Anda di halaman 1dari 7

KELOMPOK 3

SELFIANA (A.18.10.056)

NUR WAFIAH RAMADADHANI S

KHARUL MUKRIMIN

TASYA FARADIBA SAENAL

MITA ANUGERAH

KHAIRUL MUKRIMIN

NURUL AZIZAH NURDIN

WIWI RAHAYU NINGSIH

(A CRIRICAL CULTURE APPROACH)

A. Pengertian Keperawatan Paliatif

Perawatan paliatif adalah perawatan yang dilakukan secara aktif pada penderita yang

sedang sekarat atau dalam fase terminal akibat penyakit yang dideritanya. Pasien sudah

tidak memiliki respon terhadap terapi kuratif yang disebabkan oleh keganasan

ginekologis. Perawatan ini mencakup penderita serta melibatkan keluarganya

(Aziz,Witjaksono,&Rasijidi, 2008).

Perawatan paliatif adalah perawatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup

pasien (dewas dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang

mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasi

dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik

fisik, psikologis, sosial atau spiritual. (World Health Prganization (WHO)2016).


Sosial budaya merupakan segala hal yang diciptakan oleh manusia dengan

pikirian dan budinya dalam kehidupan bermasarakat.

Menurut Andreas Eppink, sosial budaya atau kebudayaan adalah segala sesuatu

atau tata nilai yang berlaku dalam sebuah masyarakat yang menjadi ciri khas dari

masyarakat tersebut. Sedangkan menurut Burnett, kebudayaan adalah keseluruhan berupa

kesenian, moral, adat istiadat, hukum, pengetahuan, kepercayaan, dan kemampuan olah

pikir dalam bentuk lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat dan

keseluruhan bersifat kompleks. Dari kedua pengertian tersebut bisa disimpulkan bahwa

sosial budaya memang mengacu pada kehidupan bermasyarakat yang menekankan pada

aspek adat istiadat dan kebiasaan masyarakat itu sendiri.

B. Critical Cultural Approach

Pendekatan lain untuk memahami pembicaraan dalam dialog adalah Critical

Cultural Approach. Pendekatan ini berupaya untuk mempertanyakan bagaimana factor

ekonomi, materi dan sejarah membentuk budaya untuk merespon, dan konsep tentang

kesehatan, sakit dan keputusan untuk melakukan pengobatan. Jadi disini budaya tidak

terbatas pada definisi secara Antropology. Akan tetapi budaya dipahami sebagai cara hidup

termasuk ide mengenai pengobatan, kepercayaan tentang sehat dan sakit, dan Bahasa yang

digunakan untuk menjelaskan tentang proses kematian, serta insitusi dan system pelayanan

kesehatan yang membentuk bagaimana kita berpikir dan merasakan. Jadi budaya

merupakan berbagai hal yang mencakup praktik budaya, arsitektur seperti ruangan pada

rumah sakit atau hospis secara fisik dan materi.

Pendekatan ini mencoba untuk mendefinisikan dan menangani segala hal

termasuk status fisik dan emosional. Hal yang menarik dimana Bahasa membentuk
hubungan serta membedakan hal tentang hidup, mati, dan perawatan. Contoh dimana

kondisi sulit untuk menemani akan kesehatan, sakit, dan kematian. Apakah dapat diterima

bila mengatakan bahwa “dia telah pergi” atau “dia telah mati” pada keluarga. Hal ini

menunjukkan bahwa bahsa yang digunakan untuk mengatakan “mati” dalam konteks social

menjadi hal yang sulit untuk menggambarkannya apa yang akan dinilai. Olehnya,

pendekatan sosial cultural mengalami kesulitan untuk mengembangkan Bahasa alternative

dalam bidang perawatan medis maupun tentang kematian. Sehingga pendekatan tersebut

memberikan perspesifik bahwa inti dari berbagai krisis komunikasi adalah makna dan

pemaknaan. Dalam memaknai sesuatu makap emaknaan yang beragam terhadap sesuatu

kemungkinan masih seringditemukan dan bertahan dalam suatu budaya. Akan tetapi,

definisi mengenai kematian dan kondisi menjelang akhir hayat juga dapat berubah,

dinegosiasikan, dan kadang bersifat sementara. Olehnya, memahami secara komplek

bagaimana definisi kematian dan kondisi menjelang akhir hayat menjadi suatu masalah

tersendiri. Sehingga masalah bukanlah pada orangnya tapi pada bagaimana cara orang

tersebut berbahasa dan menyampaikan pesan yang menjadi masalah. Perbedaan ini menjadi

penting untuk memahami budaya dan dinamika budaya itu sendiri dan hubungan

sentimental antara bidang kesehatan dan Bahasa.

Memahami budaya terkait dengan komunikasi pada kondisi akhir hayat termasuk

bagaimana penggunaan Bahasa dalam pelayanan kesehatan mencerminkan hubungan dan

sekaligus perbedaan tentang apa dan siapa kita dalam nilai sosial. Olehnya, pemahaman

Bahasa dalam bentuk tulisan dan lisan merupakan tantangan awal untuk menghasilkan

sebuah pemaknaan, bagaimanama makna tersebut dihasilkan, dan oleh siapa makna
tersebut dihasilkan. Pemahaman peran budaya dalam pelayanan paliatif merupakan hal

sangat mendasar.

Kebudayaan atau kultur dapat membentuk kebiasaan dan respons terhadap

kesehatan dan penyakit dalam segala masyarakat tanpa memandang tingkatannya. Karena

itulah penting bagi tenaga kesehatan untuk tidak hanya mempromosikan kesehatan, tetapi

juga membuat mereka mengerti tentang proses terjadinya suatu penyakit dan bagaimana

meluruskan keyakinan atau budaya yang dianut hubungannya dengan kesehatan.

Pengaruh kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis

pengaruh sikap terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota

masyarakt, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-individu

masyarakat.

Green dalam notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa perilaku manusia dari

tingkat kesehatan dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor perilaku (behavior cause)

dan faktor di luar perilaku (non-behaviour cause). Perilaku itu sendiri terbentuk dari tiga

faktor, yaitu:

1. Faktor Predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya

2. Faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan

fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana

kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, air bersih dan sebagainya


3. Faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan

perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok

referensi dari perilaku masyarakat.

Contoh lain, sosial budaya memengaruhi kesehatan adalah pandangan

suatu masyarakat terhadap tindakan yang mereka lakukan ketika mereka

mengalami sakit, ini akan sangat dipengaruhi oleh budaya, tradisi, dan

kepercayaan yang ada dan tumbuh dalam masyarakat tersebut. Misalnya

masyarakat yang sangat mempercayai dukun yang memiliki kekuatan gaib

sebagai penyembuh ketika mereka sakit, dan bayi yang menderita demam atau

diare berarti pertanda bahwa bayi tersebut akan pintar berjalan. Jadi, dapat

disimpulkan bahwa sosial budaya sangat mempengaruhi kesehatan baik itu

individu maupun kelompok.

Kebudayaan perilaku kesehatan yang terdapat dimasyarakat beragam dan

sudah melekat dalam kehidupan bermsyarakat. Kebudayaan tersebut seringkali

berupa kepercayaan gaib. Sehingga usaha yang harus dilakukan untuk mengubah

kebudayaan tersebut adalah dengan mempelajari kebudayaan mereka dan

mencuptakan kebudayaan yang inovatif sesuai dengan norma, berpola, dan benda

hasul karya manusia.

1. Kajian sosial budaya tentang perawatan paliatif

Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat adalah

perilaku kesehatan masyarakat itu sendiri. Dimana proses terbentuknya

perilaku ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor
sosial budaya, bila faktor tersebut telah tertanam dan terinternalisasi dalam

kehidupan dan kegiatan masyarakat ada kecenderungan untuk berubah

perilaku yang telah terbentuk tersebut sulit untuk dilakukan.

Untuk itu, untuk mengatasi dan memahami suatu masalah kesehatan

diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai budaya dasar dan budaya

suatu daerah. Sehingga dalam kajian sosial budaya tentang perawatan paliatif

bertujuan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya,

meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi masalah

yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam kehidupan.

2. Budaya masyarakat tentang pengobatan pada penyakit paliatif

Kanker payudara merupakan penyakit yang mematikan. Jumlah

penderitanya pun tidak sedikit. Sayang, banyak penderita justru memilih ke

dukun alias pengobatan alternatif. Ujung-ujungnya, malah parah. Banayk

penderita baru berobat ke dokter setelah menderita kanker payudara stadium

tinggi.

Selain itu, fenomena dukun ponari sempat menyita perhatian masyarakat

indonesi beberapa tahun yang lalu, cerita kemunculan dukun ponari dengan

batu sakitnya sebagai media penyembuhan dengan cara di celupkan ke air.

Kabar tentang kehebatan ponari ini terus meluas hingga menyebabkan

jumlah pasien yang berobat kerumah ponari dari hari kehari semakin

meningkat. Tindakan masyarakat yang datang ke dukun ponari itu tidak

terlepas dari peran budaya yang ada di masyarakat kita terhadap hal-hal yang

bersifat mistis. Percaya terhadap kesaktian batu yang dimiliki ponari itu
merupakan sebuah budaya yang mengakar dan bertahan dimasyarakat sebagai

bagian dari kearifan lokal.

Pemahaman masyarakat terhadap hal-hal yang dipercayai secara turun-

temurun merupakan bagian dari kearifan lokal yang sulit untuk dilepaskan.

Hingga pemahaman magis yang irasional terhadap pengobatan melalui dukun

seperti diatas sangat dipercayai oleh masyarakat. Peranan budaya dan

kepercayaan yang ada dimasyarakat itu diperkuat oleh rendahnya pendidikan

dan tingkat ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai