Anda di halaman 1dari 25

INITIAL ASSESMENT

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1A

Monica Gabriella Siahaan (032020007)


Ayu Selviyanti Gulo (032020020)
Romiani Naibaho (032020027)
Sisilia (032020090)
Rut Cahyani Zebua (032020094)
Debby Hutasoit (032020097)

DOSEN PENGAJAR:

Jagentar Parlindungan Pane, S. Kep., Ns., M. Kep

PROGRAM STUDI NERS TAHAP AKADEMIK


STIKes SANTA ELISABETH MEDAN
T.A 2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya rahmat-Nya kami akhirnya bisa
menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Initial Assesment” ini dengan baik dan tepat pada
waktunya. Alasan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah “Gawat
Darurat I”.
Kami juga berterima kasih kepada dosen pembimbing kami yang telah membantu kami
dalam menyelesaikan proses pembuatan makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Dalam
menyusun makalah ini, kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini banyak kekurangan
dan jauh dari kata sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun agar kedepannya kami dapat menyusun makalah dengan baik dan benar. Kami juga
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata kami ucapkan
terimakasih.

Medan, 16 Februari 2023

Kelompok I

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................. 2

DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang............................................................................................................ 4

1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................... 5

1.3 Tujuan.......................................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Tahapan pengelolaan korban gawat darurat................................................................ 6

2.2 Triage pada korban gawat darurat............................................................................... 7

2.3 Survey primer dan sekunder korban gawat darurat..................................................... 11

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.................................................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................ 24

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan suatu Negara yang terletak dalam pertemuan lima lempeng dunia,
selain itu Indonesia juga terletak di rentetan gunung berapi mulai sabang hingga merauke. Akhir
akhir ini berbagai bencana sepertinya belum bisa terlepas dari Negara kita mulai dari kebakaran,
banjir , tanah longsor, gempa bumi , tsunami serta letusan gunung berapi. Bencana yang pernah
kita kenal ada dua macam yaitu bencana yang bersifat umum (menyangkut orang banyak) dan
bencana yang hanya terjadi pada satu dan beberapa orang saja sering kita sebut sebagai
kecelakaan. Pada umumnya kecelakan terjadi secara mendadak dan tenaga kesehatan tidak cukup
siap untuk menolong korban.

Gawat artinya mengancam nyawa, sedangkan darurat adalah perlu mendapatkan penaganan
atau tindakan dengan segera untuk menghilangkan ancaman nyawa korban . kematian ada dua
macam yaitu mati klinis dan mati biologis, mati klinis adalah bila korban henti nafas dan henti
jantung sedang kan mati biologis adalah mulai terjadinya kerusakan sel otak dan waktu nya di
mulai 6 sampai 8 menit setelah berhentinya sistem penafasan serta sirkulasi.

Cedera merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius dan perlu penanganan khusus.
Cedera dapat menyebabkan seseorang mengalami keadaan kegawatdaruratan bahkan sampai
kematian. Angka prevalensi cedera di Indonesia pada Riskesdas 2018 sebesar 9,2% naik dari
8,2% pada Riskesdas 2013. Seluruh jumlah penduduk di Indonesia yang mengalami cedera
akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia sebesar 2,2% dan cedera bukan karena kecelakaan lalu
lintas sebesar 0,7% dari seluruh penduduk.

Kecelakaan merupakan penyebab kematian kelima di dunia dan kedua di Indonesia. Badan
Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2018 menyatakan bahwa setiap tahun tercatat 1,35 juta orang
tewas akibat kecelakaan lalu lintas di seluruh dunia (Hardoko, 2018). WHO pada tahun 2015
sudah merilis data bahwa Indonesia menjadi negara ketiga di Asia terbanyak angka kematian
akibat kecelakaan di bawah Tiongkok dan India dengan total 38.279 total kematian. Namun bila

4
dilihat dari presentase Indonesia menduduki peringkat pertama dengan angka kematian 0,015%
(Situmorang, 2019).

Pelayanan yang benar dan baik sesuai dengan standar merupakan salah satu cara untuk
meminimalisasi terjadinya kecacatan, kerusakan multi organ dan kematian akibat cedera
kecelakaan. Terutama penanganan awal fase pra rumah sakit pada korbankorban cedera akibat
kecelakaan. Hasil penelitian juga menunjukan adanya hubungan antara faktor prehospital stage
(penolong pertama, lama penanganan pertama, dan alat transportasi pasien dengan komplikasi
sekunder pada pasien cedera kepala berat dengan faktor paling berhubungan adalah penanganan
pertama (Wibowo, 2016). Hasil penelitian lain juga menunjukan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara waktu prehospital dengan survival dalam 6 jam pertama pada pasien cedera
kepala berat di Padang (Susilawati, 2010). Pananganan awal pada fase pra rumah sakit ini
seharusnya menjadi tanggung jawab ambulance service pra rumah sakit. Akan tetapi hal ini tidak
mungkin dilakukan di sebagian besar provinsi di Indonesia, karena ketiadaan sarana ambulance
sevice pra rumah sakit. Pelayanan ambulace service pra hospital baru dapat dinikati di kota-kota
besar di Indonesia seperti Jakarta dan Surabaya. Untuk itu peran tersebut dapat diambil alih oleh
unit-unit pelayanan kesehatan primer yang berada pada daerah-daerah yang rawan terhadap
kecelakaan. Unit pelayanan dimaksud adalah puskesmas dan klinik-klinik kesehatan yang
menyediakan palayanan gawat darurat

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang dimaksud dengan triage?
2. Bagaimana tahapan pengelolaaan korban gadar?
3. Apa yang di maksud dengan surfey primer dan sekunder?

1.3. TUJUAN
1. Untuk mengetahui Apa yang dimaksud dengan triage
2. Untuk mengetahui Bagaimana tahapan pengelolaaan korban gawat darurat
3. Untuk mengetahui surfey primer dan sekunder pada korban gawat darurat

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 TAHAPAN PENGELOLAAN KORBAN GAWAT DARURAT

Tahapan dalam pengelolaan korban gawat darurat memiliki persiapan yang berlangsung
dalam 2 keadaan berbeda ,yaitu: 1. Tahap pra-Rumah sakit (prehospital) dan tahap fase rumah
sakit (in-hospital). Fase pra rumah sakit (pre hospital) adalah suatu keadaan seluruh kejadian di
masyarakat, idelanya berlangsung dalam koordinasi dengan tenaga kesehatan di rumah sakit.
Fase kedua adalah fase rumah sakit (in hospital) yaitu suatu keadaan dilakukan persiapan untuk
menerima pasien gawat darurat di rumah sakit sehingga dapat dilakukan resusitasi dalam waktu
yang cepat.

Dengan tetap memegang prinsip do not further harm, pada setiap fase pengelolaan pasien
gawat darurat maka setiap penolong agar memperhatikan keadaan yang dapat membahayakan
nyawa pasien. Waspada terhadap situasi yang dapat timbul dari masalah airway, breathing dan
circulation harus selalu dicermati agar dapat mengantisipasi setiap masalah bersiko yang dapat
terjadi.

2.1.1 Tahap Pra-Rumah Sakit (Prehospital)

Pada tahap ini terjadi koordinasi yang baik antara dokter dirumah sakit dengan petugas
lapangan yang akan menguntungkan korban. Sebaiknya rumah sakit sudah diberitahukan
sebelum korban diangkat dari tempat kejadian yang harus diperhatikan disini adalah menjaga
Airway, breathing, control perdarahan dan syok, jika terjadi imobilisasi pada korban harus segera
dikirim ke rumah sakit terdekat yang cocok atau sebaiknya kesuatu pusat trauma. Harus
diusahakan untuk mengurangi waktu tanggap (respon time) jangan sampai terjadi, bahwa
“semakin lama perawat melakukan tindakan semakin lama pula korban berada dilokasi tempat
kejadian”

6
2.1.2 Tahap Rumah Sakit (In-Hospital)

Pada tahap ini dilakukannya pemilihan korban berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber
daya yang tersedia yang dinamakan Triage. Terapi dilakukan berdasarkan keadaan ABCDE (
airway, breathing, circulation, disability, exposure) Triage berlaku untuk pemilihan korban
baik dilapangan maupun di rumah sakit, ini merupakan tanggung jawab tenaga medis ( dan
pemimpin tim lapangan) bahwa nantinya korban kaan dikirim kerumah sakit yang sesuai,
nantinya akan menjadi kesalahan besar jika mengirim korban kerumah skait non trauma bila
ada pusat trauma terdekat yang tersedia.

Ada dua jenis keadaan triage dapat terjadi, yaitu:


A. Jumlah dan keadaan pasien yang tidak melampaui kemampuan petugas medis.
Dalam keadaan ini korban dengan masalah gawat darurat dan multitrauma akan
dilayani terlebih dahulu
B. Jumlah dan keadaan pasien melampaui kemampuan petugas, dalam keadaan ini
yang akan dilayani terlebih dahulu adalah korban kemungkinan survival dan
membutuhkan waktu, serta perlengkapan dan tenaga paling sedikit

2.2 TRIAGE PADA KORBAN GAWAT DARURAT

2.2.1 Pengertian Triage

Di Indonesia, istilah triage juga disebut triase. Kedua istilah tersebut memiliki esensi yang
sama, yaitu istilah untuk menyortir atau menggolongkan pasien berdasarkan berat cedera dan
untuk menentukan jenis perawatan berdasarkan tingkat kegawatdaruratan trauma, penyakit, dan
cedera(Pusponegoro,2010). Sementara itu, menurut Wijaya(2010), triage adalah usaha pemilihan
korban sebelum ditangani. Triage juga dapat diartikan sebagai proses seleksi pasien. Tugas
perawat dan dokter adalah bertanggung jawab agar tidak ada pasien yang tidak mendapatkan
perawatan. Kathleen dkk. (2008) mendefinisikan triage sebagai konsep pengkajian yang cepat
dan terfokus, sekalipun terjadi keterbatasan tenaga medis, keterbatasan alat, dan keterbatasan
fasilitas.

2.2.2 Tujuan Triage

7
Triage memiliki tujuan utama meminimalisasi terjadinya cedera dan kegagalan selama proses
penyelamatan pasien. Perawat yang berhak melakukan triage adalah perawat yang telah
bersertifikat pelatihan Penanggulangan Pasien Gawat Darurat (PPGD) dan Basic Trauma Cardiac
Life Support (BTCLS). Dengan kata lain, perawat yang melakukan triage diutamakan yang
memiliki pengetahuan memadai dan memiliki pengalaman

Triage dilakukan dengan memprioritaskan pasien berdasarkan kondisi kekuatan atau daya
tahan tubuh pasien. Untuk melihat kondisi pasien, perawat perlu melakukan kajian singkat, tetapi
tepat dan akurat. Selain itu, tugas perawat menggali data lengkap tentang keadaan pasien.
Berikut adalah bagan dasar dasar melakukan triage.

2.2.3 Klasifikasi Triage

Penggolongan atau sistem klasifikasi triage dibagi menjadi beberapa level perawatan.
Lavel perawatan didasarkan pada tingkat prioritas, tingkat keakutan, dan klasifikasi triage.
Berikut 2 klasifikasi secara lengkap.

A. Klasifikasi Kegawatan Triage


Klasifikasi triage dibagi menjadi tiga prioritas. Ketiga prioritas tersebut adalah
emergency, urgent,dan nonurgent. Menurut Comprehensive Speciality Standard, ENA (1999)
ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan padasaat melakukan triage. Pertimbangan tersebut
didasarkan pada keadaan fisik, psikososial, dan tumbuh kembang. Termasuk, mencakup segala
bentuk gejala ringan, gejala berulang, atau gejala peningkatan. Berikut klasifikasi pasien dalam
sistem triage.

a. Gawat Darurat (Prioritas 1: P1)


Menurut Wijaya (2010), di dalam bukunya berjudul Konsep Dasar Keperawatan Gawat
Darurat, gawat darurat merupakan keadaan yang mengancam nyawa, di mana pasien
membutuhkan tindakan segera. Jika tidak segera diberi tindakan, pasien akan mengalami
kecacatan. Kemungkinan paling fatal, dapat menyebabkan kematian.

Kondisi gawat darurat dapat disebabkan adannya gangguan ABC dan/atau mengalami
beberapa gangguan lainnya. Gangguan ABC meliputi jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi.
Adapun kondisi gawat darurat yang dapat berdampak fatal, seperti gangguan cardiacarrest,

8
trauma mayor dengan pendarahan, dan mengalami penurunan kesadaran.

b. Gawat Tidak Darurat (Prioritas 2:P2)


Klasifikasi yang kedua, kondisi gawat tidak gawat. Pasien yang memiliki penyakit
mengancam nyawa, namun keadaannya tidak memerlukan tindakan gawat darurat dikategorikan
di prioritas 2. Penanganan bisa dilakukan dengan tindakan resusitasi. Selanjutnya, tindakan
dapat diteruskan dengan memberikanrekomendasi ke dokter spesialis sesuai penyakitnya. Pasien
yang termasuk di kelompok P2 antara lain penderita kanker tahap lanjut. Misalnya kanker
serviks, sickle cell, dan banyak penyakit yang sifatnya mengancam nyawa namun masih ada
waktu untuk penanganan.

c. Darurat Tidak Gawat (Prioritas3:P3)


Ada situasi di mana pasien mengalami kondisi seperti P1 dan P2. Namun, ada juga
kondisi pasien darurat tidak gawat. Pasien P3 memiliki penyakit yang tidak mengancam nyawa,
namun memerlukan tindakan darurat. Jika pasien P3 dalam kondisi sadar dan tidak mengalami
gangguan ABC, maka pasien dapat ditindaklanjuti ke poliklinik. Pasien dapat diberi terapi
definitif, laserasi, otitis media, fraktur minor atau tertutup, dan sejenisnya.

d. Tidak Gawat Tidak darurat (Prioritas 4:P4)


Klasifikasi triage ini adalah yang paling ringan di antara triage lainya. Pasien yang masuk
ke kategori P4 tidak memerlukan tindakan gawat darurat. Penyakit P4 adalah penyakit ringan.
Misalnya, penyakit panu, flu, batuk-pilek, dan gangguan seperti demam ringan.

2.Klasifikasi Tingkat Prioritas

Klasifikasi triage dari tingkat keutamaan atau prioritas, dibagi menjadi 4 kategori warna.
Dalam dunia keperawatan klasifikasi prioritas ditandai dengan beberapa tanda warna. Tanda
warna tersebut mayoritas digunakan untuk menentukan pengambilan keputusan dan tindakan.

9
Prioritas pemberian warna juga dilakukan untuk memberikan penilaian dan intervensi
penyelamatan nyawa. Intervensi biasa digunakan untuk mengidentifikasi injury. Mengetahui
tindakan yang dilakukan dengan cepat dan tetap memberikan dampak signifikan keselamatan
pasien. berikut ada beberapa warna yang sering digunakan untuk triage yaitu:

a.Merah

Warna merah digunakan untuk menandai pasien yang harus segera ditangani atau tingkat
prioritas pertama. Warna merah menandakan bahwa pasien dalam keadaan mengancam jiwa
yang menyerang bagian vital. Pasien dengan triage merah memerlukan tindakan bedah dan
resusitasi sebagai langkah awal sebelum dilakukan tindakan lanjut,seperti operasi atau
pembedahan. Pasien bertanda merah, jika tidak segera ditangani bisa menyebabkan pasien
kehilangan nyawanya. Berikut yang termasuk ke prioritas pertama (warna merah) di
antarannyahenti jantung, pendarahan besar, henti napas,dan pasien tidak sadarkan diri.

b. Kuning

Pasien yang diberi tanda kuning juga berbahaya dan harus segera ditangani. Hanya saja,
tanda kuning menjadi tingkat prioritas kedua setelah tanda merah. Dampak jika tidak segera
ditangani, akan mengancam fungsi vital organ tubuh bahkan mengancam nyawa. Misalnya,
pasien yang mengalami luka bakar tingkat II dan III kurang dari 25% mengalami trauma thorak,
trauma bola mata, dan laserasi luas. Adapun yang termasuk prioritas kedua, di antaranya
terjadinya luka bakar pada daerah vital, seperti kemaluan dan airway. Selain itu, terjadinya luka
di kepala atau subdural hematom yangditandai dengan muntah. Pendarahan bisa juga terjadi
dibagian tertentu, seperti di telinga, mulut dan hidung. Penderita subdural hematom memiliki
kecepatan nadi kurang 60 kali per menit, napas tidak teratur, lemah, refleks, dan kurang
menerima rangsangan.

c. Hijau

Warna hijau merupakan tingkat prioritas ketiga. Warna hijau mengisyaratkan bahwa
pasien hanya perlu penanganan dan pelayanan biasa. Dalam artian, pasien tidak dalam kondisi
gawat darurat dan tidak dalam kondisi terancam nyawannya. Pasien yang diberi prioritas warna

10
hijau menandakan bahwa pasien hanya mengalami luka ringan atau sakit ringan, misalnya luka
superfisial. Penyakit atau luka yang masuk ke prioritas hijau adalah fraktur ringan disertai
perdarahan. Pasien yang mengalami benturan ringan atau laserasi, histeris, dan mengalami luka
bakar ringan juga termasuk ke prioritas ini.

d. Hitam

Warna hitam digunakan untuk pasien yang memiliki kemungkinan hidup sangat kecil.
Biasannya, pasien yang mengalami luka atau penyakit parah akan diberikan tanda hitam. Tanda
hitam juga digunakan untukpasien yang belum ditemukan cara menyembuhkannya. Salah satu
hal yang dapat dilakukan untuk memperpanjang nyawa pasien adalah dengan terapi suportif.
Warna hitam juga diberikan kepada pasien yang tidak bernapas Adapun yang termasuk kategori
prioritas warna hitam antara lain pasien yang mengalami trauma kepala dengan otak keluar,
spinal injury, dan pasien multiple injury.

2.3 SURVEY PRIMER DAN SURVEY SEKUNDER PADA KORBAN GAWAT


DARURAT
2.3.1 Survey Primer (Primary Survey)

Survey primer atau biasa disebut primary survey adalah suatu proses melakukan penilaian
kepada pasien gawat darurat dengan manggunakan prioritas Airway, Breathing, Circulation,
dengan tambahan Disability, Exposure, (A-B-C-D-E) untuk menentukan kondisi patofisiologis
pasien dan pertolongan yang dibutuhkan dalam waktu emasnya. Dalam survey primer kita harus
berfikir sekuensial dan bertindak secara simultan yang dilakukan sampai pasien stabil. Penilaian
keadaan pasien gawat darurat dan prioritas terapi dilakukan berdasarkan jenis perlukaan,
stabilitas tanda-tanda vital. Pada pasien gawat darurat luka parah, prioritas terapi diberikan
berurutan, berdasarkan penilaian:

A: (Airway), airway dengan kontrol servikal

B: (Breathing), menjaga pernafasan dengan ventilasi

C: (Circulation) dengan kontrol perdarahan

11
D: (Disability), status neurologis

E. (Exposure/environmental control: buka baju pasien tetapi cegah hipertermi

Selama melakukan survei primer keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dengan
cepat dan resusitasi setiap saat diperlukan, kemudian lakukan fiksasi pasien dan bila telah stabil
lakukan evakuasi dan atau transportasi ke fasilitas kesehatan yang lebih mampu. Tindakan
survey primer dilakukan secara berurutan (sekuensial), sesuai prioritas, agar lebih jelas, namun
dalam prakteknya dilakukan secara simultan.

Pada anak walaupun jumlah darah, cairan, obat, ukuran, kehilangan panas dan pola perlukaan
dapat berbeda, namun penilaian dan prioritas pada anak dan dewasa pada dasarnya sama.

1. Airway dengan Kontrol Servikal

Prioritas utama penilaian adalah Airway/jalan nafas, yaitu kelancaran jalan nafas
(Airway). Intervensi pada airway ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang
dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur
laring atau trakhea.

Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal karena
kemungkinan cidera atau patahnya tulang servikal harus selalu dipertimbangkan. Dalam hal ini
dapat dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas,
harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher.

Tanda-tanda cedera cervikal:

a. Trauma kepala dengan penurunan kesadaran


b. Adanya jejas/ luka karena trauma tumpul diatas klavikula
c. Setiap multi-trauma (trauma pada 2 regio atau lebih)
d. Biomekanik trauma mendukung

Dalam keadaan kecurigaan fraktur servikal, harus dipakai alat imobilisasi. Bila alat
imobilisasi ini harus dibuka untuk sementara, maka kepala harus dilakukan imobilisasi manual
(pakai tangan). Alat mobilisasi ini harus dipakai sampai kemungkinan fraaktur servikal dapat
disingkirkan.

12
2. Breathing dan Ventilasi

Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi
pada saat bernafas mutlak diperlukan untuk proses metabolisme tubuh. Oksigen diperlukan
dengan konsentrasi 16-20% atau sama dengan konsentrasi oksigen diudara bebas, selanjutnya
melalui paru-paru dikeluarkan karbondioksida (CO2). Pertukaran oksigen dengan karbon
dioksida bisa terjadi bila udara bisa masuk dan keluar jalan nafas tanpa hambatan, tidak ada
cairan atau darah didalam paru, tidak ada infeksi di dalam paru, tidak ada tumor di dalam paru
atau jaringan paru serta dinding torak dan diafragma dalam keadaan normal. Keadaan masuk dan
keluarnya udara dari udara bebas kedalam paru-paru atau sebaliknya disebut ventilasi.

Untuk terjadinya ventilasi yang baik memerlukan fungsi yang baik dari paru, dinding
dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus di evaluasi secara cepat dan cermat. Untuk
melihat ventilasi pada pasien gawat darurat , maka penilaian pasien khusunya bagian dada pasien
harus dibuka untuk melihat irama pernafasannya. Bila perlu lakukan auskultasi untuk
memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau
darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada
yang mungkin mengganggu ventilasi. Langkah yang dilakukan untuk pengkajian awal breathing
diantaranya adalah:

 Menghitung frekuensi nafas


 Mengkaji pola nafas pasien
 Mengukur kadar saturasi oksigen pasien

Jika dari hasil pengkajian awal ditemukan indikasi untuk menambahkan oksigen berikan
sesuai dengan indikasi. Jika dengan pemberian oksigen tambahan pasien belum mengalami
perbaikan atau disertai adanya perlukaan didaerah toraks, segera lakukan pemeriksaan fisik
lanjutan dengan teknik IAPP (Inspeksi, Auskultasi, Perkusi dan Palpasi).

Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension


pneumothorax, flail chest, dengan kontusio paru, open pneumothorax masif serta tamponade
jantung. Keadaan ini harus dikanali saat dilakukannya survei primer. Bila salah satu keadaan
atau cidera yang mengamcam nyawa ini ditemukan maka anada sebagai seorang perawat gawat
darurat harus segera menangani keadaan tersebut. Hemothorax, simple pneumothorax, dan

13
kontusio paru yang mengganggu ventilasi dengan keadaan lebih rinagn harus dikenali saat
melakukan survei sekunder. Berikut ini keadaan mengancam nyawa yang dapat terjadi akibat
trauma toraks:

 Tension pneumothorax
 Flail chest
 Open pneumothorax
 Hemothorax masif
 Tamponade jantung3

3. Circulation dengan kontrol perdarahan

Perdarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah yang mungkin dapat diatasi
dengan tampon yang cepat dan tepat di tumah sakit. Bila terjadi keadaan hipotensi harus
dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai terbukti selanjtnya. Dengan demikian maka
diperlukan penilaian yang cepat dan akurat tentang status hemodinamik pasien.

Ada tiga hal yang harus diobervasi dalam hitungan detik, observasi ini dapat memberikan
informasi mengenai keadaan hemodinamik. Observasi itu mencakup tingkat kesadaran, warna
kulit dan nadi

a. Tingkat kesadaran, bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan
mengakibatkan penurunan kesadaran. Walaupun demikian kehilangan darah dalam
jumlah banyak belum tentu mengakibatkan gangguan kesadaran.
b. Warna kulit,warna kulit dapat membantu menegakkan diagnosis hipovolemia. Pasien
gawat darurat trauma yang kulitnya putih, maka akan tampak pucat terutama pada wajah
dan ekstremitas. Sebaliknya pada orang kulitnya hita, maka tampak pucat keabu-abuan
pada wajah dan kulit ekstremitas sebagai tanda hipovolemia. Bila memang disebabkan
hipovolemia, maka ini menandakan kehilangan darah minimal 30% volume darah.
c. Nadi, Nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri carotis harus diperiksa bilateral,
untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Pada keadaan syok nadi akan teraba kecil dan
cepat. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normovelonia.

14
Sedangkan yang teraba cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, namun harus
dipertimbangkan penyebab lain yang dapat menimbulkan hal yang sama. Nadi yang
teraba tidak teratur biasnaya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya
pulsasi nadi central( arteri besar) merupakan pertanda diperlukannya resusitasi.

TEKANAN DARAH

Jangan terlalu percaya pada tekanan darah dalam


menentukan syok karna pertimbangan:

Tekanan darah sebelumnya tidak diketahui


Diperlukan kehilangan volume darah lebih dari 30% untuk
dapat terjadi penurunan tekanan darah

Perdarahan

Perdarahan pada arteri luar harus dilakukan penatalaksaan pada survey primer.
Perdarahan eksternal dihentikan dnegan melakukan balut tekan pada daerah luka. Spalk udara
(airsplint) juga bisa digunakan untuk mengontrol perdarahan. Perdarahan eksternal “Jangan
Dijahit Dulu !!!”

Syok jarang disebabkan oleh perdarahan intrakarnial. Sumber perdarahan dapat terjadi:

 Eksternal, terlihat jelas ada darah


 Internal, tidak terlihat ada noda darah.
 Perdarahan di rongga tubuh seperti: rongga thoraks, rongga abdomen, rongga pelvis pada
fraktur pelvis, rongga femur pada fraktur femur atau fraktur tulang Panjang.

Keadaan syok dapat dikenali dari : 1. Nadi teraba lemah dan cepat, 2. Akral dingin, 3.
Nafas cepat, 4. Kesadaran mulai menurun 5. Tekanan darah turun

Penggunaan pneumatic splinting device

Bidai udara (pneumatic splinting device) juga dapat digunakan untuk mengontrol
perdarahan. Bidai jenis ini harus tembus cahaya untuk dapat dilakukannya pengawasan

15
perdarahan. Torniquet jangan dipakai karna merusak jaringan dan menyebabkan iskemia distal
dari torniquet

Pemakaian hemostat memerlukan waktu dan dapa merusak jaringan sekitar seperti syaraf
dan pembuluh darah. Perdarahan dalam rongga thorax abdomen, sekitar fraktur atau sebagai
akibat dari luka tembus, dapat menyebabkan perdarahan besar yang tidak terlihat.

4. Disability /Evaluasi Neurologi

Pada saat survey primer akan selesai, lakukan pemeriksaan status neurologi secara cepat.
Pemeriksaan status neurologi meliputi :

-Tingkat kesadaran,ukuran dan reaksi pupil,tanda lateralisi dan tingkat cedera spinal

Pemeriksaan ini bisa menggunakan Glassglow Coma Scale (GCS). GCS merupakn system
skoring sederhana dan dapat meraamal kesudahan (outcome) pasien. Penurunan kesadaran dapat
disebabkan karena suplai oksigen ke otak berkurang atau penurunan perfusi keotak atau dapat
juga karena trauma langsung keotak.

Alcohol dan obat obatan juga dapat mempebgaruhi tingkat kesadaran pasien. Oleh karena itu
pemeriksaan yang teliti oleh perawat, apakah sebelum kejadian pasien minum alcohol atau tidak
perlu di periksa. Bau alcohol yang menyengat dari mulut pasien menandakan pasien minum
alcohol sebelum kejadian. Jika alcohol,hipoksia, hipovolemi sudah disingkirkan bukan sebagi
penyebab penurunan kesadaran, maka trauma kepala dianggap sebagai penyebab penurunan
kesadaran.

5. Exposure / Envoronment

Untuk mengetahui adanya kemungkinan cedera yang lain, pakaian pasien perlu dibuka
seluruhnya. Membuka pakaian pasien tidak boleh terlalu banyak menggerakkan pasien.
Membuka pakaian pasien bisa menggunting celana pasien sesuai dengan alur jahitan, dengan
demikian juga pakaian atas. Namun perlu diperhatikan saat pakaaian pasien sudah terbuka

16
semua, pasien harus tetap dijaga dalam kondisi hangat, yaitu dengan menyelimuti pasien untuk
mencegah hiportermi. Pemberian cairan intravena juga dalam kondisi hangat. Yang penting
diperhatikan adalah suhu tubuh pasien tetap hangat, bukan kenyamanan petugas dalam bekerja.

2.2.2. RESUSITASI

Resusitasi yang cepat dan tepat, merupakan hal mutlak harus dikerjakan, bila pasien ingin
tetap selamat dan hidup.

A. Airway

Airway harus dijaga dan dipertahankan dengan baik,khususnya pada pasien gawat darurat
tidak sadar. Jaw thrust atau chin lift dapat dipakai dalaam beberapa kasus pada pasien gawat
darurat yang masih sadar dapat dipakai nasopharyngeal airway. Bila pasien gawat darurat
tidak sadar dan tidak ada reflex vagal (gag reflex) dapat dipakai oropharyngeal airway
(OPA). Control jalan nafas pasien gawat darurat yang airwaynya terganggu karena factor
mekanik, atau ada gangguan ventilasi akibat gangguan kesadaran, control jalan nafas dicapai
dengan intubasi endo tracheal, baik oral maupun nasal. Prosedur ini harus dilakukan dengan
control servikal.

B. Breathing

Ventilasi akan terganggu bila ada tension pneumothorax. Bila dicurigai ada tension
pneumothorax maka harus segera dilakukan dekompresi. Dekompresi dilakukan dengan cara
menusuk rongga thorax dengan jarum besar, kemudian dilanjutkan dengan pemasangan chest
tube. Setiap pasien gawat darurat akibat trauma seharusnya diberikan oksigen. Pemberian
oksigen dengan simple mask, breathing atau non breathing mask lakukan pengkajian lebih
mendalam untuk menentukan kebutuhan oksigen dan alatt yang digunakan. Pemasangan
pulse oksimetri untuk menetahui saturasi oksigen. Lakukan pengkajian dengan pemeriksaan
fisik (inspeksi, auskultasi, perkusi, palpasi). Untuk mengetahui penyebab sesak nafas.
Lakukan intervensi sesuai penyebabnya, jangan melakukan penanganan sebatas gejala saja
bila pasien mengalami apnea dan belum terpasang intubasi, sebaiknya oksigen diberikan

17
dengan face mask. Oleh karena itu seorang perawat gawaat darurat harus terlatih dalam
melakukan pemeriksaan fisik.

C. Circulation

Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang sedikinya dua jalur (IV line/intravena line).
Kateter IV yang dipakai harus ukuran besar. Setelah kateter IV terpasang dan sebelum cairan
infus diberikan, ambil contoh darah terlebih dahulu. Pemeriksaan golongan darah, resus dan
darah rutin perlu dilakukan. Jika suatu waktu pasien perlu dilakukan tranfusi maka sudah
tahu golongan darah. Pada awalnya sebaiknya menggunakan vena pada lengan. Jenis IV line
yang lain, vena seksi atau vena sentralis tergantung kemampuan petugas yang memberikan
pertolongan. Syok pada pasien gawat darurat akibat trauma umumnya disebabkan oleh
hipovelemia. Pasien gawat darurat pada saat pertama dating tau ditemukan harus duinfus
dengan 1,5 – 2 liter cairan kristaloid, pilihan pertama dalah asering atau ringer latat bila tidak
ada respon dengan pemberian bolus kristaloid, akan diberiakan darah segolongan (tipe
specific). Bila tidak ada darah segolongan dapat diberikan darah tipe 0 rhesus Negatif, atau
tipe 0 Rh Positif titer rendah. Untuk memonitoring pemberian cairan perlu dilakukan
pemasangan kateter urin. Namun diperhatikan kemungkinan ada kontraindikasi sebelum
dilakukan pemasangan katerter urin.

2.2.3 TAMBAHAN PADA SURVEY PRIMER DAN RESUSITASI

1. Pemasangan kateter urin

Kateter urin harus dipasang sesaat setelah IV line dipasang. Pada saat pemasangan kateter
urin jangan lupa mengambil sampel urin untuk dilakukan pemeriksaan rutin. Pemantauan
produksi urine sangat penting dilakuakn pada pasien yang sedang dilakukan resusitasi cairan
untuk menilai fungsi ginjal dan hemodinamik pasien.

Sebelum pemasangan kateter urin, jangan lupa diperiksa dahulu ada kontraindikasi atau
tidak. Kontraindikasi pemasangan kateter urin adalah adanya kecurigaan ruptur uretra.
Kecurigaan rupture uretra ditandai dengan :

18
 Adanya darah diorifisum uretra external (OUE)
 Hematom di scrotum atau perineum
 Pada colok pada dubur prostatletak tinggi atau tidak teraba
 Adanya fraktur pelvis
Jika dicurigai ada rupture uretra konsul dokter untuk dilakukan uretrogram.

2. Kateter lambung (gastric tube)

Bila dari hasil pemeriksaan secara singkat ditemukan adanya distensi abdomen, maka
resiko terjadinya muntah cukup besar. Pemasangan kateter lambung bertujuan untuk
mengurangi distensi lambung dan mengurangi resiko muntah jika lamina kribosaa fraktur
atau dicurigai fraktur maka kateter lambung tidak boleh dimasukkan ke dalam hidung tetapi
melalui mulut untuk mencegah masuknya kateter ke otak.

3. Monitor EKG

Difasilitas layanan kesehatan yang memiliki monitor jantung sebaiknya pasien dipasang
monitor jantung. Hal ini dapat membantu perawat dalam melakukan pemeriksaan pasien dan
dapat melihat kondisi irama dan denyut pasien. Sehingga bila sewaktu waktu kondisi cardiac ace
arrest atau kegawat yang lain dapat segera diketahui dan dilakukan tindakan selanjutnya. Adanya
disritmia, kita perlu mencurigai kemungkinan adanya temponade jantung atau hipotermi. Atau
danya gangguan irama jantung yang lain, seperti ventrikal takikardi, PEA, segmen, ST yang
meningkat maka perlu dikonsultasi pada pasien specialis jantung.

D. Monitoring

Monitoring hasil resusitasi didasarkan pada frekuensi nafas, nadi, tekanan nadi, tekanan
darah, suhu tubuh dan kesadaran pasien gawat darurat.

1. Laju nafas dipakai untuk menilai airway dan breathing. ETT dapat berubah posisi
pada saat psien gawat darurat berubah posisi.

19
2. Pulse oxymetri sangat berguna. Pulse oxymetri mengukur secara kolorigrafi kadar
saturasi O2,dan bukan PaO2.
3. Pada penilaian tekanan darah harus disadari bahwa tekanan darah ini merupaka
indicator yang kurang baik untuk menilai perfusi jaringan. Pada saat keputusan
diambil untuk merujuk, perlu komunikasi antar petugas peengirim dan petugas
penerima rujukan.

2.2.4 SURVEY SEKUNDER (SECONDARY SURVEY)

Survey sekunder dikerjakan untuk memeriksa lebih lanjut dan lebih teliti semua bagan
tubuh pasien, bagian depan dan bagian belakang. Tujuan survey sekunder untuk mencari cidera
tambahan yang mungkin belum ditemukan saat survey primer. Minimal ada 4 kelainan atau
cidera yang harus di temukan pada survey sekunder yaitu “ deformity , open injury, tenderness,
swelling (D-O-T-S). Survey sekunder dilakukan hanya setelah survey primer selesai di kerjakan,
resusitasi telah selesai dilakukan dan pasien gawat darurat telah stabil

A. Pemeriksaan Fisik

Dilakukan pemeriksaan fisik dengan teliti mulai dari kepala sampai kaki (head to toe
examination), termasuk pemeriksaan tanda vital dan dicari adanya “deformity, open injury,
tenderness dan swelling” (D-O-T-S) disetiap bagian tubuh pasien. Lakukan finger in every
orifice untuk mewaspadai pendarah pada pasien. Pemeriksaan fisik dengan inspeksi, auskultasi,
palpasi, dan perkusi. Pemeriksaan fisik meliputi bagian depan dan bagian belakang. Pada saat
melakukan pemeriksaan bagian belakang, pasien dimiringkan dengan Teknik logroll.

1. Kepala

Inspeksi seluruh bagian kepala, kulit kepala kemungkinann adanya luka, lubang telinga
kanan dan kiri, kemungkinan adanya darah, bagian belakang telinga (tulang masteoideus) apakah
ada kebiruan. Palpasi seluruh bagian kepala, mulai dari frontalis, temporalis, parietalis, oksipital,
sutura suturanya apakah ada memar atau perubahan bentuk.

20
2. Maksilo facial

Adanya trauma maksilo facial dapat menganggu jalan nafas pemeriksaan yang teliti
dengan melihat dn palpasi bagian maksilo facial sangat penting. Mencari kemungkinan adanya
memar atau fraktur pada maksilo facial.

3. Vetebra servikalis

Pasien cedera kepala atau trauma maksilo facial, dicurigai kemungkinan adanya cidera
servikal. Melihat kemungkinan adanya memar atau perubahan bentuk pada servikal sangat
penting. Untuk lebih meyakinkan hasil inspeksi, perlu dilakukan palpasi. Adanya perubahan
bentuk, nyeri saat palpasi, menandakan kemungkinan adanya cidera servikal.

4. Thoraks

Pakaian pasien perlu dibuka. Inspeksi dari bagian depan, melihat apakah ada jejas,
pergerakan dada simetris atau tidak, kemungkinan adanya open pneumothoraks atau flail chest.
Auskultasi dimulai dari sisi dada yang sehat, dengarkan bising nafas, bandingkan bunyi nafas di
dada yang sehat dengan yang ada cidera. Perkusi perlu dilakukan untuk mengetahui ada udara
yang berlebihan di rongga thoraks atau adanya darah. Hasil perkusi yang nyaring menunjukkan
adanya udara di rongga thoraks, yang menyebabkan adanya tekanan pada paru, atau adanya
simple pneumothoraks. Jika bunyi perkusi nyaring, trakea terdorong kearah yang sehat, tekanan
vena jugularis meningkat, pasien sangat gelisah dan sesak, menunjukkan adanya tension
pneumothoraks.Hasil perkusi suara redup atau dullness, menunjukkan adanya darah di rongga
thorax. Dan dari hasil palpasi teraba ada krepitasi, artinya menunjukkan adanya fraktur dan ada
perdarahan yang sedang berlangsung.

5. Abdomen

Periksa bagian abdomen perkuadran. Nampak adanya jejas di bagian abdomen dan distesi
abdomen, pelru dicurigai kemungkinan adanya perdarahan. Pemeriksaan lebih lanjut dengan
palpasi perkuadran, apakah adanya nyeri lepas atau nyeri tekan, dapat memperkuat adanya
kecurigaan perdarahan. Auskultasi perlu deilakukan untuk mengetahui bising usus adanya
hipotensi perlu dicurigai adanya perdarahan yang banyak di abdomen. Pemeriksaan pada pelvis
perlu dilakukan untuk mengetahui kemungkinan adanya fraktur. Melihat adanya jejas atau tidak

21
pada pelvis, pemeriksaan dengan palpasi, lakukan penekanan dengan lembut pada pelvis untuk
mengetahui kemungkinan adanya fraktur

6. Muskuloskletal

Pada ekstremitas perlu dilakukan pemeriksaan kemungkinan adanya luka atau defornitas.
Pemeriksaan yang teliti mulai dari inspeksi dan palpasi untuk mendapatkan intonasi yang rinci
dan jelas pemeriksaan pulsasi bagian distal penting dilakukan untuk mengetahui status sirkulasi
dan kemungkinan adanya gangguan vaskuler. Pemeriksaan sensorik dan kemampuan kontarksi
otot untuk menegtahui fungsi ekstremitas. Pemeriksaan ekstremitas termasuk ekstermitas atas
dan bawah.

7. Spinal

Pemeriksaan bagian belakang pasien. Pasien dimiringkan dnegan tekhnik logroll, melihat
bagian belakang apsien apakah ada luka, jejas atau cedera yang lain atau tidak. Memeriksa tulang
spinal atau tulang belakang dengan meraba mulai dari bagian torakal atas sampai ke koksigis.

B. Anamnesis

Perlu dilakukan anamnesisi yang lengkap mengenai Riwayat trauma. Riwayat “AMPLE”
perlu diingat :

A : allergic
M :Medication (obat yang sedang diminum)
P : Past illness (penyakit penyerta) / pregnancy (kehamilan)
L : Last meal
E : event / environtment (lingkungan)

C. Pemeriksaan penunjang
 Lakukan pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan
 Radiologi : rontgen, CT Scan, MRI, USG pemeriksaan ini dilakukan
setelah pasien dinyatakan stabil untuk menunjang diagnosa pada pasien.

22
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Triage atau triase dalam dunia keperawatan digunakan untuk mengidentifikasi korban
berdasarkan prioritas. Triage juga dapat diartikan sebagai proses seleksi pasien. Tugas perawat
dan dokter adalah bertanggung jawab agar tidak ada pasien yang tidak mendapatkan perawatan.
Yang memiliki tujuan utama meminimalisasi terjadinya cedera dan kegagalan selama proses
penyelamatan pasien. Kunci keberhasilan melakukan triage ditentukan oleh beberapa hal,
diantarannya, ditentukan dengan kecepatan menemukan pasien gawat darurat dan kecepatan
ketika memberikan pertolongan. Penanganan khusus pada pertolongan pertama bisa dilakukan
ditempat kejadian, bisa ketika di perjalanan, dan setibanya pasien di puskesmas atau rumah sakit.

Pasien yang mengalami kondisi gawat darurat pertama kali akan dilakukan triage. Triage
adalah suatu proses penggolongan pasien berdasarkan tipe dan tingkat kegawatan kondisinya.
Triage juga diartikan sebagai proses pengkajian klinik singkat untuk menentukan waktu dan
urutan pasien yang seharusnya diperiksa. Triage di Instalasi Gawat Darurat diperlukan untuk
mengatur aliran pasien yang masuk ke IGD melalui pemilahan pasien sesuai dengan tingkat
kegawatannya (Sheehy, 2009.

Primary survey atau survei primer merupakan pendekatan yang digunakan untuk
menyediakan metode perawatan pasien secara konsisten dan fokus perawatan pasien. Perawat
melakukan pengamatan, survei, dan pencatatan terkait masalah yang mengancam nyawa, jalan
napas, dan sirkulasi. Secara umum, pasien trauma mungkin saja mengalami kondisi mengancam
nyawa seperti penumotoraks, flail chest, hemotoraks, dan pendarahan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Fatriani, F., Waluyo, A., & Masfuri , M. (2020). Efektifitas Ketepatan Triger Trauma terhadap
Aktivasi Kode Trauma pada Pasien Trauma Kategori Merah di Instalasi Gawat Darurat:
Literatur Review . Jurnal Jurusan Keperawatan, Vol 5, No 1..

Ida, M. (2021). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Pustaka Baru.

Manik, M. J. (2022). Keperawatan Gawat Darurat. Yayasan Kita Menulis.

Monoarfa, S., Damansyah, H., & Djafar, D. K. (2022). PENGETAHUAN DENGAN SIKAP
PERAWAT DALAM PENANGANAN AWAL PASIEN KECELAKAAN LALU
LINTAS DI UGD DI RSUD M.M DUNDA LIMBOTO. Jurnal Zaitun Jurusan
Keperawatan, Vol. 10, No.1.

Musliha. (2010). Keperawatan Gawat Darurat . Yogyakarta: Nuha Medika.

Press, M. (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.

Rihiantoro, T., Handayani, R. S., & Musiana. (2020). SUMBER DAYA MANUSIA DALAM
PELAYANAN GAWAT DARURAT BAGI KORBAN KECELAKAAN LALU
LINTAS DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN . Jurnal Ilmiah Keperawatan Sai
Betik, Volume 16, No. 2.

Saragih, S. (2020). PENGETAHUAN TIM SEACRH AND RESCUE (SAR) TENTANG


TRIAGE PRE-HOSPITAL PADA KORBAN BENCANA DI BASARNAS MEDAN
TAHUN 2019.

Sartono, M. S. (2019). Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS) (Vol. Edisi Ketiga). Bekasi:
GADAR Medik Indonesia.

24
25

Anda mungkin juga menyukai