Anda di halaman 1dari 30

RESPON SAKIT/NYERI

PASIEN
Ns. Hj. Euis H. Hidayat, MM.
 Sakit adalah mekanisme perlindungan diri
dalam tubuh yang akan muncul ketika
suatu jaringan mengalami kerusakan. Dan
ini menyebabkan individu bereaksi untuk
menghilangkan rasa nyeri.

Sebagai contoh sederhana, duduk di kursi yang


terlalu lama akan menyebabkan kerusakan
jaringan karena kurangnya aliran darah pada
kulit karena tertekan oleh berat badan.
 Tetapi pada orang yang kehilangan sensasi
sakit, seperti pada penderita kelainan batang
otak (spinal cord injury), dia tidak akan
beranjak dari tempat duduknya.
 Hal ini akan menyebabkan ulserasi pada
kulit yang mengalami tekanan. Ini
membuktikan bahwa masing-masing
individu memiliki reaksi sakit yang berbeda-
beda meskipun menerima rangsangan nyeri
yang sama.
Reaksi Sakit

 Karena mekanisme persepsi rasa sakit


bekerja dengan prinsip ‘semua atau tidak’
umumnya dianggap bahwa bila satu unit
stimulus diaplikasikan ke kedua individu,
kedua individu ini seharusnya mempersepsi
jumlah rasa sakit yang sama.
 Namun, ternyata dari pengalaman terlihat
bahwa pada sistuasi ini salah satu individu bisa
saja menangis dan berguling-guling kesakitan
sedang individu lainnya tampaknya tidak
mengacuhkan rasa sakit yang dideritanya.
 Contoh :
 Respons yang bervariasi terhadap stimulus
sakit yang identik bukan disebabkan oleh
perbedaan persepsi rasa sakit tetapi
disebabkan oleh variasi reaksi rasa sakit.
 Reaksi rasa sakit’ adalah istilah yang
digunakan untuk mendiskripsikan integrasi
dan apresiasi rasa sakit pada sistem saraf
pusat di korteks dan thalamus posterior.
Persepsi Rasa Sakit
 Kulit yang membungkus tubuh dan membran
mukosa yang mengelilingi beberapa orifice
biasanya memiliki beberapa organ ujung
saraf untuk persepsi stimulus sentuhan,
temperatur dan panas.
 Organ-organ ujung saraf yang mempersepsi
rasa sakit adalah serabut non-medula bebas
dimana aplikasi stimulus elektrik, termal,
kimia, mekanis pada organ-organ ini akan
menumbulkan impuls atau gelombang
rangsang pada serabut saraf swa-propogasi
dengan intensitas merata.
 Ini disebabkan karena tiap serabut menaati ‘
hukum semua atau tidak’, yaitu bila ada
cukup stimulus untuk merangsang timbulnya
impuls, impuls yang timbul biasanya
mempunyai pola yang sama dan tidak dapat
diperbesar dengan menambah jumlah
stimulus.
Ambang Rasa Sakit
 Istilah ini digunakan dalam diskusi tentang
respon terhadap rasa sakit. Pasien dianggap
mempunyai ambang batas rasa sakit yang
tinggi bila ia hanya memberikan sedikit atau
tidak bereaksi terhadap stimulus sakit,
 Sedang pasien dianggap mempunyai ambang
batas sakit rendah bila ia cenderung memberi
reaksi berlebihan terhadap stimulus yang sama
atau yang lebih kecil. Dengan kata lain ambang
rasa sakit umumnya berbanding terbalik
dengan reaksi terhadap rasa sakit.
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Rasa Sakit
 Faktor yang mempengaruhi rasa sakit juga
bervariasi antara individu satu dengan lainnya
pada waktu yang berbeda di satu individu yang
sama.
 Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat toleransi, yaitu:
1. Psikologis
2. Takut dan segan menghadap perawatan
3. Kelelahan
4. Usia
5. Lingkungan Praktik
6. Obat Penenaang
7. Faktor lama Kerja
8. Jenis kelamin dan hormonal
1. Psikologis
Jelas terlihat bahwa individu dengan kondisi
emosional yang tidak stabil biasanya
mempunyai ambang batas rasa sakit yang
rendah, memang kita sering tidak menyadari
bahwa reaksi kita semua biasanya terpengaruh
oleh penilaian kita terhadap prosedur
perawatan, operator dan lingkungan.
Pada beberapa pasien pengalaman yang
tidak menyenangkan di masa lalu masih
saja mempunyai pengatuh visual dan
olfaktori yang dapat membuat ambang
batas rasa sakit menurun pada situasi
tertentu.
2. Takut dan segan menghadap perawatan
Pasien yang gelisah akan menjadi hiperaktif
dan cenderung membesar-besarkan rasa sakit
yang dialaminya melebihi kenyataan yang
ada. Karena itulah, kita harus berusaha
dengan berbagai cara agar pasien sesegera
mungkin dapat mempercayai niat baik kita.
3. Kelelahan
Bila badan terasa lelah, ambang batas rasa
sakit akan menurun.
4. Usia
Pasien dewasa umumnya dapat mentolerir rasa sakit
dengan baik, namum anak-anak sering kali
mempunyai ambang batas rasa sakit yang rendah,
serta sulit membedakan antara sakit dengan tekanan.
5. Lingkungan Praktik
Ini sangat mempengaruhi kondisi pasien. Misalnya
dengan adanya musik di lingkungan praktik, seorang
dokter dapat menurunkan nilai ambang batas rasa
sakit pasien karena musik dapat menyebabkan
sinapsis sistem limbik dan thalamus terhambat.
6. Obat Penenang
Sedasi pra operatif sepserti diazepam ataupun
benzodiazepin yang bekerja pada daerah
limbik mengendali respon emosi terhadap
nyeri, membuat pasien lebih enak dan
kooperatif.
7. Faktor lama kerja
Tergantung jenis anestesi yang digunakan.
8. Jenis kelamin dan hormonal
Pria dan wanita mempunyai reaksi terhadap
sakit yang berbeda. Wanita umumnya lebih
sensitif terhadap rasa sakit, hal ini juga
disebabkan oleh hormon estrogen.
RESPON TINGKAH LAKU
TERHADAP NYERI
 Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
a. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak
Nafas, Mendengkur)
b. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi,
Menggigit bibir)
c. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi,Ketegangan
otot, peningkatan gerakan jari & tangan
d. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial
(Menghindari percakapan, Menghindari kontak
sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd
aktivitas menghilangkan nyeri)
 Individu yang mengalami nyeri dengan awitan
mendadak dapat bereaksi sangat berbeda
terhadap nyeri yang berlangsung selama
beberapa menit atau menjadi kronis,
 Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan
membuat individu terlalu letih untuk merintih
atau menangis.
 Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat.
 Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam
aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan
perhatian terhadap nyeri.
 Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3
fase pengalaman nyeri:
  Fase antisipasi  terjadi sebelum nyeri diterima.
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling
penting, karena  fase ini bisa mempengaruhi dua
fase lain. Pada fase ini memungkinnkan seseorang
belajar tentang nyeri dan upaya untuk
menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam
fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan
informasi pada klien.
 Contoh
Sebelum dilakukan tindakan bedah, perawat
menjelaskan tentang nyeri yang nantinya akan
dialami oleh klien pasca pembedahan, dengan
begitu klien akan menjadi lebih siap dengan
nyeri yang nanti akan dihadapi.
 Fase sensasi—–terjadi saat nyeri terasa.
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena
nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam
menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleransi
terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang
dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat
toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh
nyeri dengan stimulus kecil,
 Sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya
rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus
nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi
terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa
bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap
nyerinya rendah sudah mencari upaya pencegah
nyeri, sebelum nyeri datang.
 Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu
menjelaskan bagaimana orang yang berbeda
merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang
sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu,
individu dengan endorfin tinggi sedikit
merasakan nyeri dan individu dengan sedikit
endorfin merasakan nyeri lebih besar.
 Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan
berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi
dan  gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien
itulah yang digunakan perawat untuk mengenali
pola perilaku yang menunjukkan nyeri.
 Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti
apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya,
karena belum tentu orang yang tidak
mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri.
Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan
bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
 Fase akibat (aftermath)——terjadi ketika nyeri
berkurang atau berhenti.
 Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau
hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan
kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis,
sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala
sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode
nyeri berulang, maka respon akibat ((aftermath)
dapat menjadi masalah kesehatan yang berat.
Perawat berperan dalam membantu memperoleh
kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan
kemungkinan nyeri berulang.

Anda mungkin juga menyukai