Anda di halaman 1dari 54

MAKALAH

PENGKAJIAN PRIMER DAN SEKUNDER, ISU END OF LIFE ,


MEKANISME TRAUMA DI KEPERAWATAN GAWAT
DARURAT
Untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat

Dosen Pengampu: Ns. Yana Setiawan, S.Kep, M.Kep

Leyla Suri Handayani (130317462)

PROGRAM STUDI NERS AKADEMIK

INSTITUT MEDIKA DRG. SUHERMAN


Jln Raya Industri Pasir Gombong, Jababeka, Cikarang Utara, Bekasi

Website: www.imds.ac.id E-mail: info@imds.ac.id

Tahun 2020

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada
waktunya.

Dalam penyusunan makalah mungkin ada sedikit hambatan. Namun berkat


bantuan dukungan dari teman-teman serta bimbingan dari para dosen sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca dan dapat
mengetahui tentang pengkajian primer dan sekunder isu end of life, mekanisme
trauma di keperawatan gawat darurat.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan, untuk itu perlu adanya kritik dan
saran untuk menyempurnakan makalah ini.

Bekasi, 17 Maret 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2
DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................. 5
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................ 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 7
2.1 Pengkajian Primer.............................................................................................. 7
2.2 Pengkajian Sekunder ......................................................................................... 12
2.3 Pengertian End Of Life....................................................................................... 28
2.4 Prinsip Teori End Of Life................................................................................... 28
2.5 Teori The Peaceful End Of Life ........................................................................ 30
2.6 Penerapan Teori Peaceful End Of Life Pada Asuhan Keperawatan.................. 33
2.7 Isu End Of Life................................................................................................... 35
2.8 Pengertian Trauma............................................................................................. 44
2.9 Mekanisme Trauma............................................................................................ 46
BAB III PENUTUP................................................................................................ 51
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 51
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keperawatan kritis merupakan salah satu spesialisasi di bidang

keperawatan yang secara khusus menangani respon manusia terhadap masalah

yang mengancam kehidupan. Secara keilmuan perawatan kritis fokus pada

penyakit yang kritis atau pasien yang tidak stabil. Untuk pasien yang kritis,

pernyataan penting yang harus dipahami perawat ialah “waktu adalah vital”.

Sedangkan Istilah kritis memiliki arti yang luas penilaian dan evaluasi secara

cermat dan hati-hati terhadap suatu kondisi krusial dalam rangka mencari

penyelesaian/jalan keluar.

American Association of Critical-Care Nurses (AACN) mendefinisikan

Keperawatan kritis adalah keahlian khusus di dalam ilmu perawatan yang

dihadapkan secara rinci dengan manusia (pasien) dan bertanggung jawab atas

masalah yang mengancam jiwa. Perawat kritis adalah perawat profesional yang

resmi yang bertanggung jawab untuk memastikan pasien dengan sakit kritis dan

keluarga pasien mendapatkan kepedulian optimal (AACN, 2006). American

Association of Critical Care Nurses (AACN, 2012) juga menjelaskan secara

spesifik bahwa asuhan keperawatan kritis mencakup diagnosis dan

penatalaksanaan respon manusia terhadap penyakit aktual atau potensial yang

4
mengancam kehidupan. Lingkup praktik asuhan keperawatan kritis didefinisikan

dengan interaksi perawat kritis, pasien dengan penyakit kritis, dan lingkungan

yang memberikan sumber-sumber adekuat untuk pemberian perawatan.

Pasien kritis adalah pasien dengan perburukan patofisiologi yang cepat

yang dapat menyebabkan kematian. Ruangan untuk mengatasi pasien kritis di

rumah sakit terdiri dari: Unit Gawat Darurat (UGD) dimana pasien diatasi untuk

pertama kali, unit perawatan intensif (ICU) adalah bagian untuk mengatasi

keadaan kritis sedangkan bagian yang lebih memusatkan perhatian pada

penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah koroner yang disebut unit

perawatan intensif koroner Intensive Care Coronary Unit (ICCU). Baik UGD,

ICU, maupun ICCU adalah unit perawatan pasien kritis dimana perburukan

patofisiologi dapat terjadi secara cepat yang dapat berakhir dengan kematian.

Oleh karena itu disini penulis ingin membahas tentang isu end of life di

keperawatan kritis.

1.2 Rumusan Masalah

1. Pengkajian Primer
2. Pengkajian Sekunder
3. Pengertian End Of Life
4. Prinsip-Prinsip End Of Life
5. Teori The Peaceful End of Life (EOL) 
6. Penerapan Teori Peaceful End Of Life pada Asuhan Keperawatan
7. Isu End Of Life
8. Pengertian Trauma
9. Mekanisme Trauma

5
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengkajian primer
2. Untuk mengetahui pengkajian sekunder
3. Untuk mengetahui pengertian end of life
4. Untuk mengetahui prinsip-prinsip end of life
5. Untuk mengetahui teori the peaceful end of life (eol) 
6. Untuk mengetahui penerapan teori peaceful end of life pada asuhan
keperawatan
7. Untuk mengetahui isu end of life
8. Untuk mengetahui pengertian trauma
9. Untuk mengetahui mekanisme trauma

6
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Pengkajian Primer dan Sekunder


Perawatan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak
berbeda dengan pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa,
pengkajian dan manajemen penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan dan
dilakukan oleh dokter yang lebih dari satu. Seorang leader tim harus langsung
memberikan pengarahan secara keseluruhan mengenai penatalaksanaan terhadap
pasien yang mengalami injuri, yang meliputi (Fulde, 2009) :
1. Primary survey

2. Resuscitation

3. History

4. Secondary survey

5. Definitive care

A. Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian
dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang
dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
 Airway maintenance dengan cervical spine protection
 Breathing dan oxygenation
 Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
 Disability-pemeriksaan neurologis singkat
 Exposure dengan kontrol lingkungan

7
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary
survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan
langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya
dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan
sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti
airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai
pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons,
1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan
awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang
terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta
pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention,
reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain
(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009) :
a) General Impressions
 Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
 Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
 Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa
responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada
atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara
dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang
tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang
belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai
terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering
disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson &
Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :

8
 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas?
 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
 Adanya snoring atau gurgling
 Stridor atau suara napas tidak normal
 Agitasi (hipoksia)
 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest
movements
 Sianosis
 Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas
dan potensial penyebab obstruksi :
 Muntahan
 Perdarahan
 Gigi lepas atau hilang
 Gigi palsu
 Trauma wajah
 Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien
terbuka.
 Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien
yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
 Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien
sesuai indikasi :
 Chin lift/jaw thrust
 Lakukan suction (jika tersedia)
 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal
Mask Airway
 Lakukan intubasi
c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan
jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada

9
pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan
adalah: dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure
of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien
antara lain:
 Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada
tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail
chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu
pernafasan.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
 Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika
perlu.
 Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut
mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
 Penilaian kembali status mental pasien.
 Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
 Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau
oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen
 Bag-Valve Masker
 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi
penempatan yang benar), jika diindikasikan
 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures

10
 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan
berikan terapi sesuai kebutuhan.
d) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan
oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada
trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia,
takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan
penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda
hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk
mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk
melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin
membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac
tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan
eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara
memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000). Langkah-
langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
 Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
 CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
 Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan
pemberian penekanan secara langsung.
 Palpasi nadi radial jika diperlukan:
 Menentukan ada atau tidaknya
 Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
 Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
 Regularity
 Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
 Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities

11
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala
AVPU :
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi
perintah yang diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang
tidak bisa dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk
merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus
nyeri maupun stimulus verbal.
f) Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien.
Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-
line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan
pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan
pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya selama
pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan,
tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika
diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang
mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien
luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak
stabil atau kritis. (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)
2.2 Pengkajian Sekunder
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang
dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey

12
hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami
syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.

1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat
pasien yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien
meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis,
riwayat keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007).
Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari
pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi
pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga, orang
terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis yang
dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera
yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman:
cedera wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai
bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur
servikal atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat
dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis,
atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit
yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan
obat-obatan herbal)

13
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode
menstruasi termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yangmenyebabkan adanya keluhan utama).
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang
disesuaikan dengan kondisi pasien. Pada pasien dengan kecenderungan
konsumsi alkohol, dapat digunakan beberapa pertanyaan di bawah ini
(Emergency Nursing Association, 2007):
 C. have you ever felt should Cut down your drinking?
 A. have people Annoyed you by criticizing your drinking
 G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
 E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your
nerver or get rid of a hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan
masalah konsumsi alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat
digunakan dalam proses pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan
antara lain : “dalam setahun terakhir ini seberapa sering pasanganmu”
(Emergency Nursing Association, 2007):
 Hurt you physically?
 Insulted or talked down to you?
 Threathened you with physical harm?
 Screamed or cursed you?
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri
pada pasien yang meliputi :
 Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat
nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa

14
yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda
terbangun saat tidur?
 Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti
diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik,
diremas? (biarkan pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
 Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah
nyeri terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
 Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0
tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
 Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat?
Berapa lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang
timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah
nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah
pemeriksaan tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi,
frekuensi nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien
dewasa menurut Emergency Nurses Association,(2007).
Komponen Nilai normal Keterangan
Suhu 36,5-37,5 Dapat di ukur melalui oral,
aksila, dan rectal. Untuk
mengukur suhu inti
menggunakan kateter arteri
pulmonal, kateter urin,
esophageal probe, atau
monitor tekanan intracranial
dengan pengukur suhu. Suhu
dipengaruhi oleh aktivitas,
pengaruh lingkungan, kondisi
penyakit, infeksi dan injury.

15
Nadi 60-100x/menit Dalam pemeriksaan nadi
perlu dievaluais irama
jantung, frekuensi, kualitas
dan kesamaan.
Respirasi 12-20x/menit Evaluasi dari repirasi
meliputi frekuensi, auskultasi
suara nafas, dan inspeksi dari
usaha bernafas. Tada dari
peningkatan usah abernafas
adalah adanya pernafasan
cuping hidung, retraksi
interkostal, tidak mampu
mengucapkan 1 kalimat
penuh.
Saturasi oksigen >95% Saturasi oksigen di monitor
melalui oksimetri nadi, dan
hal ini penting bagi pasien
dengan gangguan respirasi,
penurunan kesadaran,
penyakit serius dan tanda
vital yang abnormal.
Pengukurna dapat dilakukan
di jari tangan atau kaki.
Tekanan darah 120/80mmHg Tekana darah mewakili dari
gambaran kontraktilitas
jantung, frekuensi jantung,
volume sirkulasi, dan tahanan
vaskuler perifer. Tekanan
sistolik menunjukkan cardiac
output, seberapa besar dan
seberapa kuat darah itu

16
dipompakan. Tekanan
diastolic menunjukkan fungsi
tahanan vaskuler perifer.
Berat badan Berat badan penting diketahui
di UGD karena berhubungan
dengan keakuratan dosis atau
ukuran. Misalnya dalam
pemberian antikoagulan,
vasopressor, dan medikasi
lain yang tergantung dengan
berat badan.

2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita
yang datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang
berasal dari bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan
palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi,
massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan
serta adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan
kanan dan kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai
memeriksa mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan
pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran
dengan skor GCS.
1. Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran
pupil apakah isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya,
apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus,
ketajaman mata (macies visus dan acies campus), apakah

17
konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal,
ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia
2. Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri,
penyumbatan penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan)
lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
3. Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan,
penurunan atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter
mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum
4. Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
5. Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
6. Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur,
warna, kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna,
kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi
kemudian rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri,
inspeksi amati adanya tonsil meradang atau tidak
(tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri
c. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang
atau krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia
(kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul
atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan
adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea,
kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris
dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol
perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.
d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam ,
ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,
kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot

18
pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah
terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung,
(lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing,
rales) dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis,
misalnya pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran,
fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri
perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi
abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul
dan adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen, asites, luka,
lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas
luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk
mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui
adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans
muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan
adanya perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL
(Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG (Ultra Sonography). Pada
perforasi organ berlumen misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan
nampak dengan segera karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali.
Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan
(Tim YAGD 118, 2010).
f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan
fisik (pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita
akan masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada

19
indikasi pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur
pelvis (Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi ,
ruam, lesi, edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok
dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti
akan kemungkinan adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi,
adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter
ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya
darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat,
karakter dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang
penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes
kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada adalah
ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi
pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit
dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar
dengan Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan
minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan
keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan buang
air kecil, frekuensi, hematuria, kencing berkurang, Sebuah sampel urin
harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat
inspeksi, jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur
(fraktur terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut
nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila
jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam
ekstremitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin
luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau
kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi pula adanya kemerahan,
edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan, paralisis,

20
atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya
clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik
kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular.
Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai
fraktur.kerusakn ligament dapat menyebabakan sendi menjadi tidak stabil,
keruskan otot-tendonakan mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi
dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan oleh
syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat dikenal
pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain
mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan
ini hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan
muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan punggung
penderita. Permasalahan yang muncul adalah
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga
terjadi syok yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita
dalam keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali
barulah kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah
penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll,
memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada
saat ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010).
Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi,
dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa adanya
deformitas.
i. Neurologis

21
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan
tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan
sendorik. Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan
pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan
kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short
atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan
samapai terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang sering
dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan
leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai
sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi.
Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau
tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra
cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis,
harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya
tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi
ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang,
twitching, parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan),
distaksia ( kesukaran dalam mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal
dan kaji pula adanya vertigo dan respon sensori
A.Focused Assessment
Focused assessment atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian
pada area keperawatan gawat darurat yang dilakukan setelah primary survey,
secondary survey, anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan subyektif) dan
pemeriksaan obyektif (Head to toe). Di beberapa negara bagian Australia
mengembangkan focused assessment ini dalam pelayanan di Emergency
Department, tetapi di beberapa Negara seperti USA dan beberapa Negara Eropa
tidak menggunakan istilah Focused Assessment tetapi dengan istilah Definitive
Assessment (O’keefe et.al, 1998).

22
Focused assessment untuk melengkapi data secondary assessment bisa
dilakukan sesuai masalah yang ditemukan atau tempat dimana injury ditemukan.
Yang paling banyak dilakukan dalam tahap ini adalah beberapa pemeriksaan
penunjang diagnostik atau bahkan dilakukan pemeriksaan ulangan dengan tujuan
segera dapat dilakukan tindakan definitif.
A. Reassessment
Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian
kembali (reassessment) yang penting untuk melengkapi primary survey
pada pasien di gawat darurat adalah :
Komponen Pertimbangan
Airway Pastikan bahwa peralatan airway : Oro
Pharyngeal Airway, Laryngeal Mask Airway ,
maupun Endotracheal Tube (salah satu dari
peralatan airway) tetap efektif untuk
menjamin kelancaran jalan napas.
Pertimbangkan penggunaaan peralatan
dengan manfaat yang optimal dengan risiko
yang minimal.

Breathing Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan


pasien :
 Pemeriksaan definitive rongga dada
dengan rontgen foto thoraks, untuk
meyakinkan ada tidaknya masalah
seperti Tension pneumothoraks,
hematotoraks atau trauma thoraks
yang lain yang bisa mengakibatkan
oksigenasi tidak adekuat
 Penggunaan ventilator mekanik
Circulation Pastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin
perfusi jaringan khususnya organ vital tetap

23
terjaga, hemodinamik tetap termonitor serta
menjamin tidak terjadi over hidrasi pada saat
penanganan resusitasicairan.
 Pemasangan cateter vena central
 Pemeriksaan analisa gas darah
 Balance cairan
 Pemasangan kateter urin

Disability Setelah pemeriksaan GCS pada primary


survey, perlu didukung dengan :
 Pemeriksaan spesifik neurologic yang
lain seperti reflex patologis, deficit
neurologi, pemeriksaan persepsi
sensori dan pemeriksaan yang lainnya.
 CT scan kepala, atau MRI

Exposure Konfirmasi hasil data primary survey dengan


 Rontgen foto pada daerah yang
mungkin dicurigai trauma atau fraktur
 USG abdomen atau pelvis

B. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan
hemodinamika penderita dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil,
2006). Dalam melakukan secondary survey, mungkin akan dilakukan
pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik seperti :
1. Endoskopi
Pemeriksaan penunjang endoskopi bisa dilakukan pada pasien
dengan perdarahan dalam. Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi
kita bisa mngethaui perdarahan yang terjadi organ dalam. Pemeriksaan

24
endoskopi dapat mendeteksi lebih dari 95% pasien dengan hemetemesis,
melena atau hematemesis melena dapat ditentukan lokasi perdarahan dan
penyebab perdarahannya. Lokasi dan sumber perdarahan yaitu:
a. Esofagus :Varises,erosi,ulkus,tumor
b. Gaster :Erosi, ulkus, tumor, polip, angio displasia, Dilafeuy
varises gastropati kongestif
c. Duodenum :Ulkus, erosi,
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan
karena ruptur varises dan perdarahan bukan karena ruptur varises
(variceal bleeding dan non variceal bleeding) (Djumhana, 2011).
2. Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat
keadaan intra bronkus dengan menggunakan alat bronkoskop. Prosedur
diagnostik dengan bronkoskop ini dapat menilai lebih baik pada mukosa
saluran napas normal, hiperemis atau lesi infiltrat yang memperlihatkan
mukosa yang compang-camping. Teknik ini juga dapat menilai
penyempitan atau obstruksi akibat kompresi dari luar atau massa
intrabronkial, tumor intra bronkus. Prosedur ini juga dapat menilai ada
tidaknya pembesaran kelenjar getah bening, yaitu dengan menilai karina
yang terlihat tumpul akibat pembesaran kelenjar getah bening subkarina
atau intra bronkus (Parhusip, 2004).
3. CT Scan
CT-scan merupakan alat pencitraan yang di pakai pada kasus-
kasus emergensi seperti emboli paru, diseksi aorta, akut abdomen,
semua jenis trauma dan menentukan tingkatan dalam stroke. Pada kasus
stroke, CT-scan dapat menentukan dan memisahkan antara jaringan
otak yang infark dan daerah penumbra. Selain itu, alat ini bagus juga
untuk menilai kalsifikasi jaringan. Berdasarkan beberapa studi terakhir,
CT-scan dapat mendeteksi lebih dari 90 % kasus stroke iskemik, dan
menjadi baku emas dalam diagnosis stroke (Widjaya, 2002).

25
Pemeriksaaan CT. scan juga dapat mendeteksi kelainan-kelainan seerti
perdarahan diotak, tumor otak, kelainan-kelainan tulang dan kelainan
dirongga dada dan rongga perur dan khususnya kelainan pembuluh
darah, jantung (koroner), dan pembuluh darah umumnya (seperti
penyempitan darah dan ginjal (ishak, 2012).
4. USG
Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik non invasif
menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tinggi diatas 20.000
hertz ( >20 kilohertz) untuk menghasilkan gambaran struktur organ di
dalam tubuh.Manusia dapat mendengar gelombang suara 20-20.000
hertz .Gelombang suara antara 2,5 sampai dengan 14 kilohertz
digunakan untuk diagnostik. Gelombang suara dikirim melalui suatu alat
yang disebut transducer atau probe. Obyek didalam tubuh akan
memantulkan kembali gelombang suara yang kemudian akan ditangkap
oleh suatu sensor, gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis
dan ditayangkan di layar. Daerah yang tercakup tergantung dari
rancangan alatnya. Ultrasonografi yang terbaru dapat menayangkan
suatu obyek dengan gambaran tiga dimensi, empat dimensi dan
berwarna. USG bisa dilakukan pada abdomen, thorak (Lyandra,
Antariksa, Syaharudin, 2011).
5. Radiologi
Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang
dilakukan di ruang gawat darurat. Radiologi merupakan bagian dari
spectrum elektromagnetik yang dipancarkan akibat pengeboman anoda
wolfram oleh electron-elektron bebas dari suatu katoda. Film polos
dihasilkan oleh pergerakan electron-elektron tersebut melintasi pasien
dan menampilkan film radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian besar
radiasi menyebabkan pajanan pada film paling sedikit, sehingga film
yang dihasilkan tampak berwarna putih. Udara paling sedikit menyerap
radiasi, meyebabakan pejanan pada film maksimal sehingga film

26
nampak berwarna hitam. Diantara kedua keadaan ekstrem ini,
penyerapan jaringan sangat berbeda-beda menghasilkan citra dalam
skala abu-abu. Radiologi bermanfaat untuk dada, abdoment, sistem
tulang: trauma, tulang belakang, sendi penyakit degenerative, metabolic
dan metastatik (tumor). Pemeriksaan radiologi penggunaannya dalam
membantu diagnosis meningkat. Sebagian kegiatan seharian di
departemen radiologi adalah pemeriksaan foto toraks. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya pemeriksaan ini. Ini karena
pemeriksaan ini relatif lebih cepat, lebih murah dan mudah dilakukan
berbanding pemeriksaan lain yang lebih canggih dan akurat (Ishak,
2012).
6. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Secara umum lebih sensitive dibandingkan CT Scan. MRI juga
dapat digunakan pada kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak
dapat mendeteksi adanya emboli paru, udara bebas dalam peritoneum
dan faktor. Kelemahan lainnya adalah prosedur pemeriksaan yang lebih
rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali rumah sakit yang memiliki,
harga pemeriksaan yang sangat mahal serta tidak dapat diapaki pada
pasien yang memakai alat pacemaker jantung dan alat bantu
pendengaran (Widjaya,2002).

2.3 Pengertian End Of Life


End of life merupakan salah satu tindakan yang membantu

meningkatkan kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup (Ichikyo,

27
2016). End of life care adalah perawatan yang diberikan kepada orang-orang

yang berada di bulan atau tahun terakhir kehidupan mereka (NHS Choice, 2015).

End of life akan membantu pasien meninggal dengan bermartabat. Pasien yang

berada dalam fase tersebut biasanya menginginkan perawatan yang maksimal dan

dapat meningkatkan kenyamanan pasien tersebut. End of life merupakan bagian

penting dari keperawatan paliatif yang diperuntukkan bagi pasien yang mendekati

akhir kehidupan.

End of life care bertujuan untuk membantu orang hidup dengan

sebaik-baiknya dan meninggal dengan bermartabat (Curie, 2014). End of life care

adalah salah satu kegiatan membantu memberikan dukungan psikososial dan

spiritual (Putranto, 2015). Jadi dapat disimpulkan bahwa End of life care

merupakan salah satu tindakan keperawatan yang difokuskan pada orang yang

telah berada di akhir hidupnya, tindakan ini bertujuan untuk membuat orang hidup

dengan sebaik-baiknya selama sisa hidupnya dan meninggal dengan bermartabat.

2.4 Prinsip-Prinsip End Of Life

Menurut NSW Health (2005) Prinsip End Of Life antara lain :

a. Menghargai kehidupan dan perawatan dalam kematian

Tujuan utama dari perawatan adalah menpertahankan kehidupan,

namun ketika hidup tidak dapat dipertahankan, tugas perawatan adalah untuk

memberikan kenyamanan dan martabat kepada pasien yang sekarat, dan untuk

mendukung orang lain dalam melakukannya.

b. Hak untuk mengetahui dan memilih

28
Semua orang yang menerima perawatan kesehatan memiliki hak untuk

diberitahu tentang kondisi mereka dan pilihan pengobatan mereka.Mereka

memiliki hak untuk menerima atau menolak pengobatan dalam

memperpanjang hidup.Pemberi perawatan memiliki kewajiban etika dan

hukum untuk mengakui dan menghormati pilihan-pilihan sesuai dengan

pedoman.

c. Menahan dan menghentikan pengobatan dalam mempertahankan hidup

Perawatan end of life yang tepat harus bertujuan untuk memberikan

pengobatan yang terbaik untuk individu. Ini berarti bahwa tujuan utama

perawatan untuk mengakomodasi kenyamanan dan martabat, maka menahan

atau menarik intervensi untuk mempertahankan hidup mungkin diperbolehkan

dalam kepentingan terbaik dari pasien yang sekarat.

d. Sebuah pendekatan kolaboratif dalam perawatan

Keluarga dan tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk bekerja

sama untuk membuat keputusan bagi pasien yang kurang bisa dalam

pengambilan keputusan, dengan mempertimbangkan keinginan pasien.

e. Transparansi dan akuntabilitas

Dalam rangka menjaga kepercayaan dari penerima perawatan, dan

untuk memastikan bahwa keputusan yang tepat dibuat, maka proses

pengambilan keputusan dan hasilnya harus dijelaskan kepada para pasien dan

akurat didokumentasikan.

f. Perawatan non diskriminatif

29
Keputusan pengobatan pada akhir hidup harus non-diskriminatif dan

harus bergantung hanya pada faktor-faktor yang relevan dengan kondisi

medis, nilai-nilai dan keinginan pasien.

g. Hak dan kewajiban tenaga kesehatan

Tenaga kesehatan tidak berkewajiban untuk memberikan perawatan

yang tidak rasional, khususnya, pengobatan yang tidak bermanfaat bagi

pasien.Pasien memiliki hak untuk menerima perawatan yang sesuai, dan

tenaga kesehatan memiliki tanggung jawab untuk memberikan pengobatan

yang sesuai dengan norma-norma profesional dan standar hukum.

h. Perbaikan terus-menerus

Tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk berusaha dalam

memperbaiki intervensi yang diberikan pada standar perawatan end of life

baik kepada pasien maupun kepada keluarga.

2.5 Teori The Peaceful End of Life (EOL) 

Teori Peacefull End of Life merupakan salah satu teori yang masuk
kriteria middle range teori dengan level yang lebih tinggi (Higgin & Moore,
2000). Teori ini dikembangkan pertama kali oleh Rulland dan Moore pada tahun
1998, dimana teori ini memberikan informasi tentang kerangka kerja pada
tindakan keperawatan untuk klien paliatif. Dengan mengadopsi berbagai teori
keperawatan yang terkait, maka Ruland dan Moore mendefinisikan teori tersebut
sebagai suatu kondisi menjelang akhir masa kehidupan yang dijalani dengan
penuh kedamaian dengan beberapa kriteria yang harus dipenuhi, yaitu terbebas
dari rasa nyeri, merasakan kenyamanan, merasa bermartabat dan merasa dihargai,
merasakan kedamaian, dan merasakan kedekatan yang berarti dengan orang yang
sangat bermakna dalam hidup.

30
1. Terbebas dari Nyeri

Bebas dari penderitaan atau gejala disstres adalah hal yang utama

diinginkan pasien dalam pengalaman EOL (The Peaceful End Of Life). Nyeri

merupakan ketidaknyamanan sensori atau pengalaman emosi yang

dihubungkan dengan aktual atau potensial kerusakan jaringan (Lenz, Suffe,

Gift, Pugh, & Milligan, 1995; Pain terms, 1979).

2. Pengalaman Menyenangkan

Nyaman atau perasaan menyenangkan didefinisikan secara inclusive

oleh Kolcaba (1991) sebagai kebebasan dari ketidaknyamanan, keadaan

tenteram dan damai, dan apapaun yang membuat hidup terasa menyenangkan ”

(Ruland and Moore, 1998).

3. Pengalaman martabat (harga diri) dan kehormatan

Setiap akhir penyakit pasien adalah “ ingin dihormati dan dinilai

sebagai manusia” (Ruland & Moore, 1998). Di konsep ini memasukkan ide

personal tentang nilai, sebagai ekspresi dari prinsip etik  otonomi atau rasa

hormat untuk orang, yang mana pada tahap ini individu diperlakukan sebagai

orang yang menerima hak otonomi, dan mengurangi hak otonomi orang

sebagai awal untuk proteksi (United states, 1978).

4. Merasakan Damai

31
Damai adalah “perasaan yang tenang, harmonis, dan perasaan puas,

(bebas) dari kecemasan, kegelisahan, khawatir, dan ketakutan” (Ruland &

Moore, 1998). Tenang meliputi fisik, psikologis, dan dimensi spiritual.

5. Kedekatan untuk kepentingan lainnya

Kedekatan adalah “perasaan menghubungkan antara antara manusia

dengan orang yang menerima pelayanan” (Ruland & Moore, 1998). Ini

melibatkan kedekatan fisik dan emosi yang diekspresikan dengan kehangatan,

dan hubungan yang dekat (intim).

Teori ini dapat diterapkan pada klien kuratif pada stadium 1 dan 2 sampai
klien dengan penyakitnya sudah tidak responsif terhadap pengobatan kuratif,
diberikan perawatan terpadu yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup, dengan
cara meringankan nyeri dan penderitaan lain, memberikan dukungan spiritual dan
psikososial mulai saat diagnosa ditegakkan sampai akhir hayat dan dukungan
terhadap keluarga yang kehilangan atau berduka (Alligood & Tomey, 2010).
Selain itu setting struktur pada teori ini, yaitu bagaimana keluarga sebagai
pendukung bersama profesional perawatan dapat membantu klien untuk
memperoleh pengalaman yang menyenangkan selama hidupnya (Alligood &
Tomey,2010).
Ruland dan Moore juga mengidentifikasi lima pernyataan yang bersifat
eksplisit dalam pengembangan peaceful end of life theory (Alligood & Tomey,
2010), yaitu:
1) Mengkaji, mengobservasi dan mengintervensi sensasi nyeri yang dirasakan
oleh klien dengan mengutamakan tindakan nonfarmakologi untuk
mengoptimalkan pengalaman hidup tanpa disertai rasa nyeri.
2) Mencegah, memantau dan memberikan kenyamanan fisik, membantu klien
untuk dapat beristirahat, mengajarkan teknik relaksasi serta

32
mencegahkomplikasi yang berkontribusi pada peningkatan pengalaman akan
rasa nyaman.
3) Melibatkan klien dan orang terdekat dalam proses pengambilan keputusan,
memperlakukan klien secara bermartabat, berempati dan bersikap terbuka
terhadap pemenuhan kebutuhan klien, sehingga klien merasa selalu dihargai
dan dihormati.
4) Mendukung perasaan emosi klien, membantu klien akan pemenuhan
kebutuhan spiritual sesuai keyakinannya sehingga klien akan terus merasakan
kedamaian sampai menjelang kematiannya.
5) Memfasilitasi keterlibatan orang-orang terdekat dalam pelayanan keperawatan
klien. Dalam hal ini keluarga memiliki peran ganda, yaitu sebagai pelaku
caregiver, dan yang kedua adalah sebagai objek perawatan. Perawat dapat
membantu keluarga akan proses penerimaan rasa berduka, kekhawatiran, dan
memberi kesempatan pada keluarga untuk mengalami kedekatan klien.

2.6 Penerapan Peaceful End of Life Theory Pada Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian nyeri

Nyeri merupakan keluhan yang paling sering terjadi pada klien


kanker. Nyeri kanker merupakan nyeri kronik yang membutuhkan
penatalaksanaan yang berbeda dengan nyeri kronik lainya, membutuhkan
penilaian dengan tingkat akurasi yang tepat, evaluasi secara komprehensif
dan waktu yang ketat terutama untuk nyeri berat, serta pengobatannya
berlangsung lama. Pada kasus lanjut dan perawatan paliatif, tidak jarang
klien mendapatkan terapi nyeri sampai akhir hidupnya (Rasjidi, 2010). Ada
beberapa pedoman untuk mengkaji keluhan nyeri pada klien kanker seperti
keluhan utama, riwayat penyakit yang diderita, karakteristik nyeri,
pemeriksaan fisik dan psikis secara komprehensif, faktor apa yang
mengurangi atau memperberat nyeri tersebut. Pada saat pengkajian, perawat
dapat mengajukan beberapa pertanyaan yang bersifat terbuka kepada klien

33
terkait sensasi nyeri dan pengalamannya, sehingga akan memperoleh
informasi terbaik (Kemp, 2010).

Untuk mempermudah dalam penilaian nyeri karena penilaiannya


sangat subjektif, dimana faktor manusia sangat dominan maka penilaian ini
menggunakan alat bantu yang sering digunakan dan bertujuan untuk
keseragaman, berupa VAS (Visual Analoge Scale) untuk digunakan pada
klien dewasa. Berdasarkan alat bantu yang digunakan, maka nyeri kanker
dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu nyeri ringan dengan nilai VAS 1-
3, nyeri sedang dengan nilai VAS 4-6,dan nyeri berat dengan nilai VAS 7-
10 (Campbell, 2009). Menurut Rulan dan Moore (2001, dalam Alligood &
Tomey, 2010) menyatakan bahwa sensasi nyeri sangat mempengaruhi
kualitas hidup klien kanker. nyeri dianggap sebagai sensori tidak nyaman
atau pengalaman emosi yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan
aktual atau potensial. Oleh karena itu dibutuhkan manajemen nyeri yang
merupakan kesatuan dengan kualitas dalam perawatan paliatif.
2. Pengkajian rasa nyaman
Rasa nyaman didefinisikan sebagai perasaan bebas dari
ketidaknyamanan, bebas dari masalah fisik, perasaan lega, damai dan segala
sesuatu yang membuat hidup terasa menyenangkan. Pengkajian rasa nyaman
melalui monitoring gejala-gejala paliatif berupa pengalaman masa lalu klien
yang sangat menyenangkan dan begitu berkesan dalam hidupnya,
kesejahteraan emosi, support sistem, perasaan memperoleh informasi tentang
prognosis penyakit, kepuasan hati yang berkaitan dengan kenyamanan seperti
kepuasan pada layanan terapi, harapan klien, tujuan dan arti hidup, perasaan
cemas dan keadaan depresi terkait penyakit yang dideritanya yang tidak
akan pernah sembuh, perasaan sesak napas, perasaan mengantuk
yang disebabkan oleh proses penyakit, merasa lelah, merasa mual, kurang
nafsu makan,dan dukungan finansial. Adapun alat bantu yang digunakan
dalam menilai rasa nyaman pada klien kanker yaitu penggunaan instrumen
Edmonton Symptom Assessment System (ESAS).

34
3. Pengkajian merasa bermartabat dan dihargai
Penilaian terhadap perasaan bermartabat dan dihargai, dapat dikaji
berdasarkan personaliti yang diungkapkan secara langsung oleh klien,seperti
klien mengungkapkan sampai menjelang akhir hayatnya tetap diperlakukan
secara manusiawi.
4. Pengkajian Kedamaian
Penilaian kedamaian berdasarkan pada aspeki fisik, psikologis, dan
spiritual. Alat bantu yang digunakan dalam mengkaji status perasaan damai
klien adalah instrumen ESAS. Selain itu ungkapan positif tentang semangat
hidup terkait dukungan, perlu dicermati. Adapun penilaian akan spiritual bisa
dengan cara intuitif, yaitu melalui keterampilan dalam menilai kondisi
spiritual interpersonal.
5. Pengkajian kedekatan dengan orang yang bermakna
Kedekatan fisik dan emosi yang diekspresikan melalui hubungan yang
bersifat harmonis dapat tercermin dari ungkapan pernyataan dan respo n klien
saat berinteraksi dengan keluarganya. Alat bantu yang digunakan dalam
menilai status hubungan tersebut yaitu penggunaan pengkajian ESAS.

2.7 Isu End Of Life

1. Konsep Do Not Resucitation

Do Not Resuscitate (DNR) atau Jangan Lakukan Resusitasi merupakan

suatu tindakan dimana dokter menempatkan sebuah instruksi berupa informed

concent yang telah disetujui oleh pasien ataupun keluarga pasien di dalam

rekam medis pasien, yang berfungsi untuk menginformasikan staf medis lain

untuk tidak melakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau cardiopulmonary

resuscitation (CPR) pada pasien. Pesan ini berguna untuk mencegah tindakan

yang tidak perlu dan tidak diinginkan pada akhir kehidupan pasien

35
dikarenakan kemungkinan tingkat keberhasilan CPR yang rendah (Sabatino,

2015).

DNR diindikasikan jika seorang dengan penyakit terminal atau kondisi

medis serius tidak akan menerima cardiopulmonary resuscitation (CPR) ketika

jantung atau nafasnya terhenti. Form DNR ditulis oleh dokter setelah

membahas akibat dan manfaat dari CPR dengan pasien atau pembuat

keputusan dalam keluarga pasien (Cleveland Clinic, 2010).

American Heart Association (AHA) mengganti istilah DNR ( Do Not

Resuscitate) dengan istilah DNAR (Do Not Attempt Resuscitate ) yang artinya

adalah suatu perintah untuk tidak melakukan resusitasi terhadap pasien dengan

kondisi tertentu, atau tidak mencoba usaha resusitasi jika memang tidak perlu

dilakukan, sehingga pasien dapat menghadapi kematian secara alamiah,

sedangkan istilah DNR (Do Not Resuscitate) mengisyaratkan bahwa resusitasi

yang dilakukan akan berhasil jika kita berusaha (Brewer, 2008).

Keputusan penolakan resusitasi (DNAR) menurut Brewer (2008)

melibatkan tiga prinsip moral yang dapat dikaji oleh perawat, yaitu autonomy,

beneficience, dan nonmalefecience, ketiga prinsip tersebut merupakan dilema

etik yang menuntut perawat berpikir kritis, karena terdapat dua perbedaan

nilai terhadap profesionalisme dalam memberikan asuhan keperawatan, secara

profesional perawat ingin memberikan pelayanan secara optimal, tetapi disatu

sisi terdapat pendapat yang mengharuskan penghentian tindakan.

36
2. Tahapan DNR

Sebelum menulis form DNR, dokter harus mendiskusikannya dengan

pasien atau seseorang yang berperan sebagai pengambil keputusan dalam

keluarga pasien. Semua hal yang didiskusikan harus didokumentasikan dalam

rekam medis, siapa saja yang mengikuti diskusi, dan yang terlibat dalam

proses pengambilan keputusan, isi diskusi serta rincian perselisihan apapun

dalam diskusi tersebut. Dokter merupakan orang yang paling efektif dalam

membimbing diskusi dengan mengatasi kemungkinan manfaat langsung dari

resusitasi cardiopulmonary dalam konteks harapan keseluruhan dan tujuan

bagi pasien. Formulir DNR harus ditandatangani oleh pasien atau oleh

pembuatan keputusahan yang diakui atau dipercaya oleh pasien jika pasien

tidak dapat membuat atau berkomunikasi kepada petugas kesahatan. Pembuat

keputusan yang dipercaya oleh pasien dan diakui secara hukum mewakili

pasien seperti agen perawat kesehatan yang ditetapkan dalam srata kuasa

untuk perawatan kesehatan, konservator, atau pasangan / anggota keluarga

lainnya. Dokter dan pasien harus menandatangani formulir tersebut,

menegaskan bahwa pasien akan diakui secara hukum keputusan perawatan

kesehatannya ketika telah memberikan persetujuan instruksi DNR ( EMSA).

Beberapa standar yang harus dilakukan pada saat diskusi menentukan

keputusan DNAR yaitu, dokter harus menentukan penyakit/kondisi pasien,

menyampaikan tujuan, memutuskan prognosa, potensi manfaat dan kerugian

dari resusitasi (CPR), memberikan rekomendasi berdasarkan penilaian medis

tentang manfaat/kerugian CPR, dokter penanggung jawab harus hadir dalam

37
diskusi, mendokumentasikan isi diskusi, dan alasan pasien/keluarga dalam

pengambilan keputusan ( Breault 2011).

3. Peran Perawat dan pelaksanaan DNR

Peran perawat dalam Do Not Resuscitation adalah membantu dokter

dalam memutuskan DNR sesuai dengan hasil pemeriksaan kondisi

pasien.Setelah rencana diagnosa DNR diambil maka sesegera mungkin

keluarga diberikan informasi mengenai kondisi pasien dan rencana diagnosa

DNR. Perawat juga dapat berperan dalam pemberian informasi bersama- sama

dengan dokter ( Amestiasih, 2015). Perawat sebagai care giver dituntut untuk

tetap memberikan perawatan pada pasien DNR tidak berbeda dengan pasien

lain pada umumnya, perawat harus tetap memberikan pelayanan sesuai

dengan advice dan kebutuhan pasien tanpa mengurangi kualitasnya. End of

life care yang perawat lakukan dengan baik diharapkan dapat memberikan

peacefull end of life bagi pasien, seperti yang digambarkan dalam teori

keperawatan peacefull end of life oleh Rulland and Moore yang meliputi

terhindar dari rasa sakit, merasakan kenyamanan, penghormatan, kedamaian,

dan mendapatkan kesempatan untuk dekat dengan seseorang yang dapat

merawatnya (Amestiasih, 2015).

Perawat sebagai advokat pasien, menerima dan menghargai keputusan

pasien/keluarganya sekalipun keputusan tersebut tidak sesuai dengan harapan

perawat, karena perawat tidak dibenarkan membuat keputusan untuk

pasien/keluarganya dan mereka bebas untuk membuat keputusan (Kozier et al,

2010). Pemahaman tentang peran perawat sebagai pendukung dan advokasi

38
pasien dapat bertindak sebagai penghubung dan juru bicara atas nama

pasien/keluarganya kepada tim medis.

Menurut ANA (2004) Perawat sebaiknya memperhatikan dan berperan

aktif terhadap perkembangan kebijakan DNAR di institusi tempat mereka

bekerja, dan diharapkan dapat berkerja sama dengan dokter selaku

penanggung jawab masalah DNAR. Perawat berperan sebagai pemberi

edukasi kepada pasien dan keluarga tentang keputusan yang mereka ambil dan

memberikan informasi yang relevan terkait perannya sebagai advokat bagi

pasien dalam memutuskan cara mereka untuk menghadapi kematian.

4. Prinsip Etik Pelaksanaan DNR

Keputusan keluarga atau pasien untuk tidak melakukan resusitasi pada

penyakit kronis adalah merupakan keputusan yang dipandang sulit bagi dokter

dan perawat, karena ketidakpastian prognosis dan pada saat keluarga

menghendaki untuk tidak lagi dipasang alat pendukung kehidupan. Keputusan

sulit tersebut disebabkan karena kurangnya kejelasan dalam peran tenaga

profesional dalam melakukan tindakan atau bantuan pada saat kondisi kritis,

meskipun dukungan perawat terhadap keluarga pada proses menjelang

kematian adalah sangat penting (Adams, Bailey Jr, Anderson, dan Docherty

(2011).

Pasien DNAR pada kondisi penyakit kronis atau terminal dari sisi

tindakan keperawatan tidak akan berbeda dengan pasien pada umumnya,

hanya memiliki makna bahwa jika pasien berhenti bernapas atau henti

jantung, tim medis tidak akan melakukan resusitasi/Resusitasi Jantung Paru

39
(RJP), hal ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan AHA, bahwa jika RJP

yang dilakukan tidak memberikan hasil signifikan pada situasi tertentu, dan

lebih membawa kerugian bagi pasien/keluarganya dari segi materil maupun

imateril, maka pelaksanaan RJP tidak perlu dilakukan (Ardagh, 2000 dalam

Basbeth dan Sampurna, 2009).

Dalam pelaksanaan DNR masih terdapat dilema, dalam keperawatan

prinsip etik yang digunakan dalan pelaksanan DNR yaitu:

1) Prinsip etik otonomy

Di sebagian besar negara dihormati secara legal, tentunya hal

tersebut memerlukan keterampilan dalam berkomunikasi secara baik,

perawat secara kognitif memiliki komunikasi terapeutik yang dapat

dijadikan acuan untuk membicarakan hak otonomi pasien/keluarganya,

melalui informed consent, pasien dan keluarga telah menentukan pilihan

menerima/menolak tindakan medis, termasuk resusitasi, meskipun

umumnya pasien/keluarga tidak memiliki rencana terhadap akhir

kehidupannya. Pada prinsip etik otonomy, perawat memberikan edukasi

tentang proses tersebut dengan cara-cara yang baik dan tidak menghakimi

pasien/keluarga dengan menerima saran/masukan, tetapi mendukung

keputusan yang mereka tetapkan (AHA, 2005 dalam Basbeth dan

Sampurna, 2009).

2) Prinsip etik beneficence 

Pada penerimaan/penolakan tindakan resusitasi mengandung arti

bahwa pasien memilih apa yang menurut mereka terbaik berdasarkan

40
keterangan-keterangan yang diberikan perawat. Pada etik ini, perawat

memberikan informasi akurat mengenai keberhasilan resusitasi, manfaat

dan kerugiannya, serta angka harapan hidup pasca resusitasi, termasuk

efek samping/komplikasi yang terjadi, lama masa perawatan, serta

penggunaan alat bantu pendukung kehidupan yang memerlukan biaya

cukup besar. Data-data dan informasi yang diberikan dapat menjadi acuan

pasien/keluarganya dalam menentukan keputusan (Basbeth dan Sampurna,

2009).

3) Prinsip etik nonmalefecience 

Berkaitan dengan pelaksanaan tindakan RJP tidak

membahayakan/merugikan pasien/keluarganya. Menurut Hilberman,

Kutner J, Parsons dan Murphy (1997) dalam Basbeth dan Sampurna

(2009) dikatakan bahwa banyak pasien mengalami gangguan neurologi

berupa disabilitas berat yang diikuti dengan kerusakan otak pasca RJP,

menyebabkan kerusakan otak permanen (brain death), tingkat kerusakan

otak berkaitan dengan tindakan RJP bervariasi antara 10-83%. Tindakan

RJP dikatakan tidak merusak jika keuntungan yang didapatkan lebih

besar.Pada etik ini, perawat membantu dokter dalam mempertimbangkan

apakah RJP dapat dilakukan atau tidak terutama pada pasien dengan angka

harapan hidup relatif kecil dan prognosa yang buruk.

Menurut Adam et al (2011) dikatakan bahwa beberapa penelitian

menyebutkan bahwa masih didapatkan komunikasi yang kurang baik

antara perawat dan pasien/keluarganya mengenai pelaksanaan pemberian

41
informasi proses akhir kehidupan, sehingga keluarga tidak memiliki

gambaran untuk menentukan/mengambil keputusan, serta pengambilan

keputusan pada proses menjelang kematian masih didominasi oleh

perawat, sebaiknya perawat berperan dalam memberikan dukungan,

bimbingan, tetapi tidak menentukan pilihan terhadap pasien/keluarganya

tentang keputusan yang akan dibuat.

5. Dilema Etik

Di Indonesia, kebijakan DNR sudah lama diterapkan namun masih

menjadi dilema bagi tenaga medis termasuk perawat. Sesuai dengan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

519/Menkes/Per/Iii/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan

Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit, disebutkan didalamnya

bahwa prosedur pemberian atau penghentian bantuan hidup ditetapkan

berdasarkan klasifikasi setiap pasien di ICU dan HCU yaitu semua

bantuan kecuali RJP (DNAR = Do Not Attempt Resuscitation), dilakukan

pada pasien-pasien dengan fungsi otak yang tetap ada atau dengan harapan

pemulihan otak, tetapi mengalami kegagalan jantung, paru atau organ lain,

atau dalam tingkat akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Tidak

dilakukan tindakan-tindakan luar biasa, pada pasien-pasien yang jika

diterapi hanya memperlambat waktu kematian dan bukan memperpanjang

kehidupan.Untuk pasien ini dapat dilakukan penghentian atau penundaan

bantuan hidup.Sedangkan pasien yang masih sadar dan tanpa harapan,

42
hanya dilakukan tindakan terapeutik/paliatif agar pasien merasa nyaman

dan bebas nyeri (Depkes, 2011).

Keputusan DNR dapat menimbulkan dilema psikis pada perawat

dikarenakan timbulnya penolakan dari hati nurani perawat terhadap label

DNR dan kondisi dilema itu sendiri. Timbulnya dilema psikis ini juga

dapat dipengaruhi oleh masih belum adekuatnya sumber informasi tentang

DNR yang dimiliki oleh perawat.Perawat tidak dapat terhindar dari

perasaan dilema. Merawat pasien setiap hari, melihat perkembangan

kondisi pasien, membuat rencana DNR seperti dua sisi mata uang bagi

perawat, disatu sisi harus menerima bahwa pemberian tindakan CPR

sudah tidak lagi efektif untuk pasien namun di sisi lain muncul perasaan

iba dan melihat pasien seolah-olah keluarganya. Dua hal tersebut dapat

menjadikan perawat merasa dilemma (Amestiasih, 2015). Perasaan empati

juga dapat dirasakan oleh perawat karena DNR.Perasan empati ini dapat

disebabkan pula oleh keputusan DNR yang ada dan tidak adekuatnya

sumber informasi DNR yang dimiliki perawat. Perasaan empati yang

muncul juga dapat menjadi dampak dari tingginya intensitas pertemuan

antara perawat dengan pasien (Elpern, et al. 2005)

43
2.8 Pengertian Trauma
Trauma adalah penyebab paling umum kematian pada orang usia 16-
44 tahun di seluruh dunia (WHO, 2004). Proporsi terbesar dari kematian (1,2 juta
pertahun) kecelakaan di jalan raya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memprediksi bahwa pada tahun 2020, cedera lalu lintas menduduki peringkat
ketiga dalam penyebab kematian dini dan kecacatan (Peden, 2004). Multipel
trauma adalah istilah medis yang menggambarkan kondisi seseorang yang telah
mengalami beberapa luka traumatis, seperti cedera kepala serius selain luka bakar
yang serius. Multipel trauma atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih
kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya
bisa menyebabkan kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik
atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et al., 2011).
Multipel trauma atau politrauma adalah suatu istilah yang biasa digunakan untuk
menggambarkan pasien yang mengalami suatu cedera berat yang diikuti dengan
cedera yang lain, misalnya dua atau lebih cedera berat yang dialami pada minimal
dua area tubuh. Kondisi yang penting dalam menggambarkan penggunaan istilah
ini adalah pada keadaan trauma yang bisa disertai dengan shock dan atau
perdarahan serta keadaan yang dapat membahayakan jiwa seseorang (Kroupa J,
1990). Beberapa penelitian terdahulu, diantaranya Border dan kawan-kawan
mendefinisikan multipel trauma adalah cedera yang cukup signifikan mengenai
dua atau lebih regio tubuh. Tscherne dan kawan-kawan mengatakan multipel
trauma adalah dua atau lebih cedera berat dengan salah satunya atau semuanya
dapat mengancam jiwa. Beberapa penulis mendefinisikan multipel trauma
menggunakan pengukuran yang lebih objektif yaitu dengan menggunakan scoring
Injury Severity Score ( ISS ), dimana dikatakan multipel trauma bila nilai ISS 15
sampai 26 atau lebih besar (Nerida E, et al, 2013).
Kematian setelah trauma tergantung pada sejumlah faktor, salah
satunya tingkat ekonomi merupakan faktor penentu utama. Laporan WHO 2004
mengutip angka kematian untuk dewasa, yaitu mereka dengan cedera skor
keparahan (ISS) dari 9 atau lebih tinggi (Mock, 2004). ISS akan diuraikan secara

44
lebih rinci dalam bagian berikutnya. Keseluruhan angka kematian, termasuk pra-
rumah sakit dan di rumah sakit, adalah 35% di negara-negara berpenghasilan
tinggi, namun meningkat menjadi 55% di negara berpenghasilan menengah dan
63% di negara berpenghasilan rendah. Lebih serius pasien cedera (ISS 15-24)
mencapai rumah sakit menunjukkan peningkatan enam kali lipat dalam mortalitas
pada pasien berpenghasilan ekonomi rendah.
Dalam sistem kesehatan yang canggih, korban dibawa ke rumah sakit
terdekat kemudian dilakukan manajemen komprehensif di instalasi gawat darurat.
Pengobatan berpusat pada evaluasi, resusitasi dan stabilisasi. Fase ini menyatu ke
perawatan definitif dalam operasi, dengan kontrol jalan napas, ventilasi, dan
bedah (pengelolaan perdarahan). Cedera muskuloskeletal pada awalnya stabil,
diikuti oleh pengobatan definitif. Level 2 atau 3 perawatan kritis mungkin
diperlukan untuk meminimalkan komplikasi dan mencegah kematian, dan
rehabilitasi berkepanjangan mungkin diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
korban dengan cedera otak dan kerusakan muskuloskeletal kompleks.
Kematian yang disebabkan oleh trauma itu secara klasik memiliki 3
penyebaran, yang berhubungan antara waktu kejadian dengan penanganan efektif
yang dilakukan untuk mengatasi mortalitas :
1. Immediate deaths ( kematian yang segera )
Dimana pasien meninggal oleh karena trauma sebelum sampai ke
rumah sakit. Misalnya cedera kepala berat, atau trauma spinal cord. Hanya
sedikit dari pasien ini yang dapat hidup sampai ke rumah sakit, karena
hampir 60% dari kasus ini pasien meninggal bersamaan dengan saat kejadian.
2. Early deaths
Dimana pasien meninggal beberapa jam pertama setelah trauma.
Sebagian disebabkan oleh perdarahan organ dalam dan sebagian lagi
disebabkan oleh cedera sistem saraf pusat. Hampir semua kasus pada trauma
ini potensial dapat ditangani. Bagaimanapun, pada umumnya setiap kasus
membutuhkan pertolongan dan perawatan definitif yang sesuai di pusat-pusat

45
trauma. Khususnya pada institusi yang dapat melakukan resusitasi segera,
identifikasi trauma, dan sarana pelayanan operasi selama 24 jam.
3. Late deaths
Dimana pasien meninggal beberapa hari atau minggu setelah trauma.
Sepuluh sampai dua puluh persen (10%-20%) dari seluruh kematian kasus
trauma terjadi pada periode ini. Kematian pada periode ini mayoritas
disebabkan oleh karena infeksi dan kegagalan multipel organ. Trauma kepala
paling banyak dicatat pada pasien multipel trauma dengan kombinasi dari
kondisi yang cacat seperti amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan,
post-traumatic stress syndrome dan kondisi kelainan jiwa yang lain (David et
al, 2008)
2.9 Mekanisme Trauma
Mekanisme trauma dapat diklasifikasikan sebagai berikut : tumpul,
kompresi, ledakan dan tembus. Mekanisme cidera terdiri dari : cidera langsung,
misal kepala dipukul menggunakan martil. Kulit kepala bisa robek, tulang kepala
bisa retak atau patah, dapat mengakibatkan perdarahan di otak. Cidera
perlambatan atau deselerasi, misal pada kecelakaan motor membentur pohon.
Setelah badan berhenti dipohon, maka organ dalam akan tetap bergerak maju,
jantung akan terlepas dari ikatannya (aorta) sehingga dapat mengakibatkan ruptur
aorta. Cidera percepatan / akselerasi, misalnya bila pengendara mobil ditabrak
dari belakang. Misalnya pengendara mobil ditabrak dari belakang. Tabrakan dari
belakang biasanya kehilangan kesadaran sebelum tabrakan dan sebagainya.
Anamnesis yang berhubungan dengan fase ini meliputi :
a. Tipe kejadian trauma, misalnya : tabrakan kendaraan bermotor, jatuh atau
trauma / luka tembus.
b. Perkiraan intensitas energi yang terjadi misalnya : kecepatan kendaraan,
ketinggian dari tempat jatuh, kaliber atau ukuran senjata.
c. Jenis tabrakan atau benturan yang terjadi pada penderita : mobil, pohon, pisau
dan lain - lain. Trauma tumpul penyebab terbanyak dari trauma tumpul adalah
kecelakaan lalu lintas.

46
Pada suatu kecelakaan lalulintas, misalnya tabrakan mobil, maka
penderita yang berada didalam mobil akan mengalami beberapa benturan
(collision) berturut-turut sebagai berikut :
1.Primary Collision Terjadi pada saat mobil baru menabrak, dan penderita masih
berada pada posisi masingmasing. Tabrakan dapat terjadi dengan cara :Tabrakan
depan (frontal),Tabrakan samping (TBone), Tabrakan dari belakang, Terbalik
(roll over)
2.Secondary Collision Setelah terjadi tabrakan penderita menabrak bagian dalam
mobil (atau sabuk pengaman). Perlukaan yang mungkin timbul akibat benturan
akan sangat tergantung dari arah tabrakan.
3.Tertiary Collision Setelah penderita menabrak bagian dalam mobil, organ yang
berada dalam rongga tubuh akan melaju kearah depan dan mungkin akan
mengalami perlukaan langsung ataupun terlepas (robek) dari alat pengikatnya
dalam rongga tubuh tersebut.
4.Subsidary Collision Kejadian berikutnya adalah kemungkinan penumpang
mobil yang mengalami tabrakan terpental kedepan atau keluar dari mobil. Selain
itu barang-barang yang berada dalam mobil turut terpental dan menambah cedera
pada penderita. Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti
bergerak, sedangkan bagian dalam tetap bergerak kedepan. Organ-organ terjepit
dari belakang oleh bagian belakang dinding torak oabdominal dan
kulumnavetrebralis, dan didepan oleh struktur yang terjepit. Pada organ yang
berongga dapat terjadi apa yang trauma.
Mekanisme trauma yang terjadi pada pengendara sepeda motor dan
sepeda meliputi :
a. Benturan frontal. Bila roda depan menabrak suatu objek dan berhenti
mendadak maka kendaraan akan berputar kedepan, dengan momentum
mengarah kesumbu depan. Momentum kedepan akan tetap, sampai
pengendara dan kendaraannya dihentikan oleh tanah atau benda lain. Pada
saat gerakan kedepan ini kepala, dada atau perut pengendara mungkin
membentur stang kemudi. Bila pengendara terlempar keatas melewati

47
stang kemudi, maka tungkainya mungkin yang akan membentur stang
kemudi, dan dapat terjadi fraktur femur bilateral.
b. Benturan lateral. Pada benturan samping, mungkin akan terjadi fraktur
terbuka atau tertutup tungkai bawah. Kalau sepeda / motor tertabrak oleh
kendaraan yang bergerak maka akan rawan untuk menglami tipe trauma
yang sama dengan pemakai mobil yang mengalami tabrakan samping.
Pada tabrakan samping pengendara juga akan terpental karena kehilangan
keseimbangan sehingga akan menimbulkan cedera tambahan.
c. Laying the bike down. Untuk menghindari terjepit kendaraan atau objek
yang akan ditabraknya pengendara mungkin akan menjatuhkan
kendaraannya untuk memperlambat laju kendaraan dan memisahkannya
dari kendaraan. Cara ini dapat menimbulkan cedera jaringan lunak yang
sangat parah.
d. Helm (helmets). Walaupun penggunaan helm untuk melindungi kepala
agak terbatas namun penggunaannya jangan diremehkan. Helm didesain
untuk mengurangi kekuatan yang mengenai kepala dengan cara
mengubah energi kinetik benturan melalui kerja deformasi dari
bantalannya dan diikuti dengan mendistribusikan kekuatan yang menimpa
tersebut seluasluasnya. Secara umum petugas gawat darurat harus berhati-
hati dalam melepas helm korban kecelakaan roda dua, terutama pada
kecurigaan adanya fraktur servical harus tetap menjaga kestabilan kepala
dan tulang belakang dengan cara teknik fiksasi yang benar.
Secara umum keadaan yang harus dicurigai sebagai perlukaan berat
(walaupun penderita mungkin dalam keadaan baik) adalah sebagai berikut :
Penderita terpental , antara lain : - Pengendara motor - Pejalan kaki ditabrak
kendaraan bermotor - Tabrakan mobil dengan terbalik - Terpental keluar mobil
Setiap jatuh dari ketinggian > 6 meter Ada penumpang mobil (yang berada
didalam satu kendaraan) meninggal. Trauma ledakan (Blast Injury) Ledakan
terjadi sebagai hasil perubahan yang sangat cepat dari suatu bahan dengan volume
yang relatif kecil, baik padat, cairan atau gas, menjadi produk-produk gas. Produk

48
gas ini yang secara cepat berkembang dan menempati suatu volume yang jauh
lebih besar dari pada volume bahan aslinya. Bilamana tidak ada rintangan,
pengembangan gas yang cepat ini akan menghasilkan suatu gelombang tekanan
(shock wave).
Trauma ledakan dapat diklasifikasikan dalam 3 mekanisme kejadian
trauma yaitu primer, sekunder dan tersier. Trauma ledak primer merupakan hasil
dari efek langsung gelombang tekanan dan paling peka terhadap organ –organ
yang berisi gas. Membrana timpani adalah yang paling peka terhadap efek primer
ledak dan mungkin mengalami ruptur bila tekanan melampaui 2 atmosfir.
Jaringan paru akan menunjukan suatu kontusi, edema dan rupture yang dapat
menghasilkan pneumothoraks. Cedera ledak primer (gelombang kejut). Cedera
ledak sekunder Ruptur alveoli dan vena pulmonaris dapat menyebabkan emboli
udara dan kemudian kematian mendadak. Pendarahan intraokuler dan ablasio
retina merupakan manifestasi okuler yang biasa terjadi, demikian juga ruptur
intestinal.
Trauma ledak sekunder merupakan hasil dari objek-objek yang
melayang dan kemudian membentur orang disekitarnya. Trauma ledak tersier
terjadi bila orang disekitar ledakan terlempar dan kemudian membentur suatu
objek atau tanah. Trauma ledak sekuder dan tertier dapat mengakibatkan trauma
baik tembus maupun tumpul secara bersamaan. Cedera ledak tersier trauma
tembus (Penetrating Injury)
1. Senjata dengan energi rendah (Low Energy). Contoh senjata dengan energi
rendah adalahpisau dan alat pemecah es. Alat ini menyebabkan kerusakan
hanya karena ujung tajamnya. Karena energi rendah, biasanya hanya sedikit
menyebabkan cidera sekunder. Cedera pada penderita dapat diperkirakan
dengan mengikuti alur senjata pada tubuh. Pada luka tusuk, wanita
mempunyai kebiasaan menusuk kebawah, sedangkan pria menusuk keatas
karena kebiasaan mengepal.Saat menilai penderita dengan luka tusuk,
jangan diabaikan kemungkinan luka tusuk multipel. Inspeksi dapat

49
dilakukan dilokasi, dalam perjalanan ke rumah sakit atai saat tiba di rumah
sakit, tergantung pada keadaan disekitar lokasi dan kondisi pasien.
2. Senjata dengan energi menengah dan tinggi (medium and high energy)
Senjata dengan energi menengah contohnya adalah pistol, sedangkan senjata
dengan energi tinggi seperti senjata militer dan senjata untuk berburu.
Semakin banyak jumlah mesiu, maka akan semakin meningkat kecepatan
peluru dan energi kinetiknya. Kerusakan jaringan tidak hanya daerah yang
dilalui peluru tetapi juga pada daerah disekitar alurnya akibat tekanan dan
regangan jaringan yang dilalui peluru.

50
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan
manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas
yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
2. Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan
secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya
dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami
syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
3. End of life merupakan salah satu tindakan yang membantu meningkatkan
kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup (Ichikyo, 2016).
4. Menurut NSW Health (2005) Prinsip End Of Life antara lain :

 Menghargai kehidupan dan perawatan dalam kematian

 Hak untuk mengetahui dan memilih

 Menahan dan menghentikan pengobatan dalam mempertahankan hidup

 Sebuah pendekatan kolaboratif dalam perawatan

 Transparansi dan akuntabilitas

 Perawatan non diskriminatif

 Hak dan kewajiban tenaga kesehatan

 Perbaikan terus-menerus

5. Teori Peacefull End of Life merupakan salah satu teori yang masuk kriteria

middle range teori dengan level yang lebih tinggi (Higgin & Moore, 2000).

51
Teori ini dikembangkan pertama kali oleh Rulland dan Moore pada tahun

1998, dimana teori ini memberikan informasi tentang kerangka kerja pada

tindakan keperawatan untuk klien paliatif.

6. Penerapan Peaceful End of Life Theory Pada Asuhan Keperawatan

 Pengkajian nyeri
 Pengkajian rasa nyaman
 Pengkajian merasa bermartabat dan dihargai
 Pengkajian Kedamaian
 Pengkajian kedekatan dengan orang yang bermakna
7. Isu End Of Life

Do Not Resuscitate (DNR) atau Jangan Lakukan Resusitasi merupakan

suatu tindakan dimana dokter menempatkan sebuah instruksi berupa informed

concent yang telah disetujui oleh pasien ataupun keluarga pasien di dalam

rekam medis pasien, yang berfungsi untuk menginformasikan staf medis lain

untuk tidak melakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau cardiopulmonary

resuscitation (CPR) pada pasien. Pesan ini berguna untuk mencegah tindakan

yang tidak perlu dan tidak diinginkan pada akhir kehidupan pasien

dikarenakan kemungkinan tingkat keberhasilan CPR yang rendah (Sabatino,

2015).

8. Trauma adalah penyebab paling umum kematian pada orang usia 16-44 tahun
di seluruh dunia (WHO, 2004). Proporsi terbesar dari kematian (1,2 juta
pertahun) kecelakaan di jalan raya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memprediksi bahwa pada tahun 2020, cedera lalu lintas menduduki peringkat
ketiga dalam penyebab kematian dini dan kecacatan (Peden, 2004).

52
9. Mekanisme trauma dapat diklasifikasikan sebagai berikut : tumpul, kompresi,
ledakan dan tembus. Mekanisme cidera terdiri dari : cidera langsung, misal
kepala dipukul menggunakan martil. Kulit kepala bisa robek, tulang kepala
bisa retak atau patah, dapat mengakibatkan perdarahan di otak. Cidera
perlambatan atau deselerasi, misal pada kecelakaan motor membentur pohon.
Setelah badan berhenti dipohon, maka organ dalam akan tetap bergerak maju,
jantung akan terlepas dari ikatannya (aorta) sehingga dapat mengakibatkan
ruptur aorta.

53
DAFTAR PUSTAKA
Dame Lestaria, 2014. Penerapan teori peaceful end of life dan pengkajian edmonton
symptom assessment system (esas) dalam asuhan keperawatan pada klien dengan
kanker kolon di rumah sakit kanker dharmais jakarta. Diakses pada tanggal 17
Maret 2020.

Rahayu, Putri. 2017. Isu End Of Life Keperawatan Gawat Darurat


https://id.scribd.com/document/367536386/Isu-End-Of-Life-Keperawatan-Gawat-
Darurat-docx diakses pada tanggal 17 Maret 2020.

Sucipta, I Nyoman dan Ketut Suriasih. 2015. BIOMECHANICAL TRAUMA


TRAUMA BIOMECHANICS . Jurnal Proceeding. Universitas Udayana.
https://repositori.unud.ac.id/protected/storage/upload/repositori/8c1d577f1b14f41f
815cb1571a6b23dc.pdf diakses pada tanggal 18 Maret 2020

https://id.scribd.com/document/326573040/isu-end-of-life-fix
https://id.scribd.com/document/405079960/Pengkajian-Primer-Dan-Sekunder
https://www.academia.edu/37335656/MAKALAH_TRAUMA
https://www.academia.edu/10950378/pengkajian_kegawatdaruratan

54

Anda mungkin juga menyukai