh terhadap perawatan paliatif


A. calamus (Acoraceae) atau jerango merupakan tumbuhan obat yang berimpang.
Rimpangnya aromatis, berwarna putih dengan kulit rimpang berwarna merah muda.
Bagian daun tebal dan keras seperti pedang dan apabila dikoyak mampu memberikan
aroma yang khas (Divya et al. 2011). Jerango dimanfaatkan sebagai bahan baku obat
tradisional sebagai anti spasmodik, karminatif, anthelmintik, aromatik, ekspektoran,
nauseate (mual), nervine (obat penenang), mempunyai sifat stimulan, asma bronkhitis,
demam, kolik (Balakumbahan et al. 2010), pengobatan epilepsi, penyakit mental, diare
kronis, disentri dan tumor di perut (Paithankar et al. 2011).
Jerango (Acorus Calamus) dimanfaatkan oleh 17 hattra dari 8 etnis yang ada di
Provinsi Aceh sebagai ramuan dalam pengobatannya. Etnis yang memanfaatkan
ramuan tersebut yaitu etnis Devayan, Sigulai, Singkil, Gayo Serbajadi, Alas, Kluet,
Aceh dan Aneuk Jamee. Ramuan pengobatan yang menggunakan jerango ada 29
ramuan yang digunakan untuk pengobatan batuk, demam/panas, gangguan vitalitas,
HIV/AIDS, keracunan, maag, magis, mencret, penyakit anak, penyakit kelamin,
perawatan pra/paska melahirkan, sakit kepala, tumor/kanker, dan wasir. Ramuan
pengobatan jerango paling banyak digunakan untuk perawatan pra/paska melahirkan,
kanker/tumor dan penyakit anak serta untuk keperluan hal-hal yang berkaitan dengan
magis. Seperti tanaman rimpang lainnya, bagian tanaman jerango yang paling banyak
digunakan untuk pengobatan adalah rimpangnya, selain juga daunnya yang digunakan.

13
Jerango juga digunakan oleh etnis-etnis lain di Indonesia, antara lain digunakan
untuk mengobati demam pada etnis Batak Simalungun (Silalahi et al. 2015), Batak
Karo (Silalahi dan Nisyawati 2018) dan Lampung (Evizal et al. 2013). Selain itu juga
digunakan untuk perawatan ibu paska melahirkan pada etnis Minangkabau (Khairiah
2017) dan etnis Sunda (Sangat et al. 2000).

5. Budaya masyarakat Jawa terhadap perawatan paliatif


Menurut masyarakat dan falsafah jawa dalam budaya tersebut menyimpan nilai-
nilai yang sejajar dengan nilai-nilai dalam keperawatan, meliputi altruistic dan human
caring. Nilai-nilai budaya jawa (Trisna) tersebut diterapkan dalam memberikan
pelayanan keperawatan paliatif pada pasien dan keluarga yaitu mendengarkan keluhan
dengan sabar, melakukan tindakan dengan ikhlas dan memberikan dukungan
emosional. Hal ini dapat membantu penyembuhan rohani. Budaya jawa beranggapan
bahwa pasien sembuh tidak saja di dasari oleh sikap pemberi pelayanan.
Ada 4 macam nilai-nilai budaya jawa (Trisna) untuk keseimbangan jiwa :
1) Temen, bekerja dengan sungguh-sungguh dan jujur
2) Rila, memberikan usaha dengan ikhlas
3) Sabar, tidak mudah menyerah dalam usaha
4) Narima, menerima penyakit dengan senang hati, akhirnya dengan ketenangan
psikologis pasien dan keluarga sehingga pasien rileks dan mengurangi
penderitaannya.

6. Budaya masyarakat Nias terhadap perawatan paliatif


Dalam pengobatan suku nias, mbinu mba’e (tumbuhan sarang semut) dimanfaatkan
untuk mengurangi bengkak dengan cara mbinu mba’e ditimbuk halus dan kemudian
dioleskan pada bagian yang sakit. Mbinu mba’e juga dapat diolah dengan cara di iris
tipis dan dikeringkan, dan direbus, kemudian air rebusannya dapat diminum untuk
mengatasi darah tinggi, diabetes, benjolan pada payudara, dan membantu mengatasi
kanker. Fame’e go (pemberian makan) kepada pasien yang menjelang ajal dengan cara
anggota keluarga dikumpulkan dan masing-masing anggota keluarga tersebut menyuapi
pasien.

14
7. Budaya masyarakat Dayak terhadap perawatan paliatif
Dalam suku dayak kebahan sakit disebabkan oleh perbuatan manusia ,misalnya
santet.Biasanya sakit dibuat orang ini ada beberapa diantaranya
pidau,duti,mariyun,laung rigai,laung layu,puru api,panahtarung,tarung balah,balau
talabang,balau tabang. Pidau adalah penyakit yang dibawa oleh angina,semacam
minyak yang ditaruh oleh sesorang dijembatan,di pohon,di jalan atau dimana mana
saja,kemudian dibawa angina dan mengenai manusia sehingga orang yang terkena
minyak tersebut menjadi sakit.Duti mariyun penyakit ini merupakan sakit
menyerang kepala membuat tengkorak kelapa menjadi lemut bahkan hingga
menyebabkan kerontokan rambut.Pulasit sejenis pidau,berupa sakit kepala yang
sangat sakit,bisa membuat penderitanya jadi mengamuk.Pulasit bisu,orang yang
terserang pulasit bisu orang yang terserang pilasut bisu tidak bisa bersuara tapi
mengamuk semacam kesurupan. Adapaun sarana pengobatan dari beberapa penyakit
ini dapat melalui tanaman atau bagian dari tumbuhann seperti akar akaran atau daun
daunann yang diberi mantra bisa melalui air penawar yang diberi mantra,juga
dapatmelalui pengobatan ritual balian ( dukun ).

2.4 Aspek Kebudayaan Perawat


Peran perawat dalam menghadapi ritual budaya dalam perawatan paliatif, adalah :
1. Perawat bersikap menghargai budaya kliennya atau keluarganya. Mereka berusaha untuk
memahami budaya – budaya klien yang sangat variatif, walaupun budaya sangat berbeda
jauh.
2. Perawat harus mempertimbangkan faktor budaya yang mempengaruhi kliennya dan
menggunakan pengetahuan tentang budayanya untuk mengembangkan atau menyusun
nursing care plan dan mengimplementasikan tindakan perawatan.
3. Perawat juga dapat memperbolehkan keluarga melakukan suatu ritual tertentu untuk
kesembuhan pasiennya apabila tidak bertentangan dengan kesehatan. Tetapi perawat
juga akan bernegosiasi dan atau melarang keluarga atau pasien apabila mereka
melakukan suatu kegiatan yang tidak terjamin keamanannya atau tidak diijinkan dokter.

15
4. Perawat perlu melakukan restrukturisasi (mengubah/mengganti) budaya bila budaya
yang dimilikinya merugikan status kesehatan dan apabila hal tersebut tidak berhasil,
perawat akan memberikan inform consent yang wajib ditandatangani oleh pasien
maupun keluarga. Restrukturisasi budaya perlu dilakukan untuk menolong klien
mengubah atau memodifikasi cara hidup klien agar lebih baik dan memperoleh pola
perawatan yang lebih menguntungkan dengan menghargai keyakinan dan nilai yang
dimiliki klien sesuai budayanya.

Perawat perlu memiliki kompetensi kultural agar dapat memberikan asuhan keperawatan
yang peka terhadap kebutuhan pasien, untuk memiliki kompetensi tersebut perawat perlu
dilatih dan dipersiapkan agar memiliki pemahaman yang baik tentang konsep kebudayaan
dan kaitannya dengan kesehatan, penyakit, serta konsep keperawatan transcultural di
samping konsep-konsep yang berkaitan dengan asuhan keperawatan peka budaya. Menurut
(Campinha-Bacote, 2002), ada lima kompetensi budaya yang harus dimiliki oleh perawat
antara lain :
1. Cultural awareness (Kesadaran budaya)
Wunderle (2006) menyebutkan bahwa kesadaran budaya (cultural awareness)
sebagai suatu kemampuan mengakui dan memahami pengaruh budaya terhadap nilai
nilai dan perilaku manusia. Implikasi dari kesadaran budaya terhadap pemahaman
kebutuhan untuk mempertimbangkan budaya, faktor-faktor penting dalam menghadapi
situasi tertentu. Pada tingkat yang dasar, kesadaran budaya merupakan informasi,
memberikan makna tentang kemanusian untuk mengetahui tentang budaya. Prinsip
dari tugas untuk mendapatkan pemahaman tentang kesadaran budaya adalah
mengumpulkan informasi tentang budaya dan mentranformasikannya melalui
penambahan dalam memberikan makna secara progresif sebagai suatu pemahaman
terhadap budaya.
Contoh : perawat menghargai dan memahami klien yang sedang melakukan ritual
penyembuhan walaupun hal tersebut berbeda jauh dengan budaya perawat itu sendiri.

2. Cultural Knowledge (Pengetahuan Budaya)

16
Pengetahuan Budaya (cultural knowledge) merupakan factor penting pada semua
tingkat praktek keperawatan. Pegetahuan tentang suatu budaya dan dampaknya
terhadap interaksi dengan pelayanan kesehatan merupakan hal esensial bagi perawat,
karena pengetahuan dan keterampilan tersebut akan makin menguatkan dan meluaskan
system pemberian pelayanan kesehatan. Perawat perlu mengetahui tentang bagaimana
kelompok budaya tertentu memahami proses kehidupan, mendefinisikan sehat-sakit,
mempertahankan kesehatan dan keyakinan mereka tentang penyebab penyakit dan
sebagainya.
Contoh : perawat mencoba mempelajari dan mencari informasi melalui artikel atau
jurnal mengenai pengobatan tradisional yang sesuai dengan budaya klien.

3. Cultural Skill (Keterampilan budaya)


Keterampilan budaya adalah kemapuan untuk melakukan penilaian budaya untuk
mengumpulkan data yang relevan mengenai masalah budaya. Sebagai perawat dituntut
untuk memiliki keterampilan dalam pengkajian budaya yang akurat dan komprehensif
meliputi pengkajian fisik, warisan etnik, riwayat etnik, riwayat biocultural, organisasi
sosial, agama, kepercayaan, pola komunikasi, dsb.
Contoh : perawat mengkaji pengobatan atau ritual penyembuhan seperti apa yang
sesuai dengan ilmu kesehatan dan pengobatan seperti apa yang tidak dapat dilakukan
karna dapat mengganggu kesehatan klien.
4. Cultural Encaunters (Pertemuan Budaya)
Proses yang mendorong profesional kesehatan untuk langsung terlibat secara
langsung untuk berinteraksi dengan budaya lain dari pertemuan dengan klien dari latar
belakang budaya yang beragam dalam rangka untuk mengubah keyakinan yang ada
tentang kelompok budaya dan untuk mencegah kemungkinan adanya stereotip.
Contoh : perawat mau mengikuti acara adat mangupa – upa yang merupakan adat
budaya batak toba walaupun perawat menganut budaya Nias.

17
5. Cultural Desire (Keinginan Budaya)
Motivasi dari profesional kesehatan untuk ingin terlibat dalam proses menjadi
sadar budaya, berpengetahuan budaya, keterampilan budaya dan pertemuan budaya.
Keinginan budaya adalah membangun spiritual dan penting dari kompetensi budaya.
yang memberikan energi sumber dan landasan untuk perjalanan satu terhadap
kompetensi budaya. Oleh karena itu, kompetensi budaya dapat digambarkan sebagai
gunung berapi, yang secara simbolis mewakili bahwa itu adalah keinginan budaya
yang merangsang proses kompetensi budaya (Campinha-Bacote, 2002).
Contoh : perawat belajar mengenal perbedaan budaya klien seperti untuk klien dengan
budaya Jawa menggunakan pengobatan “Trisna” sedangkan budaya Aceh
menggunakan tanaman “Jeranggo” sebagai pengobatan tradisional.

18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
kehidupan pasien dan keuarganya dalam menghadapi masalah masalah yang berhubungan
dengan penyakit yang mengancam jiwa, dengan mencegah dan meringankan penderitaan
melalui identifikasi awal serta terapi dan masalah lain, fisik, psikososial dan spiritual.
Perilaku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan merupakan suatu tingkah laku
yang selektif, terencana, dan tanda dalam suatu sistem kesehatan yang merupakan bagian
dari budaya masyarakat yang bersangkutan. Perilaku tersebut terpola dalam kehidupan nilai
sosial budaya yang ditujukan bagi masyarakat tersebut.
Kebudayaan kesehatan masyarakat membentuk, mengatur, dan mempengaruhi tindakan
atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial dalam memenuhi berbagai kebutuhan
kesehatan baik yang berupa upaya mencegah penyakit maupun menyembuhkan diri dari
penyakit. Oleh karena itu dalam memahami suatu masalah perilaku kesehatan harus dilihat
dalam hubungannya dengan kebudayaan, organisasi sosial, dan kepribadian individu-
individunya terutama dalam paliatif care.

3.2 Saran
Diharapkan makalah ini dapat membantu pengetahuan mahasiswa dalam mengkuti proses
pembelajaran dan dapat meningkatkan pelayanan perawatan pada pasien paliatif dalam
tinjauan sosial budaya. Sebagai petugas kesehatan perlu mengetahui pengetahuan
masyarakat tentang kesehatan. Dengan mengetahui pengetahuan masyarakat, maka petugas
kesehatan akan mengetahui mana yang perlu ditingkatkan, diubah dan pengetahuan mana
yang perlu dilestarikan dalam memperbaiki status kesehatan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Binteriawati Yeni, dkk. 2020. Faletehan Health Journal. Literature Review: Pengalaman
Perawat Terkait Pelaksanaan Cultural Competence Di Ruang Intensive Care Unit.
ISSN 2088-673X | e-ISSN 2597-8667

Campbell, Margaret L. 2013. Nurse to Nurse : Perawatan Paliatif. Jakarata : Salemba


Medika

Campinha-bacote, J. (2002). The Process of Cultural Competence in the Delivery of


Healthcare Services: A Model of Care. Journal of Transcultural Nursing, 13

Lestari Siti, dkk. 2014. Pendekatan Kultural Dalam Praktek Keperawatan Profesional Di
Rumah Sakit Jogja International Hospital. Jurnal KesMaDaSka - Januari 2014.

Sembiring, S. (2012). Pengetahuan dan Pemanfaatan Pengobatan Tradisional Karo (Skripsi)


.Medan : Universitas Sumatera Utara.

Sianipar, Connie Melva, Dkk. 2015. Pengalaman Pasien Kanker Payudara Pada Suku Batak
Yang Menjalani Kemoterapi. Idea Nursing Journal. Vol. VI No. 3. ISSN : 2087-2879

Silalahi, M., Supriatna, J., Walujo, E.B., & Nisyawati. (2013). Pengetahuan lokal dan
keanekaragaman tumbuhan obat pada kelompok sub etnis Batak Karo di Sumatera
Utara. BioETI, 146-153. ISBN : 978-602-14989-0-3.

Simatupang, Lenny Lusia, dkk. 2015. Pengalaman Pasien Suku Batak Toba Dengan Gagal
Ginjal Kronis Dalam Menjalani Hemodialisa. Idea Nursing Journal. Vol. VI. No. 3.
ISSN : 2087-2879

Sitio, Roma. 2016. Kualitas Hidup Pasien Kanker Serviks : Pengalaman Pasien Suku Batak.
Medan. Idea Nursing Journal. Vol. VII No. 1. ISSN : 2087-2879.

20
Praptantya BSE Donatianus,dkk.2020.Healthy and Sick Concepts On The Culture Of Dayak
Kebahan.Vol.IX.No.1.ISSN :2355-360X.

Situmorang, Toberni. S. 2018. Kajian Pemanfaatan Tumbuhan Obat Pada Masyarakat Suku
Simalungun Di Kecamatan Raya Desa Raya Bayu Dan Raya Huluan Kabupaten
Simalungun. BioLink Vol. 4. p-ISSN: 2356-458x e-ISSN:2597-5269

Adriani, Rita Benya. 2014. Asuhan Keperawatan Paliatif pada Pasien Kanker Serviks dengan
Pendekatan Nilai-nilai Budaya di RSUD DR. Moewardi Surakarta. Universitas
Gadjah Mada

Widyastuti, Rahma. 2019. Penggunaan Tumbuhan Jerango (Acorus Calamus) untuk


Pengobatan Berbagai Penyakit pada Delapan Etnis di Provinsi Aceh. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Media
Konservasi Vol. 24 No. 1 : 11-19

21

Anda mungkin juga menyukai