“BUDAYA JAWA”
DOSEN FASILITATOR :
Ns. Rezky Pradessetia, M. Kep
DISUSUN OLEH:
Kelompok 4
Kelompok 4
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ................................................................................................ i
DAFTAR ISI ................................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 2
1.3 Tujuan...................................................................................................................... 2
1.4 Manfaat .................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sosial Budaya Suku Jawa Tentang Perawatan Paliatif ............................................ 3
2.2 Tanda – Tanda Kematian Menurut Suku Jawa ...................................................... 4
2.3 Penatalaksanan Menjelang Ajal dan Perawatan Pasca Meninggal........................... 5
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 7
3.2 Saran ........................................................................................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 9
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Perawatan Paliatif adalah semua tindakan aktif guna meringankan beban pasien
terutama yang tidak dapat disembuhkan. Tindakan aktif yang dimaksud ialah antara
lain menghilangkan nyeri dan keluhan lain,serta perbaikan dalam bidang
psikologis, sosial dan spiritual. Perawatan ini tidak saja diberikan kepada pasien
yang tidak dapat disembuhkan tetapi juga pasien yang mempunyai harapan untuk
sembuh bersama-sama dengan tindakan kuratif .
Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat adalah
perilaku kesehatan masyarakat itu sendiri. Dimana proses terbentuknya perilaku ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor sosial budaya, bila
faktor tersebut telah tertanam dan terinternalisasi dalam kehidupan dan kegiatan
masyarakat ada kecenderungan untuk merubah perilaku yang telah terbentuk
tersebut sulit untuk dilakukan. Untuk itu, untuk mengatasi dan memahami suatu
masalah kesehatan diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai budaya dasar
dan budaya suatu daerah. Sehingga dalam kajian sosial budaya tentang perawatan
paliatif bertujuan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya,
meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi masalah yanh
berhubungan dengan penyakit yang mengancam kehidupan.
Suku Jawa apabila dipandang dari suku maupun dari pola kehidupannya
memiliki akar pengetahuan yang seolah tidak pernah habis untuk digali. Berbagai
macam filosofi dari pewayangan, keyakinan, kepercayaan, tradisi, adat maupun
praktik-praktik lain selalu memiliki ciri dan sudut pandang yang luhur. Hakikat
kemanusiaan ini dipahami sebagai tata cara dalam hidup yang mewujud bersama
komponen kebijaksanaan sejak zaman leluhur. Dimensi ini memandang hidup yang
1
dilimpahi berkah oleh suatu kekuatan yang menopang manusia. Faktanya, memang
Jawa memiliki konsep-konsep keberhidupan terkait dengan dimensi transobjektif.
Dalam buku Rites of Passage, Van Gennep mengungkapkan bahwa masyarakat
memiliki tradisi/ritus unik terkait dengan daur hidup mereka, mulai dari lahir,
kanak-kanak, remaja, nikah, hingga kematian Dalam konteks ini, bahwa ritual di
seputar kematian seseorang di Jawa juga menjadi salah satu tradisi yang unik. Ritus
ini dilakukan dengan dasar dan argumentasi yang jelas sehingga menjadi keyakinan
di kalangan masyarakat, baik secara normatif agama maupun secara sosiologis.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana Perawatan paliatif menjelang ajal dalam kearifan lokal budaya : suku
Jawa?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana Perawatan paliatif menjelang ajal dalam kearifan
lokal budaya : suku Jawa.
1.4 Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah penulisan dan pembaca dapat menambah ilmu
pengetahuan mengenai Konsep Palliative care budaya suku Jawa.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
2. 2 Tanda – Tanda Kematian Menurut Suku Jawa
1. Jika sering merasa hambar dalam menghadapi hidup, atau bosan melihat
keadaan dunia dan sering bermimpi pergi kearah utara, maka di percaya bahwa
tanda -tanda tersebut merupakan firasat akan meninggal dalam waktu kurang
dari 3 tahun.
2. Apabila sering merasa kangen kepada orang-orang yang sudah pada meninggal
kemudian sering bermimpi memperbaiki rumah maka tandanya kurang dari 2
tahun ajalnya akan tiba.
3. Jika sering melihat apa yang tidak dapat terlihat oleh mata telanjang, seperti
mahluk gaib, alam gaib maka bisa di kategorikan masuk dalam firasat bahwa
nyawanya tidak lebih dari 1 tahun akan melayang.
4. Jika sering melakukan hal-hal yang diluar kewajaran serta sering bertemu
mahluk gaib merupakan tanda akan meninggal kurang dari 9 bulan.
5. Jika sering mendengar suara-suara yang tidak biasanya seperti mendengar suara
jin ,setan atau suara hewan yang pada biasanya tiak bersuara, merupakan tanda
bahwa umurnya tinggal 6 bulan lagi.
6. Jika sering mencium bau-bauan mahluk halus seperti kemenyan dibakar
dicampur bunga-bungaan maka pertanda usianya kurang dari 3 bulan/ 100 hari.
7. Apabila sering melihat sesuatu yang aneh seperti lihat air warnamya merah,
lihat api warnanya hitam, tanda tersebut merupakan firasat bahwa ajalnya
tinggal 2 bulan.
8. Jika jari manis kram pada saat bersedakep dan susah untuk di acungkan maka
tandanya bahwa kematian akan datang sekitar 40 hari lagi.
9. Jika tangan terlihat lemah dan persendian seperti mau lepas, tandanya
meninggalnya kurang ari 1 bulan.
10. Jika melihat mukanya sendiri bukan dari cermin atau pantulan, melinkan seperti
melihat orang lain namun wajahnya adalah wajah kita, maka pertanda kurang
dari 1/2 bulan atau 15 hari lagi akan meninggal.
4
11. Jika sudah merasa lemas dan terkadang sampai nggak selera makan dan susah
tidur maka ajalnya hanya tinggal menghitung hari (1 minggu).
12. Jika badan sudah merasa panas dan saat buang hajat sering ada cacing
kalungnya maka pertanda umurnya kurang dari 3 hari.
13. Jika sering mengeluarkan angin dari dalam badan baik memalui kentut atau
sendawa maka tanda usianya kurang sari 2 hari.
14. Jika persendian seperti sudah pada longgar dan merasakan seperti orang yang
kecapean dan sering berkeringat maka tanda kurang 1 hari meninggal.
15. Jika kulitnya sudah tidak bisa merasakan apa-apa dan perasaannya berdebar-
debar serta suara-suara gemrusung ditelinga tidak ada lagi maka sudah
waktunya meninggal dunia.
2.3 Penatalaksanan Menjelang Ajal dan Perawatan Pasca Meninggal
a. Menghadapi Sakaratul Maut
Menjelang kematian menurut suku Jawa dianggap sebagai proses
lepasnya ruh dari dalam badan (tubuh). Secara bahasa, dipahami bahwa
sakaratul maut itu kondisi sekarat (tidak bisa melakukan apa-apa) dalam
menunju kematian. Ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi sakaratul
maut karena memang ruh sedang merasa tidak nyaman lagi berada di dalam
tubuh karena sedang dicabut oleh malaikat. Manusia sehebat apapun tidak bisa
melawan malaikat Izrail yang sedang menjalankan perintah dari Tuhan untuk
mencabut nyawanya. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa sakaratul maut
adalah keadaan ketidak berdayaan seseorang dalam menjalani lepasnya nyawa
ketika sedang dicabut oleh malaikat Izrail. Orang-orang di Banyumas memiliki
cara-cara yang unik dalam menyikapi kerabat yang menghadapi sakaratul maut.
Ada tradisi bahwa orang yang sakit harus dijenguk dan ditunggui. Pola ini
dimaksudkan agar apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka pihak
kerabat telah siap dan berada di tempat kejadian peristiwa. Dalam kondisi
semacam ini, keluarga akan berkumpul, siap apabila dibutuhkan, dan
mendoakan. Dalam berdoa hal utama yang dipan- jatkan adalah berdoa untuk
5
kesembuhan. Namun, bila tidak ada kesembuhan baginya, maka berdoa agar
proses kematiannya dimudahkan (agar tidak terlalu menderita). (Tradisi dan
ritual kematian wong islam jowo, 2015)
Sakaratul maut ditandai dengan ketidaksadaran dan kesadaran dari
seseorang yang hendak meninggal. Ia masih bisa melihat dan mendengar orang
-orang yang di sekitarnya, namun ingatannya sudah mulai kabur. Untuk
membimbing orang yang sedang menjalani sakaratul maut, biasanya pihak
keluarga berusaha untuk membimbing mengucapkan sahadat agar meninggal
dunia dalam keadaan menyebut nama Tuhan. Orang yang meninggal dunia
dalam keadaan selalu mengingat Tuhan akan selalu mendapatkan bimbingan
dari cahaya Tuhan di alam kubur, maupun alam lainnya kelak.
b. Memandikan Jenazah
Dalam memandikan mayit suku Jawa, pihak keluarga (dengan dibantu
oleh warga) biasanya menyiapkan air yang banyak dan bermacam-macam.
Pertama , air leri dicampur dengan sambetan . Cara membuatnya, yakni ketika
mencuci beras, maka air berubah menjadi putih seperti susu. Air sambetan
dibuat dari beberapa dringo, kunir, dan bengkle yang ditumbuh sampai halus.
Setelah ditumbuk sampai halus, komponen ini kemudian dimasukkan ke dalam
air sehingga air tampak kekuningkuningan. Dalam persepsi ini, air leri dan air
sambetan yang dijadikan satu mampu membuat sukma menjadi sejuk.
Lepasnya sukma dari dalam tubuh itu sangat menyiksa dan terasa sangat panas.
Kedua , air kapur barus. Air kapur barus adalah air biasa yang dicampur dengan
kapur barus. Tujuan air ini untuk membunuh bakteri-bakteri kecil yang ada di
kulit. Selain itu, air ini juga dimaksudkan agar mayit tidak cepat berbau busuk.
Ketiga , air sabun. Air sabun digunakan untuk membersikan segala kotoran
yang melekat. Ada anjuran bahwa sabun mandi yang digunakan juga sabun
yang biasanya dipakai oleh almarhum ketika masih hidup (satu jenis). Keempat
, air bening biasa. Air bisa bersumber dari sumur ataupun dari kali. Yang jelas,
air ini terjaga kesuciannya. Selain beberapa air tersebut, di Boyolali juga
6
disiapkan air dari merang yang telah dibakar untuk berkeramas. Air ini
digunakan untuk membasuh bagian rambut agar benar-benar bersih.
c. Mengafani Jenazah
Kain kafan dipotong sesuai dengan panjang (tinggi) mayit tersebut dan
diberi lebih sedikit agar mudah untuk mengikat. Biasanya, Kayim atau Modin
juga akan memotong kain dalam bentuk kecil untuk dijadikan tali yang
biasanya diletakkan di bagian paling bawah. Kain kafan diletakkan di keranda
dengan dibentangkan satu per satu dengan tempat untuk posisi kepala mengarah
kiblat. Selanjutnya, mayit diletakkan di atas kain yang telah dibentangkan tadi
dan dilipat hingga menutupi seluruh tubuh tubuh, kecuali muka. Muka atau
wajah tidak ditutup karena sebagai perwujudan dan sosok kemanusiaannya
kelak ketika harus menghadap di alam kubur.
d. Menyolati Jenazah
7
selesai melakukan sholat jenazah dan masih dalam posisi berdiri saat berdoa
setelah sholat. uang selawat biasanya dibungkus dalam amplop, dibagikan oleh
seorang yang ditunjuk oleh keluarga dengan cara dimasukkan ke dalam saku
baju orang yang sedang berdoa setelah selesai shalat jenazah. Besaran uang
selawat ini tidak ada ketentuan umumnya.
8
perpisahan terakhir, diharapkan bahwa semua anggota keluarga telah
benarbenar ikhlas melepas kepergian almarhum untuk dikuburkan.
Pada saat jenazah mau diberangkatkan, menurut suku jawa ada seorang
perempuan dari keluarga yang meninggal yang membawa sapu lidi dan lampu
senthir (pelita). Perempuan tersebut mendahului pemberangkatan jenazah
dengan menyapu halaman atau jalan sebanyak 7 langkah dari awal
pemberangkatan jenazah. Hal tersebut dilakukan sebagai simbol harapan agar
si Almarhum mendapatkan jalan yang bersih dan terang atau jalan yang benar
dalam perjalanannya menuju alam akhirat.
g. Pemakaman Jenazah
Setelah pemakaman jenazah kendi yang digunakan untuk membawa
air tawar yang dicampuri dengan minyak cendana dan kembang telon, yang
akan disiramkan di atas kuburan dan maesan. Semua itu melambangkan
kesucian, kesegaran, dan keharuman nama si Almarhum. Hal lain yang
dilakukan adalah dengan kelapa hijau yang masih muda. Kelapa hijau yang
masih muda itu nantinya akan dibelah dan airnya akan disiramkan di atas
kuburan dan belahan kelapanya juga ditelungkupkan di atas makam setelah
jenazah selesai dikuburkan. Air kelapa ini melambangkan kesucian karena
air kelapa adalah “air suci” karena tidak pernah tercampur oleh apapun.
Selain itu, air kelapa muda juga sebagai perlambang keteguhan hati si
Almarhum. Ia dianalogikan seperti halnya pohon kelapa yang berdiri kokoh,
tidak mudah roboh ataupun terombang-ambing oleh angin. Sementara itu,
bagi almarhum yang memiliki putri belum menikah, maka anakan pohon
pisang yang telah dibawa ke makam diletakkan di dekat makam. Hal ini
dimaksudkan sebagai perlambang bahwa anak-anaknya tetap dekat dengan
orang tuanya, dan orangtua yang telah meninggal tidak perlu
mengkhawatirkan anak-anak yang ditinggalkan
9
walaupun belum dewasa. Untuk orang yang telah menggali kubur, dilarang
untuk menengok ke makam sebelum tujuh langkah dari kuburan. Suku Jawa
meyakini apabila mereka menengok kubur sebelum tujuh langkah, maka
kedatangan malaikat ke dalam kubur tersebut akan lebih cepat (yang harusnya
tujuh hari dalam hitungan dunia ini). Mereka diharapkan untuk tetap lurus
meninggalkan kuburan dan dianjurkan untuk langsung mandi terlebih dahulu.
Bila orang yang bersentuhan dengan jenazah (dan dalam menggali kubur) tidak
langsung mandi, diyakini ada beberapa penyakit yang bisa tumbuh. Bahkan,
ada yang meyakini bahwa apabila tidak mandi, menyebabkan kematian pada
anggota keluarganya.
10
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
11
1.2 Saran
Dari makalah yang telah dibuat ini diharapkan pembaca mendapat
mengetahui tradisi menjelang ajal suku jawa dalam memaknai kematian
sebagai jalan kembali karena hakikat manusia itu berasal dari Tuhan.
12
DAFTAR PUSTAKA
Fitri Nur azizah. 2013. Aspek Sosial Mempengaruhi Kesehatan. (diakses tanggal 11
November 2019 )
Suwito. S, Agus. 2015. Tradisi dan Ritual Kematian Wong Islam Jowo . Jurnal
Kebudayaan Islam. Vol 13 No 2 : 197-216.
Notoatmodjo, S. 2007 , Pengantar Perilaku Kesehatan, FKM : UI, Jakarta.
13